Kamis, 27 September 2012

PONOROGO SEBAGAI REPRESENTASI SENI DAN BUDAYA

Andry Deblenk
_Ponorogo Pos

Apabila berbicara tentang Ponorogo, kita tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Seperti kita ketahui bersama, ada dua hal yang dapat kita tengarai. Pertama, adalah substansi dari kesenian reyog itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kesenian adiluhung ini made in asli dari daerah Ponorogo. yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reyog sangat vital, nyaris tak tergantikan.

Kedua, jika kita flash back pada sejarah berdirinya wilayah ini, pastilah kita mengenal nama Raden Bathoro Katong. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong dan Ki Ageng Mirah pada hari jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo. Nah berawal dari sinil terbentuklah budaya Ponorogo yang baru.

Ponorogo dahulu merupakan tanah perdikan di bawah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa ini. Bersama Ki Ageng Mirah, Raden Batoro Katong bahu-membahu membangun kadipaten ini, terlebih lagi dalam sisi religiusitas. Pengaruh Islam berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama islam. Pesantren-pesantren tersebut (baik salafiyah maupun modern) menyebar hampir di seantero wilayah ini, Beberapa pesantren diantaranya pesantren Gebangtinatar, Pondok Modern Gontor,dan Wali Songo menjadi pusat studi islam terkemuka. Berdasarkan hal di atas, dapatlah kita tarik implikasi pencitraan Ponorogo sebagai kota santri, lengkap dengan elemen kebudayaannya. Poros ini berdampingan mesra dengan komunitas seni reyog beserta elemennya yang ”sebenarnya” kontradiktif.

Berangkat dari hal di atas, pada event grebeg suro 2010 komunitas seni rupa Shor Zambou di bawah navigasi Abdoel Karim Maspoor menggelar pameran bersama di gedung Sasana Praja Kabupaten Ponorogo. Pameran ini diikuti sebagain besar perupa lokal se-Kabupaten Ponorogo. Tema besar pameran ini adalah “Sitikultur(a)”. Banyak perupa yang mengeksplore tentang kebudayaan tradisional dan berbagai dinamikanya. Hal ini terlihat jelas pada karya-karya para perupa yang sebagian besar mengeksplorasi kesenian reyog Ponorogo dan seni kaligrafi dalam berbagai macam visual. Bahasa ungkap para perupa sangat beragam mulai dari lukisan, instalasi, dan performance art.

Tema ”Sitikultur(a)” berangkat dari karakter budaya masyarakat Ponorogo yang demikian kental. Siti (dalam Bahasa Jawa) adalah tanah, sedangkan Kultur berarti budaya. Tanah budaya dapat dimaknai sebagai lahan subur untuk menanami dan menyiangi pohon-pohon kebudayaan, terlebih bagi para pelaku budaya. Dalam konteks seni budaya, keberadaan seni (karya seni) memiliki korelasi kuat dengan ranah kebudayaan. Hal inilah yang membentuk struktur kebudayaan yakni kesenian, birokrasi, seniman-budayawan, dan elemen masyarakat yang inheren. Dari hal diatas, kiranya image Ponorogo sebagai tanah budaya selayaknya sudah matuti untuk disandang

Kata ”Sitikultur(a)” terinspirasi dari istilah biologi hortikultur(a) yang berarti tanaman budidaya. Kecenderungan dua kata ini sama sekali tidak berkaitan, namun dari esensial rasa, kedua kata ini memiliki ”Perselingkuhan yang erat”. Kok bisa…??? tanaman budidaya merupakan metafor dari kebudayaan itu sendiri. Secara realistik keduanya memerlukan ikhtiar dan tindakan logis. Bukankah kebudayaan teramat perlu untuk di”budidayakan” dan di uri-uri kelestariannya? mengingat Ponorogo secara eksplisit terkenal dengan slogannya sebagai bumi reyog yang sarat budaya.

Dewasa ini perkembangan budaya lokal mendapat kompetitor dari wilayah seberang. Budaya asing (modern) berlari kencang memasuki kawasan ini. Penetrasi budaya modern frontal menyerang dari berbagai lini. Hal ini seakan membentuk peradaban baru yang memengaruhi pola pikir dan sudut pandang masyarakat. Suatu hal yang patut diwaspadai, terlebih bagi keadiluhungan seni reyog maupun imanensi kultur pesantren. Namun, tidak semua kebudayaan asing berdampak negatif. Toh masih ada sisi positif yang dapat kita cari dari peradaban modernis tersebut.

Tema ”Sitikultur(a)” diharapkan dapat menggaungkan nama Ponorogo sendiri dalam perpustakaan kebudayaan nasional. Atau paling tidak, tema ini menjadi tonggak awal bagi karakteristik Ponorogo sebagai tanah budaya. Mungkin kedudukannya sejajar dengan Bali, Surakarta, atau Yogyakarta yang terkenal dengan ritual, kearifan lokal, arsitektur, koreografi, dan aktifitas keseniannya yang kulturistik. Sesuatu yang tak mudah digapai mengingat masih banyaknya benang kusut kebudayaan yang belum kita urai, kita kaji, dan kita analisis secara terperinci. Selain itu peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat (selaku apresiator, penikmat, dan kritikus seni) teramat vital demi melambungnya seni budaya Ponorogo baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.

Seniman dan budayawan mempunyai andil besar dalam terwujudnya Sitikultur(a). Ranah kebudayaan yang luas diharapkan menjadi ladang inspirasi bagi lahirnya proses, karya, dan pemikiran kreatif. Disinilah pentingnya kita sadari hakikat nilai seni. Nilai seni terletak pada efeknya. Seni bukan hanya memberikan kesenangan. Ia harus memberikan kekuatan baru pada manusia untuk menghadapi kejahatan dan kebusukan dunia. Seni bukan tempat pelarian. Seni harus memberi toleransi, kebijaksanaan, dan kemuliaan pada manusia. Nilai seni bukan pada keindahannya, tetapi pada perbuatannya yang tepat dan benar (Somerset Mougham).

Satu harapan terbesar bersemayam di hati kita, mulai sekarang atau kelak di suatu masa. Intensitas gerak kebudayaan seyogyanya membentuk paradigma Ponorogo sebagai Sitikultur(a) yang lebih bernuansa kental, dengan aroma yang sedap menyengat. Semoga ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar