Membicarakan Saut Situmorang selalu menghadirkan imaji yang keras (:D). Ya, para penikmat sastra penghuni benua ketujuh pasti sekali dua kali pernah mendapati tulisan-tulisannya yang membawa kritik-kritik pedas tentang 1) kritik(us) sastra Indonesia masa kini, 2) dominasi Komunitas Utan Kayu beserta para eksponen-eksponennya, 3) budaya massa di Indonesia (saya pernah baca esai Saut tentang bahasa Indonesia yang nginggris di film-film nasional). Orang-orang di sana-sini suka membicarakannya dan suka dibikin resah dengan gaya komunikasi cybernya yang keras. Orang-orang juga suka membicarakan pemikiran-pemikirannya. Padahal, ada satu “karir” pentingnya: sebagai penyair. Buat saya yang tinggal di Malang, yang agak jauh dari Yogyakarta, stomping groundnya Saut, kepenyairan Saut malah kurang terasa. Tulisan di koran-koran yang suka menyinggung Saut juga kebayakan menyinggung pemikiran dan “polah tingkah intelektualnya” (:D), bukan puisinya (kecuali puisi fenomenalnya “Aku MencintaiMu dengan Seluruh J****tKu”. Padahal dia punya tiga buku puisi lho. Okelah, nggak usah berpanjang-panjang, bisa-bisa jadi terkenal si Saut ini nanti (hehehe…).
Sekarang kita ngobrol saja soal buku puisi ketiga Saut Situmorang yang sampai ke tas saya lewat jasa baik penyair Ngalam Ragil Sukriwul (suwun ya, cak): Otobiografi. Tanpa perlu diklaim si penulis sendiri pun saya bisa bilang kumpulan syair ini memang diniatkan untuk menjadi otobiografi penulisnya. Di sini, si Saut membuat kumpulan lengkap sajak-sajaknya seolah (dengan segala keisengan!) ingin menyaingi kumpulan sajak-sajak lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001. Bedanya sama si musuh besar, di Otobiografi Saut tidak mengkompilasikan sajak-sajaknya berdasarkan urutan waktu, namun berdasarkan “penjurusan” dan, baru kemudian, waktu penulisan. Kita akan temukan di sini sub judul “cinta” (yang isinya sajak-sajak yang memoaris, mengabadikan kehidupan batin si penyair dari waktu ke waktu tanpa pola pewaktuan yang tidak bisa dipastikan), kemudian “politik” (yang berisi unek-unek si penyair sebagai warga negara yang kebetulan tahu fakta-fakta tentang kebejatan penguasa dan tahu cara mengungkapkan protesnya, dan juga unek-unek si penyair tentang kejadian-kejadian di lingkungan sosialnya), dan terakhir adalah “rantau” (yang berisi sajak-sajak berbahasa Inggris yang kebanyakan ditulis waktu di ranah rantau Selandia Baru—yang sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia [atau mungkin juga dari bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris]).
Sepertinya demikian saja gambaran singkat tentang fenomena Saut Situmorang dan pratilik (halah!) atas kumpulan sajak terakhirnya, Otobiografi. Selanjutnya, kita ceburi sekalian sajak-sajak di buku tersebut dengan pendekatan … pendekatan apa ya … pendekatan yang asyik aja deh. Ya, pendekatan ASYIKISTIS di mana saya baca sajak-sajaknya dan kemudian akan saya ceritakan hal-hal menarik yang saya temui dan bersitan-bersitan yang saya dapatkan saat membaca dan tenger-tenger merenungkannya. Hokeh, let’s get it on! (to be continued…)
P.S. Kali ini jangan kuatir, sudah ada kelanjutannya kok, tapi kebetulan saja dicicil biar pas dan thrilling gitu deh (halah!):D
have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…
17 Feb 2008
*) Wawan Eko Yulianto, lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit: GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher. Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275. http://sastra-indonesia.com/2011/09/saut-situmorang-ngotobiografi-lewat-puisi-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar