Sabtu, 17 Juli 2010

Geladak Sastra, Saat Menapaki Sebuah Rezim

Sabrank Suparno
 
Masih lekat dalam ingatan kita tantang partai Golkar, partai yang awalnya hanya digerakkan beberapa gelintir orang saja dan dalam waktu seumur jagung telah mampu menjadi kekuatan yang menyeluruh sebagai suatu ‘gerakan’ dari semua lapisan masyarakat. Dan kekuatan itu telah nyata ditunjukkan dengan adanya indikator tampuk kekuasaan yang mewarnai corak hegemoni wacana sosial di zamannya. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung, kekuatan itu mampu mendekami tiga perempat setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sebagai suatu Negara. Meskipun pada ahirnya juga hancur di-revolt berdasarkan kebutuhan waktu.
 
Gambaran ringan mengenai kondisi keberadaan rezim Golkar tersebut dapat kita lirik dari puisi pendeknya Gus Mus yang berjudul‘Negriku telah menguning’. Disebut puisi pendek karena judul puisi yang pernah dibaca Gus Mus sendiri saat datang di acara padhang mbulan di kediaman Emha Ainun Najib sekitar tahun 1997 lalu itu sekaligus merupakan isi dari puisi tersebut. Dan hanya terdiri dari ‘tiga’ kata itu.
 
Warna kuning yang diibaratkan Gus Mus dalam puisi tersebut merupakan gambaran keberhasilan Golkar saat tampil sebagai suatu rezim yang dengan ‘yellowingnya,’seolah menemukan bentuk viuwalidasi Nasional. Viuwalitas yang tergambar sederhana hanya dari proses hampir panennya petani yang menunggu panen setelah pascatanam.
 
Hal yang sama juga dapat kita amati dengan merebaknya bonek mania yang ‘menghijaukan’ suporter massal Persebaya. Atau mungkin jika anda berkeliaran di sekitaran Tunjungan Plaza Surabaya pada malam minggu, kita akan terkesan dengan menjamurnya anak Punk-kers yang melakoni tingkah teatrikal Arie Papank seorang pemuda Inggris yang berhasil dianut ribuan pemuda Indonesia sebagai guidens kolosal.
 
Rezim sastra? Kenapa tidak! Kalau Golkar, Bonek, dan Punk-ker saja yang nota-bene-nya tidak menanamkan cara dan budaya santun dalam bersosial-masyarakat ,’nyata’mampu dianut menjadi gerakan besar, kenapa sastra tidak?
 
Alangkah syahdunya jika suatu saat gerakan sastra ini mampu menjadi warna hidup dan pola prilaku kehidupan masyarakat ber-Bangsa dan ber-Negara! Wujud neosintaktika-dialektik sastra yang terkesan sinergik-embat embatan-antara wujud instrinsik dan ekstrinsik atau yang dalam istilah Emha Ainun Najib dalam Budaya Tandingnya dikenal dengan ‘unsur dalam’dan ‘unsur luar’ dalam bersastra tentu merupakan arti lebih ketika kahidupan dilakonkan.
 
Geladak sastra 2 yang membedah cerkak (cerita cekak) Sabrank Suparno yang berjudul Bobok Suruh Bodeh, sejak awal diperkirakan bakal ramai diperdebatkan. Selain judul dan alur ceritanya yang kental dengan problematika sensitif dengan prilaku kehidupan sehari-hari warga ndeso klutuk, cerkak ini juga ditulis dengan bahasa jawa nJombangan yang nota-bene-nya berbeda tehnik penulisannya dengan bahasa jawa pada umumnya. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi tersendiri. Terlebih jika ditilik dari sudut pandang kaidah penulisan bahasa jawa.
 
Geladak sastra 2, diadakan di dusun Dowong Plosokerep. Sebuah dusun yang amat ‘kluthuk’tanah rahim kelahiran penulisnya. Agenda sastra tersebut mendapat apresiasi dari warga desa yang berbondong-bondong membawa ‘suguhan’. Sedikit banyak ini menandakan awal berjejaknya sebuah rezim sastra, dimana orang-orang ‘petani kuni’(sebutan petani tulen) antusiasmenya ter-urik dengan keberadaan sastra. Berkumpulnya massa yang kemudian melakukan sesuatu-agreegate- secara kolektif inilah selaksa merajut mozaik menjadi lukisan alam.
 
Jarak pandang Anjra Lelono Broto (Novelis, pakar bahasa jawa)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini terdapat kerancuhan struktur bentuk global yang berhubungan dengan bahasa ‘lisan’ dan bahasa ‘tulisan’. DR CC. Berg, ahli bahasa dari Belanda yang mengamati dialektikum bahasa yang di pakai masyarakat jawa, menemukan sebanyak 3800 jenis dialek. Keberagaman jenis inilah yang menyebabkan scub pemfokusan sentral mengenai titik-titik kaidah penulisan bahasa jawa-nJombangan-sulit dijadikan pedoman secara jelas.
 
Dalam teori kepenulisan ada istilah ‘alih kode’dan ‘campur kode’. Istilah ini jika ditarik dari gejala sosiomistik. Sebagai bahan banding, Anjra Lelono Broto melontarkan satu pertanyaan mendasar. Apakah Sabrank Suparno akan tetap menulis dengan model adetrasi seperti ini?
 
Menanggapi prospek penulis yang mempertahankan dialek asli lokal, Anjra menghimbau agar penulis tidak usah kawatir dengan rejeki dari penulisan tersebut. Bagaimanapun setiap penulisan pasti menimbulkan ‘efek’dari proses kreatifnya. Efek inilah yang akan mendatangkan rejeki’min khaistu la yahtasib, yang tak terduga. Namun apapun jalan yang dipilih oleh penulis untuk menentukan bentuk cerpenya, diharapkan bersikap sebagai subyek dalam masyarakat. Sehingga perannya mampu ‘mewarnai’ gejala masyarakat. Dalam istilah lain: lebih baik kita ndalangno wong, dari pada kita didalangkan orang.
 
Cara pandang Nurel Javissyarqi (Sastrawan, penulis Lamongan)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini memiliki kekuatan yang ditimbulkan dari ketulusan uri-uri menghidupkan budaya lokal. Tehnik penuangan tulisan seperti ini cenderung lebih kuat maknanya untuk menghantarkan pengenalan lebih jauh terhadap kualitas sastra Indonesiaan. Bahasa nJomangan yang kuat, difahami sebagai ‘simbol’ pemberontakan terhadap aturan penulisan, dan memang harus ada yang tampil sebagai ‘tumbal’ dari terkuaknya kurungan aturan yang telah ada. Diharapkan tehnik penulisan bahasa nJombangan yang asli berfungsi memudarkan kesempitan yang telah ditentukan sistem kesusastraan Jawa.
 
Sudut pandang Suliadi (Penyair Mojokerto yang bercokol di komunitas Umpak Songo)
Diperlukannya kekayaan sastra lokal untuk menambahi kekayaan sastra Indonesia. Bagaimanapun ada banyak hal yang tidak tertampung di dalam wadah kesusastraan Indonesia.
 
Cara pandang Bapak Dasar (Warga ndeso)
Cerpen ini mempunyai unsur instrinsik yang mengarah lebih ke-pesan moral agar pembaca menemukan cara untuk mengatasi problem rumah tangganya seperti yang penulisnya idekan.
 
Jarak pandang Bapak Sudarsono (Pecinta seni, warga Deso Dowong)
Isi dari cerpen ini justru berbalik fakta. Bobok suruh bodeh dalam cerpen tersebut sesungguhnya tidak ada dalam istilah masyarakat. Yang ada justru istilah ‘bobok suruh temu ros’.
 
Sudut pandang Iin Puspita Ningsih (Pengamat bahasa jawa, pengajar SMPN-3 Jombang)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh tersebut cenderung beraliran bahasa lisan. Hal ini memang sah sah saja secara kebebasan ber-ekspresi sebagai suatu karya. Tetapi bentuk bahasa nJombangan itu sendiri yang amat beragam, acap kali membuat kreator lain sulit menemukan formula yang jelas. Seharusnya ada lembaga ‘pelatihan’ dan ‘media’ kusus tentang bahasa nJombangan. Majalah khusus yang memuat bahasa jawa semisal’ Joyoboyo’ dan’ Penyebar Semangat’, terbukti tidak memuat bahasa nJombangan. Lebih jauh, Iin Puspita Ningsih bersedia mengawali apreseasinya dengan memperkenalkan bahasa nJombangan sebagai bahasa khas daerah yang berbeda bentuk dengan bahasa jawa umumnya, kepada siswanya.
 
Alur pandang Hadi Sutawijaya (Sastrawan, dan pemain teater Suket UNDAR Jombang)
Diperlukannya jejak pijakan awal untuk berganti model dalam pemahaman sastra baru di Indonesia. Hal ini didasarkan atas kelemahan khasanah kesusastraan Indonesia, dan sekaligus diperlukannya apreseasi khusus terhadap budaya lokal. Yang esensi dari sebuah sastra adalah pesan yang disampaikan, dan bukannya sekedar ‘frame’ struktur penulisan semata.
 
Tanggap pandang Fahrudin Nasrulloh (Penulis, editor lepas dari komunitas Lembah Pring)
Dalam cerpen ini ada semacam kekuatan cahaya yang meletup, meskipun dalam arus yang terkesan tidak mendesak Setara dalam film Splandaur yang menghadirkan inspirasi dalam berbagai lintasan peristiwa. Cerpen ini lebih bersifat prilaku sosok ‘ular weling’yang tidak banyak bergerak namun mengandung bisa yang mematikan. Pola cerpen semacam ini juga banyak terdapat dalam bebrapa cerpennya Jakop Sumarjono dan Bagus Subagiyo. Sementara menanggapi soal jenis bahasa nJombangan atau tidak, itu hanya soal stempel almamater yang hendak dicomot oleh arus tertentu. Toh, sudah tersedia kamus Thesaurus yang merangkum berbagai jenis bahasa di Jawa.
 
Jarak pandang Rahmat Sularso (Mahasiswa jurusan bahasa STKIP Jombang)
Cerpen ini terkesan mengambang. Hal itu di sebabkan karena tidak di temukannya kedetailan dan klimaks kontroversi yang memuncak sebagai plot antagonis. Namun cerpen ini tetap mempunyai ciri khas tersendiri.
 
Alur pandang Rangga D.P.K. (Mahasiswa STKIP Jombang)
Ciri khas bahasa yang original tertuang dalam cerpen ini. Lebih lanjut Rangga meminta agar penulis bersedia membimbing tantang pendalaman bahasa nJombangan kepada mahasiswa bahasa untuk mendukung program kampus yang hendak turut nguri-uri budaya lokal.
 
Penjabaran Koko Sake (Penggiat sastra kampus)
Sebagai moderator acara, Koko melebarkan pertanyaan kepada peserta. Apakah mungkin dalam cerpen ini mengandung arti ‘keliaran’semacam ‘neo fuck animals’yang garang di tengah ganasnya belantara.
 
Tanggapan Jabar Abdulloh (Aktifis sastra dari DKKM Mojokerto)
Adanya keberanian yang tampil sebagai pendobrak warna baru dalam kesusastraan jawa. Kemerdekaan ini merupakan simbol kebebasan berekspresi dari setiap penulis, meskipun kemerdekaan tidak selamanya diartikan se-bebas-bebasnya. Jabar juga menghimbau agar penulis tidak sekedar ‘bilang akan mandi’, tetapi yang dilakukan hanyalah sekedar bertayammum.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2010/10/geladak-sastra-saat-menapaki-sebuah-rezim/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar