Sabrank Suparno
Memasuki bulan Ramadhan ada ahli kubur yang tanya perihal
cara ganti nisan almarhum keluarganya. Pertanyaan tersebut saya jawab dengan
uraian cerita.
Saya belum bisa karang cerita baru, sebab itu saya pakai
cerita lawas. Kata orang dahulu kalau ganti nisan baiknya bulan Ramadhan.
Alasannya, orangnya (ahli kubur) sedang tidak ada di rumah. Maksudnya, ruh ahli
kubur pada bulan Ramadhan sedang tidak menghuni alam kubur. Lantas di mana?
Menjawab pertanyaan di mana ahli kubur sebulan Ramadhan,
kita bisa tarik hubungkan dengan beberapa dalil semisal Ramadhan adalah
hadirnya bulan pengampunan, bulan berkah. Lebih luas arti bulan pengampunan
termasuk ke penghuni alam kubur. Isyarat dalil di atas dipahami orang jaman
dulu dengan narasi bahwa pada bulan Ramadhan seluruh ahli kubur, baik orang
baik atau orang buruk masa hidupnya sedang dibebaskan dari siksa kubur. Mereka
semacam diberi paspor gratis untuk bebas berkunjung ke berbagai negara dan
benua benua. Terutama dalam satu bulan penuh mereka digiring ke Surga. Tentu
dengan anugerah yang melimpah ruah dari Alloh SWT.
Alasan tersebut kemudian melebar pemahaman baik secara
syariat atau haqikat untuk anjuran (setara hukum moral) agar tidak ziarah kubur
dalam bulan Ramadhan. Mubadzir. Karena ahli kubur sedang mendapat anugerah luar
biasa dari Alloh langsung.
Perihal mubadzir tersebut seorang kiai desa yang
sekaligus generasi senior saya di kampung mencoba bikin analogi. Gimana
kalau-meskipun dapat anugerah tapi tetap kita tambahi supaya malah berlebih?
Saya coba bikin analogi tandingan (antitesa). Itu asumsi menurut anda Gus.
Menurut saya baiknya gak usah. Ampunan Alloh cukup melimpah dan nyata.
Sementara doa kita belum tentu sekwalitas anugerah Alloh tersebut. Ibaratnya
gini: ketika sampean masih susah, serba kekurangan, tentu senang jika tiap
Minggu saya kirimi beras atau pakaian bekas. Tapi ketika anda sudah kaya, cukup
bahkan sibuk sedekah tapi masih saya kirimi beras dan pakaian bekas, tentu anda
malah tersinggung. Baiknya gak usah ziarah atau kirim doa ke ahli kubur selama
Ramadhan. Kalau ingin baca tahlil atau Qur'an, tadarus aja di rumah sampai
cocot gopel gak masalah. Kecuali ke kuburan bukan untuk berdoa. Melainkan
cabuti rumput, bantu bersih bersih atau mencari format baru semacam mikir
kajian sejarah, tata letak kuburan, perkembangan bahan dan jenis nisan,
sirkulasi perekonomian yang melibatkan kuburan dan sejenisnya. Sebab
bagaimanapun juga kuburan adalah tanda paling akhir sebuah kebudayaan. Artinya,
orang yang sudah meninggal tidak bisa lagi dikenali jasad riilnya, warna
pakaiannya bahkan rumahnya juga sudah direnovasi. Untuk mempertegas bahwa Guk
anu...Wak anu... cak anu... pernah ada hidup dan eksist di muka bumi hanya bisa
dikenali dari kuburannya.
14 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar