Nurel Javissyarqi
Sastra-indonesia.com
“Nun, demi kalam (pena) dan apa yang mereka tuliskan.” [QS. al Qalam (68) ayat 1].
Judul makalah ini mengambil olok-olokkannya kritikus Dami N. Toda kepada A. Teeuw dalam esainya “Mempertanyakan Sastra Itu Kembali” di bukunya “Apakah Sastra?” Cetakan Pertama, IndonesiaTera 2005. Yang juga ‘versi iklan kecap’ menurut saya!
Kebetulan saya sedang menggarap buku kritik, yang rencana judul besarnya: “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” lewat esainya Dr. Ignas Kleden, ‘Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri,’
yang sudah mendekati empat ratus halaman, entah ketebalannya kelak
sampai berapa. Sajian kini tidak jauh dari yang teranalisa demi
memudahkan diri berselancar. Yang jua termaksud versi iklan kecap
bunyinya begini tulisan Dami, “…temuan diksi puitik berupa fonem “Q”, ataupun diksi puisi persenyawaan “sepisaupi sepisaupa”, diksi puisi berupa morfem-morfem sungsang (winka, sihka) dan ‘tanda baca’ menjadi absah dalam “karya sastra” Sutardji Calzoum Bachri; murni temuan cipta
diksi puitik si pengarang Sutardji Calzoum Bachri pribadi dalam karya
ciptaan tertentu. Gejala pilihan ‘kata’ seperti itu tiada ter-reka dalam semiotik Culler, Greimas, apalagi Teeuw yang berpegang pada leksikografi linguistik konvensional.” (Hlm 4).
Mungkin, sangking geregetannya Dami terhadap A. Teeuw, ia mengkopi
paragrafnya di dalam esai lain dengan gaya bahasa agak berbeda. Tengok
halaman 2-3 dan 29-30, di buku yang saya sebut di muka seperti berikut:
“…Contoh mitos “teori sastra mutakhir” yang diberi label etiket ilmiah dapat dibaca dari bunyi teks iklan kulit buku kumpulan esai A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, pada Penerbit Gramedia (Jakarta), 1983. Tertulis di sana antara lain:”
“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad
ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk
membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini
jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori
sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam
buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael
Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman
(Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan
lain-lain.”
“Tidak tanggung-tanggung wacana iklan neket tersebut menjual kumpulan esai Prof. A. Teeuw dengan versi iklan kecap: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra.” Benarkah ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir berakibat pada ketidakmampuan orang Indonesia membaca dan memahami (baca: ‘menikmati’) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra baru yang ditulis pengarang mereka sendiri? Benarkah komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak dalam negeri perlu menanti tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir dengan nama-nama aneh diimpor jauh-jauh dengan bahasa susah Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman, lewat kuliah “Program Leiden” (Belanda)? Haruskah pembaca awak yang telah
bernikmat diri membaca sastra bangsa sendiri harus kembali mencurigai
kejujuran kenikmatan penerimaan dan apresiasi membacanya karena belum
diabsahkan membaca “teori sastra mutakhir” beristilah asing? Suatu hal
pasti bahwa nabi-nabi asing teori sastra kubu linguistik: Mukarovsky,
Jakobson, Lotman, Barthes, Riffaterre, Jausz belum pernah tahu dan
membaca tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja, sastra teks asli Indonesia dan aneka sastra daerah Indonesia. (I.1. Mempertanyakan Sastra Itu Kembali, Hlm 2-3 buku Apakah Sastra?).
“Contoh pengelu-eluan mitos “teori sastra mutakhir” yang diterima sebagai etiket ‘ilmiah’ di Indonesia dapat disaksikan dari penyajian teks iklan berlebih-lebihan pada reklame kulit buku kumpulan esai A. Teeuw (Membaca dan Menilai Sastra) terbitan Penerbit Gramedia, Jakarta, tahun 1983. Tertulis di sana antara lain:”
“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad
ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk
membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini
jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori
sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam
buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael
Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman
(Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan
lain-lain.”
“Tanpa tanggung-tanggung tawaran Prof. A. Teeuw tersebut diiklankan dengan wacana: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra”. Apakah benar ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir di Indonesia berakibat dari ketidakmampuan kita di sini membaca dan memahami (baca:
‘menikmati) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra Indonesia yang
ditulis pengarang kita sendiri? Apakah benar bahwa komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak di Indonesia harus menanti dan tergantung pada tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir yang jauh-jauh diimpor dengan bahasa susah dari Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman lewat kuliah “Program Leiden”
(Belanda)? Hampir pasti selain A. Teeuw, nabi-nabi teori sastra asing
dari kubu linguistik, seperti Mukarovsky, Jakobson, Lotman, Barthes,
Riffaterre, Jausz belum pernah mampu membaca bahasa & tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja ataupun aneka daerah Indonesia. (I.3. Sastra Menciptakan Hukum Diksi Penciptaan, Hlm 29-30 buku Apakah Sastra?).
***
Suatu hari, berkisar lima tahun lalu saya naik kereta api (mungkin)
kelas ekonomi. Ini agak lupa sambil mengingat-ingat perihal terwedar
belum terkisah sebelumnya berupa tulisan. Sehingga tidak seolah mengkopi
meskipun kepunyaan sendiri dan sah. Tetapi saat kepanjangan seakan
pemalas, atau puas temuan itu saja. Gerbong kereta tertumpangi dari
Stasiun Tugu Jogjakarta ke Jakarta (Manggarai atau Senen; penyebutan dua
stasiun untuk mengurangi bentuk ketlingsut ingatan, sebab
menyebut salah satunya terasa kurang nyaman). Jika menyusuri peristiwa
yang kan terceritakan, seperti dari Stasiun Tugu ke Stasiun Senen. Dalam
gerbong entah deretan keberapa dari depan, pun bangku nomor berapa
sedari belakang, seingat saya duduk berdampingan seorang kuli. Sebut
saja namanya Tardjo, Ia mendongeng panjang-lebar pengalamannya
bertahun-tahun jadi kuli, dan keberangkatan kali itu katanya akan
memasang kaca di kampus UI. Secara spontan pikiran saya melejit, ‘wah
ini menarik!’ Ngobrol ngalor-ngidur dalam perbincangannya, nalar saya
kembara.
Tentu pembaca tak menyangka, saya bisa baca perjalanan seseorang
lewat mengamati raut muka, baju yang dikenakan, potongan kuku jemari,
pula gerak-geriknya. Apalagi (andai) tahu rumahnya, saya bisa tanyai
dedaunan serta bebunga menghiasi kediamannya, sehingga mudah peroleh
informasi tanpa banyak abang-abang lambe (pemanis
bercengkerama). Saya bayangkan tukang kaca itu besok memotong bebidang
kaca dengan pisau intan mungil mata tajamnya, jika membelinya berupa
lembaran lebar, yang digarit seukuran tertentu sesuai kebutuhannya. Lalu
memasangnya pelahan sederajat imbang, ini dikerjakan berkali-kali
sampai gedung-gedung kampus Universitas Indonesia terbungkus kaca tebus,
selain dinding temboknya.
Setelah kaca-kaca terpasang di tempat semestinya, dapat menghalau
angin kencang memasuki reruang kelas, sehingga para mahasiswa tidak
terserang tiupan bayu keras datang mengganggu acara belajarnya.
Menghalangi masuknya air hujan saat musim penghujan melanda, dan para
murid sesekali melihat bebintik air gerimis menetesi dinding kaca
berkelembutan rupawan sehalus pemikiran jernih menatap bidang
kemungkinan. Kaca itu membatasi sengatan mentari yang menerobos lewat
dindingnya, sisi lain peredam suara dari kebisingan aktivitas di luar.
Lain lagi pada kemiringan tertentu disentuh cahaya surya menimpai, kaca
mewujud setengah cermin bagi mahasiswi pula para dosen yang sekali
melintasi jalan merias diri di mukanya.
Banyak manfaat pekerjaan Tardjo bagi para pencari ilmu yang
bersuntuk-suntuk belajar di ruangan. Dan ia hanya menganggap dirinya tak
lebih tukang kaca semata. Mungkin mahasiswa yang tahu dirinya bekerja,
bersikap cuek pingsan tak punya kepedulian lebih, memandangnya sekelas
orang-orang yang tidak pernah merasai nikmatnya bangku pendidikan.
Kaca-kaca itu berfungsi lama kecuali pecah oleh lemparan batu, retak
memecah adanya pergeseran lempengan lapisan bumi, atau tak berguna kala
direnovasi dengan kaca terbaru. Mungkin kaca tersebut melampaui usia
belasan semester, beberapa generasi, dan daya gunanya bertambah sejauh
penyaksi menguliti diri pribadi atasnya.
Di senggang waktu tertentu dibersihkan pihak kebersihan, sekali tempo
dicoret-coreti mahasiswi iseng dengan pensil, spidol, atau menstempel
lewat bibirnya jika merasai punya kecupan paling seksi. Pulalah terkena
semprotan ludah yang kesal, serta berjenis-jenis peristiwa menimpai
kaca. Jangan-jangan ruangan kampus tak sesuai bayangkan saya! Atau
cukuplah dialamatkan tukang pasang kaca di kampus UI yang saya kenal di
kereta api itu memasang kaca apa saja, genting kaca, kaca cermin di
kamar mandi, &ll. Tak apalah, setidaknya menghibur di senggang masa
menikmati perjalanan Jogja-Jakarta.
***
Suara kereta api bagi saya ialah musik istimewa. Musik itu kala
mencapai percepatan lajunya senada irama musik klasik atas komposer
Alexander Mosolov yang terkenal bersebutan ‘pabrik baja.’
Keistimewaannya mungkin karena saya lahir di dataran rawa-rawa jauh dari
rel kereta, andai ada yang membangun di atas tanahnya, tentu memerlukan
konstruksi khusus, agar tak cepat ambles ke dasar bumi oleh mendat-mentul-nya. Karena jarang menaiki pun mendengarkan suaranya, dan bisa dipastikan kala melewati palangan
rel kereta api, serasa melesat ke surga. Istilah ‘keistimewaan’ berbeda
dengan mewah, cantik pula mahal, tapi ibarat rasa lapar, dan naluri
untuk makanlah yang ternilai.
Ketika suatu waktu inap di rumahnya kritikus sastra Maman S. Mahayana
daerah Bojong Gede, Depok. Serasa mengalami keadaan istimewa setiap
saat, karena kerap dihibur suara kereta api yang lewat di samping
kediamannya. Suasananya jadi luar biasa membumbung lantaran bisa
menikmati perpustakaan pribadinya. Musik itu menyusuri alam kenangan,
semasa bocah diajak Mbah saya ke Kota Babat (wilayah Lamongan). Ia
bilang (bernada bohong demi menghibur cucunya) kalau sudah sampai di
Jakarta, dengan bukti melewati rel kereta api. Atau tidak bohong, tetapi
ingatan saya yang lemah. Kata lain, Mbah saya menunjuk ke rel kereta
api itu menuju Jakarta (benar).
Selalu, saat saya naik kereta api ke Jakarta membawa buku-buku
karangan Soekarno dan Bung Hatta, sambil membayangkan keadaan jaman
tempo dahulu masa perjuangan kemerdekaan. Di gerbong imaji saya liar
merangkai bayangan, para penumpang ibarat pejuang melawan penjajah. Ini
jarang tertemui dalam kereta api kelas bisnis, dan tak terjumpai di
kelas eksekutif, kecuali memaksakan bayangan, tapi buntutnya malah
seperti (menjadi) penjajahnya. Di setiap laluan nalar ini terus
berlesatan, ada saja terpikirkan tak mau berhenti diam. Dan setiap
tarikan nafas sering tersadar, bahwa perjalanan ini dimodali Tuhan
dengan nyawa, maka saya tanamkan keseriusan di dalamnya.
Antara nyanyian kereta api, ada saja sosok para tokoh dunia muncul di
hadapan saya, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Muhammad Iqbal,
Rabindranath Tagore &st. Saya kira, dataran India tidak berbeda jauh
dari bencah tanah Jawa. Irama cepat musik itu senyawa karya-kaya
sastrawan filsuf Nietzsche, senantiasa organisme dalam pepuncak
temuannya. Dan kelambanannya sealur novel Siddharta (1922)
karya pemenang Nobel Sastra tahun 1946 Hermann Hesse, yang mungkin
pernah naik kereta api di Sumatera. Atau di usia 23 Pablo Neruda tahun
1927 (pemenang Nobel Sastra tahun 1971) berpelesiran bersama istri
pertamanya Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzan (seorang Belanda pegawai
bank) menaiki kereta api dari Jakarta ke Jogja. Tagore (pemenang Nobel
Sastra tahun 1913) pun saya kira sempat naik kereta api di tanah Jawa
(1927-1928). Istimewanya lagi, film ‘Before Sunrise’ berawal dari
perjalanan dalam kereta api.
Di kereta api juga, teringat karangan penyadur jalang Chairil Anwar
‘Kerawang Bekasi,’ yang menurut sebagian kritikus kekaryaannya bernilai
universal. Misalkan Ignas Kleden dalam petikan paragraf ini: “…Menghadapi
semua ini, seorang peneliti akan tetap bertanya mengapa gagasan tentang
universalitas kemanusiaan demikian mempengaruhi Chairil Anwar dan
rekan-rekan seangkatannya, sehingga membuat mereka seakan tercerabut
dari lokalitas di mana mereka semula berakar? Pertanyaan ini akan
membawa seorang peneliti menyelidiki apa yang terjadi pada masa hidup
Chairil Anwar dan dengan itu menyingkapkan juga konteks historis dari
mana telah muncul sikap yang diperlihatkan oleh para sastrawan Angkatan
45. Jadi, konteks kehidupan para sastrawan angkatan ini barangkali tidak
dibutuhkan untuk memahami karya mereka, tetapi sebaliknya, karya mereka
mengharuskan kita untuk memahami mengapa mereka seakan-akan berkarya
secara lepas dari konteks historis yang terdekat dengan kehidupan
mereka.” (“Pengantar Penulis, Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan,” terbitan Grafiti & Freedom Institute 2004). Saya pikir
lebih bijak para peneliti memahami usia kesunyiannya, dan kecerobohannya
yang dibela mati-matihan kritikus sastra H.B. Jassin.
***
Tubuh Tardjo bergoyang-goyang seperti badan saya, selaju kereta api
ekonomi kami tumpangi. Kadang pelan terkadang kencan mengikuti suara
musik kereta. Berbagi pengalaman menebarkan keakraban. Saya amati
tatkala ia menatapi kaca jendela kereta api. Mungkin, sedang
membayangkan pekerjaan yang dihadapinya besok. Pandangannya tekun
menyelidik sudut-sudut kesimbangan. Barangkali tersirat di kaca itu
gambaran anak dan istrinya di rumah, yang menantinya pulang bawa
oleh-oleh dari Jakarta. Senyuman khas menandai kesabaran melakoni hidup,
alisnya naik-turun dielus-elus jemari seolah memikirkan sesuatu. Ketika
tersadar saya perhatikan. Ia berlagak seperti teman lama, sambil
mengepulkan asap rokok yang dihisapnya.
Pikiran saya terus mengembara. Pada suatu malam kampus UI mengundang
para penyair Ibu Kota, untuk membacakan sajak-sajaknya sendiri-sendiri.
Sebagai gong acara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri
baca puisinya berjudul “Q,” yang secara teks banyak tanda serunya, dan
semacam ada tulisan Alif Lam Mim tanpa aturan / semaunya.
Mungkin, agar pembaca teks itu bisa menangkap keajaiban racikannya,
seolah-oleh ingin mengundang daya sugesti. Katanya puisi mantra, jadi
sejenis rajah huruf abjad barangkali. Dan membaca puisi yang berlabel
‘Tragedi Winka & Sihkha,’ serta puisi yang ada susunan huruf-huruf
‘sepisaupi sepisaupa.’ Saya tidak tahu, apakah Tardjo pemasang kaca
melihatnya atau tak! Jika menyaksikan tentu terheran-heran kagum sambil
bergumam, ‘Oh begitu ya penyair membacakan puisinya.’ Dan gedek
takjub sedikit miring oleh ketidakpahaman, atau masuk ke alam hipnotis
pembodohan. Karena hadirin pun tidak mengerti yang dimaui Sutardji, Raja
Mantra ‘palsu’ itu.
Kritikus Dami N. Toda ialah penyokong paling setia pada ‘perpuisian
SCB.’ Sayangnya terlepas akar tradisi, seperti jua ‘puisi-mantra
Sutadji’ yang tak memiliki tali-temali kemelayuan, kalau dicermati jeli
obyektif ataupun jujur bijaksana. Menengok ‘Kredo Puisi’-nya,’ paham
‘alibi’-nya; ‘tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas
ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya’ sebagaimana Tuhan,
katanya. Terlebih-lebih keberangasan mengartikan “Kun Fayakun” menjelma “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Saya cuplik saja paragraf-paragrafnya:
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas.
Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata
meloncat-loncat dan menari di atas kertas: mabuk dan menelanjangi
dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan
belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan
bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat
dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas,
saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas
berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk
menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang
ingin dibebankan kepadanya.” (“Kredo Puisi” Sutardji Calzoum
Bachri. O Amuk Kapak, Bandung, 30 Maret 1973). Apakah kata-kata “Alif
Lam Mim,” jika penulisannya tidak beraturan? Apakah termasuk kata-kata,
pada: winka, sihkha, sepisaupi, sepisaupa? Lantas beralibilah:
“Puisi adalah alibi kata-kata.
Para pembaca puisi, yang dalam kehidupan sehari-hari sering hanya
bertemu dengan kata-kata yang terpenjara dalam makna yang diinginkan
oleh penguasanya, mengandung kepalsuan dan hipokrisi, tidak lagi akan
menyalakan kata-kata. Dengan puisi, orang tahu, kata-kata sebenarnya
bebas, tidak terhukum dengan beban makna, yang diinginkan para
penguasanya, karena kata-kata berada di tempat lain, memiliki alibinya
dalam puisi.
Mengingat kata-kata masih memiliki alibi, orang bisa mendapatkan
optimisme dalam keabsurdan hidup sehari-hari yang sering penuh tekanan
dan hipokrisi, karena makna kata sebenarnya ada di tempat lain dalam
puisi.” (SCB: Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998,
Catatan Kebudayaan, Horison XXXII/5/1998). Jadi, sepertinya tidak
masalah menulis maupun membacakan kata-kata “Alif Lam Mim” semaunya!
Sebab?
“Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa
dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas
imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa
dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”
(‘Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair;’ orasi budayanya SCB dalam acara
Pekan Presiden Penyair, Republika, 9 September 2007). Karena merasa
‘sebagaimana Tuhan,’ dirombaklah “Kun Fayakun:”
“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas
jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda
adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.
Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah
makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara
Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006,
‘Isyarat’ hlm 20).
“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!”
Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu
sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia
dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi
mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan”
Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau
2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ hlm 22).
***
Untuk para kritikus maupun Sutardji sendiri, tidak usahlah jauh-jauh
mengecilkan peran Jacques Derrida, Roland Barthes, atau lainnya. Hadapi
saja teks-teks bertenaga balik ini dengan satuan gugusan buku yang tak
hanya esai-esai bernasib tanggung, sebelum membabat gagasan dalam
buku-buku mereka. Sehingga dunia susastra tidak meragukan kehadiran sampean
dalam pergaulan di belantika sastra Internasional. Hadapilah, seumpama
ingin menteorikan perpuisian tersebut -katanya puisi mantra- sambil
memantabkan kengelanturan kutipan-kutipan di atas yang menurut saya
salah besar, dan tidak berlandaskan asas ilmu pengetahuan kecuali
akal-akalan! Mungkin begitu, agar sejarah kesusastraan Indonesia lebih
dihargai, daripada memitos simsalabim abrakadabra!
Saya lihat Tardjo pemasang kaca-kaca jendela di kampus UI tertidur
oleh goyangan gerbong kereta api kelas ekonomi yang kami tumpangi.
Sedangkan diri ini masih menerawang pada catatan-catatan yang belum
rampung untuk buku sebagaimana disebutkan di awal. Kepada para penulis
yang hadir, saya mohon doanya, guna selesainya buku yang sedang tergarap
pelahan, agar bisa keluar sedari rezim susastra kejahiliahan. Sehingga
mampu memahami sebening hati berjernih fikiran, di dalam setiap menelaah
pelajaran hidup, dengan tidak menelan mentah-mentah yang ‘serupa-rupa
keilmuan,’ meski dari para guru kita sendiri!
Demikian buncahan singkat, selebihnya wallahualam bissawab.
Dan terus berikhtiar, demi meraih keilmuan peroleh kidungan damai
keselamatan di dunia sampai akhirat, amin… Serat Kala Tida (Sinom):
VII. “Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora
tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling
lawan waspada.” Terjemahan bebasnya: “Jaman yang dilalui itu
memang jaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila
(menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti tidak
akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak
Tuhan, bagaimanapun juga sebahagia-bahagia yang lupa diri masih bahagia
yang senantiasa ingat serta waspada.” (“R. Ng. Ronggowarsito Apa Yang Terjadi?” Disusun Anjar Any, penerbit Aneka Ilmu, Cetakan tahun 2002).
6 Nopember 2012, Selasa Anggara Masehi
21 Besar 1945, Selasa Wage Jawa
21 Dzul Hijjah 1433 Hijriah
Di Bumi Reog Ponorogo, Tanah Jawa.
* Makalah mengisi acara di kampus UnMuh Ponorogo. Sabtu, 10 November
2012 di ruang seminar (Dome Universitas Muhammadiyah Ponorogo).
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/sastra-versi-iklan-kecap-indonesia/
Rabu, 07 November 2012
SASTRA “VERSI IKLAN KECAP” INDONESIA *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar