M Rizqi Azmi *
padangekspres.co.id
Tahun ini presiden menyerahkan tujuh gelar pahlawan nasional kepada orang-orang yang telah berjasa besar mempertahankan dan /atau mengisi kemerdekaan Indonesia.Ketujuh nama tersebut adalah Mr Sjafruddin Prawiranegara, Idam Chalid, Buya Hamka, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, I Gusti Ketut Pudja, Sri Susuhunan Pakubuwono X, Ignatius Joseph Kasimo.
Penyerahan ini merupakan akumulasi dari pemunculan 18 nama calon pahlawan nasional, apalagi pernah mencuat nama Soeharto, Ali sadikin dan Gus Dur. Namun setelah keluarnya ke tujuh nama diatas, maka pemerintah membuktikan bahwa pemberian gelar sesuai dengan peraturan dan keinginan masyarakat.
Terlepas dari pada itu, masyarakat Sumbar harus berbangga hati karena satu lagi pahlawan nasional muncul dari ranah Minang yaitu Buya Hamka. Beliau lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi Hamka.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hampir semua ilmu pengetahuan dikuasai dengan banyaknya karya tulis yang dikeluarkan dalam pemikiran-pemikiran yang jenius. Semuanya hampir rata-rata dikuasai dengan otodidak. Selanjutnya Kepiawaiannya dalam beretorika membawanya memimpin organisasi masyarakat terbesar di negara ini yaitu muhammadiyah dan pernah duduk sebagai pendiri partai majelis syura muslimin Indonesia (Masyumi).
Serta rela keluar sebagai pegawai negeri departemen agama waktu itu.Puncak karirnya disaat ia mengeluarkan tafsir Al-Azhar di balik jeruji besi. Selain itu ia pernah nisbatkan dalam satu Statement “Pahlawan di Malaysia, Pemberontak Di Indonesia”. Hal ini terjadi di rezim Soeharto atas pandangannya yang keras terhadap ketidakadilan pemerintah sementara itu karya dan pemikirannya mampu meredamkan konflik sosial dan ideologi di Malaysia.
Nilai Kepahlawanan Buya Hamka
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini.Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka.
Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. “Di Bawah Lindungan Ka`bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Falsafah Hidup”, “Islam dan Demokrasi”, “Keadilan Sosial dalam Islam”, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka.
Pemikiran Buya Hamka relevan di tengah-tengah masalah keberagamaan bangsa ini yang pasang surut di tengah tarik-menarik antara konflik dan kekerasan. Keberagamaan yang tidak kontekstual dan hanya mementingkan tata cara keberagamaan formal sebagai “substansi” beragama dan “satu-satunya” cara terbaik beragama justru seringkali menyeret seseorang ke dalam pemikiran yang sempit. Seolah-olah kehidupan ini dihuni oleh segolongan orang yang memiliki cara beriman dan beragama yang sama persis.
Secara kontekstual, kehidupan beragama seperti adanya inilah yang menjadi fakta masyarakat. Kekerasan dan konflik kerap dipicu oleh sentimen yang dibangun melalui sempitnya cara memandang hidup dan kehidupan. Pluralitas adalah kenyataan kehidupan. Dalam konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.
Tafsir atas pemikiran Buya Hamka memang beragam. Namun perbedaan tafsir di dalamnya seharusnya dikokohkan dalam kerangka memperkaya khasanah keberagamaan dari sudut pandang substansinya. Ini akan sejalan dengan semangat pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup. Untuk mendapatkan contohnya, sosok pemikiran Buya Hamka seperti di atas dapat dijumpai dalam jejak-jejak pengaruhnya kepada, misalnya, pemikiran dan kepribadian
Legitimasi Gelar Hamka
Menurut undang-undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan dan Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 35 tahun 2010 Tentang Pelaksanaan undang-undang nomor 20 tahun 2009 Tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang dikatakan sebagai pahlawan apabila mendapat penghargaan gelar pahlawan dari Presiden. Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajah yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara.
Gelar itu bisa juga diberikan untuk seseorang yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa Pemberian gelar pahlawan nasional tidak sembarang tunjuk atau sembarang usul. Diperlukan suatu tata cara pengajuan dan persyaratan lain yang harus dipenuhi si calon pahlawan sesuai dengan undang-undang.
Menurut Pasal 24-26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seseorang harus memenuhi persyaratan umum dan khusus untuk mendapat gelar pahlawan. Syarat umumnya, seorang calon pahlawan haruslah warga negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) yang juga memiliki integritas moral dan keteladanan. Calon pahlawan juga harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, berkelakuan baik, dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan atau diancam pidana penjara di atas lima tahun.
Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, meski hukuman pidana akan luntur jika seseorang telah meninggal dunia, dia tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan. Namun berbeda dengan keadaan Buya Hamka yang pernah di penjara waktu Rezim Soeharto. Keberadaan Hamka dikala itu bukanlah sebgai penjahat atau pelanggar hukum. Hal ini dikarenakan tindakan Hamka dalam pidatonya merupakan ucapan kebenaran untuk meluruskan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang. Dalam hal ini pemerintah menanggapinya sebagai Kealpaan pemerintah otoriter dalam membuat suatu kebijakan.
Adapun syarat khusus pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan, harus dipenuhi calon pahlawan adalah selama masa hidupnya, dia pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, dia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Hal inipun sudah dipenuhi Hamka dengan memimpin perjuangan politik melalu Muhammadiyah dan Masyumi. Namun yang paling penting Hamka menghasilkan karya-karya besar yang tidak memihak terhadap satu ideologi saja. Namun ia bisa merangkul semua kalangan ideoalogi, suku, rasa dan kepentingan politik. Oleh karena itu Buya Hamka juga tidak dikenal dengan Pahlawan islam tetapi juga pahlawan pluralis yang tercermin dalam kemoderatannya.
10/11/2011
*) M Rizqi Azmi, Alumni Unand. http://sastra-indonesia.com/2011/11/buya-hamka-pahlawan-moderat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar