Minggu, 29 Agustus 2021

Sastra Kalimantan Barat Era Kekinian

 Musfeptial Musa *
insidepontianak.com, 5 Mei 2020
 
Perkembangan sastra di Kalimantan Barat tidak dapat dipisahkan dengan sastra lama, di daerah ini telah lama tumbuh dan berkembang sastra dalam bentuk lisan. Sastra lisan telah menjadi tradisi bagi masyarakat sejak beberapa abad silam. Tradisi lisan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat masa lampau selalu berkaitan erat dengan tradisi lisan. Baik aktivitas keseharian maupun aktivitas kepercayaan. Seperti kebanyakan sastra lisan di Nusantara, sastra lisan, baik sastra lisan Melayu maupun sastra lisan Dayak dan dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk, yaitu (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama (Djamaris, 2000 : 10 ). Adapun yang termasuk kelompok puisi adalah mantra, seperti mantra nyopuh pada suku Dayak, pantun atau bapantun pada sebagian suku Dayak, talibun, pepatah-petitih, dan syair. Sastra lisan yang dapat dikelompokkan kedalam sastra lisan prosa adalah cerita rakyat, baik berupa mite, legenda, maupun dongeng. Sementara itu, yang dapat dikelompokkan ke dalam sastra lisan drama adalah mendu.
 
Dengan demikian ,kehidupan bersastra sebenarnya sudah lama ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu dan Dayak Kalimantan Barat. Namun demikian kehidupan bersastra tersebut bersifat lisan. Dituturkan dari mulut ke telinga. Barulah pada awal tahun 1950-an kehidupan sastra modern betul-betul terlihat di Kalimantan Barat.
 
Tonggak Sastra Modern di Kalimantan Barat
 
Kelahiran sastra Indonesia di Kalimantan Barat dimulai sekitar tahun 1950-an. Ini dibuktikan dengan munculnya nama pengarang Kalimantan Barat di pentas gelanggang sastra Indonesia. Yusakh Ananda dan Muawar Kalahan telah menancapkan namanya sebagai sastrawan perintis kelahiran sastra Indonesia di Kalimanan Barat. Karya Munawar Kalahan muncul di majalah Siasat nomor 285.6 tahun 1950 dengan judul puisinya Riwayat Sedih. Sementara itu, Yusahk Ananda berhasi menembus majalah Kisah dengan judul cerpennya Kampungku Yang Sunyi yang termuat dalam majalah tersebut pada tahun 1953. Setelah sukses menembus kedua media massa tersebut, karya-karya mereka juga menembus media Mimbar Indoesia, Seni, Zenit, Indonesia, Fantasi, Aneka, dan Duta Suasana (Muin Ikram dalam Yayasan Penulis 66 Kalbar, 1997 : VII).
 
Pada masa ini juga muncul pengarang daerah Kalimantan Barat yang ikut menyemarakkan pentas sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Mereka antara lain, Slamet Muslana, M.Nazirin Ar, Abdul Madjid Ar, Asfia Mahyus, A. Muin Ikram, Soesani A.Is, M.Siri R, Maria Manggala, Ibrahim Abdurrahman, H. Bustani HA, Gusti Mohamad. Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, Heri Hanwari, MS Effendi, dan Delly Ananda. Mereka biasanya menyalurkan aspirasi dengan mengisi siaran Radio Republik Indonesia Pontianak dengan nama siaran Gelanggang. Radio Rebublik Indonesia cabang Pontianak sangat membantu pengembangan sastra Indonesia di Kalimantan Barat ketika itu. Ini disebabkan karena media cetak sangatlah terbatas. Maka media elektronik inilah yang mereka manfaatkan untuk mengirimkan dan membaca puisi.
 
Di antara para pengarang pada masa kelahiran sasra Indonesia di Kalimantan Barat ini, kemudian mereka membentuk kelompok yaitu Taratak Lima. Anggota kelompok ini antara lain, H. Bustani HA, Gusti Mohd. Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, M.Siri, Soesani A.Is, Heri Hanwari, MS Effendi, dan Delly Ananda. Menurut pengakuan salah seorang pendiri dari kelompok ini, kata Taratak Lima berasal dari dua suku kata. Kata tarak bermakna pondok atau dangau. Sedangakan kata lima bermakna bahwa anggota kelompok ini selalu berkumpul di Gedung Pertemuan (depen Korem sekarang), dimana ditempat tersebut banyak pedagang kaki lima. Kelompok ini tidak hanya bergerak dalam bidang sastra tetapi juga bergerak dalam bidang seni musik, bahkan ketika itu mereka membentuk satu grup musik dengan nama Kumbang Cari. Penamaan Taratak Lima berasal dari saran salah seorang dari anggota kelompok tersebut yaitu Gusti Mohamad Mulya. Penamaan taratak lima terilhami dari nama Taratak Seni Purta-Putri Simpang (kumpulan orang Ketapang yang mengeluti kesenian) dimana Gusti Mohamad Mulya juga salah seorang dari anggota kelompok ini.
 
Taratak Lima merupakan kelompok pertama pengarang di Kalimantan Barat. Ikatan rasa kebersamaan kelompok ini sangat terasa sekali. Ini terbukti pada tanggai 3 Maret 1966 kelompok ini menjelma menjadi sebuah yayasan. “Yayasan Taratak Lima”. Pendirian yayasan ini bertujuan ingin menghimpun dan mempersatukan seniman, budayawan Kalimantan Barat. Pendirian yayasan ini disahkan dengan Akte Notaris. Uray Kastarani (Pontianak Post, 11 Februari 2001) menyebutkan bahwa pendirian Yayasan Taratak Lima ini dengan Akte Notaris M. Damiri (nomor 10) tahun 1966 dan kemudian diubah dengan Akte nomor 150 tahun 1987. Pada tahun 1987 tujuan dari pendirian yayasan ini telah mengalami perkembangan, tidak hanya tempat menghimpun para sastrawan dan budayawan tetapi juga bergerak dalam bidang kebudayaan, pendidikan, penerbitan, dan usaha lain. Tapi akhirnya yayasan inipun tidak berjalan. Satu di antara penyebabnya, karena kesibukan dari para anggotanya. Ini dapat dipahami karena para anggotanta yayasan ini juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga mereka masing-masing.
 
Pada 1966 kreativitas para pengarang pada masa 1950-an juga ditopang dengan adanya surat kabar. Tercatat ketika itu pada tahun 1956, Yusakh Ananda, A.Muin Ikram, Slamet Muslana pernah menerbitkan Majalah Gaya. Majalah ini menerbitkan karya berupa cerpen, puisi,dan esai. Majalah ini tidak berumur panjang. Hanya mampu terbit lima nomor saja. Menurut pengakuan para pendirinya, masalah dana merupakan alasan utama mengapa majalah ini tidak mampu untuk bertahan.
 
Pada tahun 1957 di kota Sambas, kota yang jauh dari pusat Kalimantan Barat, lahir sebuah surat kabar mingguan yang bernama Sambas Bergolak. Pendirian surat kabar ini dipelopori oleh (Alm) H. Munawar Kalahan. Walaupun terbitan mingguan “mini” (Muin Ikram, Pontianak Post 28 Januari 2001), mingguan ini mampu menjadi sarana meluapkan ekspresi berkarya para pengarang ketika itu.
 
Selain kedua media di atas, (A. Muin Ikram dalam Pontianak Post 4 Februari 2001) juga menyebut nama media massa yang memiliki andil “melahirkan” pengarang Kalimantan Barat, yaitu sekitar tahun 1945 sampai dengan tahun 1954 yaitu surat kabar Terompet, surat kabar Suasana yang kemudian berganti nama surat kabar Pembangunan, surat kabar Mimbar Masyarakat, surat kabar Bebas, surat kabar Kemudi, surat kabar Bukit Tilung, dan surat kabat Seksama. Para pengarang angkatan perintis sastra Indonesia di Kalimantan Barat ini produktif berkarya sekitar tahun 1950-sampai dengan sekitar tahua 1960-an. Walaupun ada di antara mereka yang produktif berkarya sampai sekarang atau sampai akhir hayatnya tapi sangat kecil parsentasenya.
 
Sastra Indonesia Era Perkembangan
 
Setelah kelahiran sastra Indonesia di Kalimantan Barat dipelopori oleh Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan hingga memunculkan banyak karya sastra, sekitar akhir tahun 1960-an sampai akhir tahun 1979 kehidupan kesastraan Indonesia di Kaimantan Barat kembali sepi (Odys, 2002:4). Seakan terjadi kefakuman dalam berkarya kalau tidak boleh dikatakan mati. Sekitar awal 1980-an barulah kehidupan kesastraan di Kalimantan Barat kembali bangkit. Ini terbukti banyaknya pengarang yang muncul. Kita bisa menyebut nama-nama seperti, Khairani Hartisani, Sulaiman Pirawan, Satarudin Ramli, Efendi Asmara Zola, A.S. Fan Ananda, Mizar Bazarvio, Odhy. s, dan Yudhiswara. Kemunculan nama-nama tersebut di “pangung” gelanggang sastra Kalimantan Barat tidaklah secara serta-merta, akan tetapi melalui proses yang panjang. Merekalah yang kembali menggerakkan kebangkitan sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan Koran Akcaya sebagai wadah menuangkan kreativitas sastra. Setidaknya dapat dicacat bahwa koran ini telah membuka rubrik tersendiri sebagai ruang sastra. Rubrik ini dinamakan “Forum”. Rubrik ini banyak memunculkan para pengarang muda berbakat di Kalimantan Barat. Odys (2002) setidaknya mencatat banyak nama yang muncul dari rubrik ini. Rubrik ini terbit setiap hari Sabtu dan berlangsung dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1994.
 
Di era ini pula, mulai muncul komunitas sastra yang berusaha memperjuangkan keberadaan sastra di Kalimantan Barat. Sistem kelompok atau komunitas sastra ini kemudian berkembang di berbagai sudut kota Pontianak. Meski realitasnya kelompok atau kominitas ini belum mampu melahirkan bibit penulis berkualitas dengan karya-karyanya. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat perkembangan sastra pada masa ini menjadi lambat, antara lain lambannya regenerasi di daerah Kalimantan Barat dan kurangnya sarana media pendukung yang mampu menjadi wadah untuk menyalurkan aspirasi dan kreativitas sastra. Ody’s dalam kertas kerjanya (2002) juga menjelaskan bahwa hal penting yang sangat menentukan perkembangan sastra di Kalimantan Barat ketika itu adalah masyarakat. Masyarakat masih membatasi diri dengan dunia sastra, setidaknya masih beranggapan bahwa sastra tidak menjanjikan masa depan yang berarti.
 
Pada tanggal 1 April 1984 beberapa orang di antara mereka membentuk satu wadah (kelompok). Kelompok ini mereka namakan Kompak (Kelompok Penulis Pontianak). Anggota dari kelompok ini adalah Aant Kawisar, Tulus Sumaryadi, Odhy s. Dharmawat, Zailani, Aryo Arno Morario, Mizar Bazarvio, dan Dian MSt. Kelompok ini bahkan juga menerbitkan buletin dan beberapa antologi puisi. Antologi puisi yang pernah diterbitkan oleh kelompok ini antara lain, Perjalanan Kucing Hitam (Odhys), Bara Lapar dan Kabut di Atas Borneo (Tulus Sumaryadi), dan Kabar dari Langit (Tadjoel, dkk). Malah Kompak juga pernah menerbitkan sebuah antologi yang memuat karya penyair dari delapan kota di Indonesia, yaitu antologi Sajak Delapan Kota (Makalah Odhys, 2002:3).
 
Kelompok ini memiliki arti tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Setidaknya kelompok ini membuka cakrawala baru wajah sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Selain peran penting yang dilakukkan oleh kelompok Kompak, media massa juga memiliki arti yang penting dalam perkembangan sastra Indonesia pada tahun 1980-an. Setidaknya kita dapat mencatat beberapa nama media massa baik elektronik maupun cetak, antara lain Radio Republik Indonesia cabang Pontianak, radio La Paloma, koran Akcaya, dan koran Swadaya. Radio La Paloma sebagai radio swasta ketika itu telah menyelenggarakan satu paket acara yang disebut acara Apresiasi Sastra. Acara ini diasuh oleh pengarang Kalimanan Barat yaitu Yudhiswara. Acara ini berlangsung dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1985.
 
Di sisi lain, Koran Akcaya terus membuka sebuah rubrik sastra dan budaya. Rubrik ini pada awalnya lahirnya sampai tahun 1991 diasuh oleh Odhy’s dan dari tahun 1991 diasuh oleh Nies Alantas. Rubrik ini secara rutin menampilkan tulisan berbentuk puisi dan cerpen serta berbicara tentang kesastraan secara umum. Sementara itu, Koran Swadaya dari 1985 telah menyedikan sebuah rubrik yang diberi nama Ruang Budaya. Rubrik ini memberikan kesempatan kepada pengarang dan pemerhati budaya untuk mengirim karya-karyanya.
Perkembangan selajutnya, sastra Indonesia semakin mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Maka muncullah nama-nama Meyzar Syailendra, Pradono, Aspan Ananda, Mulyadi, Abdullah, Syaza Kayong, Chandra Argadinata, Uray Kastarani HAs. Dalam perjalanan sastra Kalimantan Barat selanjutnya banyak kelompok pengarang yang muncul di Kalimantan Barat. Kita bisa menyebut nama seperti, Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH). Selain itu, kehadiran Dewan Kesenian Provinsi Kalimantan Barat juga memberikan angin segar terhadap perkembangan sastra Indonesia di Kaimantan Barat. Dewan ini dibentuk pada tahun 1993. Dewan ini telah menerbitkan beberapa antologi baik puisi maupun cerpen. Kain Tilam dan Jepin Kapuas merupakan dua antologi (cerpen dan puisi) yang pernah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Kalimantan Barat.
 
Sastra Kalimantan Barat Kekinian
 
Menarik untuk membicarakan sastra ke kinian di Kalimantan Barat. Setidaknya dilihat dari dua aspek, yaitu pertama dari aspek komunitas sastra dan kantong sastra, kedua aspek karya sastra. Komunitas sastra merupakan kelompok atau kumpulan beberapa orang yang membentuk wadah dalam berkreativitas dalam bidang sastra. Banyaknya muncul komunitas sastra di Pontianak dan berbagai daerah di Kalimantan Barat tentu merupakan pertanda positif dalam gerak dan laju perkembangan sastra di Kalimantan Barat. Selain komunitas sastra yang telah lama ada, kehadiran Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL) STKIP PGRI Pontianak, Forum Lingkar Pena (FLP) Kalimantan Barat, Sanggar Kiprah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP Untan), dan Club Menulis STAIN, telah membuka cakrawala baru dalam perkembangan sastra Kalimantan Barat. Setidaknya dari kelahirannya pada Juli 2010, telah menghasilkan 60-an karya, baik karya sastra maupaun karya ilmiah lainnya. Artinya, kehadiran komunitas ini telah memberi rangsangan dalam perkembangan sastra di Kalimantan Barat. Sampai saat ini Club Menulis STAIN memiliki anggota aktif sebanyak lima puluh orang. Langkah konkrit yang dilakukan club ini selain pembinaan kader ke dalam adalah melakukan pembinaan bibit sastra ke sekolah-sekolah. Hebatnya club ini tidak hanya merambah Sekolah Menengah, tetapi juga masuk ke Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiah (SD Islam). Bahkan, untuk merangsang peserta biasanya Club Menulis STAIN juga menerbitkan hasil karya anak sekolah tersebut.
 
Forum Lingkar Pena (FLP) Kalimantan Barat merupakan komunitas kepenulisan yang eksis di Kalimantan Barat. Akan tetapi, kurangnya publikasi membuat komunitas ini seakan tidak terlihat geliatnya. Secara nasional Forum Lingkar Pena (FLP) didirikan pada 1997 dengan tokohnya Helvy Tiana Rosa. Di Kalimantan Barat Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada tahun 2000.
 
Hal lain yang juga penting dan mewarnai perjalanan sastra kekinian adalah munculnya komunitas di berbagai kabapaten dan kota di Kalimantan Barat. Di Ketapang geliat sastra memberikan harapan pada pencerahan dunia sastra. Tokoh seperti Wyas Ibn Sinentang, Agus Kurniawan, Syaza Kayong, Fatirkal Danarto, dan E. Widiantoro (yang sekarang menetap di Kubu Raya) merupakan tokoh patensi sastra yang eksis menggerakkan geliat sastra di Ketapang. Di Kayong Utara kita dapat menyebut nama Saifun Arif Kojeh, penulis yang telah memiliki nama di tingkat nasional. Bahkan, karya cerpen Saifun Arif Kojeh yang berjudul Kempunan memenangi hadiah Hescom (Malaysia) kategori ACAS 2009 (Jangak, 2012: 66). Komunitas Penulis Bumi Lelabi Putih, merupakan komunitas yang digerakkan oleh Saipun Arif Kojeh.
 
Geliat sastra di Kota Singkawang juga membanggakan. Komunitas Wapres dan Komunitas Rumah Gergasi merupakan dua komunitas yang memberi warna perjalanan sastra di Singkawang. Gunta Wirawan, Pradono (yang kembali pulang kampung), Aan Rosadi, Iwan Darmawan, Ipheng, serta kehadiran Nano L. Basuki (yang sering bertandang ke kampung halamannya istrinya), merupakan tokoh yang ada di balik geliat sastra tersebut. Tentu banyak lagi nama yang bisa diurutkan untuk mengurai geliat dan perkembangan sastra di tiga daerah tersebut.
 
Menarik juga mencermati apa yang dilakukan oleh Pay Jarot Sujarwo (PJS), Nano L.Basuki, Joseph Oendoen (puisi dan seni pertunjukan), Ilham Setia, dan lain-lain dalam gerak sastra Kalimantan Barat. Kehadiran PJS dan Nano L. Basuki dalam ranah sastra Kalimantan Barat sesungguhnya membuka babakan baru sastra Kalimantan Barat. Setelah meninggalnya Odhy’s tahun 2005 dan Yudhiswara tahun 2007. Geliat sastra seakan kehilangan ”penjaga gawang”. Kehadiran PJS dengan model datang ke sekolah-sekolah memunculkan harapan baru dalam perkembangan sastra Kalimantan Barat. Dengan model ini, PJS telah membangkitkan semangat generasi baru Kalimantan Barat dalam dunia sastra. Dari sekolah menengah banyak muncul bibit baru yang menjanjikan bagi perkembangan sastra Kalimantan Barat. Pada saat sekarang ini banyak kawan-kawan penggiat sastra yang turun ke sekolah untuk melakukan pembinaan. Komunitas Rumah Aloy, Forum Indonesia Menulis, Forum Sastra Kalbar misalnya. Tentu akan banyak lagi nama komunitas yang bisa diurut di sini. Belum lagi Balai Bahasa Kemdikbud yang juga serius dalam pembinaan sastra di sekolah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota dan Kabupeten se- Kalimantan Barat.
 
Menarik juga untuk membahas sastra pertunjukan di Kalimantan Barat. Nama (alm) John de Gautte tentu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sastra pertunjukkan di Kalimantan Barat. Nama Sataruddin Ramli, Josep Odilo Oendoen, Matse Yakoub, Yudi, Iwan Wientania, Pitra Sar dan lain-lain (sumber: Josep Odilo Oendoen) merupakan nama yang muncul di ranah teater Kalimantan Barat berkat bimbingan beliau. Sataruddin Ramli fokus di sastra pertunjukan Mendu. Selain Sataruddin Ramli, kita bisa menyebut nama Yakop Matse, Yusub Aba, Herman, Latif Simajuntak, Benni, Musa, Suhatman, Jery Anwar, Kamel, Agus, Uli, Ilham Setia, Budi KK, dan Suhaili (dirangkum dari sumber: Uli dan Ilham Setia). Di sisi lain, Josep Odilo Oendoen fokus di teater modern. Setidaknya ketokohan Josep Odilo Oendoen di teater modern Kalimantan Barat menjadi magnet tersendiri dalam menggerakkan sastra pertunjukan di Kalimantan Barat.
 
Perkembangan teater kekinian di Kalimantan Barat tentu tidak bisa dilepaskan dengan Forum Masyarakat Teater Kalimantan Barat (Format Kalbar) yang berdiri 2007, dinahkodai oleh Mugiono dan pembina H Eko Akbar Setiawan dan Hery Anshari Boy. Selain itu, kita bisa menyebut sanggar Teater Baret, Dapur Teater, Teater Topeng, Rumah Teater (Ruter), Teater Retak, Teater Mata, dan Teater Terbit Dua Belas. Menaiknya, teater Terbit Dua Belas yang dipimpin oleh Adiansyah (Plontos) juga membina sembilan sanggar di Pontianak Timur.
 
Dari kampus kita bisa menyebut nama Sanggar Teater Sassan (IAIN), Ekosnomos (Ekonomi Untan), KSJL (IKIP PGRI), Kiprah (FKIP Untan). Sementara itu, secercah harapan juga muncul dari Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan. Dari sana muncul nama Sanggar Teater Linka (SMA 1 Pontianak), Sanggar Teater Gempa (SMA 3 Pontianak), Sanggar Teater Cadar (SMK 3 Pontianak), Sangga Teater Ketupat (SMA 4 Poarntianak), Sanggar Teater Kota Tujuh (SMA 7 Pontianak), Sanggar Teater Pitung (SMA 8 Pontianak), Sanggar Teater Dasa (SMA 10 Pontianak), Sanggar Teater SMA Mujahidin, Sanggar Teater Termos (SMA Muhamadiyah 1 Pontianak), Sanggar Teater Abunawas (SMA 1 Sungai Raya), dan Sanggar Teater Tembak (SMA Kemala Bhayangkari). Munculnya sanggar teater di sekolah tentunya menjadi harapan dalam perkembangan sastra pertunjukan di Kalimantan Barat. Peran serta Balai Bahasa Kalimantan Barat, Kemdikbud dalam membina generasi muda teater Kalimantan Barat adalah telah dilaksanakan dua tahun berturut-turut 2018 dan 2019, Festival Teater untuk Siswa Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan se-Kalimantan Barat.
 
Langkah lain yang harus kita galakkan dalam perkembangan sastra di Kalimantan Barat adalah perlunya usaha bersama dalam menjaga kualitas dan mutu karya sastra. Peran pelaku dan penggiat sastra dalam meningkatkan kualitas karya tentu harus didukung. Bedah karya sastra dengan ulasan yang kritis tentu dibutuhkan oleh kawan-kawan penulis, pelaku sastra dalam meningkatkan mutu karya sastra.
***
 
*) Musfeptial Musa, S.S., M.Hum, peneliti Ahli Madya bidang Sastra di Balai Bahasa Kalimantan Barat. http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-kalimantan-barat-era-kekinian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar