Sabrank Suparno
Folklor, di belantara nusantara merupakan kekayaan lokal yang tak ternilai harganya. Mungkin inilah tafsiran yang tersirat ketika Raden Said pada usia mudanya berjuluk Berandal Lokajaya yang kemudian meningkat menjadi Sunan Kalijaga. Adalah hal yang tidak gampang melampaui transformasi nilai yang tetap abadi hingga sekarang.
Menyaksikan ketimpangan sosial di zamannya, Raden Said mencoba menentang. Ia menjadi kepala berandal yang merampok harta orang kaya untuk dibagikan ke rakyat jelata. Hingga suatu ketika, Raden Said membegal seorang kiai mumpuni, sakti mandraguna yang mampu merubah padatan partikel atom kolang-kaleng menjadi emas. Raden Said terkejut. Sebab hasil jarahannya tak sebanding, tak serumit dengan hanya merubah sesuatu menjadi emas.
Ketika Raden Said disuruh sang kiai mumpuni mengambil sejanjang emas, dengan harapan mencukupi apa yang diinginkan Raden Said, yakni menyejahterakan rakyat, disinalah Raden Said dihadapkan pada pilihan kontemplatif. Ia harus bertempur dengan dirinya: mengekang nafsu, menemukan rumusan, merubah paradigma, menanggalkan eksistensi, bahkan konsekwensi sebagai pimpinan komplotan sekalipun.
Pada posisi sumbu koordinat yang demikian, dibutuhkan keberanian. Yakni berani mengatakan yang ‘Iya’, artinya meninggalkan yang ‘Tidak’atau sebaliknya. Iya dan Tidak adalah pilihan yang menentukan nilai pada tahap berikutnya. Alkisah , Raden Said dengan segala kecerdasannya memilih tidak mengambil emas hasil sabda sang kiai mumpuni. Ia berfikir sederhana. “Kalau aku mengambil sekeranjang emas, aku hanya akan memperoleh sejumlah itu juga. Tetapi kalau aku bisa bersahabat mesra dengan kiai yang bisa merubah apa pun menjadi emas, tentu akan lebih kaya.”
Ringkas kisah di atas, Raden Said lebih memilih berguru pada sang penyabda emas daripada mengambil emas. Disanalah Raden Said menemukan sosok yang bisa menemukan Alloh, Tuhan, yang lebih tak ternilai dibanding kekayaan apa pun.
Dalam negara ‘semifederal’ yang syarat dengan warna warni kebhinekaan seperti Indonesia, nasional justru terbentuk dari kompleksifitas lokal. Jika kemudian dijadikan tolak ukur kekuatan nasianal, maka rumusnya sebarapa kuat kadar nilai lokalnya. Semifederal artinya tidak otonomi mutlak, juga tidak sentralistik baku. Pada posisi yang demikian, pemaknaan arti lokalitas kerap terbias oleh kepentingan hegemoni politik yang berubah ubah. Apalagi di Indonesia, politik yang berkuasa hari ini, berbeda missinya dengan arus politik yang kemarin dan akan datang. Perpolitikan di Indonesia seharusnya menerapkan bahwa alur politik hari ini adalah tangan panjang dari sejarah masa lalu hingga jauh ke zaman Majapahit-pra Majapahit sampai ke generasi seribu tahun mendatang.
Disinilah peran Pemerintah Daerah penting dilibatkan dalam khasanah kekuatan lokal. Maju dan kembangnya tidak telepas dari andil kreativitas dinas atau lembaga terkait di suatu daerah.
Di Jombang misalnya, Disporabudpar merintis program uri-uri kebudayaan lokal khas Jawa Timur dengan menggelar Festival Ludruk seJawa Timur: Acara yang digagas rutin tiap tahun, dan yang masih hangat pada 16-18 Desember 2010 lalu di alun alun Jombang. Festival yang dimaksud bukan performa ludruk secara utuh, melainkan upaya merekontruksi perampingan pementasan. Dengan harapan seni ludruk mampu menggaet simpati generasi muda. Yakni ludruk yang ditampilkan dengan pemangkasan serentetan pra lakon inti seperti bedayan (pementasan wanita dengan aneka busana kewanitaannya dalam jumlah banyak, berbagai kreasi tari dan lawakan).
Gagasan ini seperti bola salju yang terlanjur bergulir. Entah remuk atau tidak, waktulah yang akan menjawab. Sebab mendramaturgi perihal ludruk, tak cukup hanya dengan kacamata intensitas teks. Misal, ruwatan khusus sebelum nabuh gong, adalah ritual yang dipahami supaya gelombang transfersal nada gaung gong membentuk do’a kesejahteraan bagi yang terlibat, termasuk tuan rumah. Pun juga pasang surut pementasan, tidak bisa didikotomi sebagai tradisi yang mati di kampung sendiri. Sebab dalam masyarakat agraris dikenal istilah’ekonomi lemah teles’, dimana kondisi keuangan mengalir untuk mendanai musim tanam padi dll. Dengan demikian, fluktuasi pementasan ludruk di masyarakat lebih dikarenakan kondisi perputaran ekonomi masyarakat.
Ahir ahir ini ada beberapa analis yang menyimpulkan perihal surutnya kesenian ludruk. Kesenian apa pun di Indonesia goyah diguncang pengaruh media elektronik, . Namun untuk menyimpulkan bahwa peminat ludruk diserap kemasan VCD. Asumsi demikian hanyalah dikemukakan orang yang malas meriset psikologi sosial suatu masyarakat. Kalau pun generasi muda terserap dunia elektonik, larinya justru ke face book / warnet yang memang profokatif terhadap suatu trend. Sedangkan trend itu sendiri tidaklah lebih panjang dibanding dekaden, abad, apalagi sejarah dan peradaban.
Ada banyak alasan mengapa orang mementaskan ludruk dirumahnya. Semisal ujaran, musim panen, musim kemarau, ritual ruwatan, yang tak lepas dari sinergi ekonomi mikro para pedagang. Hal lain yang menunjang ialah harga diri, kehormatan, yang dengan sekali mementaskan ludruk, akan dikenang banyak orang seumur hidup. Maka, waktu pementasan semalam suntuk serta penyediaan konsumsi bagi pemain yang jumlahnya banyak pun tidak dipersoalkan. Sebab bagi tuan rumah, sekecil apapun energi seniman, adalah keindahan yang tak ternilai.
Atas nama alasan proses sejarah hanyalah hal yang nisbi. Sampai kapan pun model pementasan ludruk yang digagas Pemda semacam itu tidak akan laku diapreseasi masyarakat. Kecuali direduksi para seniman modern untuk disuguhkan dalam ruang dan penonton tertentu. Semisal kampus, atau jamuan kedutaan.
Ada angin segar saat Pemda setempat melirik ludruk sebagai ikon kekayaan lokal. Namun di sisi lain membunuh kreativitas kesenian itu sendiri. Setara metafora di atas, melestarikan budaya lokal ibarat berpihak pada sang kiai mumpuni agar meraup untung lebih banyak. Disisi lain, tidak membagikan emas tersebut demi terangkatnya strata kehidupan masyarakat luas.
Folklor, di belantara nusantara merupakan kekayaan lokal yang tak ternilai harganya. Mungkin inilah tafsiran yang tersirat ketika Raden Said pada usia mudanya berjuluk Berandal Lokajaya yang kemudian meningkat menjadi Sunan Kalijaga. Adalah hal yang tidak gampang melampaui transformasi nilai yang tetap abadi hingga sekarang.
Menyaksikan ketimpangan sosial di zamannya, Raden Said mencoba menentang. Ia menjadi kepala berandal yang merampok harta orang kaya untuk dibagikan ke rakyat jelata. Hingga suatu ketika, Raden Said membegal seorang kiai mumpuni, sakti mandraguna yang mampu merubah padatan partikel atom kolang-kaleng menjadi emas. Raden Said terkejut. Sebab hasil jarahannya tak sebanding, tak serumit dengan hanya merubah sesuatu menjadi emas.
Ketika Raden Said disuruh sang kiai mumpuni mengambil sejanjang emas, dengan harapan mencukupi apa yang diinginkan Raden Said, yakni menyejahterakan rakyat, disinalah Raden Said dihadapkan pada pilihan kontemplatif. Ia harus bertempur dengan dirinya: mengekang nafsu, menemukan rumusan, merubah paradigma, menanggalkan eksistensi, bahkan konsekwensi sebagai pimpinan komplotan sekalipun.
Pada posisi sumbu koordinat yang demikian, dibutuhkan keberanian. Yakni berani mengatakan yang ‘Iya’, artinya meninggalkan yang ‘Tidak’atau sebaliknya. Iya dan Tidak adalah pilihan yang menentukan nilai pada tahap berikutnya. Alkisah , Raden Said dengan segala kecerdasannya memilih tidak mengambil emas hasil sabda sang kiai mumpuni. Ia berfikir sederhana. “Kalau aku mengambil sekeranjang emas, aku hanya akan memperoleh sejumlah itu juga. Tetapi kalau aku bisa bersahabat mesra dengan kiai yang bisa merubah apa pun menjadi emas, tentu akan lebih kaya.”
Ringkas kisah di atas, Raden Said lebih memilih berguru pada sang penyabda emas daripada mengambil emas. Disanalah Raden Said menemukan sosok yang bisa menemukan Alloh, Tuhan, yang lebih tak ternilai dibanding kekayaan apa pun.
Dalam negara ‘semifederal’ yang syarat dengan warna warni kebhinekaan seperti Indonesia, nasional justru terbentuk dari kompleksifitas lokal. Jika kemudian dijadikan tolak ukur kekuatan nasianal, maka rumusnya sebarapa kuat kadar nilai lokalnya. Semifederal artinya tidak otonomi mutlak, juga tidak sentralistik baku. Pada posisi yang demikian, pemaknaan arti lokalitas kerap terbias oleh kepentingan hegemoni politik yang berubah ubah. Apalagi di Indonesia, politik yang berkuasa hari ini, berbeda missinya dengan arus politik yang kemarin dan akan datang. Perpolitikan di Indonesia seharusnya menerapkan bahwa alur politik hari ini adalah tangan panjang dari sejarah masa lalu hingga jauh ke zaman Majapahit-pra Majapahit sampai ke generasi seribu tahun mendatang.
Disinilah peran Pemerintah Daerah penting dilibatkan dalam khasanah kekuatan lokal. Maju dan kembangnya tidak telepas dari andil kreativitas dinas atau lembaga terkait di suatu daerah.
Di Jombang misalnya, Disporabudpar merintis program uri-uri kebudayaan lokal khas Jawa Timur dengan menggelar Festival Ludruk seJawa Timur: Acara yang digagas rutin tiap tahun, dan yang masih hangat pada 16-18 Desember 2010 lalu di alun alun Jombang. Festival yang dimaksud bukan performa ludruk secara utuh, melainkan upaya merekontruksi perampingan pementasan. Dengan harapan seni ludruk mampu menggaet simpati generasi muda. Yakni ludruk yang ditampilkan dengan pemangkasan serentetan pra lakon inti seperti bedayan (pementasan wanita dengan aneka busana kewanitaannya dalam jumlah banyak, berbagai kreasi tari dan lawakan).
Gagasan ini seperti bola salju yang terlanjur bergulir. Entah remuk atau tidak, waktulah yang akan menjawab. Sebab mendramaturgi perihal ludruk, tak cukup hanya dengan kacamata intensitas teks. Misal, ruwatan khusus sebelum nabuh gong, adalah ritual yang dipahami supaya gelombang transfersal nada gaung gong membentuk do’a kesejahteraan bagi yang terlibat, termasuk tuan rumah. Pun juga pasang surut pementasan, tidak bisa didikotomi sebagai tradisi yang mati di kampung sendiri. Sebab dalam masyarakat agraris dikenal istilah’ekonomi lemah teles’, dimana kondisi keuangan mengalir untuk mendanai musim tanam padi dll. Dengan demikian, fluktuasi pementasan ludruk di masyarakat lebih dikarenakan kondisi perputaran ekonomi masyarakat.
Ahir ahir ini ada beberapa analis yang menyimpulkan perihal surutnya kesenian ludruk. Kesenian apa pun di Indonesia goyah diguncang pengaruh media elektronik, . Namun untuk menyimpulkan bahwa peminat ludruk diserap kemasan VCD. Asumsi demikian hanyalah dikemukakan orang yang malas meriset psikologi sosial suatu masyarakat. Kalau pun generasi muda terserap dunia elektonik, larinya justru ke face book / warnet yang memang profokatif terhadap suatu trend. Sedangkan trend itu sendiri tidaklah lebih panjang dibanding dekaden, abad, apalagi sejarah dan peradaban.
Ada banyak alasan mengapa orang mementaskan ludruk dirumahnya. Semisal ujaran, musim panen, musim kemarau, ritual ruwatan, yang tak lepas dari sinergi ekonomi mikro para pedagang. Hal lain yang menunjang ialah harga diri, kehormatan, yang dengan sekali mementaskan ludruk, akan dikenang banyak orang seumur hidup. Maka, waktu pementasan semalam suntuk serta penyediaan konsumsi bagi pemain yang jumlahnya banyak pun tidak dipersoalkan. Sebab bagi tuan rumah, sekecil apapun energi seniman, adalah keindahan yang tak ternilai.
Atas nama alasan proses sejarah hanyalah hal yang nisbi. Sampai kapan pun model pementasan ludruk yang digagas Pemda semacam itu tidak akan laku diapreseasi masyarakat. Kecuali direduksi para seniman modern untuk disuguhkan dalam ruang dan penonton tertentu. Semisal kampus, atau jamuan kedutaan.
Ada angin segar saat Pemda setempat melirik ludruk sebagai ikon kekayaan lokal. Namun di sisi lain membunuh kreativitas kesenian itu sendiri. Setara metafora di atas, melestarikan budaya lokal ibarat berpihak pada sang kiai mumpuni agar meraup untung lebih banyak. Disisi lain, tidak membagikan emas tersebut demi terangkatnya strata kehidupan masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar