(Catatan Orang Maiyah Sebagai Relawan Merapi)
Sabrank Suparno
Seberapa maksimalkah kemampuan media, relawan, tim SAR, atau pihak terkait sekalipun dalam pemberitaan hiruk pikuk seputar Merapi? Pertanyaan diatas jika ditarik pendekatan metodologi semisal dari 293 titik pengungsi, ternyata yang didatangi media massa sebagai bahan liputan hanya 2 prosennya saja, tentu akurasi datanya tak memadai untuk dijadikan bahan kaji metodologi keilmuan dalam rangka menentukan ketepatan penyelesaian Merapi tahun tahun mendatang.
Ketidaktepatan tim ahli dalam menentukan prediksi penanganan Merapi merupakan rujukan kelemahan sistem keilmuan modern. Contoh: 1. Kenapa pemerintah justru menempatkan pengungsi di kawasan Kali Urang yang justru kawasan itu dilibas awan panas-wedhus gembel? 2. Kenapa lokasi pemakaman massal yang salah satunya adalah jenazah Mbah Maridjan, juga kawasan yang besoknya dilibas wedhus gembel? 3. Data rekam seismograf dengan perlakuan Merapi itu sendiri berlawanan. Ketika temperatur seismograf melunjak fluktuasinya, terbukti tidak mengeluarkan lahar dingin atau awan panas. Tetapi ketika getaran terdiam, justru tiba-tiba menyembur. Inilah bahaya Merapi dibanding gunung me-rapi lain. Dari sinilah terkesan bahwa penanganan musibah letusan Merapi cenderung dipolitisir dan diperdagangkan pakar dan media.
Sejak dulu, penduduk sekitar Merapi tidak pernah mengatakan istilah ‘Merapi meletus’. Melainkan merapi akan memberi rizki berupa pasir dan lahar dingin vulkanologis. Semenjak Merapi ditangani media, barulah muncul istilah letusan yang direduksi dari tata keilmuan modern.
Keterlibatan media tersebut awal pecahnya pertarungan teori modern dengan teori (klasik) mistis di Merapi dalam menangani bencana letusan kali ini. Siapa yang menang? Media menang dengan jumlah omzet pemberitaan, tapi kalah dalam menentukan prediksi kronologisnya. Sebab alternatif yang ditentukan ahli terbukti memperparah keadaan. Sementara mistis (klasik) menang: mampu menghentikan amukan Merapi, tapi kalah dengan jumlah korban.
Keanehan yang muncul pascaletusan Merapi semisal gugusan awan panas yang menyerupai sosok Petruk dalam cerita wayang Jawa, sosok pria berpakaian Jawa yang tiba-tiba muncul menemui Yati (istri Ponimin / pengganti Mbah Maridjan) yang mengatakan kepada Yati bahwa ia akan mengobrak-abrik keraton Jogjakarta, bagi ilmuwan hanya disejajarkan dengan keunikan alam itu sendiri. Tapi bagi masyarakat merapi merupakan fenomenologi ilmu tersendiri.
Secara mistis, warga Merapi meyakini bahwa Merapi dihuni oleh 5 makluk gaib yaitu: Mbah Petruk, Mbah Gringsing, Mbah Sapu Jagat, Mbah Mangir dan Mbah Jumadil Kubroh. Kelima roh halus itu masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Mbah Petruk yang dimaksud bukan Petruk tokoh wayang Jawa. Ia adalah roh sesepuh kerajaan Mataram, yang dalam percaturan Merapi bertugas menguasai awan panas, Mbah Sapu Jagat memegang kendali arah angin, Mbah Gringsing menguasai lahar dingin, Mbah Mangir menguasai debu, Mbah Jumadil Kobroh memeta kawasan.
Pemahaman warga Merapi yang demikian merupakan sikap Humaniora yang dijelaskan Supaat I. Lathief dalam bukunya: Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius (Pustaka Ilalang 2008) sebagai prilaku ‘moral’ manusia dengan alam lingkungannya. Dimana manusia sebagai kesadaran, berhak mengatur, memiliki dan memberi makna pada alam semesta. Sengaja Supaat I. Lathief menyebutnya moral, dan bukan akhlak. Yang menurut paparan Fritz Kahn: social ethic relation without harming each other. Atau, yang menurut istilah Emha Ainun Nadjib warga Merapi tidak menentang mitologi, melainkan melengkapkan keharmonisan ‘cinta’ dengan seluruh komponen Merapi.
Memahami hal di atas, memperjelas pemahaman posisi Mbah Maridjan. Juru kunci Merapi artinya orang yang ajeg menjalin keharmonisan dengan warga sekitar, dengan 5 roh halusnya dan dengan keraton (Hamengku Buwono IX). Ia yang mendekap dan meng-elus-elus Merapi. Maka kematian Mbah Maridjan sebetulnya sujud ke arah Barat, sebab saat wedhus gembel datang, Beliau sedang duduk seusai sholat malam. Setelah diterima Alloh atas baktinya, Mbah Marijan kemudian diputar ke arah Selatan oleh daya luncur awan panas yang mencapai 100 km/jam, sebagai bukti pengabdian ke HB IX.
Keajaiban saat letusan Merapi juga dialami Ponimin sekeluarga. Irrasional, hanya dengan bersembunyi di dalam mukena Yati, Ponimin dan anaknya tidak tertembus awan panas. Padahal daya luncur awan panas mampu menjebol serta melemparkan pohon kelapa sejauh 300 meter. Barulah Ponimin kemudian diajak turun gunung oleh krew relawan Bronto Seno.
Ketika pemerintah menetapkan 17 km batas aman steril, tak banyak nyali relawan yang mengevakuasi. Kecuali hanya berpura-pura naik ke puncak, tapi berhenti di perjalanan. Tetapi team relawan Bronto Seno termasuk Hendrik yang dengan kepiawaiannya menyetir mobil, berani menembus hingga 200 meter dari kawah. Sedangkan Hengki adalah warga sekitar yang jauh hari sebelumnya sudah merakit motor crossnya yang ia desain lengkap dengan mikrofon dan speaker. Kegilaan Hengki, ia berani memacu motornya ke atas saat awan panas meluncur. Seraya berteriak menyerukan turun pada warga dengan speakernya.
Tidak seperti team SAR yang dilengkapi jaringan radio telemetry, team Bronto Seno hanya mendeteksi ulah wedhus gembel (rock avalance) dengan gelembung kesadara rasa. Berkali-kali, ketika mereka me-rasa harus turun, mereka turun. Dan setengah jam kemudian bekas lokasi evakuasi team Bronto Seno ini barulah dilibas wedhus gembel. Untungnya mereka sempat mengabadikan dengan kamera hp tempat-tampat yang beberapa saat kemudian diterjang wedhus gembel. Team Bronto Seno melega setelah guru spiritualnya (bukan Ponimin) berhasil menegoisasi 5 penghuni roh Merapi. Disaksikan anggota rombongan, sang guru mengatakan! ”Kita turun! Menyiapkan segi finansial selanjutnya. Wedhus gembel sudah masuk ke kandangnya. Mereka bukan Sabdo Palon yang jatah waktunya kedaluwarsa 70 tahun silam pada siklus 500 tahun yang disumpahkan. Mereka juga bukan Mbah Jumadil Kubroh yang dendam pada islam Jawa. Sebab pascalengsernya Majapahit ke Demak, justru Sunan Kalijagalah yang menata. Mereka hanya marah pada Hamengku Buwono X yang tak lagi memangku Jogjakarta, melainkan bernafsu menguasai Indonesia. Mereka marah pada 3 desa disekitar bukit, yang masing-masing berpredikat desa maling, desa free sex dan desa judi. Terbukti tidak ditemukannya seruak ‘takbir’ saat mereka diserang wedhus gembel. Toh nanti masih ada neraka jika mereka belum sadar.” Ungkapan guru spiritual itu dikatakan jauh sebelum Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kementrian ESDM menyatakan Merapi redah.
Tentu ada yang mendasari keberanian team Bronto Seno. Yaitu mengedepankan hegemoni cinta sebagai pemimpin kesadaran mereka. Team ini memahami bahwa teori Jawa memberlakukan ilmu dan alam sebagai subyek. Memanusiakan alam. Terbukti dengan pemberian nama pada keris semisal Keris Empu Gandring, Kyai Sangkelat,Tumbak Kyai Pleret dll. Sedang Barat, memberlakukan ilmu dan alam sebatas obyek.
[Memoar Padhang mBulan]
Sabrank Suparno
Seberapa maksimalkah kemampuan media, relawan, tim SAR, atau pihak terkait sekalipun dalam pemberitaan hiruk pikuk seputar Merapi? Pertanyaan diatas jika ditarik pendekatan metodologi semisal dari 293 titik pengungsi, ternyata yang didatangi media massa sebagai bahan liputan hanya 2 prosennya saja, tentu akurasi datanya tak memadai untuk dijadikan bahan kaji metodologi keilmuan dalam rangka menentukan ketepatan penyelesaian Merapi tahun tahun mendatang.
Ketidaktepatan tim ahli dalam menentukan prediksi penanganan Merapi merupakan rujukan kelemahan sistem keilmuan modern. Contoh: 1. Kenapa pemerintah justru menempatkan pengungsi di kawasan Kali Urang yang justru kawasan itu dilibas awan panas-wedhus gembel? 2. Kenapa lokasi pemakaman massal yang salah satunya adalah jenazah Mbah Maridjan, juga kawasan yang besoknya dilibas wedhus gembel? 3. Data rekam seismograf dengan perlakuan Merapi itu sendiri berlawanan. Ketika temperatur seismograf melunjak fluktuasinya, terbukti tidak mengeluarkan lahar dingin atau awan panas. Tetapi ketika getaran terdiam, justru tiba-tiba menyembur. Inilah bahaya Merapi dibanding gunung me-rapi lain. Dari sinilah terkesan bahwa penanganan musibah letusan Merapi cenderung dipolitisir dan diperdagangkan pakar dan media.
Sejak dulu, penduduk sekitar Merapi tidak pernah mengatakan istilah ‘Merapi meletus’. Melainkan merapi akan memberi rizki berupa pasir dan lahar dingin vulkanologis. Semenjak Merapi ditangani media, barulah muncul istilah letusan yang direduksi dari tata keilmuan modern.
Keterlibatan media tersebut awal pecahnya pertarungan teori modern dengan teori (klasik) mistis di Merapi dalam menangani bencana letusan kali ini. Siapa yang menang? Media menang dengan jumlah omzet pemberitaan, tapi kalah dalam menentukan prediksi kronologisnya. Sebab alternatif yang ditentukan ahli terbukti memperparah keadaan. Sementara mistis (klasik) menang: mampu menghentikan amukan Merapi, tapi kalah dengan jumlah korban.
Keanehan yang muncul pascaletusan Merapi semisal gugusan awan panas yang menyerupai sosok Petruk dalam cerita wayang Jawa, sosok pria berpakaian Jawa yang tiba-tiba muncul menemui Yati (istri Ponimin / pengganti Mbah Maridjan) yang mengatakan kepada Yati bahwa ia akan mengobrak-abrik keraton Jogjakarta, bagi ilmuwan hanya disejajarkan dengan keunikan alam itu sendiri. Tapi bagi masyarakat merapi merupakan fenomenologi ilmu tersendiri.
Secara mistis, warga Merapi meyakini bahwa Merapi dihuni oleh 5 makluk gaib yaitu: Mbah Petruk, Mbah Gringsing, Mbah Sapu Jagat, Mbah Mangir dan Mbah Jumadil Kubroh. Kelima roh halus itu masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Mbah Petruk yang dimaksud bukan Petruk tokoh wayang Jawa. Ia adalah roh sesepuh kerajaan Mataram, yang dalam percaturan Merapi bertugas menguasai awan panas, Mbah Sapu Jagat memegang kendali arah angin, Mbah Gringsing menguasai lahar dingin, Mbah Mangir menguasai debu, Mbah Jumadil Kobroh memeta kawasan.
Pemahaman warga Merapi yang demikian merupakan sikap Humaniora yang dijelaskan Supaat I. Lathief dalam bukunya: Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius (Pustaka Ilalang 2008) sebagai prilaku ‘moral’ manusia dengan alam lingkungannya. Dimana manusia sebagai kesadaran, berhak mengatur, memiliki dan memberi makna pada alam semesta. Sengaja Supaat I. Lathief menyebutnya moral, dan bukan akhlak. Yang menurut paparan Fritz Kahn: social ethic relation without harming each other. Atau, yang menurut istilah Emha Ainun Nadjib warga Merapi tidak menentang mitologi, melainkan melengkapkan keharmonisan ‘cinta’ dengan seluruh komponen Merapi.
Memahami hal di atas, memperjelas pemahaman posisi Mbah Maridjan. Juru kunci Merapi artinya orang yang ajeg menjalin keharmonisan dengan warga sekitar, dengan 5 roh halusnya dan dengan keraton (Hamengku Buwono IX). Ia yang mendekap dan meng-elus-elus Merapi. Maka kematian Mbah Maridjan sebetulnya sujud ke arah Barat, sebab saat wedhus gembel datang, Beliau sedang duduk seusai sholat malam. Setelah diterima Alloh atas baktinya, Mbah Marijan kemudian diputar ke arah Selatan oleh daya luncur awan panas yang mencapai 100 km/jam, sebagai bukti pengabdian ke HB IX.
Keajaiban saat letusan Merapi juga dialami Ponimin sekeluarga. Irrasional, hanya dengan bersembunyi di dalam mukena Yati, Ponimin dan anaknya tidak tertembus awan panas. Padahal daya luncur awan panas mampu menjebol serta melemparkan pohon kelapa sejauh 300 meter. Barulah Ponimin kemudian diajak turun gunung oleh krew relawan Bronto Seno.
Ketika pemerintah menetapkan 17 km batas aman steril, tak banyak nyali relawan yang mengevakuasi. Kecuali hanya berpura-pura naik ke puncak, tapi berhenti di perjalanan. Tetapi team relawan Bronto Seno termasuk Hendrik yang dengan kepiawaiannya menyetir mobil, berani menembus hingga 200 meter dari kawah. Sedangkan Hengki adalah warga sekitar yang jauh hari sebelumnya sudah merakit motor crossnya yang ia desain lengkap dengan mikrofon dan speaker. Kegilaan Hengki, ia berani memacu motornya ke atas saat awan panas meluncur. Seraya berteriak menyerukan turun pada warga dengan speakernya.
Tidak seperti team SAR yang dilengkapi jaringan radio telemetry, team Bronto Seno hanya mendeteksi ulah wedhus gembel (rock avalance) dengan gelembung kesadara rasa. Berkali-kali, ketika mereka me-rasa harus turun, mereka turun. Dan setengah jam kemudian bekas lokasi evakuasi team Bronto Seno ini barulah dilibas wedhus gembel. Untungnya mereka sempat mengabadikan dengan kamera hp tempat-tampat yang beberapa saat kemudian diterjang wedhus gembel. Team Bronto Seno melega setelah guru spiritualnya (bukan Ponimin) berhasil menegoisasi 5 penghuni roh Merapi. Disaksikan anggota rombongan, sang guru mengatakan! ”Kita turun! Menyiapkan segi finansial selanjutnya. Wedhus gembel sudah masuk ke kandangnya. Mereka bukan Sabdo Palon yang jatah waktunya kedaluwarsa 70 tahun silam pada siklus 500 tahun yang disumpahkan. Mereka juga bukan Mbah Jumadil Kubroh yang dendam pada islam Jawa. Sebab pascalengsernya Majapahit ke Demak, justru Sunan Kalijagalah yang menata. Mereka hanya marah pada Hamengku Buwono X yang tak lagi memangku Jogjakarta, melainkan bernafsu menguasai Indonesia. Mereka marah pada 3 desa disekitar bukit, yang masing-masing berpredikat desa maling, desa free sex dan desa judi. Terbukti tidak ditemukannya seruak ‘takbir’ saat mereka diserang wedhus gembel. Toh nanti masih ada neraka jika mereka belum sadar.” Ungkapan guru spiritual itu dikatakan jauh sebelum Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kementrian ESDM menyatakan Merapi redah.
Tentu ada yang mendasari keberanian team Bronto Seno. Yaitu mengedepankan hegemoni cinta sebagai pemimpin kesadaran mereka. Team ini memahami bahwa teori Jawa memberlakukan ilmu dan alam sebagai subyek. Memanusiakan alam. Terbukti dengan pemberian nama pada keris semisal Keris Empu Gandring, Kyai Sangkelat,Tumbak Kyai Pleret dll. Sedang Barat, memberlakukan ilmu dan alam sebatas obyek.
[Memoar Padhang mBulan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar