Selasa, 24 Agustus 2021

Hamka: Kursi MUI dan Filsafat Bika

Marjohan
harianhaluan.com
 
Siapa tak kenal Hamka! Tak cuma dikenal sebagai buda­yawan, sastrawan, pujangga dan sejarawan. Lebih dari itu, beliau adalah ulama besar, terpandang, kaya harga diri dan bertahta di hati umat hingga kini. Begitu tersematnya tokoh yang lahir pada 17 Februari 1908—bertepatan dengan tahun Ke­bang­kitan Nasional Indonesia ini, tidak saja pada kaum kulturalis, tapi juga elite struk­turalis—tak heran pada Juni 1975, pengarang novel Tengge­lamnya Kapal Van Der Wijck (1937) itu, ditawari oleh Menteri Agama RI—yang kala itu dibiduki Prof. Dr. Mukti Ali untuk menggenggam jaba­tan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Reaksi Hamka? Apa tawaran menggiurkan itu ditelan men­tah-mentah? Sebagai tokoh tempaan zaman, dan telah banyak mereguk asam garam kehidupan, beliau tak serta merta menerima tawaran yang kata orang-orang kini sekilas cukup menjanjikan secara politis plus material. Pertama-tama Hamka baiyo–batido (berkompromi) dengan seke­ping nurani yang bergayut di alam pikirnya. Beliau pertim­bangkan masak-masak untung rugi kedudukan strategis terse­but.Bukan untung rugi secara material, tapi bersangkut-paut dengan kondisi sosial objektif umat Islam pada masa transisi dari Orla ke Orba.
 
Bandingkan dengan pemu­ka agama di alam materialistis, pragmatis dan bahkan hedonis kini! Tidak ditawari kedudukan, dan atau jabatan pun—segelintir mereka “menyosoh-nyosohkan” diri ke tengah gelanggang, malah nyaris tergelicik meng­halalkan segala cara—untuk tidak mengatakan terpengap dalam kepompong sempit “machiavellism oriented”. Dan, yang membuat umat/rakyat mengurut dada, pola-pola semacam itu, tidak saja berke­cambah di habitat parpol pengusung azas Islam, parpol berbasis umat Islam dan parpol nasionalis-sekuler yang mem­buka diri untuk tokoh/umat Islam—memburu dan berburu jabatan/kedudukan sepertinya juga menjalar ke tubuh Ormas Islam. Sebut saja di Nahdatul Ulama (NU); Persatuan Tarbi­yah Islamiyah (Perti); Tarbiyah Islamiyah; Muhammadiyah; Dewan Dakwah Islam Indo­nesia (DDII); Korop Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI); dan lain sebagai­nya. Aneh bin ajaibnya—dan ini yang membuat banyak orang “manggaritih”, setelah jabatan/kedudukan digenggam (teruta­ma di Parpol/legislatif), mere­ka-meraka itu (ulaaa-ika) terkesan tidak amanah. “Lah basuluah mato-ari-bagalang­gang mato-rang-banyak”—yang mengemuka justru memper­gemuk pundi, demi kepenti­ngan pribadi dan keluarga—dengan dalih yang didalil-dalilkan, bila perlu mengutip ayat Al-Quran dan Hadits. Na’udzubillahi min dzalik!
 
Rujuk ke ihwal Hamka! Sekitar 1973/1974, Umat Islam Asia Tenggara, lebih-lebih Indonesia, benar-benar merasa­kan bahaya laten komunisme. Ancaman tersebut kian mence­kam bahkan mengintai, atas keoknya Amerika Serikat (AS) oleh tentara Vietcong, Vietnam yang berhaluan kiri. Menurut Hamka, terminologi Ketahanan Nasional sebagai tema sentral Orba, dapat dimaknai ketaha­nan ideologi rakyat—ketika berhadapan dengan ideologi atheis yang diandalkan komu­nis. Menghadapi ideologi komunis, haruslah dengan ideologi jitu dan tahan banting. Dalam konteks ini, Dinul Islam-lah senjata paling ampuh. Sebab, selain punya pijakan jelas (Al Quran dan Sunnah), penduduk tanah air mayoritas beragama Islam (fi’ah katsirah). Tidaklah salah pemuka Islam merajut kerja sama dengan pemerintah. “Bukankah pemerintah adalah juga anti komunis”! Itulah yang menyelinap dalam pikiran Hamka pertama-tama ketika disuguhi jadi nakhoda di tubuh MUI. Sedang pertimbangan kedua, Hamka meneropong Umat Islam Indonesia sudah terlalu lama didendami rezim Orla. Sisa-sisa ideologi komu­nis yang diindoktrinasi­kan terasa masih kental, dan bahkan menyelusup tiap ada ruang. Akibat yang menyembul ke per­mukaan, apapun yang diper­buat umat Islam, nyaris semua dicurigai pemerintah. Sebalik­nya, segelintir umat Islam pun cenderung apriori terhadap pemerintah. Apa yang diayun­kan pemerintah guna mengatur negara dan pembangunan, semua salah. “Kita hampir kehilangan akal sehat, dan kondisi tidak sehat ini sejatinya dimediatori”, ujar Hamka membatin.
 
Apa Hamka yang selama ini bergumul di ranah kultural langsung terjun bebas ke zona beraroma politis? Bukankah Hamka pernah bilang: “Politik bukan medanku–pujangga adalah idamanku”. Dijawab Hamka! Benar kalau dikatakan begitu. Namun, orang politik menginginkan kursi empuk dan fasilitas bertukuk. Sedang Aku melihat kursi Ketua Umum MUI sebagai kursi listrik. Andai tidak cerdas menduduki, Aku bisa terbakar dan tergurajai (tersungkur). Tapi dengan niat baik, Insya Allah Aku tak akan mati. “Kursi” Ketua MUI kalau memang bakal ku-duduki mesti dengan dua syarat: tidak digaji dan tidak pula pensiun! Yang Aku inginkan, hanyalah menghidupkan kembali ghirah dan muru-‘ah (harga diri) yang sudah rapuh akibat sepak-terjang ideology of atheism yang terus mengitari umat. Usai berkompromi dengan diri sendiri, Hamka masih belum bersigegas duduk di kursi MUI. Beliau merasa perlu berurun-rembuk dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka dapat merestui mantan anggota Pim­pinan PP Muhammadiyah itu, berkiprah di lembaga MUI. Dalil ‘aqliyah yang dike­te­ngahkan nyaris sama bahkan sebangun dengan Hamka.
 
Langkah terakhir, Hamka mohon ma-unah Allah melalui shalat istikharah berulang kali. Dan, setelah mendapat izin dari istri dan anak-anak, tepat 17 Rajab 1395 H/26 Juli 1975, Prof. Dr. Buya Hamka resmi dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat. Pada pidato malam ta’aruf di Gedung Sasono Langen Budaya Taman Mini Indonesia, selain menggariskan kebijakan MUI ke depan, Hamka mengibaratkan lembaga MUI bagai kue bika dibakar antara dua bara api. Di atas ada pemerintah, di bawah berserak-serak umat dengan latar kultur, adat dan keinginan yang kadang meledak-ledak. Maksudnya? Bila ulama berat ke atas—putus tali dengan umat, dan tak dihiraukan umat. Sebalik­nya, andai ulama berat pada umat, renggang hubungan dengan pemerintah. Bahkan, pemerintah bisa menstigma­nisasi ulama tak berpartisipasi dalam kancah pembangunan. Langkah bijak, justru memosisi­kan diri sebagai titian antara umat dan pemerintah.
 
Pada 17 September 1975, Hamka membuktikan filsafat kue bika itu. Bersama Sekjen MUI, Drs Kafrowi ditukuk 30 pengurus inti, Hamka ber­tandang ke Istana Merdeka. Dengan sikap bersahabat tapi transparan, Hamka mengung­kapkan pada Presiden Soeharto tentang kegelisahan umat Islam terkait kegigihan Kaum Shali­biyah menyebarkan missi/zendingnya di tengah komunitas Islam, utamanya di kantong-kantong kemiskinan. Bertumpu pada surat Mumtahanah ayat 7-9, Hamka mengurai-papar­kan fakta-fakta salibisasi di negeri ini. Nyaris tiap sebentar mereka itu (ulaaa-ika), menyu­guhkan pelbagai bujukan de­ngan kelebihan materi yang dimiliki.
 
Kata berjawab-gayung ber­sam­but! Lewat pendekatan persuasif, argumentatif dan transparansif, Presiden Suharto pun menggulirkan statemen cukup melapangkan rongga dada umat Islam yang lagi resah : “Kiat-kiat mengiming-imingi orang dengan materi untuk menambah penganut Agama adalah satu “dari pada” perbuatan tercela” (Hatta tat tabi’a mil latahum). Wallahu a’lam bish shawab.

*) Pemerhati Sosial-Budaya. http://sastra-indonesia.com/2011/11/hamka-kursi-mui-dan-filsafat-bika/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar