Oleh:Sabrank Suparno
Dimuat Koran Radar Mojokerto
tanggal 12 September 2010.
Monumen Hitler
Dachau adalah sebuah kota kecil di Negara bagian Bavaria Jerman yang letaknya tidak jauh dari kota Muenchen. Di Dachau inilah dibangun monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia ke dua. Dachau ini disinyalir sebagai kamp konsentrasi Hitler saat melancarkan aksi keberingasannya membasmi ribuan nyawa manusia. Hitler dan Robot Eskapator Raksasa NAZI yang kejam menyayat, mengiris, menghunus, mengalirkan darah, mencekik nafas, bahkan mengakhiri denyut jantung manusia. Hitler memosisikan dirinya sebagai saingan Tuhan yang berhak membabat harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai manusia.
Ada dua titik poin mendasar dari gerakan Hitler tersebut: 1. Harus ada (diperlukan) tumbal kemanusiaan untuk menguatkan eksistensi misinya. 2. Kebuntuan atas kekerdilannya yang tidak menemukan cara radikal yang lebih proporsional demi menyelamatkan’nyawa’sesama manusia.
Hitler tidak menyangka bahwa generasi sebubar Perang Dunia II adalah generasi yang menyadari bahwa sistem kekerasan dan penghancuran massal bukanlah cara yang tepat dan prospektif dalam menata peradaban mendatang. Generasi yang memahami bahwa kegagalan peradaban diawali dari peletakan batu pertama-kekerasan-sebagai dasar pondasi. Sedangkan, seri berikutnya dari kekerasan pastilah ‘dendam’ yang menggelembungkan traumatisasi dari masa lampau. Tidak heran jika kemudian pada monumen Dachau, disematkan ’pemeo’ ujaran ‘Never Again’ (jangan terulang lagi). Diharapkan kata ’Never Again’ dapat dibaca berulang-ulang kali oleh generasi masa depan, sebagai tanda penghentian pembunuhan masal sesama manusia.
Tentu saja kata ’Never Again’ tersebut tidak sekedar dipahami artifisial deskriptif atas normalitas faktual, tetapi lebih ke pemahaman espektasi yang menyimpan voltase masa depan.
Gelombang yang sama dengan volume padatan Hitler, terus terulang-ulang di Indonesia. Kasus kerusuhan Makasar, Periok, dan Mojokerto adalah penanda terbaru dari gelombang anarkisme Hitler.
Dalam skub wilayah kecil, yang barangkali kalibernya hanya setaraf ‘RT’ Mojokerto dan ‘RT’ Jombang, jika dipandang dari eskalasi perpolitikan Indonesia, ternyata tidak mampu membaca wacana ‘budaya arus balik’ dari tonggak Never Againnya monumen Dachau. Budaya anarkisme masih menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan masalah.
Mengamati kasuistik “Jum’at Membara”, kerusuhan Mojokerto tanggal 21 Mei lalu, yang berhubungan dengan pilkada Senin 7 Juni 2010 kemarin, sebagai manifestasi replikasi budaya Hitler. Meski tak jatuh korban, namun tayangan yang menghadirkan berbagai lintasan peristiwa pembakaran mobil, bangunan porak-poranda, dan amuk massa adalah cermin kegagalan awal terbangunnya peradaban.
Tentu kita tidak mengecam ‘apa’ dan ‘siapa’ dibalik aktor kebrutalan massa tersebut. Namun di antara beberapa kepentingan pasti menghalalkan segala cara untuk menjegal lawan.
Ribuan kali sesungguhnya kita menonton adegan film yang sama ketika berita dekadansi moral diputar ulang dalam tayangan berita televisi. Alhasil, kerusakan yang ditargetkan, adalah tagihan kausalitas dari sistem perekonomian yang tidak barokah. Sedangkan penerapan sistem yang tidak barokah pasti mempunyai ending cerita yang memusnahkan harta, benda, nyawa, atau sekedar keharmonisan peradaban yang kita bangun.
Kegagalan Replikasi Gajah Mada
Secara kultur historis, Mojokerto, Jombang adalah satu rumpun budaya yang sama. Di tanah inilah lahir pemimpin bangsa Majapahit yang kekondangannya mercusuar hampir mencapai duapertiga belahan bumi. Ironi sekali jika pada titik awal milenium kedua sekarang, Mojokerto yang dipandang sebagai ’Empu Nusantara’, (per-empu-an) yang melahirkan anak bangsa dari rahim kebesaran dan kebijakan Sumpah Palapa Gajah Mada, tidak mampu atau gagal menjadi referensi bagi kemuliaan umat manusia. Sedangkan bagi Majapahit, Indonesia adalah salah satu anak bangsa yang dilahirkannya tahun 1945 kemarin sore. Ibarat ‘Sang Kakek’, tentu wilayah yang dituakan ini mampu mengajari dan memberi contoh bagi peradapan Indonesia kedepan. Dan bukan sebaliknya. Betapa memalukan sebagai empu, Mojokerto - Jombang masih memilih praktek kerusuhan massal sebagai alternatif penyelesaian masalah. Padahal anarkisme massa, siapapun yang terlibat tidak lebih dari serendah-rendahnya derajat dan seremeh-recehnya cara bersikap. Meskipun jika dirunut, tentu rujukan awalnya adalah sifat ’kefakirmiskinan’ para pejabat yang tak sanggup melumpuhkan ambisi dirinya.
Kapan di area kecil Mojokerto - Jombang ini akan dibangun monumen ’Never Again’ oleh semua pihak terkait, dari pajabat, aparat, seniman, budayawan dan rakyat jelata? Penghadiran suasana entitas baru yang diperlukan penghuni ruangnya, serta menanggalkan keterulangan peristiwa negatif.
Yang negatif dari hal yang negatif adalah: kematian, bukan kematian itu sendiri, tetapi ‘mati’. Mati sudah pasti adanya sebagai suatu takdir, yang tidak dijemput pun sudah pasti datang waktunya. Tetapi kematian adalah proses sulit menuju mati. Betapa tolol jika ‘kedudukan kita’ hanya kita gunakan untuk meninggalkan traumatisasi pada setiap lembar peralihan sejarah.
Kekondangan Majapahit yang sampai ke semenanjung Madagaskar, dirambah oleh Gajah Mada dengan sistem politik kemitraannya. Dengan semboyan ”menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo, sekti tanpo aji-aji”, membuktikan betapa Gajah Mada adalah ‘sosok embahmu’ yang berjiwa bukan sekedar baik dan benar, melainkan mulia.
Sejauh ini kita hanya mampu melahirkan kegagalan sejarah umat manusia dalam mereplikasikan kebaikan, kebersahajan, ketertataan ke-peradabannya. Sehingga yang sanggup kita bangun hanyalah: kehidupan cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, dan moral cacat.
Sebagaimana generasi pasca Perang Dunia II, kita adalah generasi pasca kegagalan reformasi, yang ‘muak’ dengan cara berfikir orang tua yang terus mengajari perilaku buruk bagi sejarah masa depannya. Dengan memahami konsep kegagalan replikasi yang diguratkan pada gapura Never Again, percayalah! Kami adalah generasi yang sedang mempersiapkan cara bersikap baru yang tidak mampu dan atau belum mampu dirumuskan oleh para pejabat sekarang dalam menciptakan peradaban damai.
Jumat, 16 Juli 2010
Kegagalan Replikasi Budaya Gajah Mada
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar