Sabtu, 28 September 2019

OBITUARI UNTUK PELUKIS TARMUZIE, SelaSAstra Boenga Ketjil #38

Robin Al Kautsar *

Ini Obituari. Obituari dari seorang murid kepada gurunya, yang dia anggap bukan hanya sebagai guru, tetapi juga kakak, orang tua, bahkan pendeta yang menempanya menjadi mental baja. Sang murid ialah penyair Nurel Javissyarqi, dan sang guru Tarmuzie, yang keduanya saya kenal dalam ruang dan waktu berbeda.

Nurel, saya kenal di Jombang sekitar tahun 2007 dalam salah satu acara sastra (membedah antologi puisinya Kitab Para Malaikat). Sedangkan Tarmuzie saya kenal sekitar tahun 1995 di Surabaya, dalam komunitas pekerja teater dan pelukis di sebuah warkop yang disebut “kantor.”

Walaupun buku ini berjudul “proses kreatif,” buku ini tidak mendedahkan bagaimana sebuah karya seni dilahirkan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Buku ini lebih tepatnya sebagai gambaran ringkas bagaimana sang penulis mulai tertarik pada seni lukis, kemudian mencoba memasukinya, tetapi anehnya justru dia menemukan dunia kepenulisan atau sastra.

Kehidupan Nurel bersua dengan kehidupan Tarmuzie, ketika dia memasuki kursus lukis Sanggar Lukis Alam, pada saat kelas satu Madrasah Tsanawiyah. Itu sanggar lukis yang aneh serta bohemian, dikarena tanpa biaya belajar dan jadwal yang ketat. Pembelajaran inipun tentu harus berakhir, ketika Nurel sudah diterima di sebuah Madrasah Aliyah di Kota Jombang.

Walaupun demikian, hubungan guru dan murid ini terus dipelihara dengan baik meskipun Nurel kuliah di Yogyakarta hingga akhirnya berumahtangga. Dapat  anda bayangkan, bagaimana komunikasi penggemar sastra dan pelukis yang eksentrik ini?

Buku yang bertajuk “Proses Kreatif Saya bersama Pelukis Tarmuzie” ini, di sisi lain diramu seperti sebuah petualangan untuk mencari “hikmah terpendam,” ketika Nurel bersusah payah mencari juga mengunjungi para pelukis jaringan Tarmuzie di Kota Yogyakarta.

Bukan saja dia mendapati ‘ilmu seni,” tapi juga kemiskinan seniman (pelukis Harjiman) yang menyayat sekaligus gagah, karena tidak bersedia lukisannya dibeli orang ketika lapar menyerang. Tetapi ada yang paradoks, ketika hubungan guru-murid menjelma pertemanan, justru kreativitas gurunya itu sedang paceklik alias vakum.

Sedikit sekali karya baru yang dilahirkan, bahkan lebih menjadi “pertapa” yang menjauhi rimba persilatan kesenian. Paradoks kedua ialah pernyataan Nurel yang melintasi batas-batas cabang kesenian:

“Tarmuzie merupakan salah satu orang dibalik layar atas keberadaan saya di pentas kesenian di mimbar kesusastraan, meski ia bukanlah sastrawan, namun hampir dipastikan stategi yang saya jalani dalam susastra, terlebih dulu meminta pendapat beliau, darinya memberi banyak masukan nilai serta tanda resiko harus dihadapi,...”
***

Saya dahulu sering berjumpa dengan Tarmuzie di Komunitas Kesenian (sastra, teater, dan seni rupa) di Jalan Babadan Rukun, Surabaya. Ada beberapa pelukis yang “ngantor” di sana, seperti Bambang Thelo, Fauzi, Farid, Tiyok, Thayib Tambsar, Agung, dan Tarmuzie.

Walaupun pelukis-pelukis itu bermacam-macam alirannya, tetapi mereka sangat terpengaruhi cara berpikir zaman romantik, dimana komunikasi atau jalan menikmati karya seni semata-mata tergantung kepada “roso” atau perasaan. Oleh karena itu, mereka agak memandang miring terhadap kritikus. Dan proses kreatif yang heroik itu disebut “ngrogo sukmo” atau menyelami jiwa. Tarmuzie termasuk yang memegang erat pandangan ini, walaupun dia pelukis abstrak. Dan dia lebih suka, kalau disebut pelukis abstrak ekspresionis.

Saya tak tahu banyak karya-karya Tarmuzie, sehingga tidak dapat memberikan dengan baik perkembangan karirnya. Beliau mengaku dipengaruhi oleh Affandi, Willem de Kooning dan Jackson Pollock. Cuma sejauh manakah pengaruh itu bersinergi dengan milik sang pelukis yang otentik, saya juga tidak tahu betul.

Banyak orang yang bingung dan termangu-mangu di depan lukisan abstrak. Ini maknanya apa, maksudnya apa? Ini membicarakan apa, atau menceritakan apa? Seni abstrak sesungguhnya hanya menggunakan bahasa visual bentuk, warna, garis, bidang, dan ruang untuk menciptakan komposisi karya, serta tidak mengambil referensi visual yang ada di alam/dunia.

Lukisan abstrak menghadirkan gambaran yang tidak ada wujudnya di dunia. Lukisan abstrak tidak akan menggambar subjek potret manusia, pemandangan, hewan atau referensi lainnya yang terdapat di alam dunia. Itulah sebabnya, mengapa lukisan abstrak tampak hanya seperti coretan asal yang dilukiskan di kanvas.

Penemuan kamera, merupakan salah satu teknologi yang paling mempengaruhi kecenderungan baru ini. Dengan maraknya fotografi, para seniman mulai meninggalkan salah satu fungsi karya lukis sebagai media dokumentasi dan representasi alam. Sehingga berbagai gerakan baru seni diluar realisme terus bermunculan, termasuk lukisan abstrak!

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk memahami atau mengapresiasi lukisan abstrak, yaitu 1). Stop mencari bentuk nyata 2). Rasakan berbagai emosi pada lukisan abstrak 3). Pelajari latar belakang seniman dalam melukis karya abstrak 4). Hentikan menghakimi diri 5). Berhenti mencari makna.

Salah satu kesalahan umum yang terjadi saat kita ingin memahami karya seni, ketika diri kita terus bertanya “ini maksudnya apa?” Tidak semua karya seni harus memiliki pesan, atau maksud tertentu. Terkadang lukisan abstrak dilukis hanya untuk dinikmati, seperti keindahan bunga-bunga di taman. Apresiasi dan nikmati berbagai kombinasi bentuk serta warna yang terjadi pada karya-karya abstrak.
Selamat jalan kawan, semoga Allah Swt mengampunimu dan memberimu tempat yang terbaik, amin...
***

5 April 2014 Cangkringrandu, Perak, Jombang, Jawa Timur.
Makalah dalam acara SelaSAstra Boenga Ketjil #38 Jombang.
https://selasastrain.blogspot.com/2019/04/selasastra-boenga-ketjil-38.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar