Jumat, 16 Juli 2010

Tentang Penyair dan Penyakit Puisi

Fahrudin Nasrulloh*

Apa hebatnya puisi sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi. Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write must prove to me that it desires me. This proof exists: it is writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text. Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak mungkin direngkuh kembali.

Dua Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok, 2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”. Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,” katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair berantakan seperti Afrizal.

Daya hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar “puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat, kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan “tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun “jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi mereka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/ kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/ di Seluruh jarak dengan mati/ ……

Tampak pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/ tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu….

Menggobang dalam tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang telah dituliskannya, “little by little words will finishme”.

Dua penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis. Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian. Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan.

Jika dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya? Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku? Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno? Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi “emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami penyakitnya dan kembaranya sendiri.

Dan semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab “kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak ada lagi di warung kopi.

-----
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

** Disampaikan dalam Halte Sastra,
Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas
dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu
Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar