Binhad Nurrohmat
Siapa pun kini sepertinya merasa bisa menulis puisi --
seperti semua orang bisa pergi ke kakus.
Puisi tertimpa cobaan berat di akhir zaman. Banyak Dajjal
sastra bermunculan.
Pujangga sangat keramat di masa tradisional. Menulis
puisi atau syair adalah tugas besar yang diemban hanya oleh ahli dan resmi
ditunjuk oleh negara atau kerajaan. Rangga Warsita merupakan sampel pujangga
yang keramat di akhir abad ke-19.
Bagaimana cara menjadi pujangga di masa lalu?
Kriteria utamanya adalah kualitas daya ingat (sambeghana)
dan kemampuan membaca masa depan (nawangkridha).
Sambeghana membuat fille khazanah pengetahuan hidup dalam
pikiran pujangga, bukan sekadar koleksi tumpukan bacaan di perpustakaannya. Tak
sebatas kaidah atau pengetahuan khazanah sastra, masalah kemasyarakatan juga
mesti dimiliki pujangga. Ketika raja menghadapi masalah, kerap kali pujangga
jadi sasaran curhatnya. Konsultasi.
Lain kata, pujangga tak hanya paham sastra.
Ada satu tradisi yang dilakoni setiap pujangga yang
disebut Ilmu Ngesti, semacam tirakat atau puasa agar fokus merenungkan suatu
perkara sehingga bisa menembus lapisan-lapisan persoalan dan menemukan akarnya.
Pujangga juga punya kualitas sebagai filosof.
Bagi yang serius terhadap sastra, pasti tak berani alay
terhadap sastra. Sebagaimana bagi yang serius terhadap bidang apa pun.
Sapardi bagi saya sudah selesai -- juga para pengikutnya.
14 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar