Minggu, 25 Juli 2010

Menembus Integritas Penulis

Sabrank Suparno

Bagi penulis yang masih pemula, acapkali rikuh ketika hendak menuangkan ide yang berkecamuk di kepalanya. Padahal ide itu sudah menggumpal berjubelan. Laksana sumbatan air terhalau tampungan, sumbat, tak kunjung mengalir melalui cerca ujung pena dan gemericik menjadi guratan kata.

Sabtu, 24 Juli 2010

Replikasi Kebudayaan Jawa

Sabrank Suparno
(Dimuat Radar Surabaya tanggal 26 Desember 2010)

Kebudayaan dalam keterpautannya dengan perkembangan peradaban, selalu dilongok serius sebagai indikator corak yang mewarnai strukturalisasinya. Apa dan bagaimana kadar kebudayaan dalam kurun waktu tertentu tak lepas dari proses sinergis yang didalamnya memungkinkan terbentuk secara power heterogensi yang tak harus terkait pula dengan kapasitas kualitatif ataupun kuantitatif.

Saat Indonesia Berubah Nama

Sabrank Suparno

*(Ketika kota Bagdad dikepung oleh tentara Jengiz Khan, dan umat jatuh nyalinya, justru)
**(seorang sufi buta turun ke pasar, menyampaikan khotbah yang membakar)*
***)Denyar beribu tanya.

Pernahkah kita sejenak saja berfikir tentang apa arti Indonesia? Siapa yang awal sekali memberi nama Iandonesia? Apakah nama itu benar-benar sesuai dengan karakter jiwa yang dicita-citakan Nenek Moyangnya saat mereka menimang anak cucu cicitnya kelak? Apakah nama itu kebanggaan Ayah-Bundanya yang tau persis darah dagingnya? Atau sandainya bayi dalam kandungan dapat berbicara, apakah bayi kecil Indonesia ini setuju kalau dirinya dijuluki dengan panggilan itu?

Tonggak Revolusi Berfikir

Sabrank Suparno

1.Tonggak Peradaban
Padanan diksiologi mengenai kata’tonggak’ berjuktaposisi dengan patok, panjer, tenger, atau suatu sejenis yang bermuatan makna pondasi tunggal. Tonggak bisa berposisi tinggi menjulang atau rebah memanjang. Namun dari kedua posisi tersebut tetap berfungsi sama secara esensial, yakni sebagai titik pandang untuk menarik ribuan anak tonggak yang lain dalam satu garis diagonal (vertikal-horizontal). Kelurusan garis yang meskipun mengarah ke pelbagai penjuru, hanya akan tepat penilaian akurasinya jika ditarik titik fokusnya berdasarkan tonggak tunggal. Dalam skala keilmuan yang lebih luas, tonggak lebih nyaman diartikan “mata watak pandang” atau jujugan. Semisal rumah terdapat satu ruang yang disebut “tempat rembugan atau balai” kerajaan dan negara ada istana, umat islam sebumi ada ka’bah, dan jasat/tubuh, ada hati (qolbu).

Haflah Maiyah Sebagai Titik Koordinat Explorasi

Sabrank Suparno
 
Satu lagi keunikan yang digebyakkan oleh Jama’ah Ma’iyah. Keunikan yang selalu muncul mendudul kelayakan sejarah.Yakni sebuah kreatifitas yang merujuk balik dari ide-ide nyeleneh yang seolah menjadi ciri khas gerakan Ma’iyah . Keunikan nyeleneh inilah yang selalu ditunggu Jama’ah Ma’iyah dan para pengincarnya. Mungkin dari sekian banyak ide kreatif yang telah tertuang, hal-hal semacam inilah yang membedakan antara model forum yang dipakai Jama’ah Ma’iyah dengan forum-forum lain di Indonesia.

Jumat, 23 Juli 2010

BANK CENTURY SIMBOL HANCURNYA CENTURY 2012

Sabrank Suparno

Mungkin pembahasan ini luput dari dan atau sekedar tertinggal dari gemontangnya para pakar yang sedang beropini ria tantang lugurnya Bank Century: Kasus yang kian hangat dan belum terpecahkan jluntrung permasalahannya. Masalah yang pelik melilit barisan papan atas petinggi pemerintahan Indonesia awal tahun 2010 ini.

Wanita: Lahirnya Macan Kupluk’an

Sabrank Suparno

Jika suatu saat Indonesia mercusuar kembali seperti saat Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk bertengger di singgasana kerajaan Majapahit dulu, maka kebesaraan kekuasannya kondang tersiar ke manca negara. Expansi pengaruhnya sampai kedataran Malaysia, Vietnam, Filipina, bahkan semenanjung Malaka. Keaneka ragaman seni budaya unik dan tampil sebagai exspresi bentuk jiwa. Perekonomian terbangun dari hasil bumi hortikultura dan kreatifitas perindustrian, dan diimbanginya watak corak hidup dengan ideologi modern yang bertemu ruas kutub keilmuannya dengan ilmu agama. Bukan tidak mungkin! Indonesia suatu saat akan menjadi negara sentral acuhan dunia. Sebagai poros sejarah. Kenapa demikian? Karena pergeseran Indonesia ke masa datang, akan tampil sebagai negara “macan kupluk’an”. Yakni negara besar yang maju di berbagai sektor kehidupan, lebih-lebih di amping dengan jiwa keagamaan yang matang.

Selasa, 20 Juli 2010

Embriologi Peradapan

Sabrank Suparno

Pernakah kita berfikir tentang asal-muasal atau apa sebab, dan bagaimana, dan seterusnya, mengapa bisa terjadi adanya peradaban? Taruklah manusia jaman sekarang menganggap telah menemukan titik sentral atau sumbu koordinat peradaban tertinggi. Ambil satu contoh dengan penemuan teknologi sekelas google, yang dengan serta merta membentangkan provider yang benar-benar menjadikan kecepatan informasi dan ngerumpi-nya manusia dari berbagai belahan dunia.

Satrio Kembar: Romantisme Antara Dua Kutub

Sabrank Suparno

Satrio kembar dalam tulisan ini hanyalah “interpolasian” yang dapat kita tebarkan ke seluruh wilayah serapan atas poin pemikiran Cak Nun yang begitu luas cakupannya dalam setiap termin acara. Dalam satu kali pertemuan padhang mbulan saja, sesungguhnya dapat kita jabarkan menjadi berjilid-jilid buku ensiklopedia yang teramat sangat afunturir, menjelajahi keluasan cakrawala ilmu. Namun keterlepasan antara dua kutub keilmuan itu tidak lantas kepyar tanpa makna. Tetapi selalu diikat dalam satu jalinan titik temu antara dua kutub yang berjauhan.

Senin, 19 Juli 2010

Bingkisan Pelangi Pagi Buat Indonesia

Sabrank Suparno

Pagi selalu datang dengan nama yang sama. Menjawab tumpuhan harapan seusai mimpi. Mungkin gelap hanyalah teori. Agar tepat bedakan cahaya. Musim hujan selalu saja hari-harinya dipenuhi awan. Tak perduli sore, pagi dan malam’.

Seketsa Kabut Kabut Silam

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

*) Raja Malaikat Kepincut Bumi

Seperti biasanya, Arsy, istana langit tak pernah sepi. Milyatan malaikat berkumpul mengelilingi Alloh. Tak ada pemandangan lain. Sejauh hamparan mata memandang ruang tak terbatas hanya dipenuhi wajah malaikat. Suara bergemuruh, berkumandang menggema. Tak lain lagi lantunan irama tasbih. Pagi, siang tiada henti. Malaikat itu makhluk statis. Susunan tubuhnya hanya satu jenis partikel zat yang di sebut cahaya. Statis-tetep, tidak bisa berkembang atau memuai.

Jombang dan Peta Kebangkitan Zaman

Sabrank Suparno

1. Maulid Nabi Muhammad

Dalam buku yang ditulis Haikal dijelaskan bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul awal. Tanggal kelahirannya sama persis dengan tanggal wafat Beliau. Beberapa pengamat mencatat indikasi metodologi khusus bahwa orang-orang besar itu, hari dan tanggal lahirnya selalu sama dalam hitungan bulan qomariyah (bulan jawa tahun saka ).

Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya?

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/

Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu

Pada hari Jumat, 25 September 2009, ludruk Brawijaya ditanggap Bapak Supendik asal Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan. Hajatan Pak Supendik ini dalam rangka menyunatkan anak tunggalnya, Alvin Sugiyanto. Acara Khitanan sekaligus ruwatan dimulai bakda Jumatan dengan menampilkan paguyuban ''Cambuk Api" dengan tradisi "ujung"nya yang dipimpin Pak Pardi di Dusun Mbancang. Kelompok kesenian ''adu cambuk rotan" ini telah dirintisnya sejak tahun 1988. Hajatan itu kemudian diteruskan dengan wayang Purwakalan dengan menampilkan dalang Ki Kamim Sarpokenopo, dan malam harinya pementasan ludruk Brawijaya digelar dengan menampilkan lakon ''Wewe Putih Gandrung" yang disutradarai Sawi Gembel.

Sebagaimana biasanya, lawakan ludruk yang dipentaskan merupakan sajian paling memikat yang ditunggu-tunggu penonton. Sekitar seribuan penonton membludak dan berdusel-duselan. Puluhan penjual dari pedagang plembungan sampai Soto Lamongan terjejer panjang dari rumah penanggap hingga memanjang ke timur jalan. Pelawak Memet asal Kecamatan Kabuh, Jombang tampil pertama dengan jula-julian dan salawatan. Lalu menyembullah Wak Jambul asal Tuban yang langsung diteter Memet dengan guyonan dan tebak-tebakan. Ini mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Dua pelawak lantas nongol, Ciplis dan dan Wulung dengan "dagelan bacokan" yang sontak membikin Wak Jambul keringetan karena ditotol berkali-kali oleh kawan-kawannya tersebut. Sungguh gembira, betapa masih saja ada bocah-bocah kampung yang terpukau dan cekakakan saat mereka asyik-larut dalam gojekan dagelan itu dan melupakan tayangan Tawa Sutra, Segeerrr, OKB dan sinetron-sinetron TV yang cengeng dan menumpulkan otak itu.

Perjalanan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah

Ludruk Brawijaya yang bermarkas di Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, didirikan pada 16 Mei 2008 oleh Pak Mulyono dan disokong kakaknya, Abdul Fatah. Pak Mul, demikian panggilannya, lahir 7 September 1966 di Desa Pandanarum. Pada umur 19 tahun, yakni tahun 1985. Dia tertarik menyimak klenengan seni ludruk di paguyuban ludruk Sapta Mandala di Desa Centong, Kecamatan Gondang, yang saat itu dikelola oleh Pak Fatah. Sapta Mandala tidak berumur lama. Tahun 1988, ludruk ini bubar karena pengelolaannya yang bersifat organisasi, tidak berjalan dengan baik.

Pada 1987, Pak Mul bergabung dengan ludruk Sari Wijaya dari Ngoro yang dipimpin oleh Pak Rodal. Ia terus menimba pengalaman ngludruk ke banyak grup ludruk, terutama di bidang pemeranan atau penokohan yang selanjutnya ia dikenal sebagai sutradara ludruk. Sari Wijaya kemudian pecah, dan muncullah pecahannya yang bernama ludruk Perdana yang diketuai oleh Eko Supeno. Pak Mul memilih ikut ludruk Perdana dari tahun 1990 sampai 2007. Perjalanan tanggapan juga tobongan ludruk ini telah merambah dari kota ke kota seperti Malang, Surabaya, Jombang, dan Mojokerto sendiri. Ia juga sering di-job ludruk Sidik Cs, baik sebagai pemeran lakon maupun sutradara, dari tahun 1990 hingga tahun 1996.

Lahirnya ludruk Brawijaya jika dirunut bermula dari ludruk Mulya Budaya yang dirintis Abdul Fatah pada 16 Mei 2007. Sempat nama Mulya Budaya diganti nama dengan sebutan ludruk Gajah Mada. Namun ludruk ini tidak bertahan lama karena beberapa hal, lalu Pak Mul berinisiatif membentuk ludruk sendiri yang selanjutnya dirembug dengan Pak Fatah. Pak Mul berkeyakinan bahwa kemandirian dan kesolidan sebuah grup ludruk itu penting. Pendanaan dan pengaturan serta pengelolaan merupakan hal mendasar yang musti secara interen dimiliki oleh setiap grup ludruk. Dengan modal sekisar 70-an juta, ia dan dengan dukungan Pak Fatah mendirikan ludruk Brawijaya pada 16 Mei 2008. Perjuangan dan kecintaan mereka akan ludruk tampaknya semakin menguat dan terus mereka jalani sebagai bagian hidup mereka dalam berkesenian. Nama ''Brawijaya" yang dipilih menjadi satu pertanda bagaimana mereka ingin mengangkat nama Mojokerto dengan simbol-simbol kejayaan kerajaan Majapahit.

Selama setahun lebih, ludruk ini dibentuk hingga sekarang, tak kurang dari 100-an tanggapan terop yang mereka peroleh. Ini merupakan suatu prestasi yang gemilang. Kendati dalam setiap tanggapan yang rata-rata bernilai Rp 7 jutaan itu mereka sering tekor (merugi) sampai harus tombok (menalangi) sekitar 1 jutaan. Hal ini karena mereka belum sepenuhnya memiliki sarana dan peralatan transportasi ludruk yang layak. Semisal mereka belum punya inventaris berupa sound-system, satu set gamelan dan truk. Kondisi yang serba pas-pasan ini sejak awal telah disadari Pak Mul dan Pak Fatah. Lalu bagaimana mereka masih terus bisa eksis dengan kondisi yang demikian? Tujuan Pak Mul yang terpenting adalah sejauh mana masyarakat dapat mengenal dengan baik ludruk Brawijaya.

Yang kedua terkait dana talangan yang justru dirogoh dari kocek pribadi mereka sendiri. Keguyuban warga ludruk ini juga menyadari kondisi ''mepet" mereka. Maka kerap kali honor mereka rela dipotong 10 persen sampai 25 persen untuk melengkapi dana talangan itu. Semisal untuk bayaran kelas A (pelawak) Rp 300 ribu, kelas B (tokoh peran): 150 ribu, kelas C (gontok, sinden, dan wiyogo, dll) Rp. 50 ribu sampai 100 ribu. Mereka ikhlas dipotong dengan prosentase itu. Meski begitu, kesetiaan mereka dalam bentuk kedisiplinan dalam setiap tanggapan ludruk Brawijaya tetap terjaga, kecuali memang kala ludruk ini tidak ditanggap, para awak ludruk bisa saja ikut grup ludruk lain yang mentas.

Ludruk Brawijaya yang beranggotakan 63 orang, terdiri dari Wayang (tokoh peranan): Sugi, Sulkan, Wandi, Said, Wol, Kastam, Sumadi, Cahyo, Didit, dan Mondro. Tandak terdiri dari: Riska, Mamik, Rara, Dina, Menik, Diah, Mintuk, Candra, Mei, Anik, Daripah, Tini, Susi, Kesi, Tina, Suliati, dan Nuryati. Para gontok: Sariman, Edi, Juni, Yuli, dan Anam. Sinden: Sukeni. Para panjak: yang terdiri dari grup Suwari CS adalah Bambang, Warsito, Santriman, Sarno, Poniran, Ngarso, Kumadi, Sarno, dan Antok. Penata dekorasi: Sonto CS. Sound system: Fata Cs. Ketua juru gamelan: Gembur Cs. Kekompakan awak ludruk ini sungguh benar-benar diperhatikan oleh Pak Mul, lebih-lebih ia pun berpikir keras akan kesejahteraan mereka di kemudian hari.

Sosok Pak Mul sebagai seniman ludruk yang sekaligus bekerja sebagai perangkat desa di desanya sendiri telah mampu menghidupi istri dan membesarkan anak-anaknya dari penghasilan di dunia ludruk. Ia beristri Supiyatun (lahir 14 Juli 1967), sedangkan anak-anaknya: Dian Aprilia (lahir 13 Februari 1992, dari istri pertamanya bernama Fatimah yang pernah ikut grup ludruk Baru Budi), Lia Mulyana (lahir 1 Oktober 1992), Dwiki Indra Lesmana (lahir 10 Oktober 1996). Dua anak yang terakhir ini berasal dari istrinya, Supiyatun. Sebagai sutradara, Pak Mul tetap berupaya menggali kreativitas dalam menciptakan lakon-lakon ludruk, di antaranya adalah lakon: ''Tebu Berduri" yang tokoh utamanya Bajuri, ''Golok Setan", ''Pendekar Gunung Sumbing", dan yang terakhir yang sedang digarapnya adalah ''Rebutan Ajining Sandal Jepit" yang mengangkat kehidupan wong cilik yang berdesak-desakan memperjuangkan pencairan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang beberapa bulan yang lalu ramai diperdebatkan masyarakat Indonesia yang melarat dan terpinggirkan.

Sementara, sosok Abdul Fatah yang lahir pada tahun 1955, menerjuni kesenian ludruknya berawal dari mengikuti wayang kulitnya Pak Leman dari Japanan pada tahun 1969. Lalu ia masuk grup ludruk Irama Baru dari Sidoarjo yang disokong oleh Pak Yassin dari KODIM 0816 Sidoarjo yang selanjutnya pimpinan rombongan ludruk ini diurus oleh Pak Dono. Selama 10 tahun ia bergabung dengan ludruk ini, dari tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahun 1980 hingga tahun 1985 ia bergabung dengan ludruk Massa Baru dari Jombang yang saat itu dipimpim Pak Akhmad dari Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh. Lalu, tahun 1985 sampai 1987 ia masuk grup ludruk Sari Murni Jombang yang dipimpin oleh Pak Gimin dan Pak Kusnan. Selanjutnya ia mendirikan ludruk Sapta Mandala yang eksis dari tahun 1987 sampai 1992. Selain itu ia pernah terlibat dalam siaran ludruk RRI Surabaya (1992-2002), juga pernah di ludruk Karya Baru Mojokerto (2002-2007), dan yang terakhir ia bersama adiknya, Pak Mul, mengembangkan ludruk Brawijaya sejak 16 Mei 2008 hingga sekarang.

Selain sebagai pendamping Pak Mul, mata pencaharian Pak Fatah terbilang tidak jauh dari pernak-pernik di seputar dunia ludruk. Ia merupakan teknisi panggung, pembuat peraga kewan-kewanan (berbagai kostum yang berbentuk aneka macam binatang sesuai lakon ludruk yang dipilih), busana ludruk, busana manten dan tari, busana travesti, dan lain-lain. Usaha ini ia kembangkan di rumahnya bersama keluarganya dan pula tetangganya. Banyak juga pesanan dari berbagai kalangan baik dari grup-grup ludruk maupun dari masyarakat umum. Setiap busana seperti busana pengreman, yang mengandalkan ketelatenan tangan itu, ia kerjakan selama sebulan dengan ongkos pesanan 1 juta hingga 1,5 juta. Meski penghasilan ngludruk tidak seberapa, justru dari home industry inilah Pak Fatah dapat membahagiakan istrinya, Sri Muliyah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana: Eko Siswodiono (lahir 1980), Irfan Dwi Efendi (lahir 1983, kini dosen SHS bidang perhotelan dan staf inti di Hotel Sangrila Surabaya), dan Triyuda (lahir 1992) yang masih berkuliah di jurusan Informatika Unesa Surabaya.

Ludruk Brawijaya di antara 10 grup Ludruk Lain

Menurut Pak Mul, di Mojokerto telah sejak lama bercokol banyak grup ludruk. Ada sekitar 160-an grup. Tapi kondisi tiap grup ludruk sebagaimana perkembangan jaman terus bergulat dan bertarung dengan hiburan lain terutama ketika muncul televisi swasta di tahun 1990-an yang kian menambah surutnya apresiasi masyarakat khususnya di Jawa Timur terhadap ludruk. Kini, pemerintah kabupaten, semisal di daerah Mojokerto, Jombang, dan lain-lain menerapkan sebuah aturan dalam bentuk ketertiban grup-grup ludruk agar lebih dapat diakomodasi dan diidentifikasi keberadaannya. Penerapan ini semacam pengidentifikasian induk organisasi atau kepemilikan suatu grup ludruk, sebagaimana juga jenis kesenian lain semisal grup orkes dangdut, karawitan, wayang, dan lain-lain.

Dengan adanya ketertiban tersebut di mana setiap grup ludruk harus didaftarkan di kantor dinas Porabudpar setempat, maka, menurut Pak Mul, dari keseluruhan grup ludruk di Mojokerto yang kini tercatat dengan nomor induknya masing-masing berjumlah 10 grup ludruk. Mereka adalah ludruk Brawijaya, ludruk Karya Budaya, ludruk Karya Baru, ludruk Teratai Jaya, ludruk Indah Wijaya, ludruk Cakra Wijaya, ludruk Gelora Budaya, ludruk Karya Mukti, ludruk Sekar Budaya, dan ludruk Among Budaya Roman Cs.

Tak dipungkiri bahwa setiap ludruk di era sekarang saling berpacu untuk meluaskan pengaruh dan tanggapannya dengan sajian-sajian yang inovatif dan dioptimalkan jaringan publikasinya agar tidak disoraki sebagai ludruk yang asal manggung dan karenanya bakal mengecewakan penonton. Ludruk Brawijaya juga tak ingin ketinggalan. Untuk bulan September dan Oktober 2009, mereka telah mengantongi terop sekitar sepuluhan. Angka ini sudah terbilang bagus dibanding sejumlah ludruk lain yang mungkin sejumlah itu, atau sepi sama sekali, atau bahkan lebih banyak dari itu. ''Jika ada ludruk yang sepi tanggapan, itu karena orang-orangnya sendiri yang malas nyari tanggapan. Semua awak saya juga bergerak mencari terop. Ono dino ono upo, ada tanggapan ya ada upah!" demikian seru Pak Mul pada anggotanya.

Catatan: Wawancara dilakukan pada Jumat malam, 25 September 2009 dengan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah di Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan.

--------
*) Peminat ludruk dari Komunitas Lembah Pring Jombang

Jejak Wallace di Jombang

Junaedi*

DALAM berbagai catatan sejarah, naturalis asal British, Alfred Russel Wallace, yang juga menciptakan sebuah garis imajiner sebagai batas pemisah fauna dan dikenal sebagai Garis Wallacea, pernah singgah sementara waktu di Jombang pada tahun 1861.

Setidaknya ada tiga kawasan yang tercatat dalam berbagai literatur yaitu Wonosalam, Japanan, dan Mojoagung. Letak geografis tiga kawasan ini berada di sisi timur Kabupaten Jombang memanjang ke selatan dengan jarak jika ditarik garis lurus kurang lebih 15 km. Tiga titik kawasan ini juga tak jauh dari Trowulan, yang diyakini menjadi salah satu pusat kejayaan kerajaan Majapahit.

Di dalam Java a Traveler’s Anthology disebutkan bahwa Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalem di kaki Gunung Arjuna dan mengumpulkan spesimen burung merak di Wonosalem. Di dalam catatan ini Wallace menulis “Wonosalam” dengan ejaan “Wonosalem” dan terletak di kaki Gunung Arjuna. Padahal, Wonosalam yang ada di Jombang ini berada di kaki Gunung Anjasmoro. Ada kemungkinan gunung yang saat ini dinamakan Gunung Anjasmoro, pada saat itu belum mempunyai nama atau kalaupun sudah mempunyai nama, tetapi kurang dikenal dan masih menjadi bagian dari Gunung Arjuna yang memang letaknya berada dalam satu gugusan.

Jadi mungkinkah ada nama Wonosalam lain di kaki Gunung Arjuna? Sejauh ini dugaan saya sepertinya tidak ada Wonosalam selain yang di Jombang. Apalagi dalam perjalanannya ke Wonosalam, seperti disebutkan dalam The Malay Archipelago, —merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke-19—, Wallace sempat singgah di Candi Arimbi yang letaknya di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, namun secara geografis lebih dekat dengan Wonosalam. Jadi ini bisa menjadi titik acuan Wonosalam manakah yang ditapaki Wallace pada tahun 1861 itu.

Dalam kisah perjalanannya, ketika menuju Wonosalam ia melihat hutan yang sangat indah dan melewati bangunan Candi Arimbi yang juga sangat menakjubkan yang dia anggap sebagai pusara seorang raja. Mungkin praduga Wallace tidak salah, karena menurut berbagai kisah, Candi Arimbi dibangun sebagai tempat perabuan Tribhuwanatunggadewi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Parwati.

Selain itu, dalam kisahnya yang lain di Wonosalam, Wallace selain mengumpulkan berbagai jenis spisemen ayam hutan dan berbagai burung, utamanya burung merak, juga mengunjungi kebun-kebun kopi. Dan sampai sekarang, kopi tetap menjadi salah satu komoditas perkebunan utama petani di Wonosalam, selain cengkih dan kakao serta berbagai jenis durian utamanya durian bido.

Entah bagaimana keadaan kebun-kebun kopi di Wonosalam ketika itu. Kemungkinan kebun-kebun kopi dibangun bersamaan dengan kebijakan tanam paksa, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa pada pertengahan abad ke-18. Apalagi kawasan Mojowarno, kawasan barat daya dan berdekatan dengan Wonosalam, pada abad 18 merupakan pusat kebudayaan kolonial Belanda, yang tentu saja segala kebijakan kolonial akan “terpancar” ke sekitarnya. Jejak peradaban kolonial Belanda di Mojowarno hingga saat ini pun masih terlihat dengan peninggalan bangunan-bangunan rumah tua dan gereja-gereja, termasuk peninggalan Pabrik Gula Tjoekir di barat Mojowarno.

Hanya saja, sekitar 40 tahun semenjak kedatangan Wallace atau sekitar awal tahun 1900-an, perusahaan-perusahaan kolonial Belanda mulai menata dan membangun kembali perkebunan kopi di Wonosalam dengan sistem sewa lahan dengan “merayu” dan “memelihara” kalangan elite penguasa lokal. Perkebunan dicetak terutama di kawasan tinggi di lereng Gunung Anjasmoro, mulai dari Dusun Segunung (Desa Carangwulung) hingga berderet ke selatan sampai Dusun Sumberjahe dan Sumberarum (Desa Sambirejo).

Bahkan, di Segunung sejak awal 1920-an sudah dibangun pabrik pengolah kopi. Bangunan ini bertahan hingga awal tahun 2000-an sebelum diruntuhkan oleh pemilik tanah saat ini. Saya masih sempat menikmati dan menjadi saksi bangunan tua bersejarah itu karena jaraknya sekitar 1 km dari SD saya itu menjadi jujukan ketika pelajaran sejarah dan mengarang.

Japanan yang Bukan lnul

Demikian juga dengan Japanan. Japanan yang dimaksud adalah yang berada di Kecamatan Mojowarno, Jombang, bukan seperti dugaan Dewa Gde Satrya dalam tulisannya di harian ini (Surya, 19 Maret 2010), yang menyebut, Japanan sebagai sebuah desa kecil yang sempat melejit seketika saat Inul Daratista mencuat di pentas nasional, yaitu Japanan di Pasuruan.

Di Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Jombang, saat ini menjadi perkantoran Perhutani dan masih tersisa sedikit hutan jati. Di sini juga terdapat situs Yoni Gambar, tepatnya di Dusun Sedah, di dekatnya juga ada pemandian wanawisata Sumberboto. Saya meyakini di Japanan inilah Wallace pernah berkelana menyusuri hutan-hutannya yang pada tahun itu kemungkinan besar masih lebat dan rimbun.

Di dua tempat inilah (Wonosalam dan Japanan), yang sampai saat ini hutannya masih tersambung bahkan sampai ke beberapa desa di Mojoagung dan Trowulan, Wallace mengumpulkan beragam ayam hutan dan burung merak. Sangat dimungkinkan jika pada tahun 1861 ayam hutan dan burung merak masih sangat banyak dan beragam jenisnya karena kondisi hutannya masih alami. Sampai tahun 1990-an, ayam hutan, dan burung merak di Wonosalam masih mudah dijumpai. Bahkan di area perkebunan cengkih pun seringkali ditemukan burung merak berkeliaran. Namun, saat ini sangat sulit dijumpai akibat kondisi hutannya yang rusak semenjak huru-hara reformasi dan adanya perburuan yang intensif.

Itulah kemungkinan jejak-jejak Wallace selama di Jombang seperti yang tertuang dalam berbagai catatan-catatan sejarah. Sangat mungkin jejak-jejak Wallace yang kita “napaktilasi” ini tidak tepat dan masih memerlukan pencarian yang lebih jauh. Namun begitu, sudah selayaknya jejak Wallace dijadikan spirit untuk tetap melestarikan alam, agar kelak tetap bisa menyaksikan ayam hutan dan burung-burung merak. Semoga!

*Junaedi adalah dosen Universitas Darul Ulum Jombang. beralamat di www.pencangkul.blogspot.com

Artikel ini telah dimuat di Harian Surya, Kamis, 15 Juli 2010
Link: http://www.surya.co.id/2010/07/15/jejak-wallace-di-jombang.html#comment-72248

Minggu, 18 Juli 2010

‘’99 Kilatan Cahaya buat Gus Dur’’

Sabrank Suparno

Jika di lemparkan pertanyaan, siapakah yang jauh mengabadikan kenangan saat meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid sang pendekar pluralisme itu? Mungkin Gunawan Muhammad hanya tersenyum sungging. Penulis yang sekaligus sastrawan yang dijuluki segudang istilah ini seolah tinggal menyalin beberapa obyek kalimat yang ia tulis ketika berziarah di pemakaman Prof. DR. Umar kayam, sahabat karib sekalibernya. Sebutan-sebutan Umar kayam dalam kalimat tulisan tersebut tinggal mengganti Abdurrahman Wahid.

Setelah ribuan pelayat mengembalikan cintanya yang mereka pinjam. Setelah jutaan pengagum menghantarkan simpatinya bertuang do,a. Satu persatu mereka hengkang beranjakkan kaki. Yang sebelumnya berdesakan dan berjubel hingga radius 2 km persegi. Anak, sanak, saudara, sahabat, kerabatpun akan pergi. Di atas gundukan tanah tampak berdiri tegak sepasang kembaran nisan yang bertuliskan ‘KH. Abdurrahman Wahid, Wafat: Rabu pahing, 30 Desember 2009’. Gundukan itu dipenuhi karangan bunga. Bertaburan warna warni berserakan. Bunga-bunga itu menghantar kepergian Gus Dur dengan semerbak harumnya. Dan sisa penziarah hingga kapanpun tampak khusyuk menyematkan rangkaian do,a. Helaian daun yang berguguran disekitar makam, seolah membuntuti jejak kepergiannya. Setelah semuanya usai dan rampung, muncullah satu pertanyaan. Apa yang ditinggalkan KH. Abdurrahman Wahid sebagai batu nisan diatas pekuburannya? Jawabnya tentu bervariabel dan berlajur-lajur menurut kadar keterpautan kita masing-masing.

Ada yang menoleh pada karya buku-buku beliau selaku tokoh berkapabilitas intelektual muslim. Ada pula yang melirik jargon-jargon kontroversialnya yang berani menentang arus rezim feodal di zamannya. Ada pula yang sekedar menjenguk melewati pintu cinta dan rasa syukur atas kekuatan mistiknya. Dan mungkin ada pula yang hendak berpesta setelah kepergiannya. Kita sendiri tidak bisa memastikan harus berposisi di bagian mana.

Saya sebetulnya ‘rada-rada sungkan’ mengungkap hal ini. Tetapi saya berharap mungkin ini justru menjadi alternatif bagi sebagian orang yang memahami Gus Dur dari sisi lain idiom –idiom diatas. Sampai kapanpun selalu berserabut di dalam tempurung kepala saya, mengenang saat-saat mesrah bersama Gus Dur di alam mimpi. Saya ingat waktu saya naik kereta dalam satu gerbong bertiga(saya, Gus Dur, KH. Hasyim asy,ari). Kemesraan itu terasa hangat saat jari jemari saya jimrintil berloncatan memijit kaki KH.Hasyim asy,ari almarhum. Saat itu adalah kurun waktu Gus Dur mendeklarasikan partai yang dipimpinnya. Memori pekat kedua adalah beberapa minggu menjelang didengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan oleh DPR selaku tandingan politiknya. Dimana saya melihat Gus Dur sedang bertengkar dengan Amien Rais di tengah sawah. Dalam perkelahian itu Gus Dur terperosok kaki kanannya kelubang sedalam lutut. Saat terperosok itulah saya merangkul Gus Dur “Gus sampean keblowok”,Gus anda terperosok!

Hal inilah yang saya sebut idiom alternatif diatas. Dimana selain saya, ternyata juga banyak orang yang mengenal akrab sosok Gus Dur dalam wilayah ruh atau mimpi. Meskipun keafsahannya lepas dari riset metodologi keilmuan, tetapi siapa yang mampu menghadang cinta.

Terlepas dari permasalahan diatas, marilah kita ulang sejenak saat hari meninggalnya Gus Dur. Hari rabu pahing. Dalam neptu jawa, rabu bernilai 7, dan pahing bernilai 9. Mantan presiden RI ke ampat ini dijemput pernak- pernik kehidupan sekitar jam 18;45 malam. Pada denting detik ini angka 9 mengikutinya lagi. Bulan Desember ahir tahun 2009, yang notabenenya untuk menghabiskan tahun yang berangka 09 tinggal 1 hari lagi. Dimana ahir tahun tersebut Gu Dur telah mengarungi usia 69 tahun. Beliau adalah cucu pendiri gerakan besar Nahdlotul ulama’, yakni KH. Hasyim Asy ari dari pondok pesantren Tebuireng Jombang. Sementara itu kalimat ‘hasyiman’ terdapat dalam al qur,an surat 18, ayat 45. Surat 18(al kahfi) bernilai metematik 1+8=9.Sedangkan ayat 45 juga bernilai 9 dari hasil jumlah 4+5=9.

Sebagai manusia tentu kita tidak ingin melebihi hak prerogatif Alloh didalam menentukan kadar kemakhlukanNya terhadap Gus Dur. Emha Ainun Nadjib pernah bermetafor saat wawancara di salah satu stasiun televise pada waktu pemakaman mendiang presiden Suharto. “Seandainya kita ditanya Alloh tentang seseorang, maka jawaban kita, mungkin sama dengan jawaban banyak orang, mungkin tidak sama dengan jawaban banyak orang, mungkin sama jawaban kita dengan jawaban yang diinginkan Alloh, atau bisa juga jawaban kita malah bertolak belakang dengan yang diinginkan Alloh”.

Cuplikan kecil ini menunjukkan deretan angka 9 turut serta mengiring kepergian KH, Abdurrahman Wahid. Sebagai bangsa yang bermartabat, tentu kita harus menghargai setiap orang yang berjasa merintis tegaknya republik ini. Alam memiliki bebatuan dengan kandugan nilai yang berbeda. Ada kerikil, ada batu biasa, ada intan, pemata, zamrud, merah delima dan lain sebagainya. Demikian juga manusia. Dengan rendah hati saya memahami bahwa Gus Dur adalah sosok manusia yang ’disewa’ Alloh, untuk dititipi cahaya yang lebih terang dibanding kebanyakan orang lain di masanya.

Sibernetika, Ajang Budaya Sex

Sabrank Suparno

Sains, terkesan lahir sebagai anak durhaka. Kekejaman sains, nyaris membunuh ibu kandungnya yang bernama filsafat, dan mendengser ’agama’, sebagai teman sepermainan. Arus sainsifitas ini nyaris membuat peradaban mutakhir sekarang terperangah. Kelahiran sain sebagai anak baru, sejak awal diperkirakan akan menggemparkan sejarah. Akhir abad 19, bayi sain itu menjelma menjadi mekanika sistem komputernalisasi sebagai wujud pemaparan kompleksifitas. Bendera ini dibentangkan Edwars Fredklin yang merekonstruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Tentu saja jika di runut lebih lanjut, sistem tersebut menjurus ke arah sistem mekanika digital. Titik kulminasi dari mekanika digital inilah yang kemudian melahirkan sibernetika total.

Era sekarang tidak bisa lagi dipungkiri. Sistem mekanika digital yang dikupas dalam frame paradigma komputerisasi-informatik, memilih sibernetika total sebagai ruh kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya membentuk otomata seluler bersosial, politik, kesenian dan ke budayaan.

Dunia internet dipandang sebagai jaringan komputer besar dan sekaligus sebagai prosesor dari rangkaian sistem jaringan komputer global. Sedangkan rangkaian komputer-komputer kecil sebagai penyangga atau mikroprosesor internet dari rangkaian jaringan besar tersebut. Dalam sistem semacam ini, manusia baik secara individu, komunitas, negara dan peradabannya, telah menjadi obyektifitas dari subyektifitas sibernetika.

Sibernetika adalah mesin baru peradaban yang direduksi dari mesin lama. Mesin baru ini tidak lagi berbentuk mesin-mesin energi, melainkan berupa mesin-mesin informatik: pesawat telekomunikasi. Adapun kinerja sibernetik cenderung mereduksi benda-benda menjadi bit-bit informasi. Fenomena alam misalnya, direduksi menjadi proses komputasi, hukum direduksi sebagai suatu hal yang alegorial verbal. Pelebaran dari reduksionisme ulah komputer ini sampai menjurus ke wilayah psikologi yang direduksi sebagai artifisial intelegensi, serta biologi direduksi menjadi artifisial hidup semata. Sebagaimana fisika direduksi menjadi informatika, dan tidak menutup kemungkinan reduksionalisasi tersebut, bisa saja salah alamat.

Ibarat pusat cahaya peradaban, sibernetik ini memancarkan sinar ke delapan penjuru mata angin. Munculnya tehnologi google, Wi-Fi, bluetooth, infra merah, diasumsikan sebagai puncak keberhasilan sibernetika yang menyuguhkan fasilitas praktis. Disinilah secara analogi fungsi perputaran sosial. Individu, peradaban, dapat dipandang sebagai hierarki multikompleks, dimana informatika global, merubah dunia menjadi simpel dan ringkas. Hanya dengan komponen pesawat kecil dan atau ruang sebilik warnet, dunia mengecil, meringkas, yang kalau istilah orang jawa ”dunyo gedhene mung sak mrico”. Dunia ini Cuma sebesar butir merica.

Tehnologi laptop, handphone adalah perpanjangan dari sistem transistoris-mikroposesor berjenjang, yang mengakar dari sistem materialistik-mekanika dan hanya mencakup sektor biologis-sosiologis, dan teknologis saja, yang disuguhkan fihak provider. Tak heran, jika dari gejala tersebut, para seniman, budayawan tetap memberontak dalam mengantisipasi adanya ruang kesenjangan.

Dalam bilik kesenjangan inilah terjadi padatan penyerapan aneka kebutuhan, dimana proses hidup hanyalah melampaui fase-fase pendek dalam menata kelayakan. Medan akses yang disediakan provider sangatlah universal. Hal ini mempengaruhi diri pengakses untuk terserap kealam samudera maya. Keterbatasan manusia sebagai sisi lain jaringan mekanika digital, membuat manusia mengarungi belantara megacyber dari jaringan itu. Kapasitasnya yang terbatas, setelah dan akan dicetak oleh sistem pendidikan ala metode fakultatif yang non universal/ universitas, membuat manusia kepincut (terpengaruh) dengan hadirnya informasi yang sangat multidimensial. Keadaan demikian serta merta menjadikan manusia sebagai cetak biru bagi sistem komputerisasi global, yang rela menghabiskan waktunya, dan rela mempertaruhkan perangkat indera dengan berjam-jam berselancar di media maya.

Disadari atau tidak, sibernetik ini perlahan akan merubah bentuk biologis. Berjam-jam di depan komputer dapat menimbulkan gejala obevaen (perut buncit) sebagai akibat pemadatan waktu dari luas dan panjangnya gerak tubuh. Kesibukan meladeni panggilan provider, nyata menyita waktu dan aktivitas manusia untuk kepentingan yang lain. Tehnologi dengan segala perangkat aksesorisnya hadir sebagai sosok makhluk baru yang bukan dari jenis jin, malaikat, dan manusia. Namun lebih piawai merebut hati pecinta sebagai kekasih. Sementara di sisi lain, makluk baru itu akan bertanggung jawab pada siapa? Padatan waktu yang seolah harus diserap dalam sekejap hanyalah akan menjadi bogkahan batu dalam tubuh manusia, yang pada saatnya akan berbenturan saat bongkahan lain menggumpal yang sama di tubuh lain.

Sejak awal, keberangkatan sains sudah dipenuhi berbagai unsur kepentingan yang menyeretnya. Dengan fasilitas ini, seolah manusia sebagai obyek dari informatika digital, yang saling asyik menumpahkan diri dalam peleburan hasrat. Sejarah seperti menciptakan hantu-hantu bidadari berparas fatamorga. Andai percintaan itupun nyata, tetap saja tak cukup makna. Memang, tak cukup alasan untuk menafsirkan sisi positif sibernetik, tetapi sisi negatifnya selalu menjadi bentuk panjang yang akan menguntit. Kasus hangat video syur adegan sex mirip Ariel-Luna Maya, Ariel-Cut Tari sebagai bukti sisi miring yang dihasilkan fasilitas sibernetik. Kemudahan dan kebebasan mengaksesnya bukanlah sekedar memenuhi target kebutuhan, tetapi lebih dibelokkan sebagai wahana pembentukan corak kebudayaan.

Memang kasus video hot mirip Ariel-Luna Maya dan Ariel-Cut Tari bukanlah hal yang baru. Kasus Inul Daratista, beberapa tahun lalu misalnya, tidak bisa dipandang sebagai kepentingan individu. Budayawan Emha Ainun Najib menjelaskan secara implisit dalam bukunya Kyai bejo, Kyai untung, Kyai hoki (Kompas media utama hal:15) ”kalau ada makanan beracun, hendaknya jangan melotot pada makanan itu. Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang bergoyang kalau kita banting-banting makanan beracun itu”. Dari sinilah diperlukan jarak pandang lain untuk mengatasi atau sekedar mengakomodir kemungkinan-kemungkinan alternatif dari berbagai lintasan peristiwa negatif di bidang sibernika total.

Handphone dan facebook adalah dua perangkat besar kepanjangan tangan dari sibernetika. Dua perangkat ini sekaligus dari persilangan teknologi dengan mega-cyborg sebagai anak berkepala dua. Tehnologi menurunkan gen berkepala megaorganisme yang mahaluas jangkauannya, yang memungkinkan manusia di dalamnya untuk bermain ’petak umpet’, dan kepala yang lain dilahirkan dari mega-cyborg yang bernama mega mesin organik yang memungkinkan manusia mengeruk keuntungan materialis kapitalik.

Dalam sistem materialis-kapital, tidak diperhitungkan segi apapun yang menjadi akibat, kecuali laba, omzet, keuntungan. Sibernika total tak lagi memberi cela ruang untuk tidak menjadi ’pasar’ dengan mekanika penawarannya. Nilai ’baik’ dan buruk, dengan mudah dan murah dibeli. Membeli yang baik adalah keuntungan ganda bagi perdaban yang akan datang. Tetapi membeli yang ’buruk’ bagaikan menumpuk sperma onani yang digundukkan menjadi gunung, yang pada akhirnya longsor menimbun diri sendiri.

Ada alternatif untuk memilih di pasar bebas ini. Memutar video sex mirip Ariel-Luna Maya, Cut Tari, atau sms sex, pembohongan melalui facebook, bagaikan kita melihat dan mengumpulkan gerombolan ulat yang berkeliat, dengan bulu-bulunya yang gatal. Gerombolan ulat itu kemudian kita sebar ke tubuh orang lain atau tubuh kita sendiri.

PUNCAKNYA ABAD PENGECUT

Sabrank Suparno
 
Ada pergeseran metode (cara belajar) baru di jama’ah ma’iyah. Ini dapat kita tarik dari cara penyampaian Cak Nun pada forum pencerahan di berbagai tempat sebelumnya, baik Padhang Mbulan, BBW dan lain-lain. Kalau pada forum-forum sebelumnya Cak Nun dan beberapa pembicara yang hadir berpresentasi dengan dasar orientasi “kesimpulan,” tetapi sejak tertanda pengajian Padhang Mbulan tanggal 02 Nopember 2009 kemarin, pokok-pokok pembahasannya di dasarkan atas riset dari permasalahan para jama’ah.

Arek Arek nJombang

Sabrank Suparno

Rék...! iku ta séng dadi pilian arepmu. Pêngkêrak-pêngkêrék ndokor andél, riwa-riwi turut dalan, sruwat-sruwit têngah sawah, grumbal-grumbul nduk prapatan, gak luwih becik-ta, koên méngkés klambi, nyéncéng clono, ayo wésoh, silo, angên-angên pituturé embah embah biyén. Embah tau crito rék...! Léé...cong....titénono mbésok lék ono rejané jaman: Gabusé kérêm, munculé watu itêm. Kali bakal ilang kêdungé. Pasar ilang kêmlandangé.Wong wadon ilang wadhsiné-satrio gugur toponé. Wong orép koyok iwak nduk njero jublang, kabéh podo mêndhêm, kejobo seng iso mêndêm.

Titénono nduk, Arek Ayu! Lék wes ono waloh di anjang-anjangi, wong nggolék sandang pangan koyok gabah diintêri. Séng elor mlayu ngedol, seng kedol melayu ngalor. Séng etan mlayu ngulon-séng kulon mlayu ngétan. Lék ono wong iso sogéh ndadak, iku mêrgo ketiban kêmbange loh. Kediri dadi kali, Blitar dadi latar, Suroboyo dadi rowo. Lee.....iling-ilingen yo.....! Réngén contong iku, bakalé nguwoh brondong. Mulané ta rek....! ayo mékér. Mêné-mêné iki, gêdhéné menungso mék sak kêris ukir. Biyén yo wis tau dikandakno, lek bakalé ono suworo gak ono rupo.

Hé...Cong....Lé....! Orép jaman sak’iki iku wés ndrawasi, opo mané séng nduwé anak wédok koyok ancék-ancék pucuk’é êri. Ono paribasane “katés maténg, budal kémpés moleh meteng. Orep koyok iwak kénék tubo. Dadi wong tuwo yo ojo ngawor. Kudu nduwé tutur lan sémbur. Mbedugalmu lérénono, ilingo, ngéngéamu ndukur pogo.

Rek....! lek koen ancéné arek nJombang, ayo nandéng pacul, senajan Pacul Gowang. Budal nang sawah nandur pari, tambah tuwek, tambah mênték, ndiluk gak mêdhéni. Nisoré pari aké kol kondang. Cekne nduwe Tambak e Beras. Ojo dijarno têgalmu bêro. Ditanduri tebu séng iréng, mêrgo Tebu Irêng ngunu akeh gulone. Sêlo-sêlae tebu kênék gae angon wêdus. Ngênténi opo mané katéné. Mosok ngunuaé ngênténi bosok é pêndêman bêléng. Cukulé hulêk-hulêk sêmi.

Ayo po’o....turu nisor longan, lémék an mêrang bantalan sapu gêrang, mlêtêt rogo, mêpês sukmo. Awak déwé iki cekné ero umêté sosor, galéné kangkung, ndoké blêdék, usué angén. Gak eléng ta, nduk Acéh karo Jember wes ono manggar di pangan iwak wadêr. Biyen jek awakmu rupo Ruh, lak wés tau janji se karo GustiAllah, lék bakalé gêlêm ngawulo. Malah omonganmu dibundêli, di cancang nduk pojok’ané klambi. Mulyo iku gak mék kênék di bayangno. Tuwas ngênténi koyok cukulé jamur ing mongso ketigo. Jaman sak iki iku, sak bêjo bêjané wong lali, jek bêjo wong séng éléng lan waspodo. Di ati-atiae jék ciloko, opo mané séng sêmbrono.

Rek, konco-konco, piro se suwene orep iki, wong ibarate mek mamper ngombeae. Maringunu lak sembojong nduk nisor sembujo. Seng becik bakal ketitik, seng olo bakal ketoro. Kabeh bakal ngunduh wohe pakerti. Cenceng-cenceng gak worong teles, aluwung boyo dijeguri pisan. Rawe-rawe rantas, malang-malang potong. Wes kadong gelem di kongkon orep, kudu wani ngadepi lakone orep, ibarate dukur digayok, endek di jambal. Urusane duduk wani ta gak, tapi bender ta salah. Lek bender wani masio gede. Lek salah, mundur masio cilik.

Ikilho rek, aji-aji kasektenmu, rapalen. “ya hu alla....yahu alla la ila haillalloh mukhammadarrosululloh”. Sipat kodrat, dulurku papat, limo panjer, enem jagat royo, pitu seng gawe arep, disekseni dulorku seng gak kerawatan, lahir bareng sedino kakang kawah adi ari-ari, sluman,slumun, slamet, ngluruk tanpo bolo, sekti tanpo aji-aji, menang tanpo ngasorake la khaula wala kuwwata illa billah.

Lagu nJombang Jaman Biyên
Joko pénthél
Joko pêntél ela-elo ayo lo........
Lopes mambu ayo mbu.....
Mbukak tenong ayo nong........
Nongko sabrang ayo brang.........
Brangkat kaji ayo ji..........
Jimat rojo ayo jo............
Joko pêntél ela-elo....

ESAIS, TUKANG CERITA, HINGGA KRITIK SASTRA

Fahrudin Nasrulloh
http://www.sastra-indonesia.com/

Pada mulanya esai diikhtiarkan sebagai karangan tak begitu panjang, kadang bernuansa prosa, yang menyoal hal ihwal dari telusur pandang tertentu dan subyektivitas esais secara bebas (bandingkan: Ensiklopedia Britanika). Proposisi ini kemudian bergulir ke ranah estetik dunia kepenulisan lain bahwa esai “seolah” prosa, atau dimensi yogabasa (istilah Rendra dalam gagasan proses kreatif) sebagai “bagian” dari prosa. Atau penjabaran serebral pemikiran puitik dari puisi jika hal ini dianggap sebagai perjumpaan yang absah.

Apabila persepsi ini ditimbang-lanjutkan, esai dapatlah disejajarkan atau dikategorikan sebagai genre sastra tertentu; sebagaimana prosa, puisi, catatan harian, ataupun (oto)biografi. Kita pun dapat menemui dan mencermati pada sejumlah esais terkemuka kita seperti — sekedar contoh — pada esai-esai Soekarno, Hatta, Sjahrir, Goenawan Mohamad, Ahmad Wahib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, Emha Ainun Nadjib, Sindhunata, sampai Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka.

Ulasan secara spesifik perihal esai dapat kita susuri, misalnya, lewat tulisan “Esai tentang Esai”-nya Arief Budiman (majalah Horison, 1/1, 1966); “Esai: Godaan Subyektivitas”-nya Ignas Kleden (dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan terbitan Grafiti: Jakarta, 2004), atau “Membaca Esai”-nya Sapardi Djoko Damono (Jurnal Cipta, 2007). Bahkan, lebih lawas lagi, kita dapat menelisik esai-esai Montaigne (1533-1592), atau Walter Benjamin (1892-1940). Penulis yang terakhir disebut ini pernah menulis esai bertajuk, “Tukang Cerita: Renungan tentang Karya-karya Nikolai Leskov”. Tulisan ini dipandang Frank Kermode sebagai The Great Essays on Leskov, dan Peter Brooks menilai esai tersebut setaraf dengan karya penulis lain seperti Sigmund Freud dan Roland Barthes. Esai-esai Benjamin ini terkumpul dalam Illumination, Essays and Reflections yang terbit 1969 di New York.

Benjamin membabarkan ihwal karya penulis Leskov dari Rusia tersebut. Esai ihwal Leskov ini mulai dikaji ulang dan diperhitungkan 30 tahun kemudian setelah Benjamin mati bunuh diri pada 1960 di Jerman. Keunikan esai “Tukang Cerita” terletak pada kepusparagaman metafora, kembangan gagasan yang jenius dan alami, serta mendedahkan kelokan “pemikiran puitis” — meminjam istilah Octavio Paz — yang mengharukan sekaligus merangsang gairah kreatif pembaca untuk bertadabur terhadap apa yang didiskusikannya.

Tercerabutnya hasrat menulis dengan gaya bercerita secara tulus tentang kehidupan bahkan keseharian (semisal dalam aras sosial, budaya, atau keagamaan), juga lunturnya kemampuan bertukar-tangkap dengan pengalaman secara murni mengisyaratkan pada kita, tegas Benjamin, bahwa seni bercerita dalam menulis esai sedang “mendekati ajalnya” (atau sudah mati?).

Sebab tulisan — yang lazimnya ilmiah akademik — yang melulu berbalur dan terkungkung oleh data-data referensial semata dalam kajian posmodernisme sudah dianggap usang, meski dari segi kemanfaatan tetap dihargai dan bermanfaat di segala bidang kajian. Karena itu kajian ilmiah akdemis hingga “cultural studies” yang bersifat etnografis nyata-nyata telah malih menjadi mazhab tersendiri. Semisal pada lelaku penelitian-penelitian Cliffordz Geertz, Malinowski, sampai tulisan “adventurous” V. Surajprasad Naipaul dalam Among the Believers: An Islamic Journey (Alfred A. Knopf: New York, 1981). Beranjak dari paparan ini, Will Derks menganggap esai yang baik — pun tidak sekadar pada tingkatan melampaui batas kesadaran referensial — sebagai genre sastra yang berada di antara ilmu pengetahuan dan puisi.

Karenanya, spirit ide di kedalaman esai merupakan wedaran diskursif dengan piranti ilmiah dan bahan dasar “daur ulang pengetahuan” dari warisan kebudayaan manusia sampai yang tersilam sekalipun. Klaim akan “something here and something there” sebagai “yang Lain” dan bersifat estetik yang ditabalkan berharga bagi manusia (dan seni itu sendiri) pada batas tertentu adalah secebis cetusan untuk merancang ulang “citra” baru dari budaya atau seni yang dibayangkan itu.

Dari sini tukang esai yang sekaligus memiliki kepiawaian sebagai tukang cerita: ia menulis dengan kesadaran intelektual-alaminya secara maksimal mengintrusi “tata kognisi yang logis” dalam menghayati dan melakoni suatu karya bahasa, bukan sekadar “kesempurnaan logis” seperti yang disorongkan Max Weber. Di dalamnya kesadaran murni mencerna realitas dengan sejernih mungkin, keteraturan harmoni-kosmos pikiran, baik yang luput maupun yang tertangkap darinya; pada akhirnya mampu menghasilkan esai yang bisa diresap-renungi bobot dan keindahannya.

Esai barangkali pula adalah remah terkecil tapi gamblang dari puisi yang memang diniatkan berlarat-larat dari segi bentuk, penjelasan, dan gaya berceritanya. Kendati esais lumrahnya tak menyimpulkan gagasan. Ia menulis dengan kecermatan juga penghayatan akan gerak-gerik juga keluwesan pengungkapan bahasanya, dan pemikiran puitik di kedalamannya menjadi spirit yang menggerakkannya.

Sebagai misal, kita bisa menengok esai-esai Goenawan Mohamad, terkhusus dalam Catatan Pinggir. Membaca Catatan Pinggir ibarat menonton ragam epos manusia yang maha panjang, katalogus bercecabang yang seolah menampung kronik manusia (meski tak seluruhnya) yang ditulis secara piawai, menghanyutkan, ambigu, terkadang nylekit tapi kontemplatif dari seabrek persoalan mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kontroversial. Sejumlah pemikir semisal William R. Liddle, Ignas Kleden, atau Haidar Baqir (baca: Catatan Pinggir 6, terbitan Pusat Data Analisa Tempo: Jakarta, 2006) juga pernah turut mengapresiasi penulis yang juga wartawan dan penyair ini. Tentang esai-esai GM, Haidar Baqir menyebut, “Esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih kompromis dengan keruntutan alur dan sistemik, lebih telaten berargumentasi, dan — sampai batas tertentu — lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.”

Memang esai GM — meminjam Heidegger (dalam The Thinker as Poet) — bergerak dan bersenandung, “mengakar dari Ada dan mengarung ke lubuk kebenarannya.” Terasa bagai olah fikir dengan balutan renik peristiwa kehidupan yang ditulis secara puitik. Mengalun seperti lirik dan denting musik The Soft Parade (The Doors), atau Journey to Transylvania (film: Van Helsing), atau The Lonely Sheperd (film: Kill Bill). Saya cuplikkan paragraf pembuka dari esai GM berjudul U.K. (majalah Tempo, 24 Maret 2002) berikut: “Orang-orang bertanya, hari itu, di dekat makam Umar Kayam yang baru diuruk di pekuburan Karet, setelah kembang mawar ditaburkan, setelah doa selesai, setelah mereka yang datang berbela sungkawa satu demi satu pulang, setelah jenazah itu ditinggalkan dan berangsur-angsur digantikan dengan kenangan: apa yang ditinggalkan penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini? Saya tidak bisa segera menjawab, karena kalimat apa pun terlampau pendek. Sementara hari bertambah petang saya berjalan meninggalkan Tempat Pemakaman itu, dan yang saya ingat – dan yang kemudian ingin saya sebutkan – adalah sebuah deretan: Madame Slitz. Tatum. Cybill. Bawuk. Sri Sumarah. Marno. Mister Rigen. Nansiyem. Beni Prakoso. Dr. Legowo Prasojo. Lantip….”

Barangkali GM hanyalah contoh dari banyak esais Indonesia yang memilih laku “yogabasa” dengan menggunakan gaya “Tukang Cerita” Benjamin. Artinya, gaya kepenulisan esai dengan spirit bercerita dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bagi pengkaji sastra atau kritikus sastra. Bahwa kritik sastra sampai saat ini nyata-nyata tak berperan optimal sebab; pertama, banjirnya karya sastra yang berakibat telaah dan pemetaan perkembangan sastra dari waktu ke waktu menjadi mustahil dilakukan. Atau memang tak adanya karya sastra yang bermutu yang layak dikaji secara diskursif. Dan alibi yang terakhir ini kerap dijadikan kambing hitam. Susah sudah menemukan sosok HB Yassin dengan dedikasi pendokumentasian sastranya, meski di lingkup Jakarta. Atau dokumentasi sastra Ragil Suwarno Pragolapati pada tahun 70-an (zaman Persada Studi Klub) di Yogyakarta yang kini sudah sulit dilacak keberadaannya.

Kedua, gagasan Benjamin tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi esais (dengan kreativitas masing-masing) untuk membangkitkan matinya kritik sastra selama ini. Jika Budi Darma menyebut kritik sastra sebagai seni. Maka literary criticism, serta deretan istilah lain yang mendampinginya: literary study, literary theory, critical theory (Kompas, Minggu 8 Juni 2003), bagi saya, akan mernyingkapkan sekian celah kemungkinan yang lebih luas terhadap kritikus sastra yang “berjiwa seni” agar dapat dengan bebas mengeksplorasi kemampuan menulis mereka tanpa harus terjerat dalam keketatan akademik literary criticism yang ada selama ini.

Ketika esai yang dibayangkan tersebut (seperti dilukiskan Benjamin dan Will Derk) menjadi bagian penting dari sastra kita (sebagaimana yang diharapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Jurnal Cipta, 2007), tentu, dari sana diharapkan terlahir esais-esais — bukan epigon — yang dapat menyegarkan dan memberikan perubahan terhadap dinamika dunia kesusastraan kita kini dan mendatang.

Dunia Batin Sang Penyair

Fahrudin Nasrulloh

… And what are poet for in a destitute time?
(Friedrich Hölderlin, dalam “Bread and Wine”)

Seorang penyair, suatu hari, dalam senyap perenungan di ambang lengang, bertahan diamuk khayalan tak terbayangkan, diombang-ambingkan waham tentang kefanaan dirinya dan keabadian puisi-puisinya, tentang kenyataan bagaimana dirinya punah dalam rengkuhan peristiwa dan sosokan laksa kata. Betapa ia gelisah diseret bimbang. Sebaris puisi Hölderlin itu demikian mengusik hatinya. Ia menggeram sendiri, boleh jadi penyair hanya melakukan satu hal: merengkuh segala yang ada dan tiada. Saat itu, ia duduk seorang diri di atas kursi di teras rumahnya. Pandangannya kosong, gentar, kalut dalam diam, tersedak desir abu senja. Ia terus mencoba mengheningkan degup kata dan tilas makna yang kerap hadir dan lenyap begitu saja. Mungkin kata tidak memutuskan apapun. Atau sesuatu mengada ketika tidak ada kata, saat kata gagal dan lumat dalam segala hal.

Ia membayangkan semacam dunia batin para penyair yang mati muda dan, mungkin, sia-sia: Chairil Anwar, Frederico Garcia Lorca, Jim Morrison, Sylvia Plath, Sandor Petofi, Mennoster Braak, Forough Farakhzad dan Alejandra Pizarnik. Adakah para penyair ini mati dini demi suatu keyakinan? Atau sekadar membius diri dalam menjelajahi kegaiban hidup? Tampaknya segala tindakan dalam hidup tidaklah mesti membutuhkan alasan. Sepotong puisi, dari sekian puisi yang pernah ia baca (dan ia tulis), ternyata menyimpan anggur Iblis dan serigala bermata juling di dalamnya. Kendati jasad para penyair itu tak bersisa lagi jadi santapan belatung dan rayap, dengan segala kejahatan dan kebaikannya, namun puisi mereka terus bertualang, lebih hidup dari kematian dalam hidup itu sendiri, menjerat napas, mengekalkan hasrat, menyurup dan memburu apa saja dari kerawanan daya hidup manusia.

Sekilas lepas ia sadar, dirinya telah telanjur tandas menenggak candu puisi. Dan memang puisi tak harus menjadi obat kehidupan atau jampi atau khotbah bijak. Ia mungkin saja hanya ampas batin yang diterangi kemurnian panca indra atau yang meruah dari labirin kenikmatan yang melelahkan dan melongsorkan jiwa lalu disawurkan ke mata orang lain dengan setakik nubuat: inilah percik teka-teki mayapada yang tak bakal rampung ditafsirkan manusia. Dan sampai kapan pun, sebelum manusia terakhir musnah, penyair akan tetap ada dengan gelontoran sihir puisinya.

Tetapi siapakah yang membutuhkan penyair? Apakah mereka sosok suci atau pendosa yang kehilangan kesadaran murninya? Betapa, sebagai penyair, dirinya seakan berakhir sendiri, terlempar ke ranah entah.

Sejenak matanya berkilatan saat seekor gagak berkelebat menukik di tubir senja, semerta dua bulir air matanya menetes. Angin berembus malas, dan senja melambat menyambar jelang malam yang pucat. Barangkali ia terpesona diguyah gelisah khayalan dan kegamangan yang menyusup ke raganya. Namun ia kukuh bersetia mengendusi geriap puisi yang terus mengusik, di dasar karang kawah mahabahaya, meregang sendiri, hingga kematian yang menghitam tak kuasa mengheningkan nyanyian sang makhluk dalam gelapnya waktu, seperti getar demam tubuh Bertolt Brecht: “In the darkness, will there also be singing? Yes, there will be singing, about darktimes.”

Setelah itu ia terdiam, melayangkan kesadaran, mengurai sengkarut pikirannya, lalu beralih duduk di bibir jendela, tergerus selaksa bimbang dan resah, mendengarkan dengung gaib batinnya. Dan lamat-lamat, terbersit rasa sepi, secabik cermin dunia tiba-tiba menghampa, dengan seabrek ingatan, dan seleret takwil menyarang dalam benaknya: daya sihir puisi barangkali tercipta justru ketika penyair sekarat diamuk kata-kata, ketika ia bersitatap sekaligus dengan kenyataan dan mimpi, dalam guliran keajaiban peristiwa dan benda-benda.

Peristiwa dan benda-benda, dua hal yang ia tahu tak bakal kekal, dalam ingatan dan dalam ruang. Lantas, apakah dengan begitu puisi hanya memaknai ihwal yang sia-sia? Sekadar menyematkan makna pada segala omong kosong? Tetapi para penyair tetap membikin puisi, terus dan terus, dengan sekian alasan. Jadi, gerangan roh apa yang menitis dalam puisi? Sebuah puisi murni, kuasa bertenang diri, tidak menyepi atau menghambur ke keramaian dunia, tiada berhenti atau desiran maknanya jadi beku dalam kata dan waktu. Karena makna dan kata selalu bertukar tangkap dengan lepas, tak pernah terbuhul dalam satu jeratan pengertian yang mutlak. Meski hanya sementara, deburan makna hadir bak denyar yang meradangkan sekaligus menguatkan jiwa, tak merangsek menghimpit mengepung dengan limburan misteri di dalam atau di luar dirinya.

Ia merasa, mungkin dalam puisi tak ada apa-apa. Yang ada sekadar amuk gentar kepada semesta. Semesta ada, dan manusia tersesap karena membayangkan ihwalnya. Dan penyair tak lebih sekadar menorehkan jejak. Lalu lenyap. Jadi, apa yang dipertarungkan penyair hingga mati-matian melahirkan puisi? Siapa yang peduli kepadanya? Memburu apa, diburu siapa? Penyair hanya merayakan dunia dalam kata-kata dan ketidakpastian tak berhingga.

Kemudian ia beranjak menuju kursi panjang di sebelah kiri kamarnya. Dalam jeda waktu sekian lama, ia menyambar sebuah risalah sastra karya seorang kritikus. Baginya, kritikus sastra adalah sosok kanak-kanak, pesolek genit, atau badut lugu yang menari sedih di atas bangkai pikirannya sendiri, membayangkan dirinya menjadi dewa; penentu dan pewedar kerumun sabda naif terhadap mati-hidupnya puisi. Seraya berusaha meredakan kecamuk batinnya, ia mengkhayalkan unggunan gagasan yang mengamuk hebat dalam benak kritikus sastra itu. Seolah sang kritikus sastra mengomel sendiri di medan puisi yang sedang ia simak, “Wahai lidah halilintar, sambar dan lenyapkan kemabukan para penyair untuk selamanya. Sebab, sumsum kehidupan telah mereka hisap habis ke jurang maya. Mereka hidup bergelandangan di padang gurun mahaluas di mana Iblis dan malaikat bersabung mati memperebutkan takhta akhirat. Wahai kekuatan mahakala, kuburkan para penyair dalam gua lahat berkabut tanpa terang dan gelap. Aku tidak peduli lagi akan puisi mereka, dan di mataku tak ada yang lebih buruk dari itu.”

Baginya, kritikus sastra adalah penyebar wabah berjubah putih dengan segala kelancungan pikiran, melahirkan persepsi, onggokan gagasan, dan sengkarut tafsir yang meruyak lantas didesakkan menjadi kebenaran tunggal. Baik dan buruk. Mulia dan hina. Apakah mereka berpikir tentang puisi dengan cara yang sama sebagaimana orang berpikir tentang Al-Quran, Alkitab, epik akbar, atau karya-karya besar peradaban dunia (tragedi Yunani, Dante, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Li Tai Po, Goethe, Shakespeare, William Blake, dan lain-lain)? Tetapi, tak seorang pun di dunia ini kuasa bersumpah bagi dirinya sendiri bahwa dirinya abadi dalam kebenaran yang hakiki. Tak ada kebenaran. Yang ada hanyalah kilasan perenungan yang segera pudar. Ah, biarkan saja kritikus sastra bersinting ria dalam khayalan terkutuk mereka. Tercekat pekat dalam dering keheningan.

Namun kini, dunia masih saja berdenyut. Kehidupan tetap berjalan apa adanya. Dan para penyair yang masih hidup senantiasa melahirkan dan menghidupi karya-karyanya. Menziarahi cahaya batin masing-masing, menajamkan kekuatan imajinasi dan daya baca, merawat puisi dengan segenap cinta, dengan segala yang telah hilang, dengan semua kepedihan dan kebahagiaan yang tak mungkin direngkuh kembali. Di akhir perenungannya yang terdalam, sang penyair itu bergumam lirih, “Tanpa puisi dalam pikiranku, selamanya aku tak ingin hidup di antara kumpulan manusia yang menyedihkan ini.” Pandangan matanya tampak berbinar, tetapi masih saja ada keraguan yang mengganjal di benaknya. Kemudian ia membatin, ”Sebenarnya, sesuatu yang tak kuasa kupuisikan, lebih baik kujaga dalam diam.”

Suara Merdeka, 28 Agustus 2005.

Puputan Walanda Tack

Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka 24/08/2008

TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.

Sabtu, 17 Juli 2010

Geladak Sastra, Saat Menapaki Sebuah Rezim

Sabrank Suparno
 
Masih lekat dalam ingatan kita tantang partai Golkar, partai yang awalnya hanya digerakkan beberapa gelintir orang saja dan dalam waktu seumur jagung telah mampu menjadi kekuatan yang menyeluruh sebagai suatu ‘gerakan’ dari semua lapisan masyarakat. Dan kekuatan itu telah nyata ditunjukkan dengan adanya indikator tampuk kekuasaan yang mewarnai corak hegemoni wacana sosial di zamannya. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung, kekuatan itu mampu mendekami tiga perempat setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sebagai suatu Negara. Meskipun pada ahirnya juga hancur di-revolt berdasarkan kebutuhan waktu.

Mencari Titik Pusat Cahaya

Sabrank Suparno
Dimuat koran Radar Mojokerto-Jombang

Kehidupan manusia terus bergulir dan merambahi fase-fase peralihan peradaban. Seiring dengan itu, sebagai kholifah berbudaya, manusia juga terus mengembangkan kreatifitasnya untuk menyiasati target kebutuhan hidupnya yang lebih layak. Minimal relevan dengan zamannya. Untuk tujuan inilah berbagai tingkah polah dilakukan. Dari yang bernuansa “ceketer” hingga yang spektakuler. Dari sekedar jagongan di warung sampai berkonkow-konkow di gedung. Ada pula yang sekedar semrawut di stasiun, sementara yang lain malah berjingkrak-jingkrak di alun-alun.

Dari seabrek kreatifitas tersebut, kemudian ada semacam standar value untuk mengukur tingkat nilai atas kreatifitas itu sendiri. Dari sini kita dapat lontarkan pertanyaan “nyentrik”, siapa yang berkewenangan menilai seluruh “tetek mbengek” kreatifitas berkebudayaan umat manusia tersebut? Padahal sejalan dengan perkembangan zaman, kreatifitaspun semerbak menyepora penuhi bentangan samudera kehidupan. Jawabnya tentu juga sangatlah “senyentrik” pertanyannya. Yakni, proses seleksi alam semesta. Lambat laun yang bernilai bobrok pasti akan ngrogos, lapuk terkonstaminasi waktu. Perlahan-lahan yang buruk akan dicampakkan manusia dan peradaban itu sendiri, karena tidak kuat menyangga bangunan peradaban yang berlangsung. Secara yang dibutuhkan peradaban adalah kokohnya kreatifitas yang baik, yang pada akhirnya dapat hembuskan energi angin ketentraman secara kebersahajaan.

Dari ribuan bahkan jutaan ekspresi kreatifitas inilah kemudian menimbulkan buih-buih dan busa sejarah. Seberapa banyak buih dan busa tersebut? Sejumlah kreatifitas itu sendiri puing-puing dan kepingan itu terpecah. Lantas bagaimana cara kita menyikapi kreatifitas yang selama ini kita lakukan? Dalam pengajian padhang mbulan tanggal 2 Desember 2009 kemarin Cak Nun pancingkan satu peringatan, “Jama’ah ma’iyah kita ini sudah pasti tidak bernilai baik dimata pemerintahan Indonesia sekarang ! Sebab, yang pemerintah perlukan bukanlah mutu kualitas, cara berfikir masyarakat secara tepat, melainkan hanya kesenangan bercokol di kursi kekuasaan dan mengabdi pada tangan panjang perpolitikan Internasional global.” Nah, kalaupun kreatifitas jama’ah ma’iyah ini tidak bermanfaat bagi perintah, kita harus dapat menemukan titik pentingnya bagi jama’ah kita sendiri.” Pernyataan tegas Cak Nun ini dimaksudkan agar jama’ah ma’iyah khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, mampu menemukan poin-poin kemanfaatan yang dapat diambil dari gerakan pangajian ma’iyah. Kemanfaatan yang kita temukan dalam kehidupan ini disebut “pencapaian strata ma’rifat.” Yakni mengetahui serta memahami fungsi peran Alloh dalam setiap detak langkah hidup kita. Dan bukankah memang demikian kenyataannya? Bahwa tidak ada satu detikpun yang menyangkut energi kita, detak jantung, peredaran darah, suhu tubuh, serta kesadaran kita, kecuali memang dikerjakan serius oleh Alloh pada diri manusia.

Manfaat yang kita ambil dari pengajian ma’iyah ini tentulah tidak muluk-muluk berskala Nasional dan Internasional. Meskipun memang demikian yang terjadi. Tidak ada salahnya bagi jama’ah untuk mencerna kembali manfaat yang diambil dari ceramah Cak Nun dan beberapa teman yang hadir di pengajian padhang mbulan tersebut, kecuali hanya selingkup peningkatan prestasi kecil bagi diri jama’ah, anak-anak dan keluarganya. Lantas apa yang menjadi tolok ukur ke manfaat prestasi yag dicapai jama’ah ma’iyah? Kita semua tahu, bahwa hidup di negeri ini selaksa berjalan di bawah lampu temaram. Kegelapan merayap buramkan jarak pandang penduduknya. Hukum perundang-undangan nyata-nyata tidak berpihak pada rakyat jelata. Aturan yang diterapkan hanya menggemukkan penggede belaka. Dalam menyikapi ketimpangan ini Cak Nun menghimbau kepada jama’ah ma’iyah agar tetap bersikap istiqomah aqliah. Yakni teguh berpendapat pada ketapatan cara berfikir. Yang otomatis akan membuahkan konsistensi cara bersikap. Sistem pemerintahan yang berlaku sekarang seolah-olah sudah menyuguhkan makanan lezat bagi rakyatnya. Padahal kenyataannya hanyalah sekedar makanan bergizi “ceketer”. Itu pun na’asnya, rakyat di suruh mengakui bahwa makanan “ceketer” tersebut sebagai makanan lezat. Istiqomah aqliah yang dimaksud di atas adalah jama’ah ma’iyah harus tetap beranggapan bahwa makanan yang dihidangkan pemerintah selama ini tetap berkualitas rendah-dan tak bernilai seberapa. Meskipun sebagian besar rakyat Indonesia meng-idemi anjuran pemerintah. Dengan demikian jama’ah ma’iyah tetap optimis untuk mewujudkan corak pemerintahan yang haqiqi Indonesia kelak. Sebuah pemerintahan masa depan yang sungguh-sungguh mempersembahkan kelayakan bagi juragan yang diwakili amanatnya(rakyat). Pemerintahan yang serta merta menendang jauh bola kelakar utopia. Pemerintahan yang bahu membahu menggelar tayangan layar, bahwa Indonesia adalah negara penggalan surga.

Untuk menggambarkan seberapa besar daya resultasi kreatifitas terhadap kebenaran yang kemudian memecahkan kepingan puing, buih, busa dan sampah dalam setiap “perkembangan” peradaban, marilah kita tarik contoh analog yang jelas. Seperti biasanya rutinitas pengajian padhang mbulan di Menturo Sumobito Jombang diawali dengan pendadaran tafsir Al-qur’an secara tekstual oleh Drs. Ahmad Fuad Efendi (panggil cak Fuad : red). Kakak tertua budayawan kondang Emha Ainun Nadjib itu memaparkan tafsir surat Al-Fajr. Al-Fajr adalah salah satu surat Makiyah dengan ayat-ayat pendek. Dalam surat ini Alloh banyak memakai awalan kata dengan wawul qosmi, salah satu huruf ‘jer’ yang digunakan Alloh untuk bersumpah terhadap suatu masalah yang kadarnya dipandang serius dan sungguh-sungguh diperhatikan. Ayat 1-5 , Alloh seperti ingin menggempur sesuatu. Sesuatu yang remeh dan seringkali disepelehkan manusia. Sedangkan ayat 6 sampai selesai merupakan umpatan kilas balik 180°,target sektoral nyata peradaban sekarang. Cak Fuad menyingkap secara lebar serentetan artikulasi berkesinambungan ayat-ayatnya. Sebagai contoh kasus, diangkatlah cerita keberadaan Kaum Aad. Salah satu kaum besar yang dihancurkan Alloh dengan Maha bersumpahnya. Kaum Aad disinyalir dahulu berada di sekitaran Yaman. Kebesaran Kaum Aad ini dihancurkan Alloh dengan metode hembusan badai angin dingin selama tujuh malam delapan hari. Kaum Aad disebut kaum besar karena tingkat peradabannya sudah bertaraf pembangunan gedung-gedung mencakar langit. Bahkan gedung-gedung tinggi itu belum pernah disamai oleh gedung-gedung yang dibangun abad sekarang ini. Seberapa sih tinggi gedung-gedung yang menjulang di Pentagon, Richalten, Garden Palace dan beberapa mall besar di Jakarta? Tentu belumlah sebanding. Sebab diceritakan dalam Al-qur’an tentu bukanlah hal yang sepeleh (Al-Fajr : 7 : 8).

Teknologi masa lalu juga ditamsilkan sejarah keberadaan Kaum Tsamut. Kaum Tsamut diperkirakan berdomisili disekitaran Syam. Kebesaran kaum Tsamut di anugerahi kecanggihan kreatifitas pemecah batu. Tentu Kaum Tsamut juga merancang mesin-mesin megaraksasa pemecah batu yang dilengkapi eskapator. Keperkasaan Kaum Tsamut ini kemudian dihancurkan Alloh dengan metode parade petir yang menyambar-nyambar. Petir dengan kilatan api yang menyala-nyala. Petir dengan hulu ledak yang tak terkirakan yang berpotensi meluluh lantahkan setiap peralatan.

Dari tafsir tekstual Cak Fuad inilah kemudian Cak Nun merespon ayat-ayat tesebut secara kontekstual. Cerita maha dasyat dalam Al-qur’an itu di tarik Cak Fuad garis hubungnya dengan pemahaman paradigma keilmuan abad milenium
sekarang ini. Abad dimana seluruh kurikulum pendidikan dari Play Group sampai Perguruan Tinggi, gencar menggembor-gemborkan wacana peradaban paling mutakhir. Zaman dimana semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, dipahami semakin profesional pula cara pandang hidupnya. “Apakah ada institusi kelembagaan di Indonesia dan dunia yang mengakui kebenaran teknologi Kaum Aad dan Kaum Tsamut?” Tanya Cak Nun menganalisa. Pertanyaan parsyal ini di jawab longokan sekitar 400 jama’ah pengajian yang hadir. Jama’ah yang 80% diantaranya adalah para mahasiswa dari berbagai Perguruan Yinggi di Jawa Timur.

Al-qur’an sudah barang tentu kebenarannya. Saklek, paten dan absolut sebagai serapan sumber menu makanan rohaniah bagi pemeluknya. Sebelum kemudian di olah menjadi bermacam-macam hidangan istimewa. Jikalau kemudian ada pihak yang alergi dengan makanan istimewa itu, maka yang perlu dipertanyakan adalah kadar zat makanannya? Ataukah konsumernya.

Kita tidak perlu menuding apa dan siapa. Tetapi apa saja dan siapa saja yang tidak mempercayai bahwa peradaban zaman Kaum Aad dan Tsamut jauh lebih tinggi dan cendikia dari pada dunia profesionalisme kita sekarang ini, maka sesungguhnya hal itu hanyalah kreatifitas atheis belaka. Tidak tanggung-tanggung dan hanya berskala kecil pementasan perilaku atheis diperadaban sekarang ini. Tetapi selaksa derama kolosal yang tak menyisahkan cela dan cerca setiap ruang hidup. Untuk mengakui bahwa dirinya garda terdepan penyibak sains dan teknologi, diperankanlah berbagai lakon teatrikal: Enterpreneur, profesional Muda, Para Cerdik-Cendekia dan segala macam tetek mbengek diusung sebagai background utama. Naskah naskah juga disusun sebagai bahan makalah presentasi ilmiah, dikemas dalam paket berbagai frame diskusi, workshop, seminars sarasehan pelatihan, sebagai bahan saji. Tak urung juga bersemaraknya spora jamur fakultas dan perkuliahannya.

Belumlah terlambat bagi kita waktu untuk sekedar bertanya pada diri sendiri, apakah tentang kreatifitas kita semua dalam kaitanya dengan ini, kita mampu menemukan satu titik kemanfaatan atas kiprah kita di tengah ganesa, dan bukankah selama ini yang kita lakukan hanyalah sekedar membangun dan membesarkan diri kita, pandangan mengenai diri kita, dihadapan diri kita sendiri. Dan belum pernah memercusuarkan kerendahan diri untuk mengakui keterlibatan Tuhan secara serius atas setiap lekuk kehidupan.

Jumat, 16 Juli 2010

Tentang Penyair dan Penyakit Puisi

Fahrudin Nasrulloh*

Apa hebatnya puisi sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi. Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write must prove to me that it desires me. This proof exists: it is writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text. Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak mungkin direngkuh kembali.

Dua Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok, 2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”. Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,” katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair berantakan seperti Afrizal.

Daya hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar “puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat, kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan “tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun “jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi mereka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/ kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/ di Seluruh jarak dengan mati/ ……

Tampak pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/ tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu….

Menggobang dalam tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang telah dituliskannya, “little by little words will finishme”.

Dua penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis. Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian. Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan.

Jika dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya? Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku? Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno? Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi “emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami penyakitnya dan kembaranya sendiri.

Dan semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab “kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak ada lagi di warung kopi.

-----
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

** Disampaikan dalam Halte Sastra,
Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas
dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu
Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib.

Kegagalan Replikasi Budaya Gajah Mada

Oleh:Sabrank Suparno
Dimuat Koran Radar Mojokerto
tanggal 12 September 2010.

Monumen Hitler

Dachau adalah sebuah kota kecil di Negara bagian Bavaria Jerman yang letaknya tidak jauh dari kota Muenchen. Di Dachau inilah dibangun monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia ke dua. Dachau ini disinyalir sebagai kamp konsentrasi Hitler saat melancarkan aksi keberingasannya membasmi ribuan nyawa manusia. Hitler dan Robot Eskapator Raksasa NAZI yang kejam menyayat, mengiris, menghunus, mengalirkan darah, mencekik nafas, bahkan mengakhiri denyut jantung manusia. Hitler memosisikan dirinya sebagai saingan Tuhan yang berhak membabat harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai manusia.

Ada dua titik poin mendasar dari gerakan Hitler tersebut: 1. Harus ada (diperlukan) tumbal kemanusiaan untuk menguatkan eksistensi misinya. 2. Kebuntuan atas kekerdilannya yang tidak menemukan cara radikal yang lebih proporsional demi menyelamatkan’nyawa’sesama manusia.

Hitler tidak menyangka bahwa generasi sebubar Perang Dunia II adalah generasi yang menyadari bahwa sistem kekerasan dan penghancuran massal bukanlah cara yang tepat dan prospektif dalam menata peradaban mendatang. Generasi yang memahami bahwa kegagalan peradaban diawali dari peletakan batu pertama-kekerasan-sebagai dasar pondasi. Sedangkan, seri berikutnya dari kekerasan pastilah ‘dendam’ yang menggelembungkan traumatisasi dari masa lampau. Tidak heran jika kemudian pada monumen Dachau, disematkan ’pemeo’ ujaran ‘Never Again’ (jangan terulang lagi). Diharapkan kata ’Never Again’ dapat dibaca berulang-ulang kali oleh generasi masa depan, sebagai tanda penghentian pembunuhan masal sesama manusia.

Tentu saja kata ’Never Again’ tersebut tidak sekedar dipahami artifisial deskriptif atas normalitas faktual, tetapi lebih ke pemahaman espektasi yang menyimpan voltase masa depan.

Gelombang yang sama dengan volume padatan Hitler, terus terulang-ulang di Indonesia. Kasus kerusuhan Makasar, Periok, dan Mojokerto adalah penanda terbaru dari gelombang anarkisme Hitler.

Dalam skub wilayah kecil, yang barangkali kalibernya hanya setaraf ‘RT’ Mojokerto dan ‘RT’ Jombang, jika dipandang dari eskalasi perpolitikan Indonesia, ternyata tidak mampu membaca wacana ‘budaya arus balik’ dari tonggak Never Againnya monumen Dachau. Budaya anarkisme masih menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan masalah.

Mengamati kasuistik “Jum’at Membara”, kerusuhan Mojokerto tanggal 21 Mei lalu, yang berhubungan dengan pilkada Senin 7 Juni 2010 kemarin, sebagai manifestasi replikasi budaya Hitler. Meski tak jatuh korban, namun tayangan yang menghadirkan berbagai lintasan peristiwa pembakaran mobil, bangunan porak-poranda, dan amuk massa adalah cermin kegagalan awal terbangunnya peradaban.

Tentu kita tidak mengecam ‘apa’ dan ‘siapa’ dibalik aktor kebrutalan massa tersebut. Namun di antara beberapa kepentingan pasti menghalalkan segala cara untuk menjegal lawan.

Ribuan kali sesungguhnya kita menonton adegan film yang sama ketika berita dekadansi moral diputar ulang dalam tayangan berita televisi. Alhasil, kerusakan yang ditargetkan, adalah tagihan kausalitas dari sistem perekonomian yang tidak barokah. Sedangkan penerapan sistem yang tidak barokah pasti mempunyai ending cerita yang memusnahkan harta, benda, nyawa, atau sekedar keharmonisan peradaban yang kita bangun.

Kegagalan Replikasi Gajah Mada

Secara kultur historis, Mojokerto, Jombang adalah satu rumpun budaya yang sama. Di tanah inilah lahir pemimpin bangsa Majapahit yang kekondangannya mercusuar hampir mencapai duapertiga belahan bumi. Ironi sekali jika pada titik awal milenium kedua sekarang, Mojokerto yang dipandang sebagai ’Empu Nusantara’, (per-empu-an) yang melahirkan anak bangsa dari rahim kebesaran dan kebijakan Sumpah Palapa Gajah Mada, tidak mampu atau gagal menjadi referensi bagi kemuliaan umat manusia. Sedangkan bagi Majapahit, Indonesia adalah salah satu anak bangsa yang dilahirkannya tahun 1945 kemarin sore. Ibarat ‘Sang Kakek’, tentu wilayah yang dituakan ini mampu mengajari dan memberi contoh bagi peradapan Indonesia kedepan. Dan bukan sebaliknya. Betapa memalukan sebagai empu, Mojokerto - Jombang masih memilih praktek kerusuhan massal sebagai alternatif penyelesaian masalah. Padahal anarkisme massa, siapapun yang terlibat tidak lebih dari serendah-rendahnya derajat dan seremeh-recehnya cara bersikap. Meskipun jika dirunut, tentu rujukan awalnya adalah sifat ’kefakirmiskinan’ para pejabat yang tak sanggup melumpuhkan ambisi dirinya.

Kapan di area kecil Mojokerto - Jombang ini akan dibangun monumen ’Never Again’ oleh semua pihak terkait, dari pajabat, aparat, seniman, budayawan dan rakyat jelata? Penghadiran suasana entitas baru yang diperlukan penghuni ruangnya, serta menanggalkan keterulangan peristiwa negatif.

Yang negatif dari hal yang negatif adalah: kematian, bukan kematian itu sendiri, tetapi ‘mati’. Mati sudah pasti adanya sebagai suatu takdir, yang tidak dijemput pun sudah pasti datang waktunya. Tetapi kematian adalah proses sulit menuju mati. Betapa tolol jika ‘kedudukan kita’ hanya kita gunakan untuk meninggalkan traumatisasi pada setiap lembar peralihan sejarah.

Kekondangan Majapahit yang sampai ke semenanjung Madagaskar, dirambah oleh Gajah Mada dengan sistem politik kemitraannya. Dengan semboyan ”menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo, sekti tanpo aji-aji”, membuktikan betapa Gajah Mada adalah ‘sosok embahmu’ yang berjiwa bukan sekedar baik dan benar, melainkan mulia.

Sejauh ini kita hanya mampu melahirkan kegagalan sejarah umat manusia dalam mereplikasikan kebaikan, kebersahajan, ketertataan ke-peradabannya. Sehingga yang sanggup kita bangun hanyalah: kehidupan cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, dan moral cacat.

Sebagaimana generasi pasca Perang Dunia II, kita adalah generasi pasca kegagalan reformasi, yang ‘muak’ dengan cara berfikir orang tua yang terus mengajari perilaku buruk bagi sejarah masa depannya. Dengan memahami konsep kegagalan replikasi yang diguratkan pada gapura Never Again, percayalah! Kami adalah generasi yang sedang mempersiapkan cara bersikap baru yang tidak mampu dan atau belum mampu dirumuskan oleh para pejabat sekarang dalam menciptakan peradaban damai.

Kamis, 15 Juli 2010

KOMA; KEGELISAHAN DALAM PESANTREN

Siti Sa’adah*

Tidak ada tindakan nyata lahir dari pikiran kosong, karena lelaku mengusung semangatnya sendiri. Begitulah Pekan Tadarus Sastra yang digagas oleh Komunitas Pena (KOMA) dari ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

KOMA lahir pada 14 Februari 2007 dari kegelisahan para santri mengenai kepenulisan di pondok serta dorongan membentuk wadah untuk menyalurkan kreatifitas di lingkungan pondok. Saat itu sekitar tujuh santri putra yang bergerak, biasanya nongkrong ngopi bersama sambil diskusi serta saling memotivasi untuk berkarya.

Saat ini tercatat 35 anggota resmi, diketuai oleh Roihan Arif Prambudi siswa kelas satu MA. Bisa dibilang KOMA cukup berani dengan pemimpin yang relatif muda. Menurut Shomad “sesepuh” komunitas, ini merupakan pengaderan kepada adik-adik junior sekaligus pembelajaran. Adapun agenda rutin KOMA adalah menerbitkan buletin Koma yang digarap secara bergilir tiap edisinya oleh santri putra dan putri.

Jika bulan ini digarap oleh santri putra maka bulan depan giliran santri puntri, begitu seterusnya. Saya kira ini merupakan contoh manajemen keredaksian alternatif yang bisa ditiru ponpes lain, intensitas pertemuan santri putra-putri yang lazimnya dibatasi tetap terkontrol, namun agenda tetap bisa berjalan lancar, dan kreatifitas tetap tersalurkan. Ada pula anak kegiatan yang dinaungi KOMA yaitu pecinta alam Tripala, hadroh Al-Ishlah, serta teater Palsu.

Pekan Tadarus Sastra pada 20 - 24 Juni 2010 yang bertempat di Aula MTs Plus Bahrul Ulum ini menggelar bedah novel Sepasang Sayap di Punggungmu karya Mangun Kuncoro. Pada 22 Juni bedah buku antologi puisi Mazhab Kutub karya para penyair muda Jogjakarta yang terhimpun dalam komunitas Kutub. Sedangkan 24 Juni bedah buku Biografi KH. Wahib Wahab; mobilitas dan Komitmen Perjuangannya oleh Faizun, M.Pd

Sepasang Sayap di Punggungmu lahir dari proses kreatif Mangun Kuncoro yang lahir di Bengkulu, 9 September 1990 selama satu tahun bergiat di KOMA, saat ini sedang menempuh kuliah semester empat di STIT Tambakberas. Dalam novel ini, Mangun mengisahkan seorang pengamen jalanan bernama Fatan yang jatuh bangun mencari jati diri dan arti kehidupan dalam arus hidup yang tidak menentu, berpindah dari satu tempat ketempat yang baru dan asing. Sampai dia ditemui sosok asing yang menunjukkan tiga keajaiban, dan keajaiban itu bisa membuka jalan pikiran mengenai keindahan hidup dan menjadikannya lebih bersyukur.

Begitu mendapat pertanyaan mengenai proses kreatifnya, Mangun menuturkan selama ini dia berusaha mengalahkan diri sendiri, karena musuh terbesar adalah nafsu diri. Tiap hari setelah mengabdi di ndalem kyai, dia meluangkan waktu dua jam untuk menulis, entah pada jam yang ditentukannya itu ada ide sedang berkecamuk dalam pikirannya dan tidak sabar untuk dimuntahkan dalam kata-kata atau tidak ada sama sekali, yang pasti harus menulis. Akhirnya kedisiplinanlah yang bisa menuntun novel perdananya ini rampung.

Rahmad Sularso Nh. dari komunitas Gubuk Liat, mantan ketua HMP Bahtra Indonesia STKIP PGRI Jombang, cukup antusias menyambut acara sastra di ponpes serta lahirnya novel karya santri ini, semoga bisa menginspirasi serta memotivasi orang lain. Sedangkan Muhammad Ali Fakih dari Kutub menuturkan masih ada pameo orang pesantren tidak bisa menulis, atau bisa menulis setelah keluar dari pondok. Padahal begitu banyak khasanah pesantren yang bisa dituang-abadikan oleh santri dalam tulisan.

Sedangkan bedah buku antologi puisi Mazhab Kutub yang diterbitkan Pustaka Pujangga Lamongan ini menghadirkan beberapa penulisnya yang sedang mondok di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang didirikan almarhum Zainal Arifin Thoha yaitu M.Ali Fakih, M. Alif Mahmudi, Heri Kurniawan Miftahul Huda. Adapun penulis antologi ini adalah Matroni El Moezany, Ahmad Muchlis Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfiyan Harfi, Muhamad Ali Fakih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Barnando J. Sujipto, Muhammad Alif Mahmudi, Salman Rusydie Anwar, dan AF Denar Daniar.

Mengenai judul nyentrik dan menggelitik Mazhab Kutub yang seperti hendak mencuatkan mazhab sastra baru, Fahrudin Nasrulloh penggiat komunitas Lembah Pring Jombang dalam pengantar buku ini menulis ”Barangkali “kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi “Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggeletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan”. Empat belas penyair ini memang ditempa oleh Gus Zainal saat masih hidup untuk mandiri dan terus berproses kreatif, dan oleh Fahrudin mereka disebut anak-anak sejarah Gus Zainal.

Kegelisahan tidak berhenti melanda santri saja, Faizun M.Pd. ustadz di ponpes BU yang juga dosen STKIP PGRI Jombang prodi Bahasa dan Sastra Indonesia juga tergerak untuk menulis buku Biografi KH. Wahib Wahab; mobilitas dan Komitmen Perjuangannya. Salah satu motivasi menulis biografi ini karena masih minimnya literatur tentang KH. Wahib Wahab putra KH. Wahab Hasbulloh, padahal Kyai Wahib memiliki jasa besar atas Negara dan Islam di Indonesia khususnya atas Nahdhotul Ulama. Beliau meniatkan semoga kepenulisannya bisa memacu santri dan mahasiswanya untuk menulis.

Kegiatan menggelitik baik bagi santri maupun bukan semacam ini semoga tetap eksis dan berkembang, baik di luar maupun di lingkungan pesantren sehingga menjadi wadah berkumpulnya penulis dan peminat sastra sehingga bisa terjalin hubungan baik antar individu maupun komunitas untuk perkembangan dunia kepenulisan di Jombang. Semoga.

*) Siti Sa’adah, bergiat di komunitas PSK (Penggila Sastra Kopi) Jombang dan FSJ [Forum Sastra Jombang]

Bobok Suruh Bodeh

Sabrank Suparno*

Emboh yok opo nalare, ora ono udan, ora ono angin, bledek koyok nyamber-nyamber ndukure omah. Padahal titimongso ketigo. Atine Sumini koyok diremet-remet lugute galéng campur uyah. Ora koyok-koyo’o uripe. Ibarate ndunyo kate kiamat. Srengengene mudun tambah mendek nduk nduwure ndas. Wit-witan podo kobong. Lemahe marong nyemomong abang mbranang. Howo kiwo tengene Sumini kroso panas. Sak ben tleraman kedipe moto dadi koyok munclak-munclak’e mowo. Ono paribasan, panase srengenge disonggo wong akeh, tapi panase ati disonggo dewe-dewe.

Wes sepuluh tahun suwene Sumini orep bebrayan karo Cak Sriono. Gak ono duso, gak ono perkoro. Pancene atine Sumini kadang rondok tratapan lek nyawang anak wedhok loro karone. Warti seng umur 9 tahun, ambek Saripah seng umur 7 tahun. Warti lan Saripah kaet cilik uripe lewung. Emboh salah opone. Gak dirumat dino becike, ta kurang jangkep uborampene. Kok sampek ngunu kedadeane. Barang wes kadung kate diapakno. Bubur gak bakal balek dadi sego. Kadung lahir rupo menungso mosok kate dibalekno nang guo garbane emakne. Senajan ngunu, atine Sumini jek tumeko. Tegel ngadepine. Dikapakno ae seng jenenge anak iku pancet daging getene wong tuo. Asale kroso enak, moro-moro dadi anak. Onok’e anak iku pancen asale olehe gawe yo enak.

Demit opo seng ngranjingi Sumini. Kok sampek koyok ngene iki kedadeane. Ono rong wulan iki Cak Sriono jarang moleh. Roso tresno lan welas asihe marang anak bojone asat saknaliko. Ora mili maneh teko pupuk punjere dodone Cak Sriono. Opo maneh duwek koyone nyambut gawe malah gak tau mampir ngusapi gembremete telapaan tangane Sumini. Mesti ae nggarakno jatae blonjo koter keteter-teter. Tanggung jawabe Cak Sriono molai luntur. Jawabane jek ono, tapi tanggungane kabur kawusanane. Cak Sriono yo wes gak tau nggatekno. Masio koncone seng jenenge Cak Pi’i gelek nyemoni. Jarene Cak Pi’i, “lek nang Jombang mampiro Sengon/ lemah geneng akeh wedhine/ lek gak sambang kirimo ingon/ lek gak seneng opo mestine.”

Mbok menowo mari nglangkai oyote mimang. Pikirane Cak Sriono melang-melung. Sewek kawung bedah pinggire, atine lewung owah pikire. Kahanan iki kepetong sakjeke Cak Sriono riwa-riwi nang Tangkés Kali Bengawan. Tangkés seng sak ben bengi dienggoni gembrumbul poro lonte, senuk, utowo ondolan. Jalaran ondolan, rupane Cak Sriono kesebet bokong semoke. Langganan rutine Cak Sriono seng jenenge Sablah senajan gak ayu tapi luweh semlohe tinimbang Sumini. Mesti ae irunge Cak Sriono seng pancene nyonyo két bujang mekrok maneh. Mblenger disuguhi lodeh, rupane Cak Sriono kepingin ngrasakno liyane. Ono seng rawon, soto, gule, lan kare. “Sri Sri, biyen ketok opo, sak iki ketok opo. Biyen seneng, sak iki ngendeng. Lek niate njajan nang warung, bungkuse buwak’en ae. Ojo digowo moleh. Lek mari mangan ajange balekno,” kandane Cak Pi’i.. Mutung cendek alias negesnoe Cak Pi’i nambahi, “Mosok uwong kok ngenteni dikandani, gak iso ngandani awake dewe ta!”

Gak nerimakno digremengi, Cak Sriono mulai mbukak cangkeme, ngobah ilate, “I, P’i, aku nduk omah iku gak tau digatekno. Mangan ta gorong, mole ta gak, pegel ta ora. Kathek bojoku lek tak jaluki, mesti sambatan pegel. Opo maneh rasane seje, turu lek ambek bojo iku rasane koyok ambek dulur dewe.” Senajan salah, rupane Cak Sriono tetep nduwe alasan mbelo awake dewe. Sepur ono stasiune, tapi omongane Cak Sriono nyecret koyok maling kuyuan. Luweh mandes maneh nduk pungkasane omongan. Mari ngomongno iku ketoke Cak Sriono lego. Omongane nggenah karo tolah-toleh lan dipungkasi ngguyu njekakak, “Lek ambek Sablah iku I, iso digawe model sembarang kalér. Lek Sumini, gak gelem.” Sawangane ndlolat-ndlolet, gak disongko Cak Sriono tibak’e doyan nggawe model. Cak Pi’i godek-godek. Tlapakane nebas dodo. Batine Cak Pi’i, bojo mosok digladrah. Gak wurungo lek bejat yo repot ndandakno. “Kebone tonggo iku mesti ketok luweh mrajak, timbang kebone dewe. Engkok lek wes nduk kebone tonggo, ganti kebone dewe mau seng ketok luweh ijo. Orep iku sawang sinawang. Podo karo klantheng iku, lho. Masio abang, ijo, kuning, rasane podo ae. Seng gulo e akeh bedho legine,” jlentreh Cak Pi’i.

Soyo suwe Cak Sriono soyo raket karo Sablah. Pancen tresno nggarakno kelet. Sablah gelek diendang-endeng liwat ngarepe Sumini. Nang endi ae Sablah kecandak kecangkeng. Malah kabare wes rong minggu iki Cak Sriono kawin siri karo Sablah.

Cak Sriono ngguya-ngguyu, cengengas-cengenges. Gak mek Sablah thok seng ditunggangi, tapi sepeda montore seng anyar yo ditumpak’i. Masalah nyicil kriditan sing ben wulan dipikir mburi. Jare panas-panase srengenge, tapi mbulane luweh panas mergo duwek anakan diterjang ae.

Asal-usule Cak Sriono cuma langganan biasa munggu e Sablah. Gak bedo langganan liyane. Seng duwike muprul ambek Sablah, digoyang diluk, rontok sak suwal-suwale. Goyangan seng ampang tanpo asmoro. Carane Sablah ngladeni pelanggan nganggo rumus: ono duwek ono rupo. Dikiro lek Cak Sriono duwike gamo, gak rugi lek Sablah sak ben wulan nganyarno jopomontro, supoyo Cak Sriono gak ocol nang wong wedhok liyo. Opo maneh lek mek mbéngungno pikirane Cak Sriono, Sablah karek ngucut kartu lentrek, diumet-umetno, didingkek sak njerone kecuk kenci lan babi.

Sablah kaet cilik uripe soro. Isuk sarapan, gorong mesti sore kemplokan sego. Mulane ora maidho. Sak jege ero rasane golek duwek dadi begenggek, Sablah gak kepalang tanggung. Gemrengseng kebutuhane. Umep munclak-munclak nduk mbun-mbunane. Ilate lemes gae nglumpuhno kolomongso. Lhawong lambe seng nisor ae gak iso njogo, opo maneh lambe seng nduwur. Kecepét nasib beketut tahun ndadekno Sablah gibras-gibras. Ojo sampek orep nduk ndunyo pisan iki, kepinginane gak keturutan. Tonggo iso tuku opo ae, munggu e Sablah kudu iso ngembari. Jalaran soko ngunu iku, Sablah jungkir-walik ngedol awake. Cak Sriono karo poro langganane mesti diperes dompete.

Roto-roto seng kenal Sablah akeh kepincute. Ngulese omongan alus koyok jolosutro. Sak ben korbane dicekoki ulekan bobok telung perkoro. Sepisan, dukune dimaekno. Kaping pindo lentrek diumetno. Lha terahire, awake yo disingsetno. Sasate sakbendino, Sablah ngracik ramuan terus diulek lembut. Ono seng rupo gambir, suruh bodeh, lan godong luntas, supoyo langanane bah sugih bah mlarat terus awe-awe. Kembang suruh nguwohe keneki mbuh gak ero, seng penting pokok e tuntas. Lha mergo bobok’e Sablah iki, wong koyok Cak Sriono, congkrah rumah tanggane.
----

Sabrank Suparno, penulis cerpen, cerkak, esai, dan puisi. Bergiat pula di Lincak Sastra Dowong. Beralamat di Dusun Dowong. Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Email; sabrank_bre@yahoo.com
Hp: 081-359-913-627

L A Y A N G K U M I T I R

Sabrank Suparno

Dek! Wong Ayu seng dadi pepujaning atiku
Opo sampean jek eleng nalikane riyoyo Capgomek karo Micingan
Udan nrecek ket isuk, langite peteng ndedet. Kandele mendung
nyengetno birune langit nduk irenge angkoso. Semunu ugo
srengngenge isin nyawang dino, ojok kok maneh raine, angete-ae
gak gelem ngeter-no.

Dek! abot aboti kapingin methuk-i awakmu, udan, gerimis gak
tak gatekno. Nang prapatan Rengen Contong kunu sakben sloso kliwon
awakdewe ketemu. Mlakuku koyok iline banyu. Walehku ilang,
koyok ilange srengenge. Karepku gembrojok bareng mudune banyu udan

Dek ! sak piro se adoe nJombang munggue awakku. Gak sepiro pokok-e iso
nyawang netramu, ngrungok-no guyumu, ngrasakno jiwitamu. Lak jek adoh-adoe
Pangklungan-Pojok Klitik ta. Utowo Mojoagung-Bandar Kedung Mulyo, opomane lek mung Gunung Pucangan-Ngoro- Badang. Ejek cidek atiku karo atimu.

Ancene tresno iku ndadekno ndunyo iki mek sak godong kelor…..
Ancene asmoro iku ndadekno bumi iki cilik mek sak bundere mrico

Kadang aku curigo karo udan Dek! Mesti guyang dalanku, naliko aku budal mbanyoni tanduran tresnoku, aku yo curigo marang gremes seng mesti nelesi rambut lan klambiku naliko aku budal nyirami cukul lan semine tresnomu. Aku yo curigo karo mendung, meneng-meneng nyiapi banyu gawe mrajak’e kembang lan panene tresnoku.

Dek! Jan-jane sampean iku dudu wong wedok. Mergo blegermu teko pucuk-e rambut sampek pucuk-e kuku, iku kedaden soko igo wekasku seng kiwo. Sampean iku yo aku iki, Cuma mendho-mendho dadi awakmu. Mulo dek, ngadek nduk ngarepku, koyok aku ngdek ndok ngarepe koco. Aku gak ndelok awakmu, nanging nyawang awakku dewe. Nglarani awakmu podo karo nglarani awakku dewe. Semunu ugo nresnani awakmu podo karo nresnani awakku dewe.

Dek ! koyok-koyok saben Capgomek karo Micingan, langit semayan karo bumi lek bakale ngadakno pesta udan sedino muput. Kebyugane banyu udan ndrewes ngusapi wedak pupurmu. Kloncom nelesi rambutmu. Wiih……tanpo wedak seng mbok poles nduk praupanmu, ayumu tambah ketok asline. Suthupe mripatmu, jeglonge pacek nduk pipimu, nyatise janggutmu, aku kesengsem karo semurune kulitmu.

Tapi Dek ! gak mergo ayumu aku seneng awakmu, tapi mergo sampean solikha. Lek wong ayu ngunu akeh tungale, wong ayu bakal nglakoni opoae gae nutupi ayune. Tapi lek wong solekha mesti apik kelakoane.

Dek, lek sampean meneng, atiku sumpek, mestine sampean ngomong nang aku, lek aku salah, salahku opo, aku cek gak iwuh dek dadi wong lanang, gak enak dek di sawang tonggo, kok sawangane gak iso mimpin wong wedok. Dek! lek cahyane suryo madangi dino iki, iku duduk panas seng kesentrong dino iki. Nanging cahyo iki wes kepanjer mayuto-yuto tahun kepungkur, kaet tumeko sak iki. Semunu ngo sampean lan aku, jejodoan iki wes katitah nalikane ono ing alam suroloyo kepungkur. Ake-e ma-ewu ewe lembar godong rengen iki, tansah ngenteni kapan ndewe mesti ketemu. Semunu ugo ngadek lan jejeg-e wet rengen iku, minongko piwulang kuwat jejeg lan tresno sampean karo aku.

Bojo iku duduk buruh utowo budak seng kudu tak kongkon sak karepe atiku. Nanging bojo iku konco, seng mesti tak ajak rundingan ngadepi opo ae.

Dek. Gak pethuk awakmu sedino rasane koyok patung ketigo gak pethuk seminggu rasane koyok sewindu. Kamongko limang rendeng kepungkur sampean pamit marang aku, lek bakal oleh beasiswa nang Boenes Eries Argentina. Gak trimo udan seng deres, banyu motomu yo mbrebes mili. Suworomu serak, tangismu mbesesek. Sesek ambekanku saking rapete rangkulanmu. Sirahmu kok templekno nduk dodoku, koyok-koyok ngrogoh jantung atiku, gegayut kapercayanku sak suwene ngenteni awakmu. Rengen Contong melu nangis. Banyu elue dredes pating tumetes. Kulite kayu yo koco-koco. Kahanan seng koyo ngunu iku, ndadekno sumedot rasane atiku. Seblak-seblak dek

Nanging dikapakno ae aku iki wong lanang. Kudu iso njembarno dodoku, madhangno mulek-mulek’e atimu. Dek westa, ayo janji minongko dadi gandolane ati. Sak liayane janji iki di sakseni udan gerimis karo blegere Rengen Contong. Yo ayo di bundeli nduk pojok ane klambi. Kanggoku Dek, ora ono sembodo-ku dadi wong lanang lek aku gak iso ndukung cita-citamu. Mung cekelen weling-ku iki. Senajan arep nduk monco negoro ojolali lek awakmu iku Wong Jowo. Tengerane Wong Jowo iku wong seng iso lungguh silo. Jalaran silo iku ndadekno wong jowo nduwe wibowo. Diwedheni tur di sungkani. Lek wong monco Dek! gak iso silo, yo gak duwe wibowo. Empakno toto kromomu nduk negorone wong liyo, iku minongko tepo seliro, tepo = tepak, sliro = awak. Arep opoae seng sakmestine, ojo ngleset, yo ojo metingkrang.

Dek…! Lagu Teluk Bayur, Tawang Mangu, mesti tak rungokno sak ben aku kangen sampean. Klambi goyor sleret kluwung sing tak tukokno opo jek ono? Jaman semono regane sak sen, telung ece rong ketip, telung kelip. Lha klambine seng batik Inggris biyen regane seringgit punjul sak sen.

Dek…! Limang tahun suwene aku ngenteni, ah tapi gak opo-opolah. Limang tahun iku duduk waktu seng suweh. Gak sumbut lek bandheng karo urip seng bakal awak dewe lakoni. Toh seng bakal awak dewe lakoni sak umur umur. Kangenku iso ditambani karo tekane suratmu. Sakben kawat, kawat kuningan, sak-kilo regane setali. Sakben surat, surat kiriman, lek tak woco bribes mili.

Lek wong wedhok akeh tunggale. Nanging kenangane urip naliko runcang-runcang karo sampean, perlu sak umur uripku kanggo nglalekno. Ora mung aku seng ngenteni tekomu nggowo trisanmu soko monco negoro. Tapi Rengen Contong iku bakal ngadek selawase nagih janjimu.

Kapan boyo sampean mulih, tak golekno dino becik. Wong tuwoku tak kongkon nang omah sampean, njaluk nglamar sapean, senajan mung nggowo kain sak suwek, gedhang sak sopet.

Wektu iku jange, driji kiwomu bakal tak tengeri ali-ali. Nanging dudu ali-ali emas gawenan toko. Tapi igo wekasku seng kiwo, tak cuklek, tak plungkerno bunder, minongko bundere tresnoku, bundere kepinginanku orep bebrayan karo sliramu.
Mongko jogo-en igo wekasku iki sampek tumekane pati.

Umpomo awak ndewe ngerti, sakjane anak-e dewe iki wes gak betah nduk alam ruh. Dewek-e mbengok-mbengok, njerit-njerit gak krasan manggon nduk Suroloyo. Kepingin ndang cepet mudun nemoni awak ndewe. Ngajak guyon, dulinan, lan tetangisan karo ndewe. Kamongko syarat kuncine mudune anak ndewe iku ono rong macem. Sepisan lek wes ono gong giro minongko, tanggapane ludruk seng nggawe lakon crito layang seto-layang kumitir seng bakal ngramekno tondo ketemune aku karo sampean nduk kuwade. Gong karawitan iku yo nabui nalikone jejeran bubak kawak seng jenenge ngudal roropangkon. Kaping pindone lek wes ono janur melengkung ngarepe omah sampean karo ngarepe omahku.

Suasono iki seng diarani suasono gambiro loko. Wong tuwone ndewe aro mung ngrabekno awak ndewe thok. Nanging nandur dulur caruk warange keluwargo. Dino iku ora ono susah, sedino muput mung krungu tembang jowo. Amorondono tirto daono. Asmoro = tresno, dono = weweh, tirto = banyu, daono = butek. Nyawijane tresno weweh banyu butek. Tembang iku koyoto ; jenang gulo, loro bronto, lan liyo-liyane. Mangkak-ne Dek, kekes tunggorono-gerdu papak parimono. Lek wes kandanono ibu-bapak tak kongkone nglamar riko.

Ora ketang, melar sak cuplik, tetel sak uter, koci-koci lan brubi, gak usah sampean suguhi sego sak bodak, pokoke lamaranku di trimo karo emak-bapak, keluargo sampean, aku wes girang-gemuyu.

Ono ing dino temantene awak ndewe, sak wernani jajan lan panganan di pikul pengiringku di wadai jodang. Mlakuku di apit kembang mayang budalku di terno pitik jago seng jenenge Sawung Seto Wono.

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar