Selasa, 08 Februari 2011

Maiyah, Cak Nun dan Perjalanannya

Suharsono *

Maiyah adalah sebuah pergumulan orang-orang yang datang dari berbagai elemen dan organisasi yang berbeda-beda namun mempunyai tujuan sama, yaitu mencari ridho Alloh. Dalam Jama’ah Maiyah tidak ada pemimpin dan anggota. Siapa pun diperbolehkan memandu acara, bertadarrus, memimpin wirid, sholawat dll tidak harus orang yang bersuara bagus (merdu) seperti Zainul ataupun mBak Nia, melainkan yang ihlas berma’iyah. Dalam jamaah ini juga tidak ada skat khusus antara pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat. Yang diutamakan disini ialah saling percaya, saling menjaga kehormatan diri dihadapan Tuhan dan manusia. Itulah indahnya bermaiyah.
Semua permasalahan hidup dibahas disini. Semua jamaah yang hadir dapat memberikan testimoni atau pendapat dalam rangka merespon tafsir yang dijelaskan Cak Fuad maupun tafsir yang dijelaskan Cak Nun. Inilah beda acara Maiyah dengan acara lain. Kita bisa mengerti kandungan Alquran baik secara teks dan konteksnya. Dalam acara ini juga bebas bertanya dan berdoa, baik untuk famili yang sakit ataupun untuk diri sendiri.

Pergaulan Cak Nun dengan berbagai elemen masyarakat, mempengaruhi pola berfikir dan cara memandang kehidupan social, polotik, ekonomi, budaya ataupun agama. Pengalaman Cak Nun jajah deso melankori menjelajahi nusantara dan berbagai belahan dunia membuar Cak Nun syarat dan kaya akan pengalaman. Semua permasalahan kehidupan, baik dari yang besar sampai yang kecil, dionceki Cak Nun secara detail. Bertapa hal yang menurut kita remeh dan sepele, ternyata ditangan Cak Nun dioalh menjadi bahan menarik untuk dikaji. Cak Nun juga tak segan belajar dari wong cilik, seniman, yang menurut pandangan modern dianggap ketinggalan jaman. Teapi tidak bagi Caj Nun. Sebut saja kata kata semisal: benere dewe, benere wong akeh, lan bener kang sejati, Cak Nun belajar dari seorang pemain ludruk. Khususnya pelawaknya yang mamapu menjungkirbalikkan keadaan yang membuat fikiran fress dengan joke-joke segarnya.

Dalam ranah budaya, Cak Nun dan Kyai Kanjengnya telahmenorehkan sejarah da tinta emas dalam perkembangan musik Sholawat di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tampilnya musik Kyai Kanjeng di berbagai acara tanah air dan manca negara. Kyai Kanjeng juga mampu mendorong dan menginspirasi munculnya group musik sholawat baru di Indonesia yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Apalagi berbagai aliran musik dapat dipadukan dalam Kyai Kanjeng. Sehingga menjadikan musik ini bisa diterima oleh kelompok musik manapun. Kyai kanjeng yang berangkat dari tidak diperhitungkan, kini mulai diperhitungkan, kenapa demikian? Jawabya sederhana, karena berangkat dari ketulusan cinta kepada Rosululloh. Tidak hanya itu, Kyai Kanjeng juga tergolong musik yang disegani. Terbukti betapa banyak personel Kyai Kanjeng yang diundang tampil diberbagai negara-negara di dunia, termasuk Mesir: sebuah negri Piramida, Fir aun, dan Musa zaman dulu. Dan di sana, Kyai Kanjeng menjadi tamu kehormatan.

Hal yang sam juga terjadi di Roma dan Vatikan. Pendeta Paus Pulus meng-elu-elukan Cak Nun dan memberinya gelar Sang Maestro Musik Indonesia. Cak Nun tidak menyangka kalau Kyai Kanjeng akan mendapat apreseas dari masyarakat eropa. Namun walau begitu Cak Nun tidak gila kehormatan, tidak gila jabatan. Cak Nun juga tidak berkecil hati walau di dalam negeri sendiri tidak ada media massa baik cetak ataupun elektronik yang memberitakannya. Itu semua tidak penting. Karena yang utama bagi Cak Nun ialah cinta Alooh dan Rasulnya.

Dalam bidang politik, Cak Nun juga berusaha melakukan pencerahan terhadap bangsa ini. Zaman orde baru, disaat orang tidak berani ngomong terbuka dalam menyampaikan kebenaran dan kecurangan, Cak Nun tampil sebagai sosok kontroversial. Cak Nun ngomong lantang dan tanpa rasa takut. Padahal waktu itu siapa pun bisa dicekal. Ketika itu parta masih PPP, PDI, Golkar. PPP dan PDI yang waktu itu menjadi partai gurem. Walau demikian Cak Nun tak segan mendukung partai kecil. meskipun kadang dianggap bunglon. Sesungguhnya Cak Nun hanya menunjukkan bahwa membangun bangsa, bingkainya adalah persatuan dan kesatuan. Dan tidak dengan terkotak-kotak. Dan tak ada niat sedikit pun bagi Cak Nun untuk menjadikan jama’ahnya sebagai tunggangan / kendaraan politik bagi kepentingan pribadinya.

Dalam bidang ekonomi, Cak Nun sering mangatakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang tahan banting, ulet serta pinter ubet. Dalam kondisi krisis pun, orang Indonesia masih sempat cengengesan dan nongkrong di warung. Dalam hal makanan pun Indonesia juga diakui sebagai pakar kuliner. Dari bahan sepele seperti kaspe, ketela, bisa tercipta aneka jenis makanan macam-macam. Dan jenis makanan apapun mudah dijumpai di Indonesia. Membludak. Tidak seperti di luar negeri, yang segala sesuatu sulit dicari.

Bidang tenaga kerja pun, menurut Cak Nun orang Indonesia memiliki etos kerja yang tinggi. Dedikasi ini terbukti dengan banyaknya TKI yang rela menjadi pekerja yang paling rendah namun paling ramah di negeri orang. Walau banyak terjadi kisah tragis dan pilu TKI yang disiksa majikannya, namun tetap tak menyurtkan semangat pekerja Indonesia untuk ke luar negeri.

Cak Nun optimis, bahwa Indinesia akan tampil mercusuar memimpin dunia. Kekayaan alam dan jumlah muslim terbesar dunia serta keanekaragaman budaya adalah modal yang menjadi indikasinya. Dengan satu syarat! Pemimpin negeri ini punya kapasitas mengelola dan memenejementnya. Dalam berbagai hal, berbagai forum acara, Cak Nun selalu menyuarakan optimismenya tentang Indonesia. Cak Nun tidak ingin bangsa ini terseok-seok lagi seperti dulu. Dalam satu kesempatan Cak Nun pernah mengatakan agar kita berguru pada Sukarno yang terkenal dengan Jasmerahnya, berguru pada Suharto sang Bapak Pembangunan yang walaupun diturunkan mahasiswa, namun hingga kini belum bisa mewujutkan buah reformasinya.

Bangsa dan rakyat Indonesia memang terus dikoyak-koyak oleh pemimpinnya sendiri dan Barat yang tak suka dengan kemajuan Indonesia. Akankah jita berdiamdiri? Cak Nun menyarankan agar kita mengawali kebangkitan Indonesia dengan cara berbuat baik kepada diri sendiri, keluarga, bangsa dan Negara. Barulah Indonesia akan maju.

*) Suharsono. JM tinggal di Kendalsari Sumobito. Bekerja di Kimia Farma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar