Latief Noor Rochmans
krjogja.com, 30 Jan 2021
Sejarah sastra Indonesia bisa ditemukan runtut dan rapi. Ada dokumentasi
jelas periodisasi sastrawan. Mulai Angkatan Pujangga Lama hingga angkatan 2000,
banyak yang mencatat dan tercatat.
Seiring berubahnya zaman, meningkatnya kemajuan teknologi, periodisasi era
kepenulisan malah amburadul. Karena tidak ada lagi yang memasukkan dalam
angkatan berikutnya.
Penulis generasi sekarang terlalu asyik dengan diri sendiri. Bisa menulis,
dimuat media, kemudian pamer (karya yang telah dimuat) di media sosial, sudah
cukup baginya. Mereka merasa tidak perlu kenal penulis-penulis sebelumnya.
Realitas ini membuat mereka tidak dikenal para penulis senior yang
benar-benar telah tertahbiskan sebagai sastrawan. Sehingga para sastrawan
senior atau pengamat sastra, tak punya referensi nama-nama penulis generasi
bawahnya yang akan dimasukan ke angkatan sastra berikutnya. “Tak ada generasi
sastra lagi, sudah tamat sekarang,” kata A’Syam Chandra Manthiek, penyair
angkatan 90.
***
Berikut obrolan KRJOGJA.com dengan sastrawan berusia 52 tahun yang tinggal
di Gamping Tengah, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta itu.
Tiba-tiba Anda mengunggah video pembacaan puisi ke YouTube. Tuntutan zaman,
ikut-ikutan atau antologi puisi era sekarang bukan dalam bentuk buku tapi di
YouTube?
Kecenderungan masyarakat saat ini ke media sosial. Jika saya bikin konten
untuk YouTube, pembacaan puisi baru saya, itu hanya untuk dokumentasi saja.
Selama ini saya kan paling malas mendokumentasikan karya. Siapa tahu ada
gunanya. Tak termotivasi mencari uang seperti YouTuber lain. Sebagai penyimpan
karya saja.
Karena untuk menyimpan berarti akan bikin konten terus untuk YouTube?
Betul. Tapi tidak bisa dipaksa. Kapan mau bikin? Ada waktu, ada mood, ya
bikin. Seluangnya. Dan semaunya. Tak ada pikiran yang lain.
Respons teman-teman terhadap aksi Anda di YouTube?
Banyak yang mengapresiasi. Terutama teman-teman penyair. Orang yang paham
sastra.
Teknologi makin maju, dan menjadi acuan sebagian orang. Berpengaruh
terhadap sastra tidak?
Sama saja. Tergantung orangnya. Artinya lebih pada kualitas. Tidak asal
menulis. Bagaimana sastra daring harus yang berkualitas.
Merebaknya media sosial yang diserbu penulis muda, menyebabkan pengamat
kesulitan menulis daftar angkatan sastra. Karena tidak ada referensi dan tidak
tahu mana yang harus dimasukkan. Realitas ini membuat sebagian orang sastra
menyatakan tak ada lagi angkatan sastra. Menurut Anda?
Angkatan sastra sudah tidak ada. Tak bisa dilacak, tak ada generasinya
lagi. Sudah tamat! Habis itu. Celakanya, orang sekarang cenderung ‘membaptis’
diri sebagai penyair, sebagai sastrawan.
Kecenderungan saat ini, baru belajar menulis sudah berani mengirim ke media
cetak. Beda konvensi dulu yang harus berjuang lama untuk bisa disebut penyair….
Agak sulit membandingkan sastra sekarang dengan kemarin. Kalau ada
penurunan, sebenarnya pada perubahan kondisi. Sudah beda. Dulu di majalah dan
koran, kini lain. Seleksinya ya pada masyarakat.
Senang tidaknya tergantung masyarakat. Sejarah kepenyairan Anda panjang dan
‘berdarah-darah’….
Betul. Bahkan menggelandang siang malam di Malioboro. Melihat realitas yang
kemudian diresapi dan jadi karya. Itu tahun 1980-an. Bahkan pada saat itu, saya
menggagas pengadilan puisi. Saya dan Mathori Elwa yang pertama kali diadili.
Puisi diblejeti. Diadili, dibantai. Tujuannya membangun mentalitas. Kalau mental
kuat, akan bisa eksis. Dan pada waktu itu ada yang tidak berani diadili juga.
Takut.
Pembacaan puisi Anda unik dan menarik. Sering bawa ayam, menyebar uang….
Baca seenaknya saja. Ada mood ke situ, ya lakukan. Seperti bawa ayam. Itu
sejak dulu. Dan saya lakukan di kemunculan saya kembali, beberapa tahun lalu.
Maka saya tidak mau baca puisi didadak, ditodong. Itu pertunjukan, harus
dikonsep. Dipikir dulu untuk tampil.
Pernah akan diangkat sebagai PNS malah cabut, lebih berat jadi penyair….
Iya. Itu kenangan. Sampai banyak teman dan pimpinan kecewa dengan keputusan
itu. Saya berpikir waktu itu, apakah orang dihargai karena jadi PNS? Saya
putuskan mundur sebagai pegawai, jadi penyair. Dan setelah jadi penyair, banyak
orang mengenal nama saya. Bahkan pada saat itu sering menerima surat pena dari
penggemar. Tiap hari, minimal lima surat yang saya dapat dari pak pos. Isinya
ngajak kenalan, bersahabat, ada juga yang minta sumbangan. Dikiranya saya sudah
kaya.
Puisi-puisi Anda berani. Juga kritis. ‘Tuhan Telah Jadi buah Manisan’
amsalnya.
Ya itu karya yang lahir dari benak dan batin saya. Jika judul dianggap
ngeri, ya wajar. Tidak saya bantah. Kalau ada yang minta dijelaskan akan saya
jelaskan.
Suka duka penyair yang dikenal masyarakat?
Jika nama muncul di media cetak, rasanya senang sekali. Efeknya ya itu
tadi, banyak menerima surat dari seluruh Indonesia. Seperti jadi artis. Namun
ada tidak enaknya juga. Pernah ditolak calon mertua, gara-gara hanya penyair.
Penampilan gondrong. Dianggap tidak bermasa depan. Itu membuat saya tersadar
dan pacu. Dari honor tulisan di media cetak, saya belikan gerobak. Saya bisnis
mie ayam. Saya berwirausaha. Saya mau kerja apa saja untuk menghidupi keluarga.
Tidak malu.
***
Kamis, 11 Februari 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar