Rabu, 24 Agustus 2011

Drs. Sutikno: Bagian Kajian Kitab (Hidup) Ma’iyah

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Sedulur Maiyah! Kalau anda melewati pasar Cukir, sekitar 200 meter selatan makam Gus Dur, tepatnya di pertigaan PG Cukir yang dari arah Mojowarno, ada toko Sumber Waras, JL. Raya Kediri no: 10, bersebelahan pas dengan mushollah, itulah toko milik sedulur kita Drs. Sutikno, sarjana lulusan Fakultas Ekonomi STKIP Jombang tahun 2000. Lantas, apa yang menarik dari sosok Sutikno sehingga saya perlu menurunkan tulisan sebagai kitab kajian hidup bagi Jama’ah Ma’iyah?

Ia adalah orang yang ingin segera mempercepat proses pensiun dari jabatan PNS-nya di salah satu SMA tempat ia mengajar. Sistem kapitalisasi pendidikan, dan ditambah budaya ABS (Asal Bapak Senang), serta penerapan sistim pendidikan yang bertumpu pada kualitas ‘nilai’belaka tanpa kejujuran terhadap anak didik, apalagi secara perlahan mulai didengser oleh Atasan dengan berbagai trik-intrik, membuat DRS. Sutikno kian tidak betah meneruskan profesinya sebagai pengajar. Baginya, di kehidupan yang hanya sekali dan sementara ini, sudah cukup sulek dan rusuh untuk terus meladeni dunia profesional yang tetap ber-ulah seperti anak kecil, yakni berebut pengakuan atas eksistensi dirinya di hadapan orang lain. Menghindar artinya mengalah yang belum tentu kalah, sebab perlawanan pada sistem yang bebal, dungu kolektif di dunia pendidikan di Indonesia, hanyalah energi mubadzir yang menelantarkan urusan lain yang luas cakupan fisi dan misinya bagi umat, bangsa dan negara.

Tidak hanya itu, Drs. Sutikno (Pak Tik) adalah orang yang mulai merubah beberapa konsep disiplin keilmuaannya semasa sekolah. Konsep ‘mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya dengan hasil melimpah-ruah’ adalah sikap serakah, di mana konsep tersebut hanya membentuk karakter seseorang untuk membangun individu meski pun mencecap penderitaan orang lain. Ia berfikir terbalik, bahwa kesuksesan dirinya tidak akan berarti jika tidak mengangkat kesuksesan orang lain. Serta, memprioritaskan rizqi secara komulatif berdasarkan minkhaistu la yahtasib: rizqi bisa datang dari berbgai arah dan dari hal yang tak terduga.

Perubahan cara berfikir dan bersikap Pak Tik, terjadi sejak ia mengenal ilmu Maiyah. Ceritanya begini: Pada 24 Juni 2011 lalu, Saya dan Lek Mujib sedang mengisi acara sastra (membaca puisi) di forum Lawatan Budaya di Balai Desa Mojowarno. Acara tersebut dipandegani Mbah Catur (Kades Desa Mojowarno) yang sekomunitas dengan Lek Mujib dalam berkesenian. Kebetulan Saya dan Lek Mujib membantu terselenggaranya acara yang digagas selama 4 hari sejak tanggal 23-26 Juni 2011. Di sanalah Pak Tik selaku warga desa setempat menemui Saya, setelah mendengar kalau Saya dan Lek Mujib, ikut mengisi acara. Pak Tik bercerita banyak tentang dirinya yang sudah 11 tahun aktiv ke Pengajian Padhang mBulan. Bahkan, ia beserta keluarga dan karyawannya, mengutamakan hadir di setiap PB dan beberapa acara Maiyah di Jawa Timur. Demikianlah kemudian Pak Tik bercerita panjang lebar seputar perjalanan hidupnya sehubungan dengan Maiyah.

Sekiar tahun 2000-an, Pak Tik yang sarjana ekonomi, mengawali bisnis hortikultura dengan menanam cabe, setelah melihat tetangganya sukses menekuni bidang tersebut. Ia pun memakai uang sang istri (Ibu Qoyyimatun Ni’mah) senilai Rp. 35 juta sebagai modal. Sebagai orang yang berdisiplin keilmuan tinggi, Pak Tik tidak ingin beresiko gagal, sebab kegagalan bisnis bermodal uang istri, bisa berakibat pecahnya kepercayaan rumahtangga, keharmonisan keluarga. Pak Tik pun mempraktekkan proses penanaman cabe sesuai standart prosedur perkebunan. Mulai dari penggarapan lahan, pembibitan, pemupukan serta perawatan, dipenuhi secara maksimal. Namun nasib berkata lain, usaha penanaman cabe Pak Tik gagal total, alkhasil, dana senilai Rp. 35 juta, ludes, tak kembali sepeser pun. Padahal, tetangganya yang ditiru, yang lahannya bersebelahan, tetap aman dengan hasil melimpah. Saat itulah Pak Tik berfikir, bahwa usah bisa ditiru, namun rejeki serta keber-untungan belum tentu. Apa yang salah dari konsep wira usaha Pak Tik?

Di tengah kegalauan pasca-kegagalan inilah, Pak Tik datang ke Pengajian Padhang mBulan. Seperti diceritakan ke Saya, entah waktu itu Cak Nun sedang membahas tema apa, yang jelas pembicaraan Cak Nun (waktu itu) masih terngiang di telinga Pak Tik, “anggetmu GustiAllah iku buruhmu ta, gedibalmu, hingga Alloh kau tuntut-tuntut menuruti segala kesuksesanmu, keinginanmu, segala karepmu. Tuhan, bagaimanapun posisinya, tetaplah Juragan yang wajib disembah, sedang kita tetaplah kawulo yang menyembah. Tugas manusia hidup itu hanya sebatas usaha, usaha, dan berusaha, sedang urusan gaji kita berusaha, rizqi, itu murni urusan Alloh!” Sebetulnya tidak sekali ini, dan tidak seorang Sutikno saja yang mengalami hal tersebut. Ribuan Jama’ah dan beberapa orang tertentu sesungguhnya mengalami hal yang sama, yakni tiba-tiba kejudegan segumpal permasalahan yang berkecamuk dalam dadanya, seketika padhang byarr setelah mendapat jawaban dari Cak Nun. Meski bukan pertanyaan secara pribadi, tetapi secara umum permasalahan individu Jama’ah terjawab dengan sendirinya. Gejala inilah yang disebut Gravitasi Cinta, seperti ada ketajaman yang terhubung.

Sejak itu Pak Tik merintis usaha dari nol. Ia kulakan kunir, laos, segala rempah ke pegunungan Wonosalam, itupun hanya bermodal Rp.100 ribu. Ia berjanji tidak akan mengganggu keuangan istri lagi. Pun juga tidak akan serakah dengan menambah modal di atas Rp.100 ribu, kecuali sejumlah itu ia putar sedemikian rupa. Bagi Pak Tik, yang penting ngugemi ketaukhidan yang disampaikan Cak Nun. Alkhasil kejeblokan perekonomiannya berangsur pulih. Bersama istri, Pak Tik kemudian membuka toko di rumah mertuanya di Ponorogo. Untuk sekali itu, Pak Tik pernah telepon Cak Nang (Anang Anshorulloh) untuk meminta pendapat mengenai usaha dagang. Cak Nang menyarankan agar Pak Tik menjual apa saja yang berkenaan dengan kebutuhan pokok. Cak Nang juga memberi teori, bahwa usaha apapun kalau buget perputarannya tidak mencapai 1 juta/hari, sebaiknya jangan memakai karyawan, istiqomah ditangani sendiri. Dan yang penting, harus cermat dalam perhitungan, jangan sampai besar pasak daripada tiang. Sehari berpenghasilan Rp.100 ribu, tetapi berbelanja melebihi saratus ribu. Pasti jebol! Alhamdulillah, tokonya semakin mbabrah.

Kegelisahan pun melanda Pak Tik kembali. Kecukupan materi belum tentu menentramkan jiwa. Kehausannya pada wawasan yang lebih tinggi, membuat Pak Tik berfikir bahwa kebutuhan jasmani dan rokhani harus seimbang. Sementara, selama ia mengamati hidup, belum menemukan tokoh yang cocok dengan dirinya. Tokoh yang disewa Alloh untuk dititipi cahaya terangnya selain Emha Ainun Nadjib. Tokoh yang berfikir multidimensial, satu sisi alur fikirannya tiba-tiba mencuat radikal dalam menafsirkan ayat Alqur’an dengan kontekstual yang tidak mampu diungkapkan tokoh lain, sisi lain Emha juga sebagai sosok yang gigih menata dan membela penderitaan arus bawah. Sosok yang tidak serakah dengan jabatan, tidak tergiur dengan berbagai peluang tender proyek yang hanya menguntungkan diri semata. Sementara tokoh lain, malah bersikap terbalik, yang akhirnya semua orang menyaksikan betapa mereka mengalami penurunan derajat dihadapan rakyat sebelum ajal tiba. Welo-welo nyoto, ketok moto. Sebab inilah Pak Tik membayangkan seandainya minimal sebulan sekali bertemu Emha, untuk mencecap keradikalan pandangan hidup yang lebih baik.

Kegelisahan Pak Tik kian menderu saat ia bagai menelan buah simalakama. Di Jombang, Pak Tik perlu merawat kedua orangtuanya, di Ponorogo, juga berbakti pada mertua. Pada titik inilah Pak Tik menyerahkan penyelesaian atas dirinya pada Alloh. Ndilalah kersane Alloh, istrinya Pak Tik berkeinginan meneruskan sekolah sejenis AKPER khusus manula yang ternyata sekolahan semacam itu tidak ada di seluruh Indonesia, kecuali di Peterongan Jombang. Akhirnya istri Pak Tik meminta untuk pulang ke Jombang. Terpaksa toko di Ponorogo ia serahkan pada saudara. Dalam kurun ini, Pak Tik mengajar di salah satu sekolah SMA di Jombang, sementara Ibu Qoyyimatun Ni’mah membuka praktek kebidanan manula lengkap beserta apotik.

Keinginan menolong sesama dengan menarik ongkos murah dari pasien, membuat kalangan dokter di Jombang iri hati dan kemudian melaporkan praktik Ibu Qoyyimah agar ditutup. Bagi wanita karier yang menapaki kesuksesan, lantas divonis tutup, tentu merupakan tekanan mental tersendiri. Namun perlahan Pak Tik menyadarkan istrinya bahwa sekali lagi, rizqi itu bisa datang secara tak terduga.

Pak Tik yang kadung lincah berbisnis mulai melebarkan sayap ke berbagai perdagangan: makelar mobil, motor, hingga mengontrak dua toko di kawasan Cukir, satu stand sengaja diperuntukkan adiknya. Yang menarik dari konsep perdagangan Pak Tik adalah menerapkan ilmu Maiyah, tidak serakah, ongso-ongso terhadap laba. Bayangkan, sekitar 20 motor yang dibayar mengangsur oleh teman, tetangga, tidak seperti sistem deller. Pengeridit hanya melunasi uang pokok sesuai harga standart penjualan, tanpa bunga atau pun denda. Ketika saya diajak mampir ke rumahnya, tiga mobil di garansi ia peroleh dengan putaran uang tak terduga, tiba-tiba ada orang titip, meminjamkan, menambahi, menjualkan barang dll. Dari perputaran uang yang masuk, hingga nyantol membeli tanah. Semua dilakukan Pak Tik tanpa memplening uang terlebih dulu. Perdagangan yang mengalir, membaca arus. Meski sesekali menjadi Kiai Genthong, karakter Pak Tik dalam ilmu Maiyah cenderung berjuluk Kiai Talang. Ia hanya mengalirkan perputaran keuangan sebagai rahmat Alloh untuk hamba yang membutuhkan. Sedulur Maiyah, silahkan berbagi pengalaman dengan Drs. Sutikno. Add Frand FB: Sutikno (Tikno) HP: 088-192-810-64.

15 Agustus 2011
*) Penulis: Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar