Malkan Junaidi
http://sastra-indonesia.com
Sebenarnya saya ingin membicarakan antologi puisi “Sulfatara” secara
keseluruhan, sebab menurut saya antologi yang diterbitkan komunitas
Pelangi Sastra Malang ini tergolong bisa dibicarakan. Alasan saya:
pertama, karena ia memuat tak lebih dari 20 nama;
kedua, dengan rata-rata 5 puisi per penyair membuatnya terasa cukup
representatif dan adil dalam sebuah usaha pelanskapan, tidak sebagaimana
antologi yang marak akhir-akhir ini, yang memuat lebih dari 50 penulis
tetapi masing-masing hanya diberi kesempatan menampilkan paling banyak 2
judul puisi. Namun untuk sementara saya akan membatasi pembicaraan
hanya pada puisi-puisi Husen Arifin. Bukan karena puisi-puisinya lebih
saya sukai ketimbang yang lain atau sebaliknya paling tak saya sukai di
antara yang lain, tetapi, jujur, karena saya sudah berjanji kepada yang
bersangkutan untuk melakukan tinjauan, longokan,dan icipan atas
karya-karyanya dan memberikan ‘kritik’ ala kadarnya.
Di pengantar buku yang ditulis oleh Ketua Komite Sastra Dewan
Kesenian Jawa Timur, Mashuri, saya menemukan komentar-komentar atas para
penyair yang karyanya dimuat di antologi ini, termasuk tentunya
komentar atas Husen Arifin. Berikut saya kutipkan komentar tersebut:
“Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal
teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir. Yang ia butuhkan adalah
bagaimana ia memiliki gaya pribadi yang khas karena ia sudah memiliki
kemampuan menyajikan puisi dalam banyak gaya, yang satu di antara yang
lain kadang berbeda. Gaya-gaya ini, jika dibaca lebih jauh, memang
bertradisi pada perpuisian Indonesia kini. Jika ia memiliki pengucapan
pribadi, karena bagaimanapun puisi pada taraf tertentu adalah pengucapan
pribadi, tentu itu akan menunjukkan bahwa dia telah fasih dan canggih
mengolah gelisah dan gagasannya.”[sic]
Meski tidak mengerti dengan maksud “…bertradisi pada perpuisian Indonesia kini.”
(tradisi perpuisian Indonesia kini [mutakhir?] itu yang bagaimana?),
namun saya menggaris bawahi dua hal: (1) Husen Arifin sudah tak
bermasalah dengan teknik perpuisian, namun (2) Husen Arifin belum
memiliki pengucapan yang khas.
Husen Arifin lahir di Probolinggo, 23 tahun silam. 5 puisinya yang
dimuat di “Sulfatara” adalah karya dari tahun 2010, kecuali puisi
“Sebuah Petuah” berasal dari tahun 2011. Pemuda yang adalah alumnus
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen UIN Maliki Malang ini karyanya banyak
muncul di antologi bersama dan konon ia pernah mendapat penghargaan
dalam sebuah lomba esai nasional. Pengatahuan biografis menyangkut umur,
jenis kelamin, status perkawinan, tempat lahir dan tempat tinggal,
pendidikan, dan sebagainya, menurut saya penting untuk pembicaraan yang
tak asal-asalan. Meski kesusasteraan bisa dipandang sebagai fakta
tekstual independen, lepas dari siapa penulisnya, juga motif dan
ideologi apa yang melatarbelakangi proses kreatif yang berlangsung,
namun tak jarang pembacaan dengan metode strukturalis semacam itu terasa
arogan dan simplifikatif. Sayang saya belum berkesempatan membaca
seluruh karya yang dikirimkan untuk antologi ini (kabarnya masing
penyair diminta mengirimkan 10 judul), jika sudah tentu lebih baik.
Setelah membaca puisi-puisinya yang tersuguh di halaman 52-57 dan
biografinya yang termaktub di halaman 137-138 saya menyimpulkan bahwa
tidak terdapat (ko)relasi signifikan antara fakta bahwa Husen Arifin
menggeluti ilmu manajemen dengan fakta tema dominan apa yang ditulisnya
di puisi-puisinya. Kelihatannya kuliah dan puisi bagi Husen Arifin
adalah dua hal yang berbeda, dua pilihan dengan dua alasan yang
berlainan, yang satu tak memengaruhi yang lain. Sebab itulah barangkali
tak satu puisinya di antologi ini membicarakan realitas perekonomian
kontemporer. Sebaliknya ia lebih asyik berbisik-bisik dengan entah apa
entah siapa, tentang hal-hal klise semacam kerinduan, kekhawatiran,
impian, dan kekaguman.
seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.
o, tampak laut sudah keriput
hingga batas perihku akut
dan tak ada lagi halauan
tak ada tentang kasih berdekapan
bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.
mungkin aku dekat pada kesepianmu
pada malam paling tenang
untuk mengalihkan nyanyian dukamu
menjadi sebaris catatan pengantar rindu
rindumu yang nyaris terbawa seribu ketakutanku.[sic]
Kekaburan merupakan ihwal yang saya tangkap pertama kali dari puisi
berjudul “Seribu Ketakutan” di atas. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya
yang ditakutkan oleh aku-lirik sampai-sampai frasa “seribu ketakutan”
disebutkan dua kali di puisi yang relatif pendek ini dan digunakan
sebagai judul pula? Adakah seribu ketakutan ini adalah (ihwal yang dipicu oleh) krisis yang tersirat di bait kedua: “laut sudah keriput”, “tak ada lagi halauan”[sic], dan “tak ada tentang kasih berdekapan”
itu? Mungkin saja. Husen Arifin ? tidak saja dalam puisi ini, namun
juga di 4 puisi yang lain? tampak keteteran dalam menjaga koherensi
antar bait, dan alih-alih mengatakan banyak hal dengan sedikit imaji, ia
menjibuni puisi-puisinya dengan macam-macam imaji yang namun malah
membingungkan saya perihal inti yang ingin disampaikan. Memang kata-kata
dalam puisi berfungsi bukan cuma sebagai jongos makna, sebaliknya
dipilih sedemikian rupa karena dianggap sanggup menghadirkan nuansa
tertentu, keindahan tertentu, dan itulah kenapa puisi tak bisa
diterjemahkan ke bahasa yang lain, karena proses penerjemahan tidak lain
merupakan proses pengungkaian makna, sedang makna bukanlah realitas
utama atau satu-satunya dari puisi. Namun jika sebuah puisi lebih
menonjolkan permainan bunyi, terlebih jika terjadi pergeseran kelas kata
(sebagaimana adjektiva payau yang bergeser menjadi nomina dalam bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.) yang dibarengi distorsi makna yang entah apa gunanya (apa atau siapa yang bersama payau itu? (ke)kasih (yang) berdekapan-kah? Jika iya, maka apa atau siapa yang ke dermaga kenangan? payau yang beriak atau (ke)kasih (yang) berdekapan? Lalu hingga batas perihku akut, apa atau siapa yang mencapai batas perihku, dan apa yang akut itu, perihku atau batas? Serba membingungkan.
Mungkin Husen Arifin ingin melakukan pemadatan teks, seperti yang
pernah dan sering dilakukan Chairil Anwar, dengan menghilangkan
bagian-bagian yang keabsenannya dianggap tak akan merusak atau bahkan
merubuhkan struktur semantis, malahan memperkayanya melalui ambiguitas
interpretatif. Jika benar, maka saya menilai usaha ini, setidaknya di
puisi “Seribu Ketakutan” tersebut, belum cukup berhasil, kalau tak boleh
disebut gagal total. Karena bukan multi-tafsir yang saya dapat dalam
pembacaan, namun multi-kebingungan. Bahkan usaha mendekati bait pertama
dengan metode parafrasa semisal “seribu ketakutanku barangkali mengiringi mimpimu atau menjadi kunang-kunang malam (yang) mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.”
tak menolong saya untuk lebih memahami maksud bait tersebut, apalagi
menikmatnya. Saya tak bisa membayangkan gambaran tidur-yang-dikelabuhi
itu bagaimana, terlebih tidur-yang-kelam. Orang mungkin akan menyanggah:
“Tapi Anda tak bisa memakai kebingungan Anda sebagai parameter
kegagalan puisi orang lain, sebab boleh jadi banyak orang tidak bingung
seperti Anda!”. Jika demikian mari kita lanjutkan ke puisi berikut.
kandang hatimu:
harimau meletakkan kakinya
ke bangku, menjadi seseorang paling
perkasa, membuka tabir tabir luka, gigi sebesar
jemari merekah dan meruncing sekali.
seperti celurit bermata. dan kau membisik padanya
merajuk pada tubuh angkuh, menyegerakan
membabat belulang sedihku
rapuh, merapuh ke segala riuh.
angin mengekal dan mengenggam
pada perih, pada lirih, pada ringkih
yang kurasakan dalam gembala
dan bermain dalam sirkus,
di harimau yang berulang menjelma malam
mengisyaratkan ingin melahap, mengungkap ingin merayap
ke gemuruh dadaku yang tak siap
kadang hatimu:
bagaimana kalau aku buat kandang baru?
berisikan rembulan, kelinci bergigi puisi,
dan gajah afrika
hingga membuatku tak ingat pada harimau
yang terlukis di dadamu,
mata harimau
mata cintamu
sebab itu aku cemburu.[sic]
Puisi di atas berjudul “Kandang Hatimu”, dan berdasarkan judul tersebut saya menganggap baris pertama bait kelima (kadang hatimu) dan baris kedua bait ketiga (…dan mengenggam)
sebagai salah ketik. Tidak sedikit salah ketik di Buku “Sulfatara” ini
memang. Saya tak tahu ini kesalahan pengirim naskah atau pengolah
naskah. Bahkan Mashuri di Pengantar menulis Britney Spears sebagai
“Bretney Spears”. Sebuah kecerobohan yang semestinya sudah tak terjadi
pada seorang yang notabene penulis senior seperti dia. Lepas dari itu,
menurut saya “Kandang Hatimu” relatif lebih mudah dipahami inti dan
arahnya dibanding “Seribu Ketakutan”. Puisi ini menggambarkan
konfrontasi aku-lirik dengan seseorang yang tampaknya memiliki hubungan
intim dengan aku-lirik tersebut. Bisa kekasih atau tokoh yang banyak
mem(p)engaruhi cara berpikir dan bersikap aku-lirik. Saya pribadi
memandang konfrontasi ini sebagai konfrontasi oedipal, di mana
bayang-bayang kemegahan seseorang menimbulkan hasrat ganda: meniru
sekaligus membantainya. Narasi lalu meruncing pada usaha konsolidasi
yang direpresentasikan oleh kalimat “bagaimana kalau aku buat kandang baru?” dan ditutup dengan baris “sebab itu aku cemburu” yang menegaskan adanya Kompleks Oedipus tadi.
Kecenderungan bermain bunyi jelas kentara di bait ketiga. Tentu saja
bermain bunyi bukan merupakan sebuah dosa, sebaliknya apabila dilakukan
secara proporsional, tidak berlebihan, akan menjadi sisi penguat
struktur puisi secara keseluruhan. Namun saya justru menganggap bait
ketiga tersebut sebagai “pengganggu”. Keberadaannya seperti kehadiran
seorang perempuan genit di sebuah warung kopi di mana saya tengah
melakukan percakapan serius dengan seorang pelanggan lain yang sudah
saya kenal baik. Perempuan itu menanyakan sesuatu yang saya tak tahu
jawabannya dan pertanyaannya menurut saya tak penting-penting amat baik
untuk dijawab ataupun dicari jawabannya. Saya terganggu dengan
kegenitannya dan sedikit marah karena ia menginterupsi percakapan saya.
Karena itulah saya pikir eliminasi terhadap bait ketiga ini tak akan
menimbulkan gangguan semantis yang serius, malah membuat tubuh puisi
“Kandang Hatimu” menjadi lebih ramping dan seksi, karena sesungguhnya
bait ketiga ini (di)hadir(kan) lebih sebagai akustika fonetis, terutama
dalam “rapuh, merapuh ke segala riuh” dan “pada perih, pada lirih, pada ringkih”.
bunga-bunga meninggikan tubuhnya
sampai diam-diam ke batas mataku
melebihi airmataku membuat sebidang rindu
ya, aku rindu malam penuh lelagu
ingin kupijakkan kenangan
bersama orang orang memahat rembulan
memahat jejak jejak yang kutitipkan
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga
rupanya malam ini bukan lagi pujangga
aku bernafas sejenak, sejenak
untuk memintal sajak
mencari derai derai ombak
pada bunga bunga yang bergerak
karena malam ini bukan kita
yang menyertai cita cita
menuju singgasana surga
dan terlampau luka kubacakan doa
pada bunga bunga yang meninggikan tubuhnya
teratai teratai yang berduka
di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya [sic]
Saya tak tahu melalui puisi di atas Husen Arifin ingin membicarakan
apa sebenarnya. Judul “Tugu Ibu” yang disematkan meski tersusun bukan
dari imaji abstrak namun menurut saya gagal menjadi idiom yang
melahirkan makna segar. Secara garis besar puisi ini adalah pertunjukan
kesengkarutan dan inkonsistensi yang disembunyikan di balik tebalnya
bedak ritme dan rima. Baris “sampai diam-diam ke batas mataku” merupakan dislokasi sintaksis yang kalau ‘dikoreksi’ menjadi “diam-diam sampai ke batas mataku”
pun masih menyisakan tanya: apa itu batas mata? Saya mencoba membaca
ulang, kali ini dengan lebih santai, dan hasil pembacaan saya adalah:
ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya mencapai mata,
atau: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya sampai
pandangan tak sanggup menjangkaunya. Dari dua kemungkinan hasil
pembacaan ini dapat disimpulkan bahwa inti yang ingin dikatakan adalah
bunga-bunga yang diam-diam tumbuh makin tinggi.
Namun pembicaraan mengenai bunga ini lantas mandeg, aku-lirik berpindah membicarakan kerinduannya pada malam (yang) penuh lelagu, malam di mana aku-lirik bersama orang-orang memahat rembulan. Sayang, bagian yang menarik ini lalu disusuli tiga baris yang tak jelas juntrung maknanya: “memahat jejak jejak yang kutitipkan”,
dititipkan pada apa atau siapa? dan jika sudah dititipkan kenapa masih
dipahat? tidakkah logikanya seharusnya dipahat dulu baru dititipkan?
Saya pun curiga bahwa pada bagian “saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga/rupanya malam ini bukan lagi pujangga”
itu Husen Arifin hanya ingin menyihir pembaca dengan pesona resonansi
kata “berjelaga” dan “pujangga”, tak lain dan tak bukan. Kita bisa
memang dalam cara yang berbeda membaca lima baris terakhir bait pertama
tersebut sebagai sebuah kalimat independen: ingin kupijakkan kenangan, bersama orang-orang, memahat rembulan (dan) memahat jejak jejak yang kutitipkan (pada….?) saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga, (namun) rupanya malam ini (aku) bukan lagi pujangga,
dan dengan demikian maknanya menjadi cukup terlihat. Namun terdapat
kejanggalan: apa korelasi status kepujanggaan dengan keseluruhan runtut
makna dan peristiwa di bait pertama itu? juga jika memang malam ini (aku) bukan lagi pujangga, lantas kenapa aku bisa “memintal sajak” sebagaimana tersebut di bait berikutnya?
Inkonsistensi tidak saja terjadi di lapis makna, Husen Arifin juga
tampak tak konsisten dalam meniadakan tanda hubung, terbukti reduplikasi
pada kata “diam-diam” masih menggunakan tanda hubung. Adakah kata
“diam-diam” lebih istimewa dibanding kata ulang yang lain di seluruh
puisi tersebut? Entahlah. Puisi ini ditutup dengan baris “di tugu ibu aku temukan telaga yang kering airmatanya”.
Mungkin puisi “Tugu Ibu” memang dimaksudkan sebagai sejenis requiem
atas kematian ‘sosok’ ibu. Serakan imaji ‘nglangut’ semacam “airmata,
jelaga, luka, doa, dan duka” yang berusaha diklimakskan pada dua baris
terakhir adalah alasan utama penyimpulan tersebut. Mungkin Husen Arifin
di puisi ini lebih ingin membangun suasana ketimbang makna. Namun saya
pikir sulit suasana akan tercecap dan terhayati jika sebuah teks kental
dengan permainan bunyi.
Merdeka itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah ketika hatimu menjumpai airmata
dan tak sesedih itu. Bangkitlah, rayakan hari ini
sebuah merdeka yang bangkit dari kerasnya sesal.
Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis
yang esok kering, melainkan bertambah miris.
Bagikanlah Maut menyebar, agar sesekali
kematian menjadi resepsi.
Pesan cinta itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah malam yang menabur bintang, tapi rindumu
sebasah hujan meretas ke penggal pohon dan reranting
bergugur di antara mimpimimpi kenangan.
Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit
sehabis gelap.[sic]
Rembulan agaknya merupakan imaji favorit Husen Arifin. Semua puisinya
yang dimuat di “Sulfatara”, kecuali puisi “Seribu Ketakutan”,
mengandung kata ini. Imaji rembulan selalu mengingatkan kita pada imaji
malam. Sedang kehadiran rembulan sendiri di waktu malam adalah
romantisme setingkat dengan kehadiran fajar di pagi hari; harapan di
hadapan keputusasaan, keberanian di hadapan ketakutan, dan sebagainya.
Meski demikian tak mudah bagi saya memastikan maksud dari frasa “perempuan separuh rembulan”
di puisi yang berjudul “Sebuah Petuah” di atas. Jika seorang perempuan
digambarkan separuhnya berupa rembulan, maka mau tak mau kita
mempertanyakan yang separuhnya lagi berupa apa? Matahari? Sepertinya
hanya Husen Arifin saja yang tahu. Sebab kebebasan yang eksistensinya
diandaikan melalui frasa “the death of author” bukanlah jaminan bahwa
sebuah proses pembacaan akan selalu berhasil mencapai penafsiran. Tak
jarang keeksentrikan dalam membentuk jukstaposisi menjadi tabir yang tak
dapat ditembus kecuali oleh penulisnya sendiri.
Saya tak bisa berbohong mengatakan saya tidak kecewa melihat bahwa di
puisi yang tergolong paling anyar ini Husen Arifin belum juga ‘insyaf’
dan melakukan pembenahan atas ‘kesalahan-kesalahan’ kebahasaannya,
terutama menyangkut inkonsistensi gagasan. Betapa masih terlihat
ketidakistiqomahan itu di empat baris pertama; gagasan “kemerdekaan”
diagungkan, “bangkitlah, rayakan hari ini”, kemerdekaan dianggap identik dengan kebangkitan dan optimisme, namun segera gagasan itu dikhianatinya sendiri melalui “Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis/yang esok kering, melainkan bertambah miris.”. Kenapa justru ketika kemerdekaan (sudah) terhampar, …tangis… (malah) bertambah miris?
Di puisi ini saya mendengar ajakan supaya orang membebasakan diri
mereka dari kesedihan yang berlebihan, untuk menghadapi kematian sebagai
kenyataan biasa, dan tak mendewakan emosi dan sentimentalitas. Namun
saya juga mendengar seruan untuk tindak masokis pada “Bagikanlah maut…, agar … kematian menjadi resepsi.”.
Ini aneh. Husen Arifin lalu melanjutkan ‘petuah’nya, kali ini tentang
cinta. Kita kembali disuguhi permainan bunyi, juga konjungsi “tapi” yang anehnya mempertentangkan pesona cinta dengan rindu yang basah, diakhiri dengan baris kontemplatif “Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit sehabis gelap.”.
perempuan Tionghoa dua bola matanya
seperti bulan sabit
seolah olah aku menjadi burung pipit
mengerling dan menyunting malam
malam menepis daun-daun layu
menadah rindu-rindu di reranting pohon randu
aku menghapus mimpi-mimpi burukku
begitu dua bola matanya mengecup pada tidurku
pada senandung bayangku
dan aku melayari dua bola mata itu
tiap waktu tiap mau
meladang pada Tuhanku [sic]
Puisi terakhir yang saya kutip ini berjudul “Dua Bola Mata Perempuan
Tionghoa”, merupakan puisi yang paling saya sukai di antara puisi Husen
Arifin yang lain. Puisi ini relatif konsisten dan tak carut
konstruksinya. Kita bisa menyaksikan dari awal hingga akhir pembicaraan
mengenai perempuan Tionghoa ini tak mengalami interupsi destruktif. Saya
menghitung terdapat hanya dua kejanggalan, pertama (sekali lagi)
mengenai reduplikasi, kenapa kata “seolah olah” tak diberi
tanda hubung sementara tiga kata yang lain diberi tanda hubung? kedua,
(namun saya tak yakin semua pembaca bingung seperti saya) kenapa
aku-lirik menganalogikan dirinya sebagai “burung pipit”? dan apa
korelasinya dengan bulan sabit?
Jika Mashuri mengatakan “Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir.”,
maka saya sebaliknya mengatakan Husen Arifin masih sangat perlu
memperbaiki teknik menulisnya. Sebab saya melihat dia masih
terombang-ambing di antara romantisme ala Pujangga Baru dan
posmodernisme. Dia harus segera memutuskan hendak berdiri di sisi mana.
Romantisme berarti konvergensi, posmodernisme sebaliknya berarti
divergensi. Masing-masing melibatkan implikasi teknis yang nyaris
bertolak-belakang. Koherensi, fokus, dan konsistensi adalah contoh ihwal
teknis yang harus dibenahi jika ‘jalan’ romantisme yang diambil. Sedang
posmodernisme bisa dicapai dengan penghancuran secara sengaja atas
pilar-pilar romantisme tersebut. Atau tentu akan menggembirakan semua
pihak jika Husen Arifin mampu memunculkan isme yang betul-betul baru.
Melihat bahwa usianya belum sempurna 23 tahun saya percaya dengan usaha
yang militan semua itu bukan perkara yang mustahil. Semoga.
Blitar, 25 Desember 2012,
Malkan Junaidi, Penyair, Aktivis Facebook.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/01/sengkarut-struktur-semantis-telaah-singkat-atas-lima-puisi-husen-arifin/
Jumat, 04 Januari 2013
Sengkarut Struktur Semantis (Telaah Singkat atas Lima Puisi Husen Arifin)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar