Arisyntya Hidayah *
_Radar Mojokerto, 22 Juli 2012
“… Secara mendasar, salah satu hal yang harus selalu disadari adalah disiplin diri secara berkesinambungan di dalam mengolah tubuh dan ruang sosial. Jika tidak, maka teater mahasiswa akan menjadi sejenis ironi: kegiatan waktu luang di antara kegagalan mata kuliah.” (“Yang Hilang dari Teater Mahasiswa”, Halim HD, Networker Kebudayaan).
Sekitar dua bulan yang lalu, atau dapat dikatakan pada awal bulan Mei 2012, tugas mata kuliah Dramaturgi ini dititahkan. Siang hari yang panas kehilangan kekuatannya untuk membuat para mahasiswa mengantuk saat dosen dramaturgi, bapak Nanda Sukmana memasuki ruang kelas. Tanpa banyak berbasa basi, beliau menuturkan tugas dramaturgi untuk mengadakan satu Parade Monolog di kampus kami, STKIP PGRI Jombang. Deadline yang beliau tentukan saat itu adalah tanggal 4 dan 5 Juli 2012. Angkatan 2010 yang terdiri dari empat kelas harus membentuk kelompok yang terdiri dari 9 atau 10 anggota per kelompok, sehingga dari setiap kelas terbentuklah 5 kelompok.
Mata kuliah Dramaturgi sendiri dapat dikatakan baru di STKIP PGRI Jombang. Mata kuliah ini baru terlaksana tiga angkatan—sejak angkatan 2008—dan pementasan Parade Monolog ini adalah yang pertama, karena dua angkatan sebelumnya hanya mendapatkan ujian tulis saja, tanpa ada praktek.
Dikatakan sejak awal bahwa setiap kelompok harus memainkan sebuah naskah hasil karya penulis naskah yang sudah mapan, tujuannya adalah agar para mahasiswa belajar menyelami pemikiran orang lain melalui karyanya tersebut.
Sebagian besar kelompok mulai ngeh dan tanggap menggarap tugas ini dua minggu kemudian. Rata-rata mereka membentuk struktural kelompok dulu, antara lain sutradara, aktor/aktris, penata rias, penata busana, penata panggung, dan lebih-lebih musik. Pada saat itulah, banyak dari kelompok-kelompok pementasan Parade Monolog ini berkoar. Pementasan adalah hal yang baru bagi sebagian mahasiswa angkatan 2010. Walaupun basicnya di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang, tapi pada kenyataannya, sesuatu yang berbau sastra baru dinikmati saja oleh sebagian besar mahasiswa angkatan 2010 tanpa pernah terbesit untuk benar-benar terjun di dalamnya.
Mahasiswa-mahasiswa ini berkoar menyatakan ketidaksanggupannya dalam menjabat peran “artis”, atau juga sebagai “pemusik”. Rata-rata dari mereka menyatakan tidak memiliki skill bermain peran, berteater, atau juga bermusik. Dengan banyaknya protes dan ketidaksanggupan untuk menjalankan tugas dramaturgi ini, akhirnya terbentuklah tim produksi sebagai Event Organizer dan penjembatan antara dosen dan mahasiswa.
Tim produksi terbentuk dari perwakilan-perwakilan tiap kelas, setiap kelas mendelegasikan dua orang, sehingga total dari tim produksi hanya delapan orang. Setiap anggota tim produksi ini dapat dikatakan memegang double job. Bagaimana tidak, anggota tim produksi juga merupakan tim artistik. Ada yang menjabat sebagai artis, sutradara, dan lain-lain. Pemaparan ini bukan dengan maksud menjadikannya tameng, hanya keinginan untuk mendapat secuil pemakluman.
Seperti yang telah dipaparkan oleh bapak Nanda Sukmana pada pertemuan global kami tanggal 1 Juni 2012, bahwa dalam pementasan ini yang ingin ditekankan utamanya adalah proses. Bagaimana cara para mahasiswa mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses ini, bagaimana setiap individu yang sebagian besar belum sepenuhnya dewasa ini mengatasi egonya saat berbenturan dengan ego individu yang lain, dan bagaimana mereka berbaur dengan ketidakmampuan yang dirasakan masing-masing.
Dalam proses ini diharapkan mahasiswa-mahasiswa akan mendapatkan pijakan pertama sebagai sebuah tongkat sebelum menjalani mata kuliah Pementasan dan Penyutradaraan yang akan datang.
Sayangnya, seperti yang telah saya gambarkan di cuplikan esai Halim HD di atas, bahwa sebuah teater mahasiswa hanya akan menjadi kegiatan waktu luang di antara kegagalan mata kuliah apabila tidak didasari kesadaran tentang disiplin diri, atau dengan kata lain, teater mahasiswa tidak akan mendapatkan esensi yang ingin dicapai apabila hanya dianggap sebagai kewajiban yang di dalamnya terselip keterpaksaan.
Seiring dengan “ketidaktepatan” yang ada di dalamnya, Parade Monolog angkatan 2010 ini terwujud juga, dengan tajuk utama “D E T I K”. Tajuk ini memang diambil bukan berdasarkan garis merah atas semua naskah yang akan dipentaskan, namun lebih kepada satu kata yang mewakili proses teman-teman mahasiswa dalam mewujudkan Parade Monolog ini. DETIK, diputuskan menjadi kata yang mewakili karena dalam setiap detik yang berlalu, telah terjadi perubahan pada diri setiap mahasiswa yang berproses. Baik itu dalam dirinya, maupun pada lingkungannya.
Perwujudan proses ini terjadi pada tanggal 14 dan 15 Juli 2012. Deadline dari pak Nanda memang mundur 10 hari karena pada tanggal 4 dan 5 Juli berbenturan dengan Kenduri Teater yang diadakan oleh komunitas Tombo Ati, komunitas Suket Indonesia, dan kelompok Alief Mojoagung di Graha Besut. Maka demi menghormati acara tersebut, yang mana sebenarnya mengusung hal yang sama, yaitu mengenai kesenian teater, kami pun memutuskan untuk mengundur rencana pementasan kami, selain itu tentu juga dikarenakan mahasiswa-mahasiswa yang bersangkutan membutuhkan pematangan-pematangan berupa tambahan waktu latihan.
Parade Monolog yang terlaksana pada tanggal 14 dan 15 Juli 2012 ini menampilkan 20 pementasan monolog yang ditampilkan dalam empat kali pementasan. Pementasan pertama, tanggal 14 Juli 2012 pukul 15.00 WIB yang mementaskan lima monolog yaitu “Biografi Kursi Tua” karya Rahmat Giryadi yang dipentaskn oleh Teater Oase dan disutradarai oleh Nuris Rofiudin, “Markus” karya Zohry Junedi yang dipentaskan oleh Teater Bambu dan disutradarai oleh Wayan Subandriyo, “Markendos (Sebut Aku Upi)” karya Yusep Muldiana yang dipentaskan oleh Teater Mencelat dan disutradarai oleh Mukhilisin, “Surat untuk Guru” karya Zahari yang dipentaskan oleh Teater Mbatik dan disutradarai oleh Nur Salim, dan “Kelas Kakap” karya Aan Noor H. yang dipentaskan oleh Teater Sempal dan disutradarai oleh Aan Noor H.
Pementasan kedua, tanggal 14 Juli 2012 pukul 19.00 WIB mementaskan lima monolog, yaitu “Kemerdekaan” karya Putu Wijaya yang dipentaskan oleh Teater Merah dan disutradarai oleh Erma Rahmawati, “Memek” karya Putu Wijaya yang dipentaskan oleh Teater Nastiti dan disutradarai oleh Pak Inung, “Prodo Imitatio” karya Arthur S. Nahlan yang dipentaskan oleh Teater Generasi Pujangga dan disutradarai oleh Risda Mulida Ningtias, “Episode Daun Kering” karya Zulkifri yang dipentaskan oleh Teater Legowo dan disutradarai oleh Nola Mariyah Y, dan “Trik” karya Putu Wijaya yang dipentaskan oleh teater Topeng Obiet dan disutradarai oleh Sobit Diyanto.
Esok harinya, tanggal 15 Juli 2012 pukul 15.00 WIB, pementasan ketiga digelar. Pentas ketiga ini menyajikan monolog-monolog dengan judul “Nasib Jadi Babu” karya Zohry Junedi yang dipentaskan oleh Teater Anu dan disutradarai oleh Aprel Adek S, “Homo Homini Lupus” karya Ahmad Saptono yang dipentaskan oleh Teater Hitam Putih dan disutradarai oleh Taufik, “Dunia dalam Koin” karya Eka P. Kusuma yang dipentaskan oleh Teater Semogs dan disutradarai oleh Novela, “Demokrasi” karya Putu Wijaya yang dipentaskan oleh Teater Angkringan dan disutradarai oleh Kholifah Nur F., dan ditutup pula dengan naskah Putu Wijaya yang berjudul “Kucing” yang dipentaskan oleh Teater Neon dan disutradarai oleh Moch. Choirul Huda. Dua jam kemudian, tepatnya pukul 19.00 WIB, pagelaran penutup digelar, pementasan keempat ini memainkan “Kelahiran” karya Agus Budiman yang dipentaskan oleh Teater Mahastra dan disutradarai oleh Megawati, “Sang Orator” karya Bayan Sentanu yang dipentaskan oleh Teater Traju dan disutradarai oleh Pajriska, “Kapok” karya Zohry Junedi yang dipentaskan oleh Teater Gebrak dan disutradarai oleh M. Qowiyudin Shofi, “Para-Para Pelayat” karya Bina Marganta yang dipentaskan oleh Teater Kertas dan disutradarai oleh Agung Dwi Kuncoro, dan ditutup dengan naskah “Marsinah Menggugat I” karya Ratna Sarumpaet yang dipentaskan oleh Teater Daster dan disutradarai oleh Nur Azizah.
Malam harinya, sesudah pementasan keempat digelar, dosen pengampu mata kuliah Dramaturgi dan Bapak Imam Ghozali Ar. selaku apresiator undangan mengevaluasi Parade Monolog ini. Evaluasi itu antara lain mengenai musik yang sudah dianggap baik karena komposisinya yang juga bagus, tapi karena salah penempatan sehingga kehilangan fungsinya. Kemudian mengenai teknik keaktoran yang dianggap tidak sempurna karena kurangnya teknik vokal, dan kurangnya artikulasi sehingga suara tidak terdengar sampai belakang. Selain itu juga mengenai musik yang terlalu keras, sehingga menenggelamkan suara aktor. Di antara kritikan itu, ternyata ada juga selarik pujian kepada Teater Sempal yang berani membuat dan mementaskan naskahnya sendiri yang berjudul “Kelas Kakap”. Evaluasi tersebut akhirnya ditutup dengan kalimat pak Imam, yaitu “Pementasan Parade Monolog adalah pementasan yang luar biasa, tapi dalam takaran pemula…”
Akhirnya, hanya ada harapan agar proses ini bukanlah sebagai perwujudan dari esai Halim HD mengenai teater mahasiswa itu. Semoga benar-benar ada kebermanfaatan yang dapat diambil oleh para mahasiswa yang terlibat dalam mata kuliah Dramaturgi ini khususnya, dan untuk siapa saja yang turut menyaksikan dan mengetahui pementasan ini pada umumnya.
*) Arisyntya Hidayah, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010 STKIP PGRI Jombang, sekaligus pemeran dalam Pentas Monolog Demokrasi.
Rabu, 15 Agustus 2012
Parade Monolog “DETIK”; Behind The Scene
Label:
Arisyntya Hidayah,
Catatan,
Forum Sastra Jombang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar