Sabrank Suparno
Aku tidak berbicara padamu sebagai wanita, tetapi sebagai manusia. Andai tiang Ibu Pertiwi sepertimu, negara tak sepuruk ini. Sebab kesalahan utama penggerak sejara adalah bagaimana melahirkan generasi bangsa. Kalau masalah bangsa ini terletak pada pendidikan, mustinya Indonesia sudah beres dengan banyaknya sarjana. Celakanya, sarjana cuma bertujuan mencari peluang untuk ikut merusak negara.
Ken, rupanya Tuhan mempertemukan kita sebagai teman, supaya aku belajar tentang ketegaran. Kelak, aku akan berkata pada anakku, "belajarlah pada ibumu, sebab ayah juga banyak mencuri ilmunya." Meski bukan Kau ibu dari anakku, tapi ia adalah wanita sepertimu. Sebab doa tak jauh dari pemintanya.
Ken, sepuluh tahun lalu aku pergi ke Pulau Buru untuk memenjarakan diri. Ternyata kau sudah di sana untuk sepuluh tahun mendatang. Di Pulau itu, kekalahanku adalah sering mengeluh padamu, sedang kau tak mengeluh pada siapa siapa.
Ken, jika kau tanya, apa yang hebat darimu di pandanganku sebagai manusia? Akan kujawab, tak semua manusia mengilhami karyaku, kecuali dirimu.
Ken, suatu saat nanti kita akan kembali ke rumah sendiri sendiri. Aku tak mampu memberi secuil apapun padamu. Tetapi dirimu memberi kado yang kau rangkai setiap azan menggema.
Tetaplah jadi dirimu, Ken. Kaulah seharusnya wanita Indonesia itu. Aku bangga padamu, bukan sebagai wanita, tetapi sebagai manusia.
Ken, kau tahu kan, model cinta yang kutawarkan! Bukan cinta maskulin, kehebatankku mencari wanitaku. Tetapi ia yang aktif membantu. Cintaku bukanlah keberhasilanku, tetapi keberhasilan bersama. Dan itu sulit tanpa bekal keikhlasan.
Ken, kaulah puisiku itu. Satu judul tentang mawaddah wa rahmah. Suaramu menjadi rima, rambutmu menjadi lirik, kedua alismu menjadi sajak, merindumu adalah pengulangan berkali kali yang tak jemu kuhampiri, dadamu adalah makna sedalam aku menyelami.
Ken, aku harus mengaduh padamu, bahwa besok dan setiap saat negri kita selalu memusnahkan rupiah secara massal. Berapa dana yang terbuang untuk penyelenggarakan pilihan pilihan. Barangkali yang tidak terlalu musnah adalah uang sangu nyoblos, sebab masih dimakan teman sebangsa. Selain dana pemilihan dari RT hingga Presiden, setiap hari pun negri kita membuang rupiah ke luar negri. Saham saham tekhnologi ini aset luar negri. Beli pulsa, facebookan, apalagi BB yang kentut dan ke WC sekalipun harus ngurusi hp. Tidak cuma uang yang hangus, tapi mata kita, wajah kita, fikiran kita hanya tercurah dipertaruhkan pada benda kecil yang cahayanya mengeriputkan wajah. Sering kita dengar anak tetangga berteriak, "Bu..minta uang buat beli pulsa." "Iya nak, Ibu masih hutang cabe dan trasi ke toko sebelah." Ken, apakah kita dan anak anak juga begitu, supaya tidak dianggap ketinggalan zaman.
Ken, hari ini aku ingin berbicara denganmu bukan sekedar sebagai manusia, tapi sebagai wanita yang kubanggakan. Kau tau kan, ledakan kekalutanku kadang bergemuruh menyambar petir. Maka upayakan dada sejembar samudra untukku supaya leluasa aku menyeberanginya. Hati sedalam lautan supaya jeruh aku menyelaminya. Pengertian setinggi Himalaya supaya memadai aku memanjatinya. Keikhlasan sehampar cakrawala supaya lejar aku merantauinya. Sebab gundahku bukan kelas biasa. Jika kegelisahanku tumpah, matahari kan meleleh, bintang gemintang redup, rembulamn padam, gravitasi dan rotasi antar planet terhenti. Maka, hanya dalam buaianmu aku tenang dan alam terselamatkan. Itulah kehebatanmu sebagai wanitaku. Namun tidak tau, kecuali saksi bisu.
Ken, ingatkah kau ketika kita bersantai di balai rumah bersama anak kita. Itulah kekayaan kita, harmonis dalam gubuk sederhana. Tiba tiba hadir tiga tamu hendak menginap. Mereka bernama Harta, Tahta dan Cinta. Sementara kamar yang tersedia cuma satu. Maka kita memilih salah satu diantara tamu kita itu. "Mas, kita pilih si Harta saja, kan sudah lama kita lumayan sengsara. Jika si Harta menginap di rumah ini, kita tidak akan kelabakan lagi. Kita bisa beli apapun supaya tidak gengsi pada tetangga. Kita bisa punya Land Cruiser, borong barang belanjaan di Mall, rumah pun kita renovasi." Itu usulmu,
Ken. Sementara aku sebagai lelaki lebih memilih si Tahta saja. Sebab jabatan membuat keluarga kita terkenal, disegani dan di eluheluhkan orang. Kita bisa nyuruh siapa saja dengan kekuasaan kita. Lain lagi dengan anak kita, "Ayah, Ibu, bagaimana kalau kita memilih Cinta saja. Hanya dengan Cinta keluarga kita selalu mesrah sepanjang masa. Percuma kaya dan berkedudukan kalau kita akhirnya berantakan, menyakitkan, mengenaskan." Ken, setelah kita timbang, benar yang diusulkan anak kita. Kita tidak harus ego sebagai orang tua, jika pemikiran anak kita lebih menyelamatkan, kita pun harus tunduk. Bukuan tunduk pada anak kita, melainkan pada kebenaran.
"Baiklah, si Cinta silahkan masuk!" Dengan berat hati kita membiarkan si Harta dan si Jabatan beranjak pergi. Namun si Harta dan si Jabatan tidak kunjung pergi. Mereka berdua malah bilang, "maaf tuan, di antara kami bertiga yang paling tau jalan adalah si Cinta, sedangkan kami berdua ini buta. Jika si Cinta yang tuan perbolehkan nginap, maka kami hrus ikut, sebab kami TIDAK TAU ARAH. Ken, air mata kita....
Ken, malam ini aku tidak ingin bicara apa apa denganmu, karena kita tlah sama sama mengerti. Terlalu banyak bicara, tidak enak, seolah aku ini lelaki diktator dan posesif. Aku mungin berbisik, terimakasih atas pengertianmu: ancen wes podo gedene.
Ken, ngobrol denganku tak akan cukup waktu meski seumur hidup. Sebab di kepalaku ada celah yang ditetesi cipratan air dari beribu bulu bulu Zafaron ketika keluar masuk lautan cahaya. Begitu juga denganmu. Namun jangan lupa, bahwa kita orag Jombang pusat Ludruk. Bahwa yang disebut innal haya' laibun wa lahwun: sesungguhnya hidup itu senda gurau, ludrukan. Aku oleh tetesan Zafaron itu dengan guyonan supaya lentur dan tidak menjenuhkan. Itulah obat awet muda dan panjang umur, supaya kita menagi owah owahane zaman, membimbing anak cucu.
Ken, sekitar awal kemerdekaan negeri kita dahulu, bersamaan dengan konflik aliran di Arab Saudi. Di mana gerakan Wahabi berniat menghapus makam Kanjeng Nabi. Mereka bersitegang, saling ngotot dan salin merasa benar. Akhirnya, Kiai Hasyim Asy A'ri mengutus Kiai Wahab Chasbulla untuk bertandang ke tepian ka'bah dalam rangka mendamaikan. Kiai Wahab Chasbullah tubuhnya kecil, kerempeng, namun berani berdiri di antara dua golongan. "Saudaraku sesama muslim, saya diutus Syeh Hasyim As'ari dari Indonesia untuk menemui kalian. Aku tanya, apakah kalian mengetahui mengapa semut jika bertemu temannya pasti bersalaman dan berciuman?"
Kiai Wahab mengerti bahwa kebudayaan orang orang Arab, tidak sempat memikirkan hal hal sederhana namun berarti. Wahabi dan Asy ari celinguran menjawab pertanyaan kiai kerempeng ini. Mereka tidak bisa menjawab. "Dahulu, zaman banjir bandang, perahu Nuh memuat beberapa hewan untuk menyelamatkan species. Semua alat vital hewan disita sementara agar tidak berlangsung perkawinan dan perkembangbiakan yang memberatkan bobot lalu menenggelamkan muatan. Ketika banjir surut, semua hewa berlari mengambil barang paling berharga miliknya. Nah, karena milik si semut terlalu kecil maka ketlisut. Nuh berjanji jika kelak sudah ditemukan, semut akan dikabari. Namun hingga kini vital si semut belum ditemukan. Makanya setiap bertemu teman, semut saling berbisik tanya sambil malu malu, "piye, milik kita wes ketemu ta durung?"
Ken, dari ludrukan Kiai Wahab itulah dua pasukan terpingkal pingkal. Mereka lupa bahwa ada perbedaan dan ketegangan. Mereka memasuki alam yang sama, yakni,"wkwkwkwk." Jika mental sudah netral, gampang bagi Kiai Wahab untuk menjinakkan. Dan akhirnya, makam Rasululloh masih di sisi Ka'bah terjaga hingga sekarang karena cinta, bukan karena semata benda.
***
Ken, penulis itu orang yang rendah hati, sebab ia rela menunjukkan kebodohannya agar diapreseasi dan dikoreksi orang lain. Kalau boleh sedikit berimajinasi, penulis itu manusia berkepala piramida, dimana ada lubang kecil dari ruang dalam yang tembus bintang cyrus. Tidak semua orang bisa menulis,
Ken. Penulis yang sudah mengeluarkan huruf menjadi kata, menyusun kata menjadi kalimat berarti manusia yang kuat melahirkan embrio gagasan dalam dirinya. Sedang orang yang punya gagasan namun tidak mampu menulis sama halnya dengan bayi prematur. Menulislah Ken, untuk cerita anak cucumu kelak. Aku ingat perkataan temanku Siwi Sang saat diskusi di Taman Bacaan Masyarakat Jalan Agus Salim no 9 yang bersebelahan dengan Jalan Agus Kuprit pada 13 April 2013, bahwa penulis itu lebih disegani para pendekar pedang. Sebab, jika pendekar pedang salah tebas hanya satu kepala melayang. Tapi penulis salah melontarkan konsep, milyatan manuisia kehilangan peradaban.
Ken, kau, kenapa kita saling mempersembehkan diri? Itu karena kita mempunya sejarah lampau yang mengesankan. Saat di perantauan, kau pernah diterjang badai Keterina. Kau terseret arus sedemikian deras. Aku berusaha menolongmu. Awalnya kulempar tali, namun karena terlalu pendek, maka tak sampai kau gayuh. Lalu kusambung dengan sabukku, tetap tak sampai juga. Lalu kusambung dengan kaosku, tetap tak sampai. Terpaksa aku melepas celana dan kurebek berhelai helai. Helaian itu aku rajut memanjang. Barulah ujungnya dapat kau rauh. Kau pun terselamatkan. Dengan sisah engal nafasmu setelah berjuang melawan arus, kau peluk tubuhku erat. Nyawamu terselamatkan. Memang, nyawa adalah hal yang berharga dalam hidup.
Ken, masih di perantauan di kota berbeda, kita pun pernah dihantam badai Sandis. Angin kencang beberapa hari itu merobohkan segala. Aku yang hendak merekam gambar tidak sadar bahwa ada tiang listri roboh tepat di kepalaku. Untung ada kau, Ken. Kau melompat menangkap aku. Kita bergulingan di aspal tepi gedung, sementara persis beberapa centi menter di sebelah kita batang tiang listrik mengantam, "bruakk." Ken, karena keberanianmu nyawaku terselamatkan. Aku berhutang nyawa padamu.
Ken, semalam (tanggal 14-4-2014) terjadi gerhana bulan total. Apa yang kan terjadi dengan negri kita? Malam nanti aku harus mengganti nomor hp dengan angka 4-4-3. Pemberitahuan menyusul. Akankan Indonesia bubar dan berganti Nusantara sebagaimana mimpi-mimpi kerinduan anak bangsa? Jika benar terjadi maka kita harus tau sejak dini, Ken. Supaya bisa antisipasi. Mengamati pemilihan caleg kemarin memang ada tabiat bahwa para caleg berpotensi sebagai lahan empuk kantong kantong pembayar kerusuhan. Bisa juga disebabkan berpandangan partainistik lebih utama dibanding wawasan berbangsa dan bernegara.
Ken, coba kita amati bursa capres, ada beberapa jenderal bersaing. Anak kita yang bernama Prabowo berkantong tebal dari Bank Suwis milik mantan mertuanya. Anak kita yang bernama Wiranto dan Susilo sama sama memiliki bawahan. Anak kita yang bernama Jokowi sudah pasti dipegang Barat. Sebab barat bangkrut, apapun harus dilakukan untuk pemulihan perekonomannya. Barat mulai membayar 12 jenderal untuk dekengi. Anak kita yang bernama Ical juga berduit, dengan gampang membeli anjing anjing Herder. Nah, semua incarannya adalah caleg. Kau tau kan, caleg kemarin, rakyat hanya berjalan karena bayaran.
Ken, gerhana bulan pertanda rahmat dari langit tidak mencorong karena ditutupi bumi manusia itu sendiri. Aku suka pendapatmu, bahwa kalau harus menentukan pilihan, kau tetap memilih Indonesia saja. Sebab kau dan aku memang terlahir di nama yang bernama Indonesia. Andai negri ini dulu ditakdir bernama Nusantara, tentu prosesnya tak sesulit ini. Indonesia adalah takdir tersendiri. Lalu kau bertanya bagaimana sikapku jika terjadi prahara tahun depan. Aku jawab dengan ludrukan, "Ken, aku tak peduli: ada kerusuhan atau tidak, negri ini berubah jadi Nusantara atau tidak. Apapun yang terjadi aku tetap mencintaimu dan anak anak kita sak pol pole. Itu saja, beres uripku."
Sederhana kan Ken sikapku. Tapi itu analogi, bahwa jika kerusuhan benar terjadi pasti akan ada korban, dan setiap korban pasti Tuhan sedang mencuci kotoran yang kucel, supaya baju Indonesia lebih pantas dipakai pada tahun tahun mendatang. Nah, jika aku termasuk korban biarlah Tuhan membatalkan sebab sungkan. Karena aku menyayangi keluarga secara dahsyat. Sebab, di selah kehancuran pasti ada generasi survive yang disisahkan. Asal tau Ken, bahwa kita adalah sisahan manusia survive zaman kejayaan Atlantis dulu.
Ken, luka luka negri kita mulai memborok. Caleg berjuang mati matian demi partainya, ujung ujungnya koalisi dalam pilpres. Itu menyakitkan caleg dan pemilihnya. Dahulu jelas mana partai kawan mana partai lawan, sekarang tidak ada partai lawan, semua kawan demi keuntungan.
Ken, borok itu akan menanah. Capres berasal dari beberapa wilayah yang tentunya berpandangan sekterianistik. Otomatis akan kuat di wilayahnya. Ini pemantik perpecahan suku dan ras. Negara negara yang di belakang pilpres sudah merancang dokumen bahwa Indonesia akan dipecah menjadi 15 bagian. Kau harus faham Ken, jangan berfikir sebatas sarang ayam. Maaf Ken, sebagai laki laki kadang aku tegas, sebab wanita jika dibiarkan akan bengkok. Apalagi jika warga Indonesia ini sudah tidak ada yang jantan, kecuali berkatakter wanita semua. Ken, ajarilah anakmu bersikap jantan meskipun berkelamin wanita.
Ken, jika suatu saat tiba-tiba engkau mediamkan aku, maka aku akan bertanya padamu,"jo bojo, tak rasak rasakno pirang pirang ndino kok menengae, lek aku salah,salahku opo? Ojo menengae! Aku cek gak iwuh dadi wong lanang. Gak enak Jo..disawang tonggo, kok sawangane aku iki gak iso dadi wong lanang."
Begitu pula jika entah karena masalah apa tiba tiba aku diam, maka bertanyalah padakui, "Mas, tak rasak rasakno pirang pirang ndino iki kok sampean menengae, lek aku salah, salahku opo? Aku cek gak iwuh dadi wong wedok. Gak enak mas disawang tonggo, kok sawangane aku gak iso dadi wong wedok."
Alkhasil, tidaklah manusia atau pun jagat raya, yang paling harmoni berdampingan adalah jabang bayi dengan ibunya. Sang bayi akan digendong dan disusui oleh ibunya, sedang jagat raya terus digendong dan dibuai Alloh SWT. Ibu adalah kekuatan yang mendasari segala kekuatan. Sebagaimana sastrawan kembali ke ibunya kata, pelukis merujuk ke ibunya garis dan warna, musisi ke ibunya kebudayaan dunia.
Ken, menemukanmu dalam hidupku bukan seperti Sunan Kalijaga yang tiba tiba disabdakan gurunya berbutir kolang kaling menjadi emas. Tetapi seperti Sunan Kalijaga pula yang tak lekas kepincut ketika disuguhi kilauan emas. Sunan Kalijaga berfikir sederhana, bahwa mengenal orang yang bisa menyabda kolang kaling menjadi emas itu lebih berharga dari berapapun banyaknya emas itu sendiri. Jika Sunan Kalijaga sebatas menerima emas itu, maka cukup hanya menerima sebanyak itu. Tapi jika mengenal yang mampu membikin emas, maka suatu saat pasti bisa meciptakan emas sendiri, tak perlu meminta lagi.
Begitulah seharunya kita, Ken. Kita tidak dipertemukan sekedar wanita dan laki laki, istri dan suami, melainkan kita saling membimbing untuk mendekat pada Alloh dan Rasulnya. Keluarga yang bisa menemukan Alloh dan Rasulnya itulah yang lebih berharga dari sekedar keluarga yang berorientasi harta benda.
Ken, kita dulu anak anak Garuda, Elang perkasa yang jarahan terbangnya jauuh. Kepakan sayapnya lebaarr. Akomodasi matanya tajam mengincar mangsa. Daya jelajahnya mengarungi pulau pulau dan benua benua. Tubuhnya kekar. Kuku kuku cakarnya kuat mencengkeram. Suaranya lantang berkoar. Tapi itu dulu, duluuu sekali. Sekarang kita hanya mampu menjadi anak anak emprit, anak anak cipret, anak anak ayam dengan sayap sayap terkelungkup seluas dirinya sendiri.
Aku tak minta apapun darimu Ken, lahirkanlah kembali anak anak Garuda kita. Luaskan rahimmu dari keterbatasan teori akademis apapun yang cuma seutas, sefakultas. Luaskan rahimmu seluas universalitas.
Ken, kita tidak perlu hal yang besar, cukup desa kita, kecamatan, kita, kabupaten kita, propinsi kita untuk melempar Indonesia dan dunia. Ajarilah anak anak untuk menggali kekuatan lokal di masing masing tanah kelahiran. Sebab, yang dinamakan kekuatan Nasional adalah bangkitnya kekutan lokal. Cobalah baca mimpiku ini:
Jawa Timur: Peta Kebangkitan Zaman.
Jawa Timur yang luasnya sekitar157.922 kilo meter persegi, dengan jumlah penduduk 36.294.280 merupakan wilayah fenomenik. Berbagai kajian keilmuan tak pernah sepi mengangkat Jawa Timur sebagai topik utama.
Dari sudut sastra, para esais sastra sedang gencar mengupas perihal tarik-ulur eksistensi kesusastraan yang pada akhirnya menguatkan titik fokus jati diri Jawa Timur sebagai wilayah kesusastraan tersendiri di Indonesia, wilayahyang tak lagi menjadikan Jakarta dan Melayu sebagai pusat imperium kesusasteraan.
Dari sudut politik, kita dapat amati setiap menjelang berlangsungnya pemilu. Partai politik, bahkan calon kandidat presiden sekali pun, memprioritaskan agenda utama dalam rangka menggaet suara dari Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk yang padat dalam wilayah yang tanggung dibanding Kalimantan, Sulawesi, Sumatera serta Irian, diasumsikan kalau menang pemilu di Jawa Timur, kemungkinan besar menang pemilu di Indonesia.
Secara antropologi, kekondangan Jawa Timur dikenal dunia sejak pernah bercokolnya kerajaan besar Majapahit, kerajaan yang luasnya mencapai dua pertiga belahan bumi hingga ke semenanjung Madagaskar dan beberapa bagian negara Filipina (baca Konservasi Budaya Panji, ada keterangan bahwa di Srilanka ada candi persis candi Majapahit).
Potensialitas intelektual juga tumbuh merebak. Banyak tokoh kaliber nasional menduduki posisi penting di pemerintahan pusat. Dari lima kaliper gantian presiden di Indonesia,tiga di antaranya dari Jawa Timur: Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejarawan Barat abad terkini mulai menggeser teorinya tentang perdaban tertinggi di dunia. Bukan lagi Mesopotamia-Byzantium. Karena pada wilayah ini tidak ditemukan indikator pendukung terjadinya kebudayaan tertinggi: yaitu banyaknya gunung berapi dan aliran sungai sebagai kemakmuran agrarian. Gunung berapi pangkal kesuburan vulkanik, serta sungai sebagai sarana penunjang irigasi. Sementara wilayah kecil Jawa Timur dihuni gunung berapi terbanyak di dunia. Sedari Kelud hingga Semeru, tercatat sekitar 10 gunung berapi. Tak ada yang menyamai wilayah ini.
Dari sinilah optimisme degub kebangkitan jaman berpusat di Jawa Timur. Apalagi bagi pendudukmuslim, sebagai indikator ke dua setelah jumlah gunung berapi dan sungai, ialah keyakinan ajaran islam.
Sholat, bagi muslim merupakan referentasi kehidupan total yang menyangkut perilaku moral individu dan sosial. Sudah pasti, terangkum pula ilmu pengetahuan di dalamnya. Bagi muslim, runtutan gerak rukun sholat berpusat ketika tahiyat akhir. Sebuah posisi yang menjadi ujung sahnya sholat. Do’a tahiyat akhir pun merupakan dialektika langsung antara Nabi Muhammad dengan Alloh saat mi’roj ke Sidratul Muntaha, sebuah pertemuan dengan kapasitas peradaban tertinggi. Posisi tahiyat akhir dapat ditarik temu ruasnya dengan peta propinsi Jawa Timur.
Posisi tahiyatakhir, jika dilihat dari atas (langit) persis peta Jawa Timur. Yakni kaki kiri:tumit, telapak hingga ujung jari menjadi semenanjung Banyuwangi: Blambangan,pesisir Ketapang, Sritanjung, pesisir Bondowoso, Situbondo hingga lengkungan pantai Kenjeran. Sementara telapak kaki kanan menjorok ke timur menjadi pulau Madura. Sedang lutut kanan menjadi tapal batas Bojonegoro. Dan lutut kaki kirijuga menjorok ke pojok barat menjadi perbatasan Pacitan. Pendeknya, sepulang mi’roj dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad membawa peta Jawa Timur: petakebangkitan jaman yang sudah ditentukan theokrasi. Asumsi ini deperjelas dengan ayat,"kul aiyyu syaiin akbaru syahadatan: katakanlah Muhammad, di manakah negri yang terbesar syahadatnya?: Jawa"
Indikator berikutnya, Syeh Subakir jauh dari Ubyekistan datang mbabat alas di pulau Jawa ini, yang kemudian meninggalkan jejak para wali dalam missi membangun peradaban masyarakat Jawa. Dari 9 wali, 5 diantaranya di Jawa Timur pesisir utara. Sebagian ahli kebatinan berasumsi bahwa keberadaan 5 wali yang menduduki pesisir utara, berfungsi sebagai pengimbang pulau Jawa Timur agar tidak miring ke selatan, sebab bagian selatan pulau Jawa banyak dihuni gunung berapi. Terbukti pulau Jawa miring ke utaray ang ditandai dengan aliran air yang pasti ke utara. Kecuali satu sungai di Tulungagung mengalir ke selatan. Sungai yang dibangun Belanda sabagai alternatirfpengesatan wilayah tersebut.
Barulah berdiri kerajaan islam Demak yang diamping Sunan Kalijaga. Dengan sistim perdikannya, Sunan Kalijaga membagi kekuasaan kepada 147 anak Brawijaya V dari Mataram hingga seluruh wilayah nusantara. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sebelumnya menguasai pusat persenjataan Majapahit yang dipegang oleh Empu Supo, tokoh persenjataan yang tak tertandingi waktu itu. Padatan gelombang waktu ini simbol penjinakan kekuasaan militer sebelum menjadi negara federal atau yang dikenal dengan otonomi daerah.
Kebangkitan Jawa Timur masa kolonial ditandai pekik takbir Bung Tomo untuk membakar semangat jihat Arek Suroboyo yang didukung para santri seJawa Timur. Terdepaklah agresi militer II yang dikenal dengan pertempuran 10 November.
Ada satu pertanyaan untuk menyongsong jati diri Jawa Timur sebagai peta kebangkitan jaman mendatang. Yakni sejauh mana kesiapan pelaku sejarah di Jawa Timur mengetahui jati dirinya bahwa mereka berpotensi besar? Yang naif adalah jika Jawa Timur tidak mempersiapkan kebesarannya sedini mungkin. Selayaknyalah Jawa Timur mulai menentukan skala kebesaran dalam berkiprah. Sekaliber regional, nasional, atau mendunia?
Ken, tampaknya kita harus menghentikan sejenak perjalanan ini, sebab kota tujuan kita masih jauh. Sementara spion kendaraan kita penuh debu debu kota dan debu jalanan. Ini bahaya. Tanpa spion kita tak cakap melihat jarak pandang dengan pengendara lainnya.
Ken, perjalanan tidak ditentukan cepat atau lambatnya, tetapi bagaimana bisa sampai tujuan dengan selamat. Bagaimanapun juga nyawa kita lebih berharga dari waktu yang kita kejar. Yang terpenting dalam perjalanan adalah bagaimana kita meletakkan posisi dengan pengendara lainnya. Supaya bisa selamat dan menyelamatkan. Ini era pasar liberal yang kendaraan apapun membludak dikredit dan dikendarai anak anak kemarin sore yang tak memiliki haluan. Asal tau, yang lihai mennyetir bisa ditabrak yang masih belajaran. Kita harus berhenti sejenak, Ken, untuk ngelap kaca spion.
Ken, oleh karena itu, selueruh tulisanku tidak harus dibukukan. Nanti, pada saatnya akan kita terbitkan sendiri dengan dana GustiAlloh Fundation. Kalaupun kita terbitkan sekarang terkesan saru, seolah kita butuh makan dari kebudayaan, padahal hasil kerjaku di sawah saja cukup. Kita banyak belajar dari lahirnya Kidung Hasrsawijaya, Kidung Sorandaka, Kidung Lawe dll yang baru keluar 200 tahun setelah fakta berlangsung. Katakan pada anakmu bahwa seluruh dalam tulisan ini adalah upaya Ayah mengabadikan sejarah. Pencabutan ini supaya kita meresiki seluruh kotoran yang masih melekat pada kita dan berbagai fihak supaya tampil lebih kinclong.
Ken, kau kah Kartini itu? Atau sebaliknya? Wanita Ardaneswari yang rahimnya bercahaya dan menurunkan raja raja besar Jawa. Rambutmu, alismu, tanganmu, tubuhmu terlentang dari Sabang hingga Merauke. Rambutmu yang memanjang untuk mengikat negri yang berserakan ini. Dadamu hamparan samudera dalam yang menyimpan permata bahari. Keluasan yang mencandai riang para nelayan melempar sauh.
Ken, jika tugasmu kelar, marilah diskusi sebentar. Siapakah di antara kita yang MENYINTA atau DICINTA. Hanya diri kita yang tau, namun jika seseorang sudah sampai pada hakikat keduanya, maka tidak penting lagi siapa pecinta dan dicinta, sebab yang ada hanyalah CINTA.
Ken, bukankah Cinta itu mirip Tuhan. Engkau berkata 'Aku' dan 'Dia' mengatakan 'Aku'. Agar dualitas ini sirnah, maka salah satunya harus lesap. Aku dan Engkau harus lesap untuk Dia, begitu sebaliknya. Tetapi karena Cinta tidak mungkin hilang secara fenomenal dan konseptual sebab Abadi dan Agung, maka Aku atau Engkau harus melesap pada pembauran Cinta. Ken, Rumi dalam Fihi ma Fihi menggambarkan kalau pecinta atau dicinta harus tenggelam dalam Lautan Cinta. Sehingga, apapun yang dilakukan hanya dikendalikan Cinta sebagai dasar perusahaan yang kita jalankan, yakni PT Mawaddah Warahmah.
Ken, puisi ini kutulis khusus untukmu, supaya kau tau bedanya dirimu dengan wanita lain yang ditakdir bukan milikku.
Istriku
Meski pada mesta panjang
cintaku tetap menjulang
karna kita tak berjarak
kekasih
kau bagai mesia di tengah ganesa
saat rinduku menjadi pelangi
seribu bidadari
terbang menggendong bumi
Menuju Malam
masihkah kisah tak bermuara?
padahal malam meminang sunyi
melingkarkan mimpi
segeralah mendekap
batasan tak bertepi
sebab esok
lengau sapi menceraikan ketenanagan
meminang kembali
mimpi-mimpi
Istriku
engkaulah bulan ndaru yang jatuh di sepertiga malamku
bulan kemerahan
turun menempa tempayan ubun-ubunku
setelahnya
terhiaslah warna-warni permadani
pada tahta cinta yang kuhuni
singgasanalah cinta
aku raja dan kau ratunya
kasih sayang menjelma dayang-dayang
berkerumun mengerubuti
risau dan rindu menyembah, mengabdi
Istriku
gravitasi ‘kita’ sedemikian hebat
penyatuan yang menghilangkan ‘aku’ dan ‘kau’ mejadi ‘kita’
hingga partikel atom terkecil pun
kita adalah suluk asmorondonotirtodauno
aku angin dan engkau hawa
aku semilir mencari kesejatian
panas-dingin
dingin-panas
anak ke tujuh
ibu bumi
bapak mentari
lahirlah
sejuk-sejuk
damai-damai
bersahaja
dalam istana cinta tak ada kita
melebur
menyatu
satu, satu, satu
anak kita
bertahta pangeran
yang rambutnya mirip denganku
sedang alisnya mirip denganmu.
Ken, aku tau kau teramat cantik. Andai aku berani bilang padamu akan kukatakan walau dirimu cantik tapi aku menganggapmu nenek reot. Artinya aku tidak menikahi kecantikanmu. Lalu apa yang hendak kau persembahkan padaku selain pengertian, ketulusan, kesetiaan dan saling menghambakan. Sebab pengertianmu lebih berharga bagiku daripada kecantikanmu.
Ken, katakan pada kawan yang sudah bersuami istri, bahwa jika mereka bersanding meski sedetik, secara otomatis seluruh vibrasi buruk yang ada dalam masing masing tubuh akan menguap sirnah, maka sembuhlah berbagai penyakit. Hal ini disebabkan tubuh laki laki dan perempuan sesungguhnya saling menyerap. Suami itu obat gratis bagi seluruh penyakit istri. Istri adalah obat gratis bagi suami, seberat apapun jenis penyakitnya. Maka, jika ada suami istri kok masih sakit, perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami fungsi suami istri, termasuk bagaimana mengelola sistem percintaan dan kasih sayang.
Ken, aku tidak mau dijuluki suami banci sebab keangkuhan dan kesembronoanku terhadapmu. Asal tau, jika suami salah, maka suami yang harus minta maaf pada istri. Namun jika istri salah, maka suami pula yang harus minta maaf pada istri. Sebab, istri (wanita) itu sesungguhnya lelaki, pecahan lelaki yang berwujud wanita. Tega terhadap istri sesungguhnya menganiaya diri sendiri. Bukan aku berpihak pada wanita, tetapi aku mendudukkan filsafat sesungguhnya. Ken, suami istri itu berdegub jantung sama, peredaran darah yang sama, firasat yang sama, kecocokan dan kenyamanan yang sama. Ibarat ban motor, tidak boleh gembos satu bagian depan atau belakang, sehingga nyaman dikendarai. Kalau gembos sebelah pasti oleng.
Ken, kenapa perpecahan, perceraian gampang terjadi? Karena gaya hidup kebanyakan orang tak pernah memenejemen pertengkaran. Kita berdua selalu rundingan dulu jika hendak bertengkar: apa yang tidak boleh diungkit, berapa hari masa pertengkaran yang kita tentukan. Jika batas waktu habis, kita harus tunduk pada aturan yang kita buat. Tak ada lagi pertengkaran. Selanjutnya hari evaluasi dan hari simpulan.
Ken, diantara kita berdua, wajahmulah yang paling mirip dengan Tuhan. Itulah sebab aku memulyakanmu. Dalam dirimu ada empu, suatu tempat tumbuhnya tunas generasi baru. Kaulah kekuatan mencipta, bukan dicipta. Mencipta ciri sejati maskulin. Sedang penganut berlaku feminim. Kau sesungguhnya laki laki yang tampil sebagai wanita.
Ken, kita terlahir sebagai generasi yang sangat lemah. Padahal Adam dan Hawa dipisahkan bertahun tahun dan mereka harus berjalan mengelilingi bumi untuk saling menemui. Kemudian di sekitaran Jabal Rahma, ketika Adam duduk sendeku, di situlah ia merasa aroma Hawa di sekitaran tempat yang sama. Indera Adam sangat tajam. Kalaupun Adam lupa mengingat wajah Hawa, aroma parfumnya tercium juga. Bayangkan jika kita dikembalikan sebagai Adam dan Hawa.
Ken, hanya memahami tentangmu yang tak kusudahi. Tentang perempuan sebelum jadi wanita dan jadi femina. Putus memahamimu bisa menjadikanku makhluk garang dan egois.
Ken, orang orang menyalahkan Rahwana ketika menculik Sinta dari pagar Lesmana. Sebagian menyalahkan Sinta sebagai laku femina yang tergoda kilaunya Kijang Kencana. Dan itulah awal prahara, terus berlari mengejar Kijang Kencana hingga terjerembab di hutan belantara.
Ken, mungkin kehadiranku tak menambah kebahagiannmu, karena tujuan utamaku ialah mengurangi penderitaanmu. Apa kehebatanku berjantan jantan dan bermegah megah jika dirimu berkalang duka. Aku belajar dari para jenderal dan para raja yang demi ambisinya, anak pun diutus memenangkan perang di medan laga. Lelaki kadang terlalu egois. Tanpa sedikitpun mempedulikan perasaan wanita yang telah melahirkan darah dagingnya.
(bersambung)
Sabtu, 28 September 2019
Ken...(Antologi Perempuan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar