Judul Buku: Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996
Penerbit: Harian Kompas: Jakarta 1996
Tebal: ix + 177 halaman
Peresensi: Sutejo *
Kompas, 18 Agu 1996
IMPRESI korpus cerpen koran mutakhir, tampaknya telah mengalami metabolisme. Paling tidak, hal demikian tampak dalam kumpulan cerpen Kompas Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), dan Pistol Perdamaian (1996). Pistol perdamaian itu sendiri diluncurkan akhir bulan Juni lalu di Bentara Budaya Jakarta (28/6/96).
Kalau dalam kumpulan cerpen sebelumnya ada kecenderungan ‘’realis-ironis’’ terbenturnya harapan wong cilik yang lugu pada kenyataan hidup keras, ‘’tidak adil’’, dan tidak memihak, tidak demikian halnya pada Pistol Perdamaian. Barangkali beberapa cerpen juga demikian, boleh dibilang cenderung surealistik: mengagabungkan ‘’realitas sejarah’’ ke dalam realitas masa kini, realitas angan-angan dan kehendak subjektif.
Dalam kaca mata Faruk, lima tahun terakhir cerpen-cerpen yang dimuat Kompas telah mengalami pergeseran dari realisme idealistis ke realisme materialistis, kemudian realisme kulturalis. Tak terkecuali tentu yang terpilih dalam Pistol Perdamaian. Hal demikian, barang kali bisa diamati pada Sentimentalitas Calon Mayat dan Meteorit-nya Sony Karsono, Eksperimen Moral (TB. Rahardjo) yang ‘’absurd’’ dan Pistol Perdamaian-nya Kuntowijoyo.
Yang menarik dari Pistol Perdamaian ini, adalah kecenderungannya yang mengarah pada ‘’pemotretan’’ pluralisme budaya. Sehingga cerpenya Kuntowijoyo yang diplih sebagai judul buku Pistol Perdamaian, jelas mengungkapkan bagaimana persoalan diolah, diamati, dinikmati kemudian dibingkai lewat pluralisme budaya. Pistol Perdamaian sendiri mempresentasikan dua simbol kebudayaan yang berbeda: keris dan pistol.
Pada satu titik, cerpen kita anggap sebagai ‘’saksi’’ dari fakta yang tak terberitakan maka dalam kumpulan cerpen inilah kita dapat temukan realitas Meteorit Sony Karsono yang mengingatkan akan tragedi pembunuhan Marsinah, Warung Pingir Jalan-nya Lea Pamungkas yang mengingatkan pada kasus Kedung Ombo. Dan inilah, tampaknya kecenderungan lain cerpen mutakhir macam kumpulan cerpen Saksi Mata-nya Seno Gumira Adjidarma, yang memotret sisi lain dari sebuah kondisi Timor-timor.
***
Kalau karya sastra (cerpen) menyampaikan dengan ‘’bahasanya’’ sendiri dalam menawarkan nilai keindahannya (esthetic values), maka cerpen yang demikian, tentu akan mengantarkan pembaca menjadi instan berbudaya (cultured man). Maka melalui kecenderungan realisme cerpen-cerpen Kompas, bisa diprediksi ‘’sumbangsih’’-nya dalam kehidupan masa kini.
Pistol Perdamaian misalnya sebagai judul buku, fokus pengeboran tema berangkat dari simbolisasi keris dan pistol yang dapat hidup beriring dalam sebuah zaman. Mitologi keris dan pistol mempresentasikan dua zaman berbeda! Persoalannya mengebor dari pembagian warisan pada sebuah peti yang berisi aneka senjata: keris, pistol, cundrik, ujung tombak, dan sebagainya. Kemudian, melingkar-lingkar dalam gerak-realitas sebuah keluarga. Persoalan itu menjadi runcing sebelum pada akhirnya sampai pada sebuah pengakuan (final ending), –pistol perdamaian.
Toeti Heraty, menyebutnya dalam kata pengantar, Pistol Perdamaian yang paling tidak, perdamaian sejuk antara lain suami isteri yang semangat dalam perbedaan pendapat, tetapi damai karena suami yang agak ‘’mistik’’ mengalah menghadapi nalar isteri yang jernih (hlm. 2). Maka melalui pemahaman yang estetis yang benar, karya sastra tentu akan mengantarkan pembaca menjadi insan yang berbudaya!
***
Kumpulan cerpen Kompas kali ini, bisa jadi mempunyai ‘’kualitas’’ lebih. Jika dibandingkan dengan Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), dan Lampor (1994).
Diawali dari Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), tampak ada eksperimentasi yang dicoba dikembangkan oleh Kompas. Sebagai cerpen yang harus dipertimbangkan pasar maka kecenderungan metabolismenya, paling tidak harus mempertimbangkan berbagai unsur seperti: kekomunikatifan, impresi ‘’tunggal’’, sugestif, aktual, dan menyampaikan pesan. Dan, keberanian menampilkan cerpen macam Meteorit dan Eksperimen Moral misalnya, barangkali bisa menjadi semacam upaya ‘’pelembagaan’’ karya sastra ekperimental.
Diskursus cerpen pilihan Kompas pada akhirnya menjadi semacam upaya untuk memenuhi (melawan?) ’’logika keselarasan’’, agar tidak berbenturan dengan pemegang kekuasan. Sehingga, karya sastra pada akhirnya mempunyai semacam keterlibatan sosial yang akan menghadirkan nilai dan makna tertentu bagi masyaraktnya. Hal demikian, tampak pada beberapa kecenderungan di atas, sejak dari realisme idealis, realisme materialis, sampai pada realisme kulturalis cerpen-cerpen Kompas.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, Cerpenis Tinggal di Ponorogo, Jawa Timur
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/metabolisme-untuk-sastra-koran/
Penerbit: Harian Kompas: Jakarta 1996
Tebal: ix + 177 halaman
Peresensi: Sutejo *
Kompas, 18 Agu 1996
IMPRESI korpus cerpen koran mutakhir, tampaknya telah mengalami metabolisme. Paling tidak, hal demikian tampak dalam kumpulan cerpen Kompas Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), dan Pistol Perdamaian (1996). Pistol perdamaian itu sendiri diluncurkan akhir bulan Juni lalu di Bentara Budaya Jakarta (28/6/96).
Kalau dalam kumpulan cerpen sebelumnya ada kecenderungan ‘’realis-ironis’’ terbenturnya harapan wong cilik yang lugu pada kenyataan hidup keras, ‘’tidak adil’’, dan tidak memihak, tidak demikian halnya pada Pistol Perdamaian. Barangkali beberapa cerpen juga demikian, boleh dibilang cenderung surealistik: mengagabungkan ‘’realitas sejarah’’ ke dalam realitas masa kini, realitas angan-angan dan kehendak subjektif.
Dalam kaca mata Faruk, lima tahun terakhir cerpen-cerpen yang dimuat Kompas telah mengalami pergeseran dari realisme idealistis ke realisme materialistis, kemudian realisme kulturalis. Tak terkecuali tentu yang terpilih dalam Pistol Perdamaian. Hal demikian, barang kali bisa diamati pada Sentimentalitas Calon Mayat dan Meteorit-nya Sony Karsono, Eksperimen Moral (TB. Rahardjo) yang ‘’absurd’’ dan Pistol Perdamaian-nya Kuntowijoyo.
Yang menarik dari Pistol Perdamaian ini, adalah kecenderungannya yang mengarah pada ‘’pemotretan’’ pluralisme budaya. Sehingga cerpenya Kuntowijoyo yang diplih sebagai judul buku Pistol Perdamaian, jelas mengungkapkan bagaimana persoalan diolah, diamati, dinikmati kemudian dibingkai lewat pluralisme budaya. Pistol Perdamaian sendiri mempresentasikan dua simbol kebudayaan yang berbeda: keris dan pistol.
Pada satu titik, cerpen kita anggap sebagai ‘’saksi’’ dari fakta yang tak terberitakan maka dalam kumpulan cerpen inilah kita dapat temukan realitas Meteorit Sony Karsono yang mengingatkan akan tragedi pembunuhan Marsinah, Warung Pingir Jalan-nya Lea Pamungkas yang mengingatkan pada kasus Kedung Ombo. Dan inilah, tampaknya kecenderungan lain cerpen mutakhir macam kumpulan cerpen Saksi Mata-nya Seno Gumira Adjidarma, yang memotret sisi lain dari sebuah kondisi Timor-timor.
***
Kalau karya sastra (cerpen) menyampaikan dengan ‘’bahasanya’’ sendiri dalam menawarkan nilai keindahannya (esthetic values), maka cerpen yang demikian, tentu akan mengantarkan pembaca menjadi instan berbudaya (cultured man). Maka melalui kecenderungan realisme cerpen-cerpen Kompas, bisa diprediksi ‘’sumbangsih’’-nya dalam kehidupan masa kini.
Pistol Perdamaian misalnya sebagai judul buku, fokus pengeboran tema berangkat dari simbolisasi keris dan pistol yang dapat hidup beriring dalam sebuah zaman. Mitologi keris dan pistol mempresentasikan dua zaman berbeda! Persoalannya mengebor dari pembagian warisan pada sebuah peti yang berisi aneka senjata: keris, pistol, cundrik, ujung tombak, dan sebagainya. Kemudian, melingkar-lingkar dalam gerak-realitas sebuah keluarga. Persoalan itu menjadi runcing sebelum pada akhirnya sampai pada sebuah pengakuan (final ending), –pistol perdamaian.
Toeti Heraty, menyebutnya dalam kata pengantar, Pistol Perdamaian yang paling tidak, perdamaian sejuk antara lain suami isteri yang semangat dalam perbedaan pendapat, tetapi damai karena suami yang agak ‘’mistik’’ mengalah menghadapi nalar isteri yang jernih (hlm. 2). Maka melalui pemahaman yang estetis yang benar, karya sastra tentu akan mengantarkan pembaca menjadi insan yang berbudaya!
***
Kumpulan cerpen Kompas kali ini, bisa jadi mempunyai ‘’kualitas’’ lebih. Jika dibandingkan dengan Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), dan Lampor (1994).
Diawali dari Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), tampak ada eksperimentasi yang dicoba dikembangkan oleh Kompas. Sebagai cerpen yang harus dipertimbangkan pasar maka kecenderungan metabolismenya, paling tidak harus mempertimbangkan berbagai unsur seperti: kekomunikatifan, impresi ‘’tunggal’’, sugestif, aktual, dan menyampaikan pesan. Dan, keberanian menampilkan cerpen macam Meteorit dan Eksperimen Moral misalnya, barangkali bisa menjadi semacam upaya ‘’pelembagaan’’ karya sastra ekperimental.
Diskursus cerpen pilihan Kompas pada akhirnya menjadi semacam upaya untuk memenuhi (melawan?) ’’logika keselarasan’’, agar tidak berbenturan dengan pemegang kekuasan. Sehingga, karya sastra pada akhirnya mempunyai semacam keterlibatan sosial yang akan menghadirkan nilai dan makna tertentu bagi masyaraktnya. Hal demikian, tampak pada beberapa kecenderungan di atas, sejak dari realisme idealis, realisme materialis, sampai pada realisme kulturalis cerpen-cerpen Kompas.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, Cerpenis Tinggal di Ponorogo, Jawa Timur
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/metabolisme-untuk-sastra-koran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar