Sabrank Suparno
Dimuat koran Radar Mojokerto-Jombang
Kehidupan manusia terus bergulir dan merambahi fase-fase peralihan peradaban. Seiring dengan itu, sebagai kholifah berbudaya, manusia juga terus mengembangkan kreatifitasnya untuk menyiasati target kebutuhan hidupnya yang lebih layak. Minimal relevan dengan zamannya. Untuk tujuan inilah berbagai tingkah polah dilakukan. Dari yang bernuansa “ceketer” hingga yang spektakuler. Dari sekedar jagongan di warung sampai berkonkow-konkow di gedung. Ada pula yang sekedar semrawut di stasiun, sementara yang lain malah berjingkrak-jingkrak di alun-alun.
Dari seabrek kreatifitas tersebut, kemudian ada semacam standar value untuk mengukur tingkat nilai atas kreatifitas itu sendiri. Dari sini kita dapat lontarkan pertanyaan “nyentrik”, siapa yang berkewenangan menilai seluruh “tetek mbengek” kreatifitas berkebudayaan umat manusia tersebut? Padahal sejalan dengan perkembangan zaman, kreatifitaspun semerbak menyepora penuhi bentangan samudera kehidupan. Jawabnya tentu juga sangatlah “senyentrik” pertanyannya. Yakni, proses seleksi alam semesta. Lambat laun yang bernilai bobrok pasti akan ngrogos, lapuk terkonstaminasi waktu. Perlahan-lahan yang buruk akan dicampakkan manusia dan peradaban itu sendiri, karena tidak kuat menyangga bangunan peradaban yang berlangsung. Secara yang dibutuhkan peradaban adalah kokohnya kreatifitas yang baik, yang pada akhirnya dapat hembuskan energi angin ketentraman secara kebersahajaan.
Dari ribuan bahkan jutaan ekspresi kreatifitas inilah kemudian menimbulkan buih-buih dan busa sejarah. Seberapa banyak buih dan busa tersebut? Sejumlah kreatifitas itu sendiri puing-puing dan kepingan itu terpecah. Lantas bagaimana cara kita menyikapi kreatifitas yang selama ini kita lakukan? Dalam pengajian padhang mbulan tanggal 2 Desember 2009 kemarin Cak Nun pancingkan satu peringatan, “Jama’ah ma’iyah kita ini sudah pasti tidak bernilai baik dimata pemerintahan Indonesia sekarang ! Sebab, yang pemerintah perlukan bukanlah mutu kualitas, cara berfikir masyarakat secara tepat, melainkan hanya kesenangan bercokol di kursi kekuasaan dan mengabdi pada tangan panjang perpolitikan Internasional global.” Nah, kalaupun kreatifitas jama’ah ma’iyah ini tidak bermanfaat bagi perintah, kita harus dapat menemukan titik pentingnya bagi jama’ah kita sendiri.” Pernyataan tegas Cak Nun ini dimaksudkan agar jama’ah ma’iyah khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, mampu menemukan poin-poin kemanfaatan yang dapat diambil dari gerakan pangajian ma’iyah. Kemanfaatan yang kita temukan dalam kehidupan ini disebut “pencapaian strata ma’rifat.” Yakni mengetahui serta memahami fungsi peran Alloh dalam setiap detak langkah hidup kita. Dan bukankah memang demikian kenyataannya? Bahwa tidak ada satu detikpun yang menyangkut energi kita, detak jantung, peredaran darah, suhu tubuh, serta kesadaran kita, kecuali memang dikerjakan serius oleh Alloh pada diri manusia.
Manfaat yang kita ambil dari pengajian ma’iyah ini tentulah tidak muluk-muluk berskala Nasional dan Internasional. Meskipun memang demikian yang terjadi. Tidak ada salahnya bagi jama’ah untuk mencerna kembali manfaat yang diambil dari ceramah Cak Nun dan beberapa teman yang hadir di pengajian padhang mbulan tersebut, kecuali hanya selingkup peningkatan prestasi kecil bagi diri jama’ah, anak-anak dan keluarganya. Lantas apa yang menjadi tolok ukur ke manfaat prestasi yag dicapai jama’ah ma’iyah? Kita semua tahu, bahwa hidup di negeri ini selaksa berjalan di bawah lampu temaram. Kegelapan merayap buramkan jarak pandang penduduknya. Hukum perundang-undangan nyata-nyata tidak berpihak pada rakyat jelata. Aturan yang diterapkan hanya menggemukkan penggede belaka. Dalam menyikapi ketimpangan ini Cak Nun menghimbau kepada jama’ah ma’iyah agar tetap bersikap istiqomah aqliah. Yakni teguh berpendapat pada ketapatan cara berfikir. Yang otomatis akan membuahkan konsistensi cara bersikap. Sistem pemerintahan yang berlaku sekarang seolah-olah sudah menyuguhkan makanan lezat bagi rakyatnya. Padahal kenyataannya hanyalah sekedar makanan bergizi “ceketer”. Itu pun na’asnya, rakyat di suruh mengakui bahwa makanan “ceketer” tersebut sebagai makanan lezat. Istiqomah aqliah yang dimaksud di atas adalah jama’ah ma’iyah harus tetap beranggapan bahwa makanan yang dihidangkan pemerintah selama ini tetap berkualitas rendah-dan tak bernilai seberapa. Meskipun sebagian besar rakyat Indonesia meng-idemi anjuran pemerintah. Dengan demikian jama’ah ma’iyah tetap optimis untuk mewujudkan corak pemerintahan yang haqiqi Indonesia kelak. Sebuah pemerintahan masa depan yang sungguh-sungguh mempersembahkan kelayakan bagi juragan yang diwakili amanatnya(rakyat). Pemerintahan yang serta merta menendang jauh bola kelakar utopia. Pemerintahan yang bahu membahu menggelar tayangan layar, bahwa Indonesia adalah negara penggalan surga.
Untuk menggambarkan seberapa besar daya resultasi kreatifitas terhadap kebenaran yang kemudian memecahkan kepingan puing, buih, busa dan sampah dalam setiap “perkembangan” peradaban, marilah kita tarik contoh analog yang jelas. Seperti biasanya rutinitas pengajian padhang mbulan di Menturo Sumobito Jombang diawali dengan pendadaran tafsir Al-qur’an secara tekstual oleh Drs. Ahmad Fuad Efendi (panggil cak Fuad : red). Kakak tertua budayawan kondang Emha Ainun Nadjib itu memaparkan tafsir surat Al-Fajr. Al-Fajr adalah salah satu surat Makiyah dengan ayat-ayat pendek. Dalam surat ini Alloh banyak memakai awalan kata dengan wawul qosmi, salah satu huruf ‘jer’ yang digunakan Alloh untuk bersumpah terhadap suatu masalah yang kadarnya dipandang serius dan sungguh-sungguh diperhatikan. Ayat 1-5 , Alloh seperti ingin menggempur sesuatu. Sesuatu yang remeh dan seringkali disepelehkan manusia. Sedangkan ayat 6 sampai selesai merupakan umpatan kilas balik 180°,target sektoral nyata peradaban sekarang. Cak Fuad menyingkap secara lebar serentetan artikulasi berkesinambungan ayat-ayatnya. Sebagai contoh kasus, diangkatlah cerita keberadaan Kaum Aad. Salah satu kaum besar yang dihancurkan Alloh dengan Maha bersumpahnya. Kaum Aad disinyalir dahulu berada di sekitaran Yaman. Kebesaran Kaum Aad ini dihancurkan Alloh dengan metode hembusan badai angin dingin selama tujuh malam delapan hari. Kaum Aad disebut kaum besar karena tingkat peradabannya sudah bertaraf pembangunan gedung-gedung mencakar langit. Bahkan gedung-gedung tinggi itu belum pernah disamai oleh gedung-gedung yang dibangun abad sekarang ini. Seberapa sih tinggi gedung-gedung yang menjulang di Pentagon, Richalten, Garden Palace dan beberapa mall besar di Jakarta? Tentu belumlah sebanding. Sebab diceritakan dalam Al-qur’an tentu bukanlah hal yang sepeleh (Al-Fajr : 7 : 8).
Teknologi masa lalu juga ditamsilkan sejarah keberadaan Kaum Tsamut. Kaum Tsamut diperkirakan berdomisili disekitaran Syam. Kebesaran kaum Tsamut di anugerahi kecanggihan kreatifitas pemecah batu. Tentu Kaum Tsamut juga merancang mesin-mesin megaraksasa pemecah batu yang dilengkapi eskapator. Keperkasaan Kaum Tsamut ini kemudian dihancurkan Alloh dengan metode parade petir yang menyambar-nyambar. Petir dengan kilatan api yang menyala-nyala. Petir dengan hulu ledak yang tak terkirakan yang berpotensi meluluh lantahkan setiap peralatan.
Dari tafsir tekstual Cak Fuad inilah kemudian Cak Nun merespon ayat-ayat tesebut secara kontekstual. Cerita maha dasyat dalam Al-qur’an itu di tarik Cak Fuad garis hubungnya dengan pemahaman paradigma keilmuan abad milenium
sekarang ini. Abad dimana seluruh kurikulum pendidikan dari Play Group sampai Perguruan Tinggi, gencar menggembor-gemborkan wacana peradaban paling mutakhir. Zaman dimana semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, dipahami semakin profesional pula cara pandang hidupnya. “Apakah ada institusi kelembagaan di Indonesia dan dunia yang mengakui kebenaran teknologi Kaum Aad dan Kaum Tsamut?” Tanya Cak Nun menganalisa. Pertanyaan parsyal ini di jawab longokan sekitar 400 jama’ah pengajian yang hadir. Jama’ah yang 80% diantaranya adalah para mahasiswa dari berbagai Perguruan Yinggi di Jawa Timur.
Al-qur’an sudah barang tentu kebenarannya. Saklek, paten dan absolut sebagai serapan sumber menu makanan rohaniah bagi pemeluknya. Sebelum kemudian di olah menjadi bermacam-macam hidangan istimewa. Jikalau kemudian ada pihak yang alergi dengan makanan istimewa itu, maka yang perlu dipertanyakan adalah kadar zat makanannya? Ataukah konsumernya.
Kita tidak perlu menuding apa dan siapa. Tetapi apa saja dan siapa saja yang tidak mempercayai bahwa peradaban zaman Kaum Aad dan Tsamut jauh lebih tinggi dan cendikia dari pada dunia profesionalisme kita sekarang ini, maka sesungguhnya hal itu hanyalah kreatifitas atheis belaka. Tidak tanggung-tanggung dan hanya berskala kecil pementasan perilaku atheis diperadaban sekarang ini. Tetapi selaksa derama kolosal yang tak menyisahkan cela dan cerca setiap ruang hidup. Untuk mengakui bahwa dirinya garda terdepan penyibak sains dan teknologi, diperankanlah berbagai lakon teatrikal: Enterpreneur, profesional Muda, Para Cerdik-Cendekia dan segala macam tetek mbengek diusung sebagai background utama. Naskah naskah juga disusun sebagai bahan makalah presentasi ilmiah, dikemas dalam paket berbagai frame diskusi, workshop, seminars sarasehan pelatihan, sebagai bahan saji. Tak urung juga bersemaraknya spora jamur fakultas dan perkuliahannya.
Belumlah terlambat bagi kita waktu untuk sekedar bertanya pada diri sendiri, apakah tentang kreatifitas kita semua dalam kaitanya dengan ini, kita mampu menemukan satu titik kemanfaatan atas kiprah kita di tengah ganesa, dan bukankah selama ini yang kita lakukan hanyalah sekedar membangun dan membesarkan diri kita, pandangan mengenai diri kita, dihadapan diri kita sendiri. Dan belum pernah memercusuarkan kerendahan diri untuk mengakui keterlibatan Tuhan secara serius atas setiap lekuk kehidupan.
Sabtu, 17 Juli 2010
Mencari Titik Pusat Cahaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar