Sabrank Suparno
“Lain lubuk lain belalang…
……lain pula ikan dan pemancingnya.”
Menapaki awal tahun baru 2011, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang menorehkan catatan tersendiri dalam percaturan perteateran Indonesia. Program pementasan’Elegi Sebuah Negeri’ yang di gebyakkan oleh angkatan 2008 di Aula Depag Jombang selama 3 hari lalu seolah penyambung tongkat estafet adik kelasnya (angkatan 2009) yang menuntaskan pementasan ‘Teatrikalisasi- Puisi pada 6 Januari 2011 di gedung PSBR Jombang.
Elegi Sebuah Negeri ialah serangkaian serial pementasan teater yang terinci sebagai berikut: Tanggal 7 Januari mementaskan ‘Gerr’ karya Putu Wijaya, tanggal 8 Januari melakonkan ‘Opera Primadona’ karya N. Riantiarno, dan terahir tanggal 9 Januari memainkan ‘ Orkes Madun II Atawa Umang Umang.
Pengemasan tiga naskah teater di atas sebagai sarana penggemblengan (bolding) mahasiswa STKIP. Yang mana, untuk menanamkan loyalitas cinta tanah air, tidak harus diekspresikan dengan protes kekerasan. Ada banyak cara. Terutama bagi kaum intelektual muda mendatang, diperlukan pergeseran teori ke arah radikalisme meruang (inheren, terutama krisis diri).
Dengan berteater, kepribadian akan terbentuk secara akselerativ. Dimana pemaknaan hidup disinaui secara ecrytur tubuh, ketatagan dialek, ketepatan fluktuasi intonasi serta eksplorasi segala gerak-posisi. Bahkan ketika meramu selingkup akting saja, tak lepas dari olah rasa (nyetem roso, yoga, mereflexikan vibrasi getaran dalam tubuh dengan yang di luar tubuh). Perpaduan keseluruhan berpentas menjadi pararel jagat panggung yang berpengaruh pada kwalitas kekhusyukan sikap. Pada tataran kekhusyukan inilah jiwa menjelma serupa (basis) tanggung jawab handal. Ya, tanggung jawab yang dahsyat akan mampu bersikap tegas pada diri sendiri sekali pun.
Khatam bagi generasi 2000an untuk mengaji kondisi Sosial-Politik di Indonesia. Marah memerah pun tidak akan digubris, sebab pelaku sejarah yang berlangsung masih dihuni sang tokoh yang budek kesadaran. Tokoh yang dilahirkan pra 65. Pemimpin masa ini lebih merealisasikan kecekaman jiwanya dalam bayang bayang komunis. Yang mosi, was was, iri pada sesama telah terpupuk sejak dalam kandungan.
Pun juga demo atas berbagai keselentangan kebijakan ‘penguasa’di negeri ini. Mogok makan sampai mati pun tidak akan direspon. Sebab pemimpin serta aparat, berkarakter tidak siap didemo. Atau tidak memahami arti demo. Maka, demo dianggap mengganggu keamanan negara yang harus diblackklise. Sungguh! Kebobrokan negara yang sempurna. Yang dianggap mengusik kedudukan penguasa akan segera dicarikan keranjang sampah untuk dibuang. Sementara yang seolah tak bermasalah, sewaktu waktu bisa dicutat jika kemudian berseberangan dengan penguasa.
Pada naskah ‘Gerr’ misalnya, karya Putu Wijaya, seluruh awak teater dari pemain hingga bagian lighting tak hanya obsesi demam panggung, namun secara langsung mereka meniti tiap sesi peralihan adegan yang langsung diflourkan dengan tubuh dan suara. Naskah seperti menggelitik, meresap ke guratan relung-relung jiwa. Bagaimana mereka harus tanggap menerima perubahan hidup yang mendadak dan janggal. Bima sebagai sosok upnormal (melampaui kewajaran alamiah) sebagai sosok orang yang hidup lagi, setelah mati. Betapa tidak. Keluarga Bima sulit menerima kenyataan untuk berdampingan dengan Bima yang sudah pernah mengalami kematian. Sebuah proses (takdir) tersendiri. Substansi lakon naskah Gerr ini berusaha menyelipkan satu kata’kemungkinan’ dalam rencana panjang menejemen hidup. Sisi baliknya, agar manusia tidak terjebak menuhankan diri dengan kekuatan programnya, bahwa tetap ada hal yang tak terduga.
Lain Gerr, lain pula Opera Primadona. Naskah karya N. Riantiarno yang didalangkan sutradara Gunari Anggariono, diadaptasikan dengan teater tradisi Gambus Misri. Yang mana Gambus Misri merupakan salah satu teater tradisi yang pernah berjaya di Jombang sekitar 1957 hingga 1990. Konon, Gambus Misri ini menelorkan aktor Srimulat kawakan di antaranya CakBaseman.
Dari Opera Primadona ini, pemain dipahamkan perihal trik-intrik perhelatan di atas panggung dengan apa yang terjadi dibelakang pentas sekaligus. Diana sebagai primadona dalam aktris Gambus Mawar Bersemi tak rela jika posisinya tergeser oleh akting Susana dengan segala kelebihan auranya. Diana pun melakukan segala cara untuk menyingkirkan Susana. Sebagaimana tradisi masyarakat yang under intelek, tidak memiliki politik jitu, melainkan lebih ke dukun membeli santet. Anding cerita ini mengerucut pada rumus kebenaran dan ketulusan pasti menang dan kekal hingga usia senja. Bahkan sampai berumur nenek peot pun, Susana masih bermegalomania- ekstas dengan kebesarannya zaman muda dulu.
Pementasan tiga lakon teater awal tahun baru 2011 lalu, diharapkan sebagai wahana pemantik kreativitas mahasiswa STKIP lebih lanjut. Satu joule energi saja yang mereka jalin bersama kawan dalam rangka menuntaskan lakon, akan menjadi tungku bara yang menggodok intelektual-moral lebih matang. Dalam skala besar, mereka bersama sedang mengkontruksi sejarah Indonesia mendatang dari keterbengkelaian dekontruksi besar besaran dari para pemimpin sekarang yang dibiarkan pun akan segera mati.
Berteater artinya merumuskan bahwa hal yang tak bisa dikatan harus dijaga dengan diam. Juga menguak adanya obyek yang tampak dalam cermin sesungguhnya lebih dekat. Agar tidak tercipta suatu generasi yang berpijak pada kepingsangan masa lalu yang kemudian berada pada budaya kemarahan dan penyesalan yang membahayakan.*
Pada saatnya kebenara pasti datang. Berteater, seperti menabung gerak tubuh dan suara yang elevasi-voltasenya akan meledak jauh di zaman mendatang. Saat itulah tabungan virtual akan mengambil alih hal yang realita.
* Saduran Galaksi Simulacra: Jean Baudrillard. Terjemahan Galuh E Akoso& Ninik Rochani Sjam. LKiS.
“Lain lubuk lain belalang…
……lain pula ikan dan pemancingnya.”
Menapaki awal tahun baru 2011, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang menorehkan catatan tersendiri dalam percaturan perteateran Indonesia. Program pementasan’Elegi Sebuah Negeri’ yang di gebyakkan oleh angkatan 2008 di Aula Depag Jombang selama 3 hari lalu seolah penyambung tongkat estafet adik kelasnya (angkatan 2009) yang menuntaskan pementasan ‘Teatrikalisasi- Puisi pada 6 Januari 2011 di gedung PSBR Jombang.
Elegi Sebuah Negeri ialah serangkaian serial pementasan teater yang terinci sebagai berikut: Tanggal 7 Januari mementaskan ‘Gerr’ karya Putu Wijaya, tanggal 8 Januari melakonkan ‘Opera Primadona’ karya N. Riantiarno, dan terahir tanggal 9 Januari memainkan ‘ Orkes Madun II Atawa Umang Umang.
Pengemasan tiga naskah teater di atas sebagai sarana penggemblengan (bolding) mahasiswa STKIP. Yang mana, untuk menanamkan loyalitas cinta tanah air, tidak harus diekspresikan dengan protes kekerasan. Ada banyak cara. Terutama bagi kaum intelektual muda mendatang, diperlukan pergeseran teori ke arah radikalisme meruang (inheren, terutama krisis diri).
Dengan berteater, kepribadian akan terbentuk secara akselerativ. Dimana pemaknaan hidup disinaui secara ecrytur tubuh, ketatagan dialek, ketepatan fluktuasi intonasi serta eksplorasi segala gerak-posisi. Bahkan ketika meramu selingkup akting saja, tak lepas dari olah rasa (nyetem roso, yoga, mereflexikan vibrasi getaran dalam tubuh dengan yang di luar tubuh). Perpaduan keseluruhan berpentas menjadi pararel jagat panggung yang berpengaruh pada kwalitas kekhusyukan sikap. Pada tataran kekhusyukan inilah jiwa menjelma serupa (basis) tanggung jawab handal. Ya, tanggung jawab yang dahsyat akan mampu bersikap tegas pada diri sendiri sekali pun.
Khatam bagi generasi 2000an untuk mengaji kondisi Sosial-Politik di Indonesia. Marah memerah pun tidak akan digubris, sebab pelaku sejarah yang berlangsung masih dihuni sang tokoh yang budek kesadaran. Tokoh yang dilahirkan pra 65. Pemimpin masa ini lebih merealisasikan kecekaman jiwanya dalam bayang bayang komunis. Yang mosi, was was, iri pada sesama telah terpupuk sejak dalam kandungan.
Pun juga demo atas berbagai keselentangan kebijakan ‘penguasa’di negeri ini. Mogok makan sampai mati pun tidak akan direspon. Sebab pemimpin serta aparat, berkarakter tidak siap didemo. Atau tidak memahami arti demo. Maka, demo dianggap mengganggu keamanan negara yang harus diblackklise. Sungguh! Kebobrokan negara yang sempurna. Yang dianggap mengusik kedudukan penguasa akan segera dicarikan keranjang sampah untuk dibuang. Sementara yang seolah tak bermasalah, sewaktu waktu bisa dicutat jika kemudian berseberangan dengan penguasa.
Pada naskah ‘Gerr’ misalnya, karya Putu Wijaya, seluruh awak teater dari pemain hingga bagian lighting tak hanya obsesi demam panggung, namun secara langsung mereka meniti tiap sesi peralihan adegan yang langsung diflourkan dengan tubuh dan suara. Naskah seperti menggelitik, meresap ke guratan relung-relung jiwa. Bagaimana mereka harus tanggap menerima perubahan hidup yang mendadak dan janggal. Bima sebagai sosok upnormal (melampaui kewajaran alamiah) sebagai sosok orang yang hidup lagi, setelah mati. Betapa tidak. Keluarga Bima sulit menerima kenyataan untuk berdampingan dengan Bima yang sudah pernah mengalami kematian. Sebuah proses (takdir) tersendiri. Substansi lakon naskah Gerr ini berusaha menyelipkan satu kata’kemungkinan’ dalam rencana panjang menejemen hidup. Sisi baliknya, agar manusia tidak terjebak menuhankan diri dengan kekuatan programnya, bahwa tetap ada hal yang tak terduga.
Lain Gerr, lain pula Opera Primadona. Naskah karya N. Riantiarno yang didalangkan sutradara Gunari Anggariono, diadaptasikan dengan teater tradisi Gambus Misri. Yang mana Gambus Misri merupakan salah satu teater tradisi yang pernah berjaya di Jombang sekitar 1957 hingga 1990. Konon, Gambus Misri ini menelorkan aktor Srimulat kawakan di antaranya CakBaseman.
Dari Opera Primadona ini, pemain dipahamkan perihal trik-intrik perhelatan di atas panggung dengan apa yang terjadi dibelakang pentas sekaligus. Diana sebagai primadona dalam aktris Gambus Mawar Bersemi tak rela jika posisinya tergeser oleh akting Susana dengan segala kelebihan auranya. Diana pun melakukan segala cara untuk menyingkirkan Susana. Sebagaimana tradisi masyarakat yang under intelek, tidak memiliki politik jitu, melainkan lebih ke dukun membeli santet. Anding cerita ini mengerucut pada rumus kebenaran dan ketulusan pasti menang dan kekal hingga usia senja. Bahkan sampai berumur nenek peot pun, Susana masih bermegalomania- ekstas dengan kebesarannya zaman muda dulu.
Pementasan tiga lakon teater awal tahun baru 2011 lalu, diharapkan sebagai wahana pemantik kreativitas mahasiswa STKIP lebih lanjut. Satu joule energi saja yang mereka jalin bersama kawan dalam rangka menuntaskan lakon, akan menjadi tungku bara yang menggodok intelektual-moral lebih matang. Dalam skala besar, mereka bersama sedang mengkontruksi sejarah Indonesia mendatang dari keterbengkelaian dekontruksi besar besaran dari para pemimpin sekarang yang dibiarkan pun akan segera mati.
Berteater artinya merumuskan bahwa hal yang tak bisa dikatan harus dijaga dengan diam. Juga menguak adanya obyek yang tampak dalam cermin sesungguhnya lebih dekat. Agar tidak tercipta suatu generasi yang berpijak pada kepingsangan masa lalu yang kemudian berada pada budaya kemarahan dan penyesalan yang membahayakan.*
Pada saatnya kebenara pasti datang. Berteater, seperti menabung gerak tubuh dan suara yang elevasi-voltasenya akan meledak jauh di zaman mendatang. Saat itulah tabungan virtual akan mengambil alih hal yang realita.
* Saduran Galaksi Simulacra: Jean Baudrillard. Terjemahan Galuh E Akoso& Ninik Rochani Sjam. LKiS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar