Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/
Keunggulan Pengajian Padhang mBulan di samping sebagai majlis ilmu juga wahana apreseasi kesenian dalam bentuk apa pun yang siap tampil mengisi acara. Sebut saja Cak Suliadi, seniman asal Nganjuk, pada Padhang mBulan 4 juni 2012, ia mengisi beberapa lagu tradisional Banyuwangi-an sebelum acara. Alunan lagu Gelang Alit (ciptaan Catur) yang diaransemen musik mandolin dan lirik asli Oseng Banyuwangi-an:
//wes kelakon, semene lawase //isun yo riko kedani //semunu sun imbangi //mulo riko, kudyangane ati //segoro yo, ono pesisire //sun welas nono batese //wedyang kopi-belung nongko //raino bengi-mung katon nyang riko//. Lagu yang pernah digubah dan dipopulerkan pedangdut kondang Ikke Nur Jannah tersebut mengingatkan saya ketika hidup di Denpasar. Tetangga kost yang kebanyakan perantau asal Banyuwangi selalu memutar lagu-lagu Oseng. Begitulah suasan bertetangga perantau Oseng, serasa bermukim di pedalaman Banyuwangi: Jajag, Srono, Genteng, Ketapang, Sritanjung dan semenanjung Blambangan. [Ada bahasa yang berlawanan, misal kata: ono = ada, tapi kata nono = tidak ada, sing ono (Oseng) = tidak ada, sing ono (Jawa induk) = yang ada. Kata sabrang (Oseng) = daun ketela ramban, sabrang (Madura) = ketela pohon, hal ini secara artifisial membuat seluruh pemilik nama sabrang, mati kutu di wilayah ini, padahal sabrang (Jawa dalam kitab Adam Makna) = angin [seingat saya dalam serat sabdo gambuh. Buku kecil Adam Makno saya temukan di almari teman kost dekat Simpang Siur kawasan Planet Holywood Kuta, saya lupa namanya, dia teman dari Jember, penjual art shop panah indian yang dijajakan di pantai Nusa Dua Bali. Ia pindah kost karena terlilit hutang bank titil yang uangnya dipakai selingkuh dengan wanita sesama perantauan yang kemleler di Bali. Makanya di Bali ada istilah ‘kiai satu yang menggoda setan sepuluh’, juga istilah ‘uang gelap dimakan hantu’. Setelah ia pindah itulah kamarnya saya tempati dan menemukan arti sabrang = angin yang berhubungan dengan temperatur, panas, dingin, bumi, matahari dan awal terjadinya planet Bima Sakti]. Yang paling homonem adalah: Padyang Ulan (Banyuwangi) = tempat prostitusi, Padhang mBulan (Jombang) = tempat pengajian] Begitu pula ketika Cak Suliadi melantunkan tembang ke dua, yakni Bengawan Sore. Saya seperti melintasi pedalaman Solo, Sragen, Ngawi, Bojonegoro (wilayah yang dialiri Bengawan Solo): //ning piinggire Bengawan //wayah sore //san soyo kelingan//nyawang eseme sliramu // cah ayu// tansah ngeridu atiku.
Setelah dibuka penampilan Cak Suliadi, barulah Cak Fuad membahas ayat Al quran yang berkaitan dengan Umatan Wasathon (umat penengah). Bahwa salah satu misi Islam yang diwahyukan pada nabi Muhammad adalah sebagai agama penengah di antara agama-agama terdahulu. Lantas bagaimana bentuk aplikasi mengenai rumusan Umatan Wasathon, Cak Fuad menyarankan pada Jamaah Maiyah untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang menjelaskan. Sebab tidak gampang merumuskan Umatan Wasathon di tengah kompleksitas agama-agama lain yang juga (pasti) mengampanyekan jalan ketawhidan.
Cak Nun mengupas konsep Umatan Wasathon dalam Islam berupa bentuk sikap yang cenderung / mendekati keadilan. Dalam skala individu, bagaimana seseorang mampu bertanggngjawab atas penguasaan dirinya: kapan waktunya makan, minum, kencing, tidur (hal hal mendasar makhluk) dengan tidak korup ataupun dimanja-manjakan. Kebutahan dasar tersebut dilaksanakan sebatas tagihan almiah: tidur menjadi wajib jika sudah mengantuk, makan menjadi harus jika sudah lapar dst yang merangsang bagian tubuh untuk disuplai (secukupnya) kandungan zat tertentu. Ukuran keadilan bagi individu adalah bagaimana orang beragama memproduk diri di tengah kondisi sosial. Pada situasi bertetangga, berteman, berumat dengan orang yang serba kekurangan, tidak lantas sak enak udele dewe, pokoe enak dewe gak ngurusi tonggone.
Pada skala yang lebih luas, Cak Nun menjelaskan aplikasi Umatan Wasathon sebagai penterjemahan bagaimana seharusnya umat Islam adil dalam menentukan strategi kebudayaan, strategi perjuangan untuk menghadapi tantangan beserta menikmati tantangan itu sendiri. Sebab Umatan Wasathon yang diemban umat Muhammad memiliki strategi penyelesaian yang berbeda dengan umat Nuh, Umat Lut dll. Banjir bandang zaman Nuh, krisis pangan zaman Yusuf atau stunami yang menenggelamkan Firaun zaman Musa berbeda dengan azab pada umat Muhammad. Sedangkan azab itu sendiri merupakan keterlibatan alam yang menawarkan diri untuk ikut menata nilai. Jabal Uhud yang menawarkan diri untuk jugrug supaya menimbun pasukan kafir adalah bukti pengambilan hak si gunung untuk membela yang benar. Dari penjelasan di atas, setara pada simpulan bahwa Umatan Wasatho adalah orisinalitas.
Sudut Pandang Teologi
Cak Nun menegaskan bahwa Umatan Wasathon dari segi teologi, layaknya umat Islam memahami wawasan yang luas mengenai sejarah agama-agama. Sebab yang disebut agama memiliki tujuan sama, yakni tawhid, sebagai upaya kaum agamis menyandarkan prototipe kebudayaan pada yang tak terkirakan dari sekedar target individu. Kaum agamis apapun namanya: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Darmogandul, Gatulucol, Sapto Dharmo, Pagan, Jain, Yehuwa bahkan Iblis pun bertawhid.
Untuk menjelaskan lebih jauh ke arah Umatan Wasathon, saya menggambarkan jika setiap orang asalnya turun dari langit. Beberapa ratus meter sebelum menginjak bumi, ia menyaksikan sudah ada sekian banyak manusia yang menempati pulau dan benua. Di antara sedikit manusia yang ateis (meskipun pura-pura ateis, tapi sesungguhnya ketika menginjak tua dan mendekati ajal, pasti kebingungan sendiri, iya kalau tuhan benar tidak ada, kalau ternyata tuhan itu ada, kecele seumur hidup dan gak bisa balik, kontrak kadung habis), mereka kebanyakan agamis. Si baru turun ini berfikir akan memilih agama apa? Baha’i (asalnya Islam kemudian menyempal menyatukan total bahwa semua agama baik yang berpusat di Mount Abu, India), Ahmadi, atau pluralisme agama, yakni bertuhan tapi tidak beragama. Atau apa yang disebut Cak Nun sebagai penganut Rasululloh terima beres, yakni penganut turunan tapi tidak pernah meriset langsung atau sekedar ‘menanyakan’ pada Rasul mana sesungguhnya yang paling benar? Istilah Gus Dur saat berbicara dengan Muslim Abdurahman, ”pak, kita harus bersyukur, Islam sudah nyasar ke pulau Jawa ini, sehingga kita kecipratan.” Atau kaum Malamatiah sekalipun yang sufinya membabat habis kepentingan dunia, tapi toh tetap bisa hidup. Bahkan sampai agama Eden sekali pun [agama yang dipelopori Lia Aminuddin sampai mengaku sebagai Jibril. Saya ingat sebulan menjelang kerusuhan Semanggi tahun 1998, di mana revormasi berdarah yang merenggut tiga mahasiswa Tri Sakti. Lia Aminuddin datang ke Padhang mBulan dan menceritakan kalau akan terjadi kerusuhan di Semanggi. Lia juga menerawang bahwa di sekitaran gunung Kawi, Malang akan terjadi kerusakan alam yang ia perlambangkan dengan ulat-ulat yang makan dedaunan. Dalam kesempatan itu Cak Nun menuturi Lia, “Mbak Lia, kalau ada 10 cemlorot dari langit (ilham), jangan ditelan semua. Ambil dua saja, sebab yang delapan bisa berarti penipuan.” (kalimat Cak Nun ini suatu saat anda temukan dalam konsep eksistensi hamba dengan Tuhan yang melahirkan rumus: The Real I dan The Real i = Siapa Aku dan Siapa aku. Semacam keterjebakan kodam supaya tidak sampai ke Tuhan] yang diikuti banyak penganut dari berbagai kalangan (kalangan yang tidak jelas basis agamanya dan dilanda keputusasaan atas situasi yang tidak menjamin dirinya. Meminjam istilah Cak Priyo Aljabar, “wong pekok diikuti wong congok.”
Agama apapun bentuknya adalah pesan, adalah perjanjian “al din-u nashihah,” bagi muslim pesan Alquran adalah pesan yang terakhir. Artinya pesan yang lama tidak harus hilang. Renovasi kontruksi bangunan misalnya dengan cat dan plamir yang baru bukan berarti menghilangkan pasangan bata di dalamnya. Pesan dalam agama berlaku untuk agama apa pun, sebab bersifat Kebenaran Universal, Kebenaran Tunggal, Tawhid, sama-sama takut Tuhan. Jika kemudian menjadi berselisih paham karena setiap umat masing-masing menjelaskan makna kebenaran tersebut yang melahirkan perbedaan. Apalagi dipertajam dengan masuknya vested interets (berbagai jenis kepentingan, hawa nasfu).
Alternatif penggiring ke arah Umatan Wasathon semisal yang ditanyakan Jhon Lyden, “apa yang dipikirkan ahli agama terhadap agaman lain, dibanding agamanya sendiri? Apakah ada kebenaran (keselamatam) dalam agama lain? Apa kita menyembah Tuhan yang sama? Jawabnya bahwa tiap agama mempunyai konsep yang berbeda. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimanan umat beragama mendevinisikan diri di tengah agama-agama lain? Jika seorang muslim membaca buku polemik karya Ahmad Deedat (kritik tajam terhadap Kristiani), atau seorang Kristen membaca bukunya Norman L. Geisler dan Abdul Saleeb (klaim sangat ilmiah terhadap Islam) sulit menciptakan Umatan Wasathon. Bahkan ketika seseorang membaca keduanya, akan terjadi kebingungan, jangan-jangan agama A yang salah, atau agama B, atau AB sama-sama benar dan AB sama sama salah.
A. N. Wilson dalam buku Against Relegion, Why We Should Try to Live Without It (London: Chatto and Windus, 1992) menggambarkan dilema konflik antar agama yang disebabkan kurangnya orisinalitas keadilan individu sebagai berikut: dalam suatau agama, orang memusuhi agama lain dengan alasan jihat kebenaran agamanya, dan kezaliman agama lain. Agama lawan yang dimusuhi juga berfikir bahwa kaum yang menyerang adalah zalim, dirinya yang menegakkan kebenaran. Orang yang berada di luar agama akan menyimpulkan bahwa ke dua agama yang berseteru, karena sama sama menggunakan klaim kebenaran hasilnya salah, sebab rusak. Kalau agama itu benar, tapi tidak mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar jika tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Yang salah agamanya ataukah yang menafsirkan kebenaran dalam tawhid agamanya. Umatan Wasathon adalah sikap pararelis, yakni menyejajarkan agama lain dengan agama sendiri.
Jalan lain menuju Umatan Wasathon adalah berjiwa esoterik, yakni pandangan holistik. Ia sadar bahwa agamanya berada dalam naungan kesatuan dengan agama lain. Bukan berjiwa eksoterik, yakni pandangan bahwa agamanyalah yang paling benar, final. Esoterik dan eksoterik harus bisa bertukar posisi, agamanya ibarat istri, (suami berhak mempercantik, mempermolek, membahenolkan bahkan menganggap istrinya yang paling cantik) namun orang lain juga punya istri. Jika salah satu istri ternyata ada kelebihan yang bisa dibuktikan secara ilmiah, budaya dll, bukan berarti istri yang kecacatan, salah. Ada dinamika toleransi.
Di antara artikel pendek Gus Dur yang dimuat Tempo 26 Juni 1982, ia menceritakan sarjana X yang 8 tahun mendalami ilmu di negara lain. Sekembalinya ke Indonesia, X kebingungan melihat moralitas yang disebut negara agamis. X menemui pamannya dan menceritakan kemuskilan yang ditemuinya. Pamannya menuturkan, “kau sendiri yang kurang tabah. Kemuskilan yang kau saksikan itu dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Seharusnya kau pun bersikap seperti itu, jangan menyalahkan mereka.” X terdiam, tidak puas dengan jawaban pamannya. X lalu menemui tokoh moderat yang dianggap mampu menjembatani formalisme agama dan modernisme agama. Jawaban yang diperolehnya, “kita harus bersyukur bahwa kaum agamis masih menawarkan gagasan parsial. Sehingga agama tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologi tatanan yang ada.” Lagi lagi X kecewa. Terakhir X menemui guru tarekat. Di situlah X memperoleh kepuasan. Ternyata jawabnya sederhana, “Alloh itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian atas kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak berpengaruh atas wujud dan kekuasaanNya. Al Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Alloh ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah kafir. Alloh tidak perlu disesali kalau Ia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau ada orang yang menyerang hakikatNya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Alloh, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.
Rabu, 15 Agustus 2012
Umatan Wasathon? Iblis dan Yehuwa pun Bertawhid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar