Abdullah Alawi
NU Online, 18 Jan 2012
Di akhir tahun 1990, majalah Editor edisi No 15/THN IV/22 Desember, menobatkan KH Abdurahman Wahid sebagai penggerak Islam Indonesia. Kulit muka majalah itu memuat potret kiai yang biasa disapa Gus Dur itu, dengan kepala tulisan “Tokoh 1990, Tahun Bergeraknya Islam Indonesia.”
Proses penobatan dijelaskan pada rubrik Dari Editor. Menurut sidang redaksi yang berjumlah 18 orang itu memutuskan Ketua Umum PBNU waktu itu sebagai Tokoh Editor. Gus Dur mendapat nilai terbanyak (136) dan menyisihkan 6 finalis lain.
Beberapa kriteria nominee diantaranya, orang yang jadi berita (news maker) sepanjang tahun. Tak hanya itu, orang tersebut mesti tampil secara positif dalam pemberitaaan pers secara nasional. Maksudnya, gagasannya orisinal, inovatif , kreatif dan, kontroversial. Yang juga penting, mestilah tokoh yang tahan dan tak takut menghadapi kritik.
Di tahun 1990-an, terdapat kasus-kasus yang mendapat perhatian banyak kalangan, misalnya kasus angket tabloid Monitor dan bukunya Salman Rusdhi, Satanic Verses.
Angket Monitor
Editor edisi No 14/THN.IV/15 Desember memuat profil Nurcholis Majid atau Cak Nur. Liputan itu dimulai dengan Jakob Oetama, pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia, angkat telepon. Ternyata yang menelepon adalah Cak Nur. Dalam percakapan via telepon itu, Jakob meminta Cak Nur meredakan kemarahan umat Islam agar tidak berbuat anarkis karena angket Monitor. Soalnya dalam angket tersebut, Nabi Muhammad di urutan sebelas sebagai tokoh populer di mata pembaca tabloid pimpinan Arswendo Atmowiloto.
“Tak ada hukuman yang lebih pantas untuk tabloid semacam itu, selain dibreidel!” jawab Cak Nur.
Sementara Gus Dur dalam menanggapi kasus tersebut dituangkan dalam esai jernih, berjudul Kasus Gila dan Gila Kasus di Editor edisi No. 8/THN. IV/3 November 1990. Dalam esai sepanjang dua halaman itu, Gus Dur berpendapat sederhana saja: kesembronoan dan kepekaan berlebih.
Kesembronoan Monitor dalam menentukan cara penyelenggaraan angket. Juga sembrono pengungkapan angket itu. Karena angket itu bisa jadi Kusni Kasdut, lebih populer dari Pak Harto atau Bung Karno. Begitu kata Gus Dur.
Masalahnya, kesembronoan itu bertemu dengan kepekaan berlebih umat Islam, ada perasaan kuat bahwa Islam terpojok. Pangkalnya, kurang rasa percaya diri. Kesembronoan bertemu dengan kepekaan berlebih. Kasus gila bertemu gila kasus. Bagaikan api ketemu mesiu, meledaklah segalanya. SIUPP Monitor dicabut, Asrwendo dipecat dalam segala macam jabatan bisnis jurnalistik, termasuk dari keanggotaan PWI. Dia pun ditahan Polda Metro Jaya.
“Semua seolah-olah berlomba menjadi pahlawan pembela Islam,” ungkap Gus Dur.
Gus Dur melanjutkan, hebat benar anak muda (Arswendo) itu sampai harus dihadapi tokoh-tokoh seperti Mensesneg Moerdiono, Ketua Umum MUI KH. Hasan Basri dan Dr. Nurcholis Majid.
Gus Dur mengingatkan, Nabi Muhammad Saw. tidak akan turun derajatnya karena angket Monitor.
Kasus Salman Rusdhie
Majalah Editor edisi No 28/THN. II/11 Maret 1989 memuat berita semacam pengadilan in absentia terhadap Salman Rusdhie atas karya Ayat-Ayat Syetan yang menggemparkan.
Ketua PP Muhammadiyah Drs. Luqman Harun yang paling vokal dalam menanggapi kasus itu, sebagai jaksa penuntut umum. Ketua Umum PBNU Gus Dur, pembela tanpa mandat. Sementara Quraish Shihab, ahli tafsir dan ketua MUI pusat, Syu’bah Asa dan Danarto, menjadi saksi. Majelis hakim berjumlah sepuluh orang, tim redaksi Editor.
Perdebatan berputar pada pertanyaan, perlukah Salman Rusdie dihukum mati? Perlukah bukunya dilarang, atau dibiarkan bebas beredar?
Menurut Editor yang termuat di kolom Berita Khusus, perdebatan berlangsung ketat, seru dan menarik. Apalagi antara Luqman Harun dan Gus Dur.
Menurut Luqman, buku itu jelas-jelas menghina umat Islam. Penggambaran tentang para isteri Nabi yang dianggap pelacur sebagai kekurangajaran yang tak bisa ditolerir. Terlebih gambaran Aisyah.
Gus Dur yang berkacamata lebih tebal daripada Luqman tenang-tenang saja. Menurutnya, Ayat-Ayat Syetan merupakan novel indah dan orisinal. Mungkin novel terindah abad ini. Dari segi sastra, novel ini sangat bagus. Imajinasinya hebat.
Mendengar pendapatnya, kontan peserta sidang terperanjat. Sementara Gus Dur asyik membolak-balik kopian novel itu.
“Mari kita lihat lebih lapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statement. Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur sambil melirik Luqman di sebelahnya.
“Apa bedanya dengan Sidartha-nya Hella S. Hasse, Ernest Hemmingway atau William Faulkner, yang juga berisi renungan. Plotnya sederhana. Namun kemudian ditarik melalui berbagai persoalan imigran yang lantas menjadi keruwetan tersendiri. Di situlah kemudian muncul imajinasi-imajinasi aneh yang melenceng dari fakta,” lanjut Gus Dur.
“Celakanya, keseluruhan novel itu jadi tidak fair terhadap Islam. Kelihatannya ia ingin memperlihatkan ketidakislamannya melalui novel itu,” tambahnya. Bagi Gus Dur, Salman diibaratkan orang gila yang melempar masjid. Apa orang macam itu harus dibunuh? Lebih baik diingatkan atau ditertawakan saja. Reaksi keras umat Islam disebabkan kondisi mereka labil hingga menjadikannya sensitif pada masalah-masalah.
Gus Dur mencontohkan, di Amerika Serikat pernah ada pengarang yang menulis Hagarisme, salah satu sekte Yahudi yang berdasar dari Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Dan orang Yahudi tidak ribut. Sebab mereka sudah mengonotasikan buku itu salah. Sama saja orang membaca buku Stalin tentang Tuhan. Orang hanya geli membacanya.
“Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang murtad karena membaca buku Satanic Verses.”
Pendapat Gus Dur yang demikian sebenarnya tidak aneh, karena ia memang menggandrungi novel. Tentu ia tahu bagaimana cara memahami dan memperlakukan karya sastra. Dalam liputan Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember, ada satu cita-cita Gus Dur yang belum kesampaian. “Saya Ingin mengarang novel tentang keluarga besar Jombang. Tentang orang-orangnya, dengan desa-desanya, keislamannya,” ungkapnya.
Di tahun-tahun itu Gus Dur memang paling berani dalam mengemukakan gagasan dan pemikirannya seperti konsep pribumisasi Islam, rukun sosial, etika bermazhab. Jauh sebelumnya, ia memperkenalkan kiai dan dunia pesantren dalam perbincangan ilmu sosial. Ia juga mendorong NU jadi ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Dan anehnya, sebagai orang berpikiran luas, ia tak mau bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Dalam Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember, Gus Dur menjelaskan persoalannya. “Kenapa saya tidak hadir ke kongres ICMI di Malang? Lebih dikarenakan adanya pembatasan pada nama-nama yang diundang. Sepertinya hanya mereka yang ‘Islam masjid’ yang boleh masuk ICMI, sementara mereka yang disebut ‘Islam alun-alun’ sama sekali tidak diajak. Baik sebagai eksponen maupun pembawa makalah. Padahal siapa orang Islam di Indonesia yang sekarang bisa bicara tentang kebudayaan dengan meninggalkan Umar Kayam dan Mochtar Lubis?”
Gus Dur bersama sahabat-sahabatnya malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).
Karena gagasan dan tindakan-tindakannya itu, Aswab Mahasin, Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember menulis “Gus Dur, Pilihan untuk Sebuah Jembatan Budaya.” Intinya Gus Dur menolak kekerasan terhadap siapa pun apalagi negara turut andil di dalamnya.
Pilihan Gus Dur yang demikian tentu saja risikonya tidak populer, dihujat banyak orang. Bahkan kalangan NU sendiri. Suaranya yang bening, lenyap dalam riuh-rendah suara-suara lain yang lebih keras dan populer. Barangkali ini pilihan sebagai jembatan budaya.
Sebagai jembatan memang harus mewadahi yang melintas di atasnya. Akan tetapi yang terpenting jembatan itu perlu tahan goncangan dan tak mudah miring ketika terjadi gerakan di satu sisi. Dan ketika semua kendaraan parkir di tempat sendiri, jembatan itu harus menerima nasibnya yang sepi.
Dijumput dari: http://gusdurian.net/news/2012/01/19/102/jembatan_budaya_itu_bernama_gus_dur.html
Rabu, 15 Agustus 2012
Jembatan Budaya itu Bernama Gus Dur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar