Sabrank Suparno **
sastra-indonesia.com
1.1. Puisi
Antologi puisi tunggal Kidung Jaran Dawuk menyembulkan tanya bagi
Tosa Poetra. Mengapa masih menulis puisi? Apa sekedar berniat menggayuh
eksistensi keajegan melahirkan karya agar disebut penyair? Atau, memang
belum punya pilihan karya dalam bentuk lain? Misal esai atau cerpen. Sedang
kadar puisi Kidung Jaran Dawuk belum melompat setapak dari antologi
sebelummnya, yakni Jalanan Di Kotaku yang terbit Agustus 2010.
Se-pengamatan saya, permasalahan mendasar puisi-puisi Tosa Poetra
belum menemukan konsep yang jelas, dari dan kemana puisi akan dibawa,
serta dari mana asalnya, sehingga terputuslah akar sejarah lahirnya
sebuah puisi. Perlu diketahui bahwa ibarat anak, puisi mempunyai riwayat
hidup, kenapa satu judul puisi harus dirampungkan? Ia mempunyai
sejarahnya sendiri. Dalam hal ini, dari rahim siapa genosa sebuah puisi
terbuai, tumbuh kemudian berkembang menjadi embrio yang akhirnya lahir
berupa jabang bayi. Puisi-puisi Tosa Poetra belum menunjukkan ciri khas
ke-Tosa-an bahwa Kidung Jaran Dawuk adalah anak kandung yang dilahirkan
dari pedalaman kaki bukit Jaran Dawuk, Trenggalek. Artinya puisi Tosa
masih dilahirkan hasil pemerkosaan massal para penyair Indonesia.
Cara paling fulgar untuk memblejeti sebuah puisi adalah obrolan di
luar forum resmi (jagongan nyentrik). Di sanalah keluar komentar perihal
penilaian puisi, “ah, puisi jelek, puisi kosong, puisi kerupuk, puisi
belajaran,” dll. Tentu saja komentar berdasarkan cocote penilai
atas jarak pandang dengan pribadinya, cocok atau bersinggungan dengan
ideologi dan konsep yang dianutnya. Penilai kemudian menetralisir
kritiknya dengan ucapan, “yang perlu diacungi jempol dari penyair yang
sudah menuliskan dan menerbitkan karyanya adalah jiwa militansi terhadap
dunia perpuisian yang digeluti.”
Atau, jalan demikian memang dipilih Tosa, bahwa berkarya tidak perlu
memperhatikan konsep, ideologi atau panutan pada penyair sebelumnya.
Tosa seperti menawarkan gagasan baru setelah jenuh mengamati ulah
sesepuh sastra Indonesia yang terus menerus sibuk bengkerekan royokan apik, royokan bender, royokan tuwek hingga mengeluarkan KTP. Dalam hal ini Tosa bersikap adil bahwa ia dilahirkan oleh Lekra, Lesbumi dan Menikebu bahkan aliran Mbah Sangkil
(aliran lain yang tidak terdeteksi). Atau, Tosa justru bersikap lebih
tua dari kemampuan empat anak yang dilahirkan oleh sejarah perpuisian
Indonesia. Bahwa baik Lekra, Manikebu, Lesbumi dan Mbah Sangkil adalah
anak-anaknya yang harus diopeni secara adil. Tiap anak
mempunyai karakter dan fungsi tertentu pada saat tertentu pula. Bagi
Tosa yang urgen sebagai penyair adalah membikin puisi, dan bukan sibuk
membikin Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang diprasastikan berdasar hari
lahir Chairil Anwar, 26 Juli. Betapa rampaknya hari bersejarah di
Indonesia, sementara tanggal 27 Juli Hari Kudatuli memperingati gugurnya
mahasiswa Trisakti sebagai pahlawan reformasi. Berikutnya tanggal 28,
29 dan 30 Juli saya sematkan sebagai Hari Nissing Nasional.
Jika bertemu Agus R. Sarjono, Tosa akan dihimbau untuk meluruskan puisi sebagaimana sebelum sholat meluruskan shof dulu (sauwi sufufakum min tamami sholah).
Makin lurus makin baik. Puisi yang lurus melatih penulisnya untuk
meluruskan niat, meluruskan pikirtan, meluruskan jiwa dan ketajaman pena
(kalau sempat baca Horison edisi Januari 2013, halaman 34). Cak Agus R. Sarjono tidak menyukai puisi yang bermetafora, kembangan atau hiasan yang tidak perlu. Ia juga tidak sependapat dengan Cak Michlel Riffatere dalam Semeotic of Poetri yang mengatakan bahwa puisi adalah “says onething and means another (ngunu yo ngunu ning ojo ngunu)”. Dalam hal ini Agus R. Sarjono akan menyukai puisi Surat Buat Presiden (halaman 27). Hanya dua baris kalimat pendek: BBM Naik! // Kau Turun!. Jelas. Padat. Gamblang. Tanpa basa-basih. Begitu juga puisi Lelaki Di Balik Jeruji Besi (hal, 22), sejenis Puisi Balada yang menceritakan panjang lebar tentang Gayus [seharusnya bukan Gayus Tambunan, tapi Novel
Basweda, sebab Tosa menyukai puisi yang mengampanyekan bahwa Novel
telah tertangkap keparatannya. Semoga yang tertangkap berikutnya bukan
Dian Sastro Wardoyo yang mengindikasikan buruknya Sastra].
Lain lagi jika Tosa Poetra bertemu dengan Adonis (Ali Ahmad Said),
salah satu dari sepuluh besar penyair Arab setelah Perang Dunia II yang
direkomendasi mendapat Nobel Sastra Dunia 2012[Hanya direkomendasikan
dan pasti tidak mendapatkan. Sebab, Eropa sebagai penggagas Nobel Sastra
akan pikir-pikir untuk memberikan ke warga Arab, apalagi Indonesia.
Kecuali jika ada angin politik yang mendukung perekonomian negara
barsangkutan. Maka, bagi penyair Indonesia jangan berharap dianugerahi
Nobel Sastra. Kalau terpaksa mendapat Nobel Sastra, tolaklah dengan
mengatakan,”gak oleh Nobel Sastra gak patek en]. Adonis akan
menyarankan agar Tosa mencipta puisi yang sarat dengan estetika muatan
(nilai). Bahwa keberadaan puisi adalah mencipta ulang realitas, bukan
menerima apa adanya. Dengan kata lain, puisi merupakan perubahan dan
bukan penafsiran. Ilmu menafsirkan, sementara puisi mengubah. Ilmu
menempatkan manusia berhadapan dengan realitas itu sendiri, sementara
puisi menempatkan manusia berhadap-hadapan dengan gambaran tentang
realitas (Adonis Jilid I, hal 195, LkiS 2007). Dalam Antologi tunggal
Kidung Jaran Dawuk, Adonis sepakat dengan puisi Harusnya Kutulis Opini (hal, 10): “Bunda,
mengapa ulat bulu merajalela di Negara Kita?”// “Agar kau menjadi
penyair nak, dan kelak ketika ulat bulu itu telah menjelma kupu-kupu
menghias langit, ketika itu jadikan negri ini puisi yang tak diduduki
Ulat Bulu//. Nilai filsafat Tosa Poetra cukup mencengangkan dalam larik //Wahai debur ombak yang menyapa pantai dan menyeret pasir, hapus rindu yang kemarin sempat terukir, jika rindu cuma milikku//. Dengan kasadaran segenap rasa, Tosa berani meng-aku-i bahwa yang menjadi miliknya tak akan lenyap walau dihapus zaman.
Adonis akan mesam-mesem membaca dua puisi Kidung Jaran Dawuk yang berjudul Abimanyu Gugur (hal 12), Bisma Gugur dan Tembang Cinta Kamboja (hal
28-29). Ketiga puisi tersebut berjenis epos yang mengisahkan puncak
dari segala kepahlawanan adalah ‘mati’di medan laga. Khusus puisi Tembang Cinta Kamboja,
Tosa berlarat-larat memilukan nasib TKW yang berujung pulang tinggal
baju dan nama. Meski tidak persis, puisi tersebut seperti melihat film Minggu Pagi di Vicktoria Park garapan Novia Kolopaking dkk, yang menggambarkan Taman Vicktoria di jantung kota Hong Kong menjadi kampung pelepas kangen
para TKW terhadap kampung halaman. Puisi TCK menghantarkan pemahaman
bahwa berpuisi tak sekedar teoritis semata, melainkan peristiwa. Tosa
tidak puas hanya dengan nilai semata, tetapi juga mengalaminya.
Ketiga puisi di atas memperkenalkan bahwa petualangan dan ksatria
mendapatkan makna dan arti penting, sebab petualangan menciptakan
peristiwa lain ke tataran nilai tertinggi dalam hidup, bahkan pengalaman
lebih penting dari hidup itu sendiri. Dalam perspektif demikian,
ke-mati-an tidak lagi sia-sia, tetapi menguatkan kehidupan agar lebih
sempurna. Meski tragis, sejatinya kehidupan memangku kematian dan
mewujudkannya dalam gerak hingga mendapatkan kemenangan ketika ia kalah
sekalipun. Kematian yang tidak menegasikan kehidupan dan mengagetkan
manusia. Kematian yang tidak mengakhiri hidup, hanyalah mematikan
sementara dalam hidup. Kematian ksatria tidak mengalahkan manusia
lantaran mati. Dengan kata lain, kematian sebenarnya adalah kemiskinan,
sikap rendah diri, berpangku tangan dan hina. Kondisi remuk jiwalah yang
sebenarnya kematian dingin dalam kehidupan.
Paling gampang jika Tosa Poetra bertemu saya, cukup nyeruput kopi sambil jedat-jedut
rokok eceran [kadang ngutang] di warkop angkringan. Sembari memutar
ulang jawaban beberapa mahasiswa atau penulis pemula tentang bagaimana
cara membuat puisi yang baik, saya menggambarkan proses bertani,
bagaimana mereka membabat rumput dan membakarnya, membajak, menata
parit, menanam, memupuk, mencabuti gulma rerumputan agar tanaman panen
sempurna dan tidak rugi. Atau proses pencitak boto, bagaimana ia mengulet tanah sedemikian rupa agar menghasilkan bata yang kenthing dan
tidak patah. Atau lihatlah tukang roti goreng, bagaimana ia mengulat
adonan tepung hingga dibanting-banting sampai kenyal. Bahkan keringat si
tukang roti goreng bercucuran [kadang diusapkan sebagai campuran adonan
agar rasanya lebih sreng. Kendati demikian tidak perlu menuding roti
tidak higienis, toh dalam tubuh manusia juga gembol
tai]. Demikian juga tukang puisi, bagaimana ia memilih kata, menyusun
dan merampingkan kalimat, menggali ide, menempatkan rima dan irama, dll.
Supaya puisi yang dihasilkan terasa nyamleng, semriwing dan nyess jika dibaca. Menurut orang Jombang, puisi yang bagus adalah yang mampu membuat pembaca misuh “diancok puisi iki rek!” Kalau kadar puisinya sangat baik, kadar misuhnya juga makin mandes “Si Mbokne Hancok [tidak sekedar ‘dancok, tetapi mbahnya yang berinisial ‘Si mBokne Dancok’.
Dancok merebak saat perang 45, lantaran diucapkan pasukan gerilya
sebagai kode pembakar semangat. Dancok berasal dari bahasa Arab:
da’syuk, dari fiil madhi (kata dasar) da’a, yadu’u=mencegah dan kata
syuk=jelek/buruk. Kata Da’syuk kemudian digampangkan menjadi Dancok yang
berfungsi melegakan kenggrundelan / nglegakno ati setara istighfar. Kode ‘mencegah hal yang buruk yang dimaksud adalah Belanda]. Di antara medium Dancok dan Si mBokne Hancok inilah puisi Tosa berkadar. Sedang puisi yang tidak jelas jluntrungnya berada di wilayah pisuan ringan Hancurit.
1.2. Posisi
Posisi yang saya maksudkan adalah letak geografis Tosa Poetra.
Sewaktu saya dan Nurel Javissyarqi menginjakkan kaki di rumah Tosa dalam
rangka Blakraan Sastra, saya merasakan logikanya dari tempat
sehening bukit Jaran Dawuk akan tercipta karya dahsyat yang menggema.
Saya mempunyai catatan mengenai Bukit Jaran Dawuk:
Catatan Jaran Dawuk
Ketika waktu bertanya, kemana jejak kaki melangkah?
Bediding di antara dua musim. Bila randu mulai mengapuk. Ia kan
berhamburan tertiup angin. Melayang. Menyusuri sawah jurang dan lembah.
Di pelataran padang perdu ilalang Mataraman. Berkelebat sesosok
pengembara pelana kuda. Apakah jejak Ki ageng Mangir? Atau Pangeran
Diponegara? Ksatria wibawa di medan laga.
Wahai pujangga. Dalam persembunyian tanahmu. Berbalut kabut di balik
bebukitan senja. Kaki Jaran Dawuk. Pertapa memasuki lorong sunyi
berkawan ular dan kuda putih. Sedang bersemadi mengintip sejarah. Bukit
tegar tugu termenung. Berfikir sepanjang abad. Seperti hendak berkisah
tentang seribu makna. Hari ini dan masa lampau, hendak bermuara di mana?
Kabut lembut dan kesejukan. Terus membuai dedaunan bertumbuhan silih berganti. Antara datang dan pergi.
Bebukitan sekitar kota. Tak tega. Segera menjemput langit senja
sebelum tiba. Sepertinya hendak menyimpan burai matahari dan segera
mengisahkan cahaya dari kegelapan. Sebab ketersembunyian kerap menjadi
hal yang tak terduga. Trenggalek. Terangnya prasangka.
Ingin ia membelai rambutmu wahai ilalang. Sebelum hijau royo menjadi
santapan Kanguru. Pada pucuk nan bergoyang meliuk tertiup angin.
Tapal kuda menjejakkan kaki di sekitaran mawar dan kamboja. Menghias
kuncup-kuncup bermekaran. Semerbakmu, ditunggu belahan dunia.
Jika setiap lontar berbicara. Pejalan jauh tapaknya menjadi tinta.
Tidur di goa-goa dan sesudahnya, bergegas memburu langit senja. Sekedar
demi kesetiaan. Ia menuruni jalan setapak dan bukit terjal. Bertegursapa
pada bukit-bukit tanggung. Langkahnya terhenti pada pertarungan singa
dan merak betina. Pertempuran abadi yang tak kan usai.
Kuda putih meringkik lelah. Temali tertambat. Di tepian Kali Keyang.
Gemercik alir mencandai bebatuan Jengking. Sang pengembara sejenak
membasuh muka, dan selanjutnya menuntaskan seribu tanya: getaran alam
macam apa? Hingga gaungnya ke cakrawala.
Tentu tidak hendak menyaingi. Kecuali menziarai peletak sejarah:
Ronggowarsito, Kiai Hasan Besari. Berputar melingkari sekitar. Menjamah
jernih sumber pancoran Joresan.
Dan selanjutnya, bergegas mengeja keakanan.
Trenggalek-Ponorogo (Joresan 5-7 Juni 2011).
Catatan Jaran Dawuk adalah gambaran saya mengenai tanah kelahiran
Tosa. Maghrib hingga lepas, saya berdiri lama di teras rumah Tosa sambil
memandangi bukit Jaran Dawuk. Saat itulah saya merekam detail bagaimana
bukit besar perlahan hilang diselimuti malam. Mula-mula tampak hitam
kekar seperti hantu besar sedang menunggui desa-desa sekitar bukit.
Selanjutnya raksasa besar itu lenyap berganti denging binatang malam dan
kemerecek Walang Kekek.
Waktu pagi, terpaan kuat sinar mentari menyorot bukit Jaran Dawuk
pada bagian tebing sebelah timur. Tampak samar bagian dinding kapur yang
tidak ditumbuhi belukar persis lukisan pangeran menunggang kuda putih.
Itulah sebabnya dinamakan bukit Jaran Dawuk yang artinya Kuda Putih.
Di kabupaten Trenggalek itu pula, pada 5 Juni 2011, saya mengamati
geliat sastra di Jawa Timur pesisir selatan. Saya dan Nurel mengikuti
diskusi sastra di STKIP Trenggalek bersama Misbahus Surur dan Nurani
Soyomukti. Rutinan diskusi sastra yang bernama Kuantum Mitra Sastra
(KMS) tersebut Nurani sempat membaca puisinya berjudul Kucium Ujung Lancipmu.
Hari berikutnya saya meneruskan langkah ke Negeri Dadak Merak, Reog
Ponorogo untuk menyelami tempat Ronggowarsito menulis di atas Watu
Jengking, Kali Keyang (seratus meter Pondok Tegalsari asuhan Kiai Hasan
Besari), dst.
Sisi tanah kelahiran ini, puisi Tosa tidak mendominasi. Bahkan puisi Kidung Jaran Dawuk
sendiri yang pernah dibaca penulisnya bersama saya di acara Lawatan
Budaya Mojowarno, Jombang, pada Juni 2011, tidak mencukupi gambaran
mengenai mitos Jaran Dawuk, apalagi potret masyarakat setempat.
Seandainya Tosa sedang jagongan di gardu sambil teplek
dengan tetangga, lantas ditanya, “apakah persoalan kami kau suarakan
dalam puisimu?” Ada banyak kegelisahan masyarakat sekitar Jaran Dawuk:
padi diserang wereng, kekurangan pasokan pengairan, was-was kalau bukit
pecah dan longsor, dll. Kalau puisi Tosa tidak srawung dengan masyarakat, ia akan bernasib sama dengan Emha Ainun Nadjib sebagai penyair kesepian. Ulasan Emha mengenai aksentuasi person penyair dan aksentuasi masyarakat
menggambarkan betapa erat hubungan karya sastra dengan potret sosial
(baca Menerba Budaya Tanding, hal,153, Emha, Pustaka Pelajar, 1995).
Puisi Tosa terburu me-nasional. Padahal yang disebut Nasional
terbentuk dari kepingan kekuatan lokal. Bahasa ekstrimnya, Indonesia
tidak perlu ada asal tanah kelahiran sejahtera dan tidak musnah.
Artinya, kalau terlanjur membikin komunitas besar yang bernama Negara
Indonesia, mari menciptakan lokalitas yang makmur-kemar-kemur.
Untuk tujuan tersebut, satrawan memainkan peranan penting menawarkan
pesan masyarakat setempat. Maman S. Mahayana menjelentrehkan khusus
hubungan pengarang dengan sosio-kultural (baca: 9 Jawaban Sastra
Indonesia, hal. 42, Maman S. Mahayana, Agustus, 2005).
1.3. Oposisi
Puisi, bagaimanapun juga makomnya adalah oposisi. Kidung Jaran Dawuk
menduduki tempat merata sebagai oposisi atas lawannya: (agamis
>azali>ila yaumil kiyamah). Jangan mengira bahwa sastrawan
(seniman) adalah makhluk berjiwa lembut, melainkan bibirnya putih namun
dada dan kepalanya mengangah api bara. Saya setuju jika Tosa beroposisi
dengan penulis ‘Dancuk-an’, yakni penulis yang mempersembahkan karyanya
agar dibaca, diapreseasi, diakui citranya oleh senior. Melainkan menulis
agar diminati rakyat yang paling jelata sekalipun. Meski kampanye
pemberantasan buta huruf bertujuan menjual produk industrialisasi.
*) Catatan makalah Bedah Buku Antologi Tunggal Kidung Jaran Dawuk
karya Tosa Poetra, pada 9 Pebruari, 2013, di Kedai Baca Suket/Rumah
Pintar Srikndi, jalan Kusuma Bangsa 54, Jombang.
**) Sabrank Suparno. Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Bergiat di
Lincak Sastra Jombang. Beralamat di: RT/RW:08/02, Dowong-Plosokerep,
Sumobito, Jombang.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/02/kidung-jaran-dawuk-antara-hancurit-dan-si-mbokne-hdancok-puisi-posisi-dan-oposisi/
Rabu, 13 Februari 2013
Kidung Jaran Dawuk Antara Hancurit dan Si Mbokne (H)Dancok (Puisi, Posisi dan Oposisi) *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar