Agus Riadi
Pewawancara: Anjrah Lelono Broto
Jurnal Jombangana, Nov 2010
Sejak dikukuhkan pada tanggal 25 Pebruari 2010 lalu oleh Bupati Jombang, Drs. Suyanto, Dewan Kesenian Jombang (Dekajo) dipercayakan kepemimpinannya kepada sosok Bapak Agus Riadi, S.Sos, M.Si. Sosok pribadi ramah kelahiran Madiun yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Jombang ini memang dikenal memiliki antusiasme yang besar kepada geliat seni, terutama kesenian yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal.
Tentang latar belakang, bagaimana, dan hendak dibawa ke mana Dekajo sejalan dengan visinya selaku pengemban amanat publik serta pemerintah daerah Kabupaten Jombang, berikut ini wawancara Anjrah Lelono Broto, selaku anggota Komite Sastra Dekajo, dengan Bapak Agus Riadi, S.Sos, M.Si yang mengaku sebagai penggemar novel-novel silat karya Asmaraman S. Kho Phing Ho ini:
Konon katanya dewan kesenian di Kabupaten Jombang selama beberapa waktu ini mengalami mati suri atau kalau boleh disebut vakum. Benarkah itu, Pak?
Ya, kalau ada yang mau mengatakan itu. Ya, silahkan. Meski faktanya, kalau ada yang mengatakan bahwa dewan kesenian di kabupaten Jombang itu vakum, tidak benar adanya. Memang selama ini, dewan kesenian di Kabupaten Jombang itu tidak memiliki agenda besar yang bisa menjadi tolak ukur keberadaan dewan kesenian itu sendiri. Tapi itu bukan berarti Jombang tidak memiliki dewan kesenian karena komite-komite yang ada di dalam Dewan Kesenian Jombang (sekarang disebut Dekajo, red) terus menjalankan apa yang telah tanggung jawab dalam tupoksinya.
Contohnya, Pak?
Sekian banyak geliat seni yang ada di Jombang maupun dilakukan oleh orang-orang Jombang di luar Jombang, hampir semuanya tidak lepas dari support komite-komite yang ada di dalam Dekajo. Di mana hal ini tentu saja terkait dengan seluruh stake holder yang terkait. Dalam konteks ini, tentu saja dibangun di atas spirit sinergitas antar institusi pemerintah, seperti Disporabudpar dan Diknas.
Bapak tadi menyebutkan tentang agenda besar. Apa yang Bapak maksud dengan agenda besar tersebut? Benarkah agenda besar menjadi tolak ukur keberadaan dewan kesenian di sebuah daerah?
Agenda besar, ya agenda kesenian yang besar. Agenda kesenian yang diselenggarakan oleh dewan kesenian sebuah daerah yang mengakomodir beragam cabang kesenian di daerah tersebut, bahkan seperti halnya Surabaya, bisa saja menghadirkan pelaku-pelaku seni dari luar daerah sebagai perbandingan atau pengayaan literasi. Artinya, agenda kesenian yang menyedot anggaran yang besar. Nah, tampilan ‘wah’ yang dihadirkannya inilah yang umumnya menjadi tolak ukur eksis tidaknya dewan kesenian di daerah tersebut. Padahal, kalau jujur diakui, agenda kesenian yang besar terkesan ‘wah’ di chassing luarnya saja, tentang isinya masih perlu ada studi lanjutan yang mendalam.
Mengapa sampai ada yang menyimpulkan seperti itu, Pak?
Pandangan seperti itu tidaklah lepas dari kultur yang berkembang selama ini. Hari ini kita berada dalam konstruksi masyarakat yang pragmatis, instant, dan menilai berbagai hal dari sisi luarnya semata. Ini sudah menjadi arus besar. Nilai-nilai lokal yang menjadi bagian jati diri kita sebagai manusia Indonesia, hari ini, cenderung hanya menjadi komoditi, termasuk dalam wilayah seni-budaya.
Tentang nilai-nilai lokal yang menjadi bagian jati diri kita sebagai manusia Indonesia, khususnya manusia Jombang, dimanakah posisi Dekajo?
Eksistensi Dekajo berangkat dari motivasi pemerintah daerah dan masyarakat Jombang untuk mengisi pembangunan dengan nilai-nilai budaya lokal secara komprehensif. Sebagai pribadi yang tidak lahir dan melewati masa remaja di Jombang, tahun 1975 saya masuk Jombang, saya sangat mengapresiasi karakter masyarakatnya yang menerima perbedaan dengan terbuka. Karakter seperti ini tentu saja wajib hukumnya diwariskan kepada generasi penerus. Itulah bidang garap Dekajo.
Arahnya kemana, Pak?
Strategi Dekajo, secara umum, mengarah pada (a) investasi generasi dan (b) fasilitator pengekspresian karya seni. Investasi generasi menempatkan seni sebagai media pendidikan. Toh, sejak pertama kali seorang anak menginjak bangku sekolah, TK, kesenianlah yang pertama kali mereka kenal. Melalui cabang-cabang seni yang ada ditransformasikanlah nilai-nilai moral, etika, agama, dan seterusnya, yang akan membentuk pribadi anak tersebut. Karya sastra itu menjadi salah satu media pembentuk karakter, jiwa, serta pengetahuan secara berimbang. Taruhlah Kho Phing Ho, beliau menyampaikan banyak pengetahuan, filsafat, dan lain-lain melalui karya-karyanya. Ajaran baik dan buruk tidak dihapalkan tapi dirasakan sebagaimana dalam teater. Inilah seni sebagai salah satu piranti dalam character building ‘manusia Jombang’. Saya pinjam istilahnya tadi, Mas. Sedang, fasilitator pengekspresian karya menandaskan bahwa Dekajo bukan lembaga operator kesenian dan kebudayaan di Jombang. Dekajo hanya membantu fasilitas berkesenian dan berkebudayaan seniman-seniman Jombang.
Lalu bagaimana implementasinya, Pak?
Pemda Jombang sendiri menyadari pentingnya keberadaan Dekajo mengingat Dekajo diharapkan mampu, hari ini dan seterusnya, untuk mengorganisir seniman-seniman maupun penikmat karya seni yang ada di Kabupaten Jombang. Dalam pengorganisasian seniman, yang paling mendasar dilakukan adalah pendataan, baik pribadi maupun inventarisasi karya masing-masing. Kemudian ada langkah untuk serap opini. Apa yang menjadi kebutuhan seniman dan cabang seni yang digelutinya? Kira-kira apa yang menjadi tujuan berkeseniannya? Apa kontribusinya bagi pengembangan kesenian di Jombang? Dan lain sebagainya. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Saya tidak sedang curhat. Mengapa? Karena seniman dalam perjalanan menuju katarsisnya atau spirit kesenimanannya) berpijak pada ego. Karya sastra juga diciptakan dengan ego pengarangnya, sebagaimana antologi cerpennya Nugroho, “Presiden Panji Laras”, butuh waktu lebih lama untuk memahami apa yang diceritakan. Ego Nugroho yang membuat “Presiden Panji Laras” itu ada.
Catatan:
Disarikan dari wawancara Anjrah Lelono Broto dengan Ketua Dekajo Bpk Agus Riadi, S.Sos, M.Si di kediamannya.
Hari : Sabtu, 20 Nopember 2010
Pukul : 05.30 s.d. 08.00 WIB
Pewawancara: Anjrah Lelono Broto
Jurnal Jombangana, Nov 2010
Sejak dikukuhkan pada tanggal 25 Pebruari 2010 lalu oleh Bupati Jombang, Drs. Suyanto, Dewan Kesenian Jombang (Dekajo) dipercayakan kepemimpinannya kepada sosok Bapak Agus Riadi, S.Sos, M.Si. Sosok pribadi ramah kelahiran Madiun yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Jombang ini memang dikenal memiliki antusiasme yang besar kepada geliat seni, terutama kesenian yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal.
Tentang latar belakang, bagaimana, dan hendak dibawa ke mana Dekajo sejalan dengan visinya selaku pengemban amanat publik serta pemerintah daerah Kabupaten Jombang, berikut ini wawancara Anjrah Lelono Broto, selaku anggota Komite Sastra Dekajo, dengan Bapak Agus Riadi, S.Sos, M.Si yang mengaku sebagai penggemar novel-novel silat karya Asmaraman S. Kho Phing Ho ini:
Konon katanya dewan kesenian di Kabupaten Jombang selama beberapa waktu ini mengalami mati suri atau kalau boleh disebut vakum. Benarkah itu, Pak?
Ya, kalau ada yang mau mengatakan itu. Ya, silahkan. Meski faktanya, kalau ada yang mengatakan bahwa dewan kesenian di kabupaten Jombang itu vakum, tidak benar adanya. Memang selama ini, dewan kesenian di Kabupaten Jombang itu tidak memiliki agenda besar yang bisa menjadi tolak ukur keberadaan dewan kesenian itu sendiri. Tapi itu bukan berarti Jombang tidak memiliki dewan kesenian karena komite-komite yang ada di dalam Dewan Kesenian Jombang (sekarang disebut Dekajo, red) terus menjalankan apa yang telah tanggung jawab dalam tupoksinya.
Contohnya, Pak?
Sekian banyak geliat seni yang ada di Jombang maupun dilakukan oleh orang-orang Jombang di luar Jombang, hampir semuanya tidak lepas dari support komite-komite yang ada di dalam Dekajo. Di mana hal ini tentu saja terkait dengan seluruh stake holder yang terkait. Dalam konteks ini, tentu saja dibangun di atas spirit sinergitas antar institusi pemerintah, seperti Disporabudpar dan Diknas.
Bapak tadi menyebutkan tentang agenda besar. Apa yang Bapak maksud dengan agenda besar tersebut? Benarkah agenda besar menjadi tolak ukur keberadaan dewan kesenian di sebuah daerah?
Agenda besar, ya agenda kesenian yang besar. Agenda kesenian yang diselenggarakan oleh dewan kesenian sebuah daerah yang mengakomodir beragam cabang kesenian di daerah tersebut, bahkan seperti halnya Surabaya, bisa saja menghadirkan pelaku-pelaku seni dari luar daerah sebagai perbandingan atau pengayaan literasi. Artinya, agenda kesenian yang menyedot anggaran yang besar. Nah, tampilan ‘wah’ yang dihadirkannya inilah yang umumnya menjadi tolak ukur eksis tidaknya dewan kesenian di daerah tersebut. Padahal, kalau jujur diakui, agenda kesenian yang besar terkesan ‘wah’ di chassing luarnya saja, tentang isinya masih perlu ada studi lanjutan yang mendalam.
Mengapa sampai ada yang menyimpulkan seperti itu, Pak?
Pandangan seperti itu tidaklah lepas dari kultur yang berkembang selama ini. Hari ini kita berada dalam konstruksi masyarakat yang pragmatis, instant, dan menilai berbagai hal dari sisi luarnya semata. Ini sudah menjadi arus besar. Nilai-nilai lokal yang menjadi bagian jati diri kita sebagai manusia Indonesia, hari ini, cenderung hanya menjadi komoditi, termasuk dalam wilayah seni-budaya.
Tentang nilai-nilai lokal yang menjadi bagian jati diri kita sebagai manusia Indonesia, khususnya manusia Jombang, dimanakah posisi Dekajo?
Eksistensi Dekajo berangkat dari motivasi pemerintah daerah dan masyarakat Jombang untuk mengisi pembangunan dengan nilai-nilai budaya lokal secara komprehensif. Sebagai pribadi yang tidak lahir dan melewati masa remaja di Jombang, tahun 1975 saya masuk Jombang, saya sangat mengapresiasi karakter masyarakatnya yang menerima perbedaan dengan terbuka. Karakter seperti ini tentu saja wajib hukumnya diwariskan kepada generasi penerus. Itulah bidang garap Dekajo.
Arahnya kemana, Pak?
Strategi Dekajo, secara umum, mengarah pada (a) investasi generasi dan (b) fasilitator pengekspresian karya seni. Investasi generasi menempatkan seni sebagai media pendidikan. Toh, sejak pertama kali seorang anak menginjak bangku sekolah, TK, kesenianlah yang pertama kali mereka kenal. Melalui cabang-cabang seni yang ada ditransformasikanlah nilai-nilai moral, etika, agama, dan seterusnya, yang akan membentuk pribadi anak tersebut. Karya sastra itu menjadi salah satu media pembentuk karakter, jiwa, serta pengetahuan secara berimbang. Taruhlah Kho Phing Ho, beliau menyampaikan banyak pengetahuan, filsafat, dan lain-lain melalui karya-karyanya. Ajaran baik dan buruk tidak dihapalkan tapi dirasakan sebagaimana dalam teater. Inilah seni sebagai salah satu piranti dalam character building ‘manusia Jombang’. Saya pinjam istilahnya tadi, Mas. Sedang, fasilitator pengekspresian karya menandaskan bahwa Dekajo bukan lembaga operator kesenian dan kebudayaan di Jombang. Dekajo hanya membantu fasilitas berkesenian dan berkebudayaan seniman-seniman Jombang.
Lalu bagaimana implementasinya, Pak?
Pemda Jombang sendiri menyadari pentingnya keberadaan Dekajo mengingat Dekajo diharapkan mampu, hari ini dan seterusnya, untuk mengorganisir seniman-seniman maupun penikmat karya seni yang ada di Kabupaten Jombang. Dalam pengorganisasian seniman, yang paling mendasar dilakukan adalah pendataan, baik pribadi maupun inventarisasi karya masing-masing. Kemudian ada langkah untuk serap opini. Apa yang menjadi kebutuhan seniman dan cabang seni yang digelutinya? Kira-kira apa yang menjadi tujuan berkeseniannya? Apa kontribusinya bagi pengembangan kesenian di Jombang? Dan lain sebagainya. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Saya tidak sedang curhat. Mengapa? Karena seniman dalam perjalanan menuju katarsisnya atau spirit kesenimanannya) berpijak pada ego. Karya sastra juga diciptakan dengan ego pengarangnya, sebagaimana antologi cerpennya Nugroho, “Presiden Panji Laras”, butuh waktu lebih lama untuk memahami apa yang diceritakan. Ego Nugroho yang membuat “Presiden Panji Laras” itu ada.
Catatan:
Disarikan dari wawancara Anjrah Lelono Broto dengan Ketua Dekajo Bpk Agus Riadi, S.Sos, M.Si di kediamannya.
Hari : Sabtu, 20 Nopember 2010
Pukul : 05.30 s.d. 08.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar