Kamis, 03 Juni 2021

Saat Duo Cerbon Berpadu

MAAF, MAAF, MAAF
Karya dan sutradara: N. Riantiarno
Pemain: Syaeful Anwar, Ratna Riantiarno, Prijo S. Wienardi, Sari Madjid, Cornelia Agatha, Embie C. Noer (dalang)
Skenografi: Syaeful Anwar Penata Musik: Embie C. Noer
Penulis catatan: Akmal Nasery Basral
majalah.tempointeraktif.com
 
Sepotong senja yang ranum itu dibuka dengan pemotongan tumpeng. Tiga potong tumpeng itu seperti sekumpulan bab dalam sebuah kitab klasik. Para “pembaca kitab” itu adalah dramawan Norbertus Riantiarno, yang kerap dipanggil Nano. Ia memberikan potongan tumpeng untuk Syaeful Anwar, Ratna Riantiarno, dan Abdul Madjid. Sekeping sejarah teater modern Indonesia tersaji seperti appetizer yang menggoda selera.
 
Penonton pertunjukan Maaf, Maaf, Maaf, yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB TIM), 2-15 Maret, tak akan melihat adegan ini di bawah kilau lampu sorot di tengah panggung. Sebab, peristiwa itu berlangsung pada 1 Maret sebagai syukuran ulang tahun ke-28 Teater Koma. Sepuluh angkatan berkumpul, dari generasi pendiri sampai angkatan 2005 yang terdiri dari 22 orang. “Heran saya, di zaman sekarang masih ada anak muda yang mau belajar teater dengan serius. Kalau kami yang sudah terjerumus ini memang tak punya pilihan lain,” kata Riantiarno berseloroh. Hadirin tersenyum. Di antara mereka terlihat Didi Petet, Slamet Rahardjo Djarot, dan Shahnaz Haque.
 
Riantiarno memulai dari “bab pertama”, sebuah nostalgia saat 12 orang sepakat mendirikan sebuah teater pada 1 Maret 1977. Mereka antara lain mendiang Rudjito, Titiek Qadarsih, Jajang Pamuntjak, Rima Melati, Syaeful Anwar, Nano dan sang istri, Ratna Madjid, yang saat itu masih dikenal sebagai gadis penari jelita yang dikejar banyak pria. “Kita latihan di halaman rumah seorang tokoh partai politik yang waktu itu masih belum jelas apakah akan menjadi ayah mertua saya atau tidak,” katanya disambut gelak tawa hadirin. Tokoh politik itu adalah sesepuh PDIP, singa podium Abdul Madjid, yang tetap bugar pada usia 87 tahun.
 
Lalu datanglah masa produksi. Pentas pertama Koma hanya ditulis empat orang. Semuanya sastrawan: Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda, dan Ikranagara. “Untung, se-mua tulisan mereka mendukung Koma agar terus berproduksi,” Riantiarno melanjutkan. Pentas kedua, pada 1978, lebih menyakitkan. Baru beberapa hari digelar, drama itu dicekal Orde Baru?sebuah pengalaman yang akhirnya terbiasa dialami teater itu sampai dua dekade kemudian. Judul naskah itu: Maaf, Maaf, Maaf, yang kini diproduksi sebagai karya ke-105.
 
Selain membawakan repertoar orisinal, Koma juga memainkan karya-karya yang lebih mendunia, seperti Animal Farm (George Orwell) menjadi Sandiwara Para Binatang, Tartuffe (Moli?re), The Marriage of Figaro (Pierre Beaumarchais), hingga Women in Parliament yang ditulis penyair komedi terbesar dalam sejarah Yunani Kuno, Aristophanes (448-380 SM).
 
Riantiarno tak mengizinkan waktu berlalu sia-sia. Tanpa diduga hadirin, ia menyodorkan kekagumannya pada Clint Eastwood. “Baru tadi pagi saya tahu dari koran bahwa umurnya sudah 74 tahun. Dan ia datang ke (acara) Oscar membawa ibunya yang berusia 96 tahun. Bukan main. Itu luar biasa,” tuturnya. Di ajang Oscar, film Million Dollar Baby yang dibesut aktor kelahiran San Francisco itu meraih empat piala, termasuk untuk sutradara terbaik.
***
 
“MINTA IZINNYA ya, Pi. Mohon doa restu,” ujar Embie C. Noer, dalang dan penata musik, sembari mencium pipi Abdul Madjid. Lalu ia memasuki “kawasan musisi” di depan panggung Graha Bhakti Budaya yang agak menjorok ke dalam. Tingkah Embie segera diikuti para pemusik dan pesinden. Satu per satu mereka mencium ayah Ratna Riantiarno ini.
 
“Mereka semua memanggil saya ‘papi’. Ini jadi semacam tradisi dalam pementasan Koma,” ujar Abdul Madjid, yang duduk di baris terdepan dalam geladi bersih Selasa malam itu. Matanya menyapu properti panggung dan spanduk bermotif dekoratif yang “menyembunyikan” daerah pemusik dari mata penonton. “Saya adalah seorang orator,” kata Abdul Madjid lagi, “Jadi kadang-kadang suka geregetan melihat artikulasi pemain teater yang tidak terdengar jelas. Padahal mereka hanya menaklukkan beberapa ratus orang dalam satu pementasan, tidak sampai ribuan orang,” ujarnya.
 
Gong kedua terdengar. Para pemusik yang sudah duduk di posisi masing-masing mulai menala instrumen. Awalnya seperti serpihan bunyi yang terserak, terpisah satu dengan yang lain. Lalu nada-nada itu seperti mengalir ke sebuah muara, sebuah improvisasi yang memunculkan warna Cirebonan (Cerbon) seperti “tarling”, perkawinan gitar dan suling, namun dengan mengganti rebab menjadi biolin. “Pendekatannya seperti improvisasi pada jazz, tapi tetap main-main. Katakanlah ini semacam post-strukturalisme bermusik,” ujar Embie, yang juga menjadi dalang dan penata musik pada pementasan 27 tahun silam. Bedanya, komposisi sekarang sepuluh kali lebih meriah. “Spirit zaman harus kita tangkap, jadi sekarang ada tarling disko, tarling remiks, yang kita mainkan,” katanya.
 
Gong ketiga berkumandang, Embie meraih mikrofon. Suara baritonnya menggelegar: “Syahdan, pada suatu malam ketika langit kelam tanpa bintang atau bulan?, Dasamuka merebut Sinta dari Rama Wijaya?. Pemberontakan terjadi di mana-mana bagai jerawat di pipi remaja?.”
 
Lakon Ramayana yang dibawakan secara khas Cirebonan, dengan warna masres (ketoprak) dan genjring dogdog yang kental itu, perlahan tersaji di panggung. Ini ciri khas Teater Koma yang disukai penonton. Sementara teater lain kesulitan mementaskan naskah melewati hari ketiga, Koma terus melaju sampai dua minggu, dengan penonton tetap penuh setiap malam.
 
Dasamuka tetap diperankan Syaeful Anwar, salah seorang generasi pendiri yang beberapa jam sebelumnya meluncurkan buku Dari Dunia Kertas ke Pentas Dunia. Ini tesisnya tentang Teater Koma di Institut Kesenian Jakarta. Ekspresi aktingnya pas. Ia memperlihatkan jam terbang yang tinggi. Konsistensi vokalnya tak ikut kendur seperti perutnya yang mulai menggelambir.
 
Karakter-karakter lainnya berganti pemeran. Dewi Sinta, yang dulu diperankan Widiati Taufiq (kini istri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi), kini diperankan Ratna Riantiarno. Tokoh Sarpakanaka, raksasa perempuan adik Dasamuka yang doyan lelaki, yang dulu dimainkan Rima Melati, kini di tangan Cornelia Agatha (lihat rubrik Pokok Tokoh). Sedangkan tokoh Uti/Ratu Cahaya, yang awalnya diperankan Titik Qadarsih, kini dilakoni Sari Madjid. “Pentas ini tidak semewah pertunjukan Koma sebelumnya, tapi tetap bikin pusing karena infrastruktur teknologi yang sangat minim di panggung,” ujar Ratna, yang juga menjabat pimpinan produksi.
 
Ketika Dasamuka yang mengangkat diri jadi kaisar seumur hidup itu mulai didemo oleh berbagai kalangan, dengan yakin ia menghadapi massa. Suaranya mengguntur menyeramkan, “I don’t care with my popularity!” Alih-alih tegang, penonton justru terpingkal-pingkal.
***
 
ADA yang tak bisa dilupakan Nano ketika naskah ini dipanggungkan pertama kali di Teater Tertutup TIM, 27 tahun silam. Sutradara Arifin C. Noer menonton dengan berjas lengkap. “Soalnya gue mau nonton penampilan perdana adik gue,” kata Arifin menunjuk Embie seperti diulangi Nano. Embie sendiri ingat bagaimana saat itu ia jadi senewen. “Saya baru datang ke Jakarta, langsung dititipkan Arifin ke Mas Nano. Eh, malah dipercaya sebagai dalang. Ya sudah, jalan saja,” katanya.
 
Barangkali inilah salah satu hikmah pementasan Maaf, Maaf, Maaf yang mempertemukan kembali dua putra terbaik Cirebon itu di satu panggung setelah mereka cukup lama terpisah. Hasilnya: sebuah pertunjukan yang betul-betul digarap dengan serius.
 
Barangkali mestinya ada potongan tumpeng keempat yang diberikan Nano untuk Embie. Sebab, inilah “bab” lain yang diakui Riantiarno sendiri mulai dilupakan orang: bahwa Embie sesungguhnya bukan hanya seorang ilustrator musik, tapi juga dalang yang tangguh.
 
07 Maret 2005  http://sastra-indonesia.com/2011/08/saat-duo-cerbon-berpadu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar