Jumat, 16 Juli 2010

Kegagalan Replikasi Budaya Gajah Mada

Oleh:Sabrank Suparno
Dimuat Koran Radar Mojokerto
tanggal 12 September 2010.

Monumen Hitler

Dachau adalah sebuah kota kecil di Negara bagian Bavaria Jerman yang letaknya tidak jauh dari kota Muenchen. Di Dachau inilah dibangun monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia ke dua. Dachau ini disinyalir sebagai kamp konsentrasi Hitler saat melancarkan aksi keberingasannya membasmi ribuan nyawa manusia. Hitler dan Robot Eskapator Raksasa NAZI yang kejam menyayat, mengiris, menghunus, mengalirkan darah, mencekik nafas, bahkan mengakhiri denyut jantung manusia. Hitler memosisikan dirinya sebagai saingan Tuhan yang berhak membabat harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai manusia.

Ada dua titik poin mendasar dari gerakan Hitler tersebut: 1. Harus ada (diperlukan) tumbal kemanusiaan untuk menguatkan eksistensi misinya. 2. Kebuntuan atas kekerdilannya yang tidak menemukan cara radikal yang lebih proporsional demi menyelamatkan’nyawa’sesama manusia.

Hitler tidak menyangka bahwa generasi sebubar Perang Dunia II adalah generasi yang menyadari bahwa sistem kekerasan dan penghancuran massal bukanlah cara yang tepat dan prospektif dalam menata peradaban mendatang. Generasi yang memahami bahwa kegagalan peradaban diawali dari peletakan batu pertama-kekerasan-sebagai dasar pondasi. Sedangkan, seri berikutnya dari kekerasan pastilah ‘dendam’ yang menggelembungkan traumatisasi dari masa lampau. Tidak heran jika kemudian pada monumen Dachau, disematkan ’pemeo’ ujaran ‘Never Again’ (jangan terulang lagi). Diharapkan kata ’Never Again’ dapat dibaca berulang-ulang kali oleh generasi masa depan, sebagai tanda penghentian pembunuhan masal sesama manusia.

Tentu saja kata ’Never Again’ tersebut tidak sekedar dipahami artifisial deskriptif atas normalitas faktual, tetapi lebih ke pemahaman espektasi yang menyimpan voltase masa depan.

Gelombang yang sama dengan volume padatan Hitler, terus terulang-ulang di Indonesia. Kasus kerusuhan Makasar, Periok, dan Mojokerto adalah penanda terbaru dari gelombang anarkisme Hitler.

Dalam skub wilayah kecil, yang barangkali kalibernya hanya setaraf ‘RT’ Mojokerto dan ‘RT’ Jombang, jika dipandang dari eskalasi perpolitikan Indonesia, ternyata tidak mampu membaca wacana ‘budaya arus balik’ dari tonggak Never Againnya monumen Dachau. Budaya anarkisme masih menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan masalah.

Mengamati kasuistik “Jum’at Membara”, kerusuhan Mojokerto tanggal 21 Mei lalu, yang berhubungan dengan pilkada Senin 7 Juni 2010 kemarin, sebagai manifestasi replikasi budaya Hitler. Meski tak jatuh korban, namun tayangan yang menghadirkan berbagai lintasan peristiwa pembakaran mobil, bangunan porak-poranda, dan amuk massa adalah cermin kegagalan awal terbangunnya peradaban.

Tentu kita tidak mengecam ‘apa’ dan ‘siapa’ dibalik aktor kebrutalan massa tersebut. Namun di antara beberapa kepentingan pasti menghalalkan segala cara untuk menjegal lawan.

Ribuan kali sesungguhnya kita menonton adegan film yang sama ketika berita dekadansi moral diputar ulang dalam tayangan berita televisi. Alhasil, kerusakan yang ditargetkan, adalah tagihan kausalitas dari sistem perekonomian yang tidak barokah. Sedangkan penerapan sistem yang tidak barokah pasti mempunyai ending cerita yang memusnahkan harta, benda, nyawa, atau sekedar keharmonisan peradaban yang kita bangun.

Kegagalan Replikasi Gajah Mada

Secara kultur historis, Mojokerto, Jombang adalah satu rumpun budaya yang sama. Di tanah inilah lahir pemimpin bangsa Majapahit yang kekondangannya mercusuar hampir mencapai duapertiga belahan bumi. Ironi sekali jika pada titik awal milenium kedua sekarang, Mojokerto yang dipandang sebagai ’Empu Nusantara’, (per-empu-an) yang melahirkan anak bangsa dari rahim kebesaran dan kebijakan Sumpah Palapa Gajah Mada, tidak mampu atau gagal menjadi referensi bagi kemuliaan umat manusia. Sedangkan bagi Majapahit, Indonesia adalah salah satu anak bangsa yang dilahirkannya tahun 1945 kemarin sore. Ibarat ‘Sang Kakek’, tentu wilayah yang dituakan ini mampu mengajari dan memberi contoh bagi peradapan Indonesia kedepan. Dan bukan sebaliknya. Betapa memalukan sebagai empu, Mojokerto - Jombang masih memilih praktek kerusuhan massal sebagai alternatif penyelesaian masalah. Padahal anarkisme massa, siapapun yang terlibat tidak lebih dari serendah-rendahnya derajat dan seremeh-recehnya cara bersikap. Meskipun jika dirunut, tentu rujukan awalnya adalah sifat ’kefakirmiskinan’ para pejabat yang tak sanggup melumpuhkan ambisi dirinya.

Kapan di area kecil Mojokerto - Jombang ini akan dibangun monumen ’Never Again’ oleh semua pihak terkait, dari pajabat, aparat, seniman, budayawan dan rakyat jelata? Penghadiran suasana entitas baru yang diperlukan penghuni ruangnya, serta menanggalkan keterulangan peristiwa negatif.

Yang negatif dari hal yang negatif adalah: kematian, bukan kematian itu sendiri, tetapi ‘mati’. Mati sudah pasti adanya sebagai suatu takdir, yang tidak dijemput pun sudah pasti datang waktunya. Tetapi kematian adalah proses sulit menuju mati. Betapa tolol jika ‘kedudukan kita’ hanya kita gunakan untuk meninggalkan traumatisasi pada setiap lembar peralihan sejarah.

Kekondangan Majapahit yang sampai ke semenanjung Madagaskar, dirambah oleh Gajah Mada dengan sistem politik kemitraannya. Dengan semboyan ”menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo, sekti tanpo aji-aji”, membuktikan betapa Gajah Mada adalah ‘sosok embahmu’ yang berjiwa bukan sekedar baik dan benar, melainkan mulia.

Sejauh ini kita hanya mampu melahirkan kegagalan sejarah umat manusia dalam mereplikasikan kebaikan, kebersahajan, ketertataan ke-peradabannya. Sehingga yang sanggup kita bangun hanyalah: kehidupan cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, dan moral cacat.

Sebagaimana generasi pasca Perang Dunia II, kita adalah generasi pasca kegagalan reformasi, yang ‘muak’ dengan cara berfikir orang tua yang terus mengajari perilaku buruk bagi sejarah masa depannya. Dengan memahami konsep kegagalan replikasi yang diguratkan pada gapura Never Again, percayalah! Kami adalah generasi yang sedang mempersiapkan cara bersikap baru yang tidak mampu dan atau belum mampu dirumuskan oleh para pejabat sekarang dalam menciptakan peradaban damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar