Sabtu, 28 Agustus 2021

Mempertanyakan Puisi Nadhaman

Raedu Basha *

Republika, 21 Sep 2014
 
Diakui atau tidak, puisi berbentuk nadham yang dimaksud dalam tulisan Dimas Indiana Senja (selanjutnya Dimas), "Estetika nadhaman (Republika, Ahad, 24 Agustus 2014) hanya bentuk ekspresi kebosanan dunia perpuisian akhir-akhir ini. Mengapa demikian? Puisi-puisi dalam dekade kekinian dalam pengamatan saya seperti diwakili oleh bahasa judul puisi Joshua Igo, "Puisi yang Mencari Alamat".
 
Lalu, terbenak sebuah pertanyaan untuk menanggapi tulisan Dimas, mengapa ia mengistilahkan puisi-puisi yang dimaksud sebagai puisi nadham? Dan apakah puisi tersebut telah tepat disebut puisi nadhaman dalam pengertian nadham yang sebenarnya?Karakter puisi-puisi pada era kekinian terasa benar-benar belum menemukan "alamat nya" dengan jelas, yakni alamat jati diri, tatkala alamat tersebut dapat menentukan di mana posisinya dengan baik sebagai puisi yang disebut sebagai gaya puisi baru atau kemungkinan pembaruan dalam puisi.
 
Maka, puisi-puisi yang dianggap puisi nadham dalam versi Dimas Indiana Senja seolah hanya menjaga rima yang konon sering digunakan oleh penyair era Pujangga Baru dan pengikut-pengikutnya sampai sekarang dan sebagai kelanjutan dari pantun yang bisa jadi bagian dari pengaruh puisi-puisi Arab yang menurut sejarahnya, puisi-puisi Arab sudah lebih dulu mendarat di bumi nusantara sebelum masa Pujangga Baru, yakni sejak adanya pondok-pondok pesantren atau datangnya pedagang-pedagang Arab ke Sumatra.
 
Nadham pada mulanya merupakan sebuah puisi-puisi Arab kuno, bukan hanya bermula dari tradisi pesantren seperti yang dikatakan Dimas. Ia sebagai sastra tulis yang sekaligus sastra lisan dari memiliki aturan-aturan untuk dilantunkan (dalam istilah persantrennya: "di- nadham-kan").
 
Aturan-aturan tersebut dikenal dengan ilmu 'arudh, yakni metodologi persajakan. Bangunan puisi Indonesia umumnya satu baris puisi disebut larik, berbeda dalam nadham yang menyebut satu baris sebagai bait. Maka, setiap satu bait dalam nadham yang sepenuhnya merujuk pada ilmu 'arudh tak asal disusunbunyikan karena baitnya memiliki beragam bahar (suatu aturan nada).
 
Ada banyak macam bahar. Semisal, puisi Arab yang cukup terkenal di Tanah Air kita adalah iktiraf yang menggunakan bahar thawil, pernah dinyanyikan Haddad Alwi dalam album Cinta Rasul 1 yang konon puisi ini ditulis Abu Nawas. Bahar yang sering digunakan kitab- kitab pesantren adalah bahar rajaz, alasannya karena bahar rajaz dianggap efektif sebagai nadham yang mudah dihafalkan santri.
 
Dalam analisis saya, tak ada perbedaan antara puisi-puisi yang menjaga rima zaman Pujangga Baru dan apa yang dimaksud Dimas sebagai puisi nadhaman, melainkan hanya simbol pagar "#" yang menjadi pemisah untuk "sampiran". Dimas mencontohkan puisi Sofyan RH Zaid yang dimuat pada antologi "Negeri Langit" seri Dari Negeri Poci 5 yang akan saya petik kembali di sini:MAWAR SIDRAH jam berhenti sejenak # terdengar suaracecak seperti denting ribuan logam # kaudatang padaku serupa malam aku lupa menutup pintu # aku luka melupa nafsu di kamar kita menjadi bisu # mawar dan sidrah bersatu ; jibril di mana wahyu? # khidir di mana waktu?Lantas, saya menjadi penasaran, apa yang menjadi alasan puisi ini disebut nadhaman?Kiranya bahar apa yang menjadi ukuran bait demi baitnya (wazan)? Saya tidak menemukan aturan nada baik seperti aturan nada bahar rajaz, bahar thawil, bahar basit, dan sebagainya.
 
Sekali lagi, menurut saya, puisi ini memiliki nada nadham yang kacau, hanya ia menyerupai nadhaman karena simbol "#" dengan bunyi rima kosakata pada sebelum dan setelah simbol.
 
Ada satu hal lagi perihal intensitas penyair Sofyan RH Zaid (atau Sofyan). Sebagaimana menurut Dimas, Sofyan sejak dulu koheren dalam membuat puisi nadhaman semenjak antologi puisi "Biarkan Aku Meminangmu dengan Puisi" yang kebetulan buku itu ditulis berduet dengan Edu Badrus Shaleh, yakni saya sendiri.
 
Pada buku tersebut, saya tidak menemukan puisi-puisi Sofyan yang mengisyaratkan gaya nadhaman. Mungkin Dimas belum membaca buku yang terbit pada Februari 2006.
 
Di sini saya tak hendak menggugat puisi na dha man yang bisa jadi puisi semacam ini kelak menjadi gaya dari satu-dua orang penyair Tanah Air yang menurut saya hanya menjadi bentuk ke bosanan terhadap dunia perpuisian akhir era kekinian, tetapi saya hanya memastikan bah wa nadham yang saya pahami sebagaimana di pesantren atau di perguruan tinggi jurusan sas tra Arab, memiliki metodologi sendiri. Akhirnya, dengan bergaya lazimnya orang pe santren, sa ya ingin mengajukan tanya, "Ini puisi yang dise but puisi nadhaman, apa wazannya dalam ilmu 'arudh?"
***

*) Raedu Basha (Badrus Shaleh), Mahasiswa S-2 Antropologi Budaya UGM, Yogya. Lahir di Sumenep, 3 Juni 1988. Bukunya: Matapangara (Puisi, 2014), Biarkan Aku Meminangmu dengan Puisi (Puisi, 2006), dan The Melting Snow (Novel, 2014).  http://sastra-indonesia.com/2021/08/mempertanyakan-puisi-nadhaman/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar