Rabu, 26 Desember 2012

Jokpin Antara Ironi dan Impian

Tri Wahyu Utami
harianjogja, 26 Agu 2012

Joko Pinurbo, lelaki ini dikenal “dingin” ketika mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari lewat puisi. Ia menyimpan obsesi keliling Tanah Air “memotret” sejarah dan membingkainya dalam reportase puisi.

“Sampai mati pun tidak kesampaian [impian berkeliling Indonesia],” katanya suatu siang, saat ditemui di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Jogja pekan lalu. Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki bertubuh kurus dengan wajah tirus beralis tebal ini lalu diam suntuk, matanya menerawang jauh.

“Saya mau melakukan perjalanan budaya dan menuliskannya lewat puisi. Tapi butuh modal banyak. Kalau ada yang modali mungkin bisa, iya, bisa saja,” lanjutnya seakan menampik rasa pesimistisnya.

Jokpin, begitu ia akrab disapa, mendambakan keliling Indonesia sejak dulu. Tapi keinginannya itu selalu diurungkan mengingat perjalanan akan menghabiskan biaya cukup besar untuk hidup berbulan-bulan di setiap pelosok. “Di Indonesia belum ada [puisi sejarah], kalau prosa atau novel sudah, seperti Ahmad Tohari yang menuliskan sejarah asalnya,” ujarnya.

Membaca referensi di media internet saja baginya tidak cukup meski diakui dunia maya sangat kaya pengetahuan. Atau, seperti hobinya membaca buku filsafat dan sejarah saja tidak mewakili. Jokpin harus menyelami, darah dagingnya harus menyentuh langsung, barulah ia bisa menuliskan.

Sebenarnya, saat inilah waktu yang tepat untuknya berkelana dan lebih produktif. “Sekarang saya agak leluasa [untuk produktif menulis] karena tidak direpotkan urusan hidup. Anak-anak sudah besar, saya juga bukan pegawai lagi, saya pengangguran,” tuturnya, datar.

Ironi

Lelaki kelahiran Sukabumi, 50 tahun silam ini dikenal sebagai penyair dengan karya bersifat naratif, tidak mementingkan rima. Jokpin membuktikan dengan ciri khasnya, dimana puisi tidak tampil sebagai sesuatu yang angker. Ia dingin-dingin saja ketika menuliskan tentang kuburan atau celana kesukaannya.

Ayah dua anak ini tidak susah-susah dan sederhana serta ringan mengungkapkan peristiwa dalam puisi, seperti penampilannya yang tidak tampak istimewa. Baginya, puisi adalah sebuah kebersahajaan dan kesungguhan.

Ia tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan.

Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang ‘sakral’ meski tidak berarti ia menyepelekan kepenyairannya. Misalnya, peristiwa penyalipan dan kebangkitan Yesus Kristus berjudul Celana Ibu, puisi yang paling ia sukai.

Jokpin mampu membuang jauh wejangan dari puisinya, meski ia lama bergumul dengan kitab suci dan bahkan peristiwa itu merupakan puncak iman umat Kristiani. Ia menaklukkan narasi yang kasar, menampilkan tokoh Maria dengan kata-kata yang tampak sepele namun mengundang perenungan.

Disiplin

Tak hanya peristiwa dasyat yang ia rangkum dalam puisi. Ke manapun pergi, Jokpin selalu membawa buku catatan kecil untuk menuliskan kata kunci. Lalu, lahirlah puisi-puisi tentang pedagang keliling, penjual bakso, tukang parkir, penjual pangsit dan banyak lagi.

“Saya lebih suka mengatakan bahwa pergulatan hidup kita sehari-hari termasuk aktivitas kerja cari duit, ronda, dan lain-lain merupakan bagian penting dari sumber ilham bagi proses kreatif,” katanya.

Di balik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dari puisi terpendeknya sekalipun. Misalnya, berjudul Kepada Puisi; Kau adalah Mata, Aku Air Matamu.

Membuat puisi satu baris bukan perkara mudah. Jokpin berjuang agar narasinya tetap utuh, setting dan tokoh seakan disembunyikan tapi tetap “bicara”. Ia memeras setiap kata sehingga kata-kata itu memiliki pamor.

Sejak beberapa tahun ini, Jokpin mempublikasi puisinya di jejaring sosial twitter dan blog sehingga para Jokpiana (penggemar Jokpin) bebas mengakses. Kini, ia sedang sibuk menyiapkan dua buku sekaligus yang berisi kumpulan puisinya pada 2007-2012. Seraya mengikuti proses itu, Jokpin mengaku masih gelisah.

“Saya berharap bisa mengunjungi situs-situs kuno dan kebiasaan orang-orang di setiap pulau di Indonesia,” kata Jokpin menegaskan kembali impiannya.

BIODATA
Nama: Joko Pinurbo (Jokpin)
Lahir: Sukabumi, 11 Mei 1962
Istri: Nurnaeni A.F
Anak: P. Wahyu Wibisono dan Maria Azalea
Alamat: Wirobrajan, Jogja

Tentang Jokpin:
- 1981 tamat dari SMA Seminari Mertoyudan, Magelang.

-1987 lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Selama mengajar di almamaternya dia sambil juga membantu majalah Basis. Ia juga pernah membantu jurnal Puisi.

-Jokpin menulis sejak SMA. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan antologi.

Prestasi:
-Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta 200
-Hadiah Sastra Lontar 2001
-Sih Award 2001
-Penghargaan Karya Sastra Pusat Bahasa 2002
-Nominasi Khatulistiwa Literary Award (2001, 2002, 2003), sampai akhirnya meraih penghargaan itu pada tahun 2004 lewat buku Kekasihku.
-Jokpin diundang baca puisi di Festival Puisi Antarbangsa Winternachten Over-zee 2001 di Jakarta, Festival Sastra/Seni Winternachten 2002 di Belanda, Forum Puisi Indonesia 2002 di Hamburg, Jerman, dan Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 di Solo.

Buku kumpulan sajak Jokpin:
Celana (Indonesiatera, 1999)
Di Bawah Kibaran Sarung (Indonesiatera, 2001)
Pacar Kecilku (Indonesiatera, 2002)
Trouser Doll (2002)
Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003)
Kekasihku (Kepustakaan Populer Gramedia, 2004)
Pacar Senja (Grasindo, 2005)
Dua kumpulan sajak terbaru kini sedang diproses.

Karya puisi kesayangan Jokpin:
Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

(2004)

Dijumput dari: http://www.harianjogja.com/baca/2012/08/26/profil-tokoh-jokpin-antara-ironi-dan-impian-322008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar