Rabu, 24 Agustus 2011

NUREL JAVISSYARQI MENGGUGAT SUTARDJI *)

Chamim Kohari **)
http://sastra-indonesia.com/

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu.
Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah hayalan dan kata,
dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan kecuali mereka yang beriman,
beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”.
(Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227).

Membaca tulisan Nurel Javissyarqi yang berjudul Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, yang dibukukan oleh penerbit sastraNESIA & PUstaka puJAngga, tahun 2011, seakan-akan menyentak dan menyadarkan kepada siapa pun yang menggeluti dalam bidang puisi dan kepenyairan. Semangat Nurel sangat bergeni-geni, ia seperti —pinjam istilah Maman S. Mahayana— telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya untung ia seorang santri yang mambu seniman, atau seorang seniman yang mambu santri, sehingga apa yang ia paparkan masih terkendali. Dalam tulisan Nurel Javissyarqi tersebut sangat tampak semangat Watawaa Shauu bi al-Haqi Watawaa Shauu bi al-Shabri (saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran).

Pada tulisan I, Nurel mengungkapkan bahwa biangkerok dari Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, berawal dari esai Sutardji Calzoum Bachri bertitel Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair; orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007. Dalam Tulisan itu Tardji menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut: “Peran penyair menjadi unik, karena —sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dengan pernyataan Tardji seperti itu Nurel terhenyak, matanya ngedim, giginya gemerutuk, meski sehari ia hanya shalat 5 kali, ia menjadi sangat tidak terima ketika Tardji mengatakan Tuhan bermimpi, berimajinasi, Tardji menyamakan kedudukan Tuhan dengan penyair, tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, pada hal Allah berfirman Faman ya’mal mitsqaala dzaarratin khairan yarahu Waman ya’mal mitsqaala dzaarratin syarran yarahu.

Penyair adalah manusia biasa, juga Tardji, ia bukan Rasul bukan nabi, ia tidak lebih baik derajatnya dari tukang sol sepatu, ia makhluq (yang dicipta) seakan-akan menyamakan kedudukannya dengan Al-Khaliq (Maha Pencipta) sehingga dengan gegabah menyatakan sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Allah sebagai Al-Khaliq (Maha Pencipta). Kata Khaliq berasal dari kata kerja khalaqa, yang dalam kamus Al-Ashri kata khalaqa berarti “menciptakan”, “membuat orisinil”, “memproduksi” berbeda dengan kata Ja’ala yang berarti “membuat” walau bisa juga diartikan “mencipta”, tetapi kata khalaqa lebih cenderung pada makna “mencipta” dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, sedang kata ja’ala bermakna “membuat” dari yang sebelumnya sudah ada menjadi ada dalam bentuk yang lain. Sementara makhluq termasuk kata benda penderita (isim maf’ul) yang berarti “yang dibuat” atau “dicipta.”

Dalam tulisan II, Nurel mengungkapkan bahwa “Andai pun Tardji mengambil dari mana saja pemikiran Ibnu Arabi, tidaklah patut merombak dan membentuknya menjelma pengertian lain, yang lalu lebih menekankan imajinasinya. Pada hal dalam karya Ibnu Arabi, tidaklah ada yang merujuk ke imajinasi, tetapi emanasi.” Ibnu Arabi beranggapan bahwa Tuhan sebagai esensi mutlak, tidak mungkin dikenal atau bagaimana mungkin disebut Tuhan, kalau tidak ada yang menuhankan-Nya, Ibnu Arabi mengambil dasar Hadits Qudsi yang artinya “Aku adalah khasanah yang tersembunyi, Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan dunia”.

Dalam tulisan III, Nurel mengungkapkan bahwa bagaimana kredo Tardji membebaskan kata-kata dari penjajahan pengertian, dari beban idea, membiarkan kata-kata menentukan dirinya sendiri, menulis puisi bagi Tardji adalah mengembalikan kata kepada mantera, pada hal menurut Nurel mantera sangat sarat dengan makna, karena dari maknanyalah daya suara menembus segala yang dikehendaki. Sementara pada buku himpunan kertas kerja seminar internasional dan sejumlah esai tentang Tardji, bertitel Raja Mantra Presiden Penyair terbitan Yayasan Panggung Melayu, 2007, tampak judul yang sangar, hebat, memabukkan dan tiada tanding, oleh karena itu Nurel menjadi semakin geli.

Dalam tulisan IV, Nurel mengungkap proses lahirnya sumpah pemuda (1928), yang sebelumnya (tahun 1920-an) ada gerakan Renaissance Indonesia dengan gerakan Pemuda Indonesia, juga diuraikan tentang kondisi manusia Indonesia sampai kini masih percaya pada lambang-lambang, semboyan-semboyan, jimat, mantra dan jampe-jampe. Nurel juga mengungkap bagaimana para sastrawan yang tidak takut jeruji penjara, kelaparan keluarganya, juga keberaniannya yang mengundang inspirasi manusia di sekitar dan penerusnya seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra dan seterusnya. Mereka bertanggungjawab atas laku nasib dan karya-karyanya.

Tulisan Nurel V mengungkap bagaimana mantra berkembang, mulai dari yang mengadopsi nilai ajaran Islam sampai mantra-mantra yang berdaya ruhani rendah, yang paras auranya merah, mudah dipelajari karena menghamba pada jin atau bentuk-bentuk penyimpangan ajaran murni yang sengaja dirombak demi pamor berbalik, yang biasanya dipakai para dukun. Terus apa jadinya jika Sutardji dalam mantra-mantranya memutar balik bahasa sekenanya hingga makna jungkir balik tidak punya kandungan isi dan tidak bertuah. Coba simak sajaknya yang berjudul Shang Hai berikut:

SHANG HAI

ping diatas pong
pong diatas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring

(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak, 1973)

Dalam puisi tersebut hanya tampak terkesan seperti bermaian kata-kata atau bahasa. Dengan demikinan, menurut Nurel perlu dipertanyakan, apakah kredonya Tardji tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliyah?

Pada akhir tulisannya, Nurel menegaskan “sejauh ini, Tardji memang kreatif mengurai bunyi-bunyian disusupkan ke irama puisinya juga menggali energi vocal mau pun konsonan demi puisinya laksana mantra, tetapi sampai 30 tahun lebih, ia belum terbukti berhasil mentransfer kekuatan mantra ke dalam puisi mantranya. Ia tidak cukup sakti sebagai Raja Mantra”.

Jerukmacan, 21 Mei 2011

Seni itu panjang
Hidup itu pendek
Agama itu dalam

*) Disampaikan pada acara Bedah buku dalam Safari Sastra yang diselenggarakan oleh Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat Jombang, pada hari Ahad, 22 Mei 2011 di Aula SMA Muhammadiyah 1 Jombang.
**) Aktifis Komunitas Sastrawan Pesantren Jawa Timur, kini menetap di Pondok Pesantren Darul Falah Jerukmacan, Sawo Jetis, Mojokerto, HP 081931091965. E-mail: www.ppdf@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar