(Catatan Reportase bedah Kumpulan Puisi ‘Salam Mempelai’ karya Tengsoe Tjahjono)
Sabrank Suparno
Ada beberapa analis yang tak usah disebut namanya, pernah mengatakan perihal seluk beluk kesusastraan (lokalitas) Malang. Termasuk asumsi yang dikemukakan adalah bahwa sastrawan Malang cenderung inklusif, pasif, baku, tipikal, kaku dll. Asumtor itu menunjuk satu indikator yang menurut pengamatan mereka bahwa sikap sastrawan Malang salama ini menutup diri dengan jaringan komunitas lain, angkuh, egois, sok bermegalomania atas kebesaran masa lalunya. Pendeknya, mereka berputar membangun dirinya, pandangan mengenai dirinya, di hadapan dirinya sendiri.
Mungkin demikian kenyataannya. Sambatan serupa juga kita temukan di wilayah mana pun ketika aktivitas kesusastraan mengalami stagnan. Akan tetapi terlalu kerdil jika sumbatan yang pada ahirnya berakibat kemampatan kesusastraan tersebut dipahami sebagai satu-satunya dikhotomi baku. Sedangkan situasi yang sebenarnya hanyalah kondisional, yang untuk merubah lebih sumringah, bukan karena pelakunya tidak mampu, melainkan tidak mau.
Menilik lebih jeli perihal geliat sastra yang ada di Malang sekarang, tidaklah separah yang dikatakan analisator. Komunitas Pelangi Sastra Malang yang dipandegani rekan Denny Mizhar, terbukti mampu meng-agen-da-kan kecipak kesusastraan yang rutin tiap bulan. Itu terhitung satu komunitas. Sedang dalam lingkup wilayah Malang, ada puluhan bahkan ratusan pegiat sastra dari berbagai jebolan kampus, baik yang bergerak secara komunitas atau pun independent.
Bukti adanya geliat sastra di kota pendidikan ini terlihat pada tanggal 23 Januari 2011 pukul 9;00 pagi. Dimana Komunitas Pelangi Sastra mengadakan bedah kumpulan puisi ‘Salam Mempelai’ karya Tengsoe Tjahjono. Acara yang diadakan di Aula Perpustakaan pusat Kota Malang JL. Raya Ijen 30A itu mampu menarik perhatian pengunjung perpustakaan yang tiap hari berjubel. Maklum bertepatan dengan hari Minggu yang disekitar kawasan perpustakaan itu digelar pasar dadakan, yakni pasar Minggu pagi.
Sepanjang tergelarnya acara tampak lebih rampak dengan iringan alunan Swara Akustik garapan dua musisi sepuh yang masih bersemangat mBah Antok dan Pak Abi. Denting dawai kedua musisi inilah yang menghantarkan Grace Forevah (salah satu cewek anggota Pelangi Sastra) membacakan larik-larik puisi guratan Tengsoe Tjahjono. Sastra seperti menyatu dalam jiwa Grace. Power suaranya yang menunjang, membuat Grace mampu membacakan puisi lebih hidup daripada penulisnya sendiri.
Yang tak kalah mengesankankan adalah gadis sepantaran Grace, yaitu Maria Dini anak perempuan Tengsoe. Meski tak sepiawai Grace, pengunjung seperti merasakan jalinan kemesaraan bersastra antara bapak dengan anaknya. Tampak mata Tengsoe berkerling kaca ketika anaknya membacakan puisi karyanya.
Setelah diulas lebih komprehensif oleh sastrawan muda Yusri Fajar yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dan kini mengajar di FIB Univ Brawijaya, buku Salam Mempelai berubah menjadi secawan anggur. Tak heran jika banyak pengunjung segera meneguk sejudul puisi untuk dibaca sebagai sela acara berlangsung. Sebut saja Nanang dkk teman dari Komunitas Rebo Sore Surabaya yang sengaja nimbrung pagi itu. Pun juga Ibu Faradina. Selaku pecinta sastra yang berdomosili di Malang ini, Faradina turut kesemsem untuk membacakan secara spontan dengan lihainya. Sedang Bonari Nabonenar juga sempat menjenguk acara yang digagas kaum muda tersebut. Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan) membaca puisi yang berjudul Pengantin Pagi dan Dennny Mizhar berhasil menuntaskan pembacaan puisi terpanjang dalam buku itu dengan judul Lia dan Rambutnya.
Menurut Yusri Fajar, penyair seusia Tengsoe Tjahjono masih terkesan optimis membangun reruntuhan sejarah Indonesia. Terbukti dari beberapa puisinya dipenuhi nuansa akulirik-romantis yang dituangkan secara hati hati sebagai bentuk rekaman perjalanan merantaui berbagai wilayah nusantara. Padahal setiap penyair selalu dihadapkan pada tiga permasalahan mendasar selama hidupnya yaitu politik, eksistensi dan metafisik. Sedang keprihatinan Tengsoe terhadap ketimpangan sosial, digambarkan dalam puisi Rembang Dolly yang digurat secara stereotype yang dinilai berhasil tidak membuat PSK tersinggung.
Selain Denny Mizhar, geliat sastra di Malang juga bisa kita jumpai kegetolan mBak Ratna (Cerpenis kawakan) yang hingga kini rutin menumbuhkembangkan potensi berkesenian kawula muda. Sebagai konsekwensi seniman, yang meski pun tidak wajib hukumnya, mBak Ratna pada tanggal 23 Januari jam 7 malam sibuk melangsungkan acara rutinan yang dikenal ‘Musik Arbanat’, yakni ramuan aransemen dari beberapa biolis muda.
Predikat Malang sebagai kota pendidikan, otomatis disertai pembludakan berbagai jenis kampus, fakultas dengan segala macam perkuliahannya yang diamberi pembelajar jagat berduyun duyun dari seantero wilayah nusantara. Meski masyarakat Malang bercorak urbanisme, adalah wilayah yang potensial untuk membangun imperium kesusastraan setara kota megapolitan lain di Indonesia.
Malang, dengan psikologi kota yang dihuni penduduk rata-rata berintelektualitas tinggi, keberadaan sastra cukuplah berarti. Walau sastra hanya setara garam. Sastra yang dipandang remeh temeh dengan disiplin ilmu hidup lainnya, ternyata menjadi bumbu penyedap kebuntuan, kegersangan, kepenatan jiwa seluruh kaum profesional ketika mentok pada titik kejenuhan. Seringkali sms atau facebook dari para dosen, guru besar, mahasiswa non sastra, ”Cak! Ajari aku bersastra. Ampang rasanya keilmuanku tanpa disertai sastra.” Menggauli sastra berarti membiasakan diri untuk berperilaku lembut, menjaga kearifan bersikap sosial, mengasah ketajaman intuisi, merangsang kepekaan perasaan, menyelami kedalaman jiwa, mengembangkan wawasan luas, bahkan menuju spiritualitas.
Keberadaan Pelangi Sastra Malang hanyalah Gogor mungil yang pada saatnya tumbuh besar sebagai Singa nan lantang berkoar. Kapan? Tak butuh waktu lama. Asal para pecintanya segera merapat rukun dan guyup. Awali dengan kebersediaan para singa sastra untuk bertengger di pelataran kampus. Kemudian berlompatan antar ubung ubung kampus lainnya. Barulah segera ancang raungan ke delapan penjuru mata angin.
Sabrank Suparno
Ada beberapa analis yang tak usah disebut namanya, pernah mengatakan perihal seluk beluk kesusastraan (lokalitas) Malang. Termasuk asumsi yang dikemukakan adalah bahwa sastrawan Malang cenderung inklusif, pasif, baku, tipikal, kaku dll. Asumtor itu menunjuk satu indikator yang menurut pengamatan mereka bahwa sikap sastrawan Malang salama ini menutup diri dengan jaringan komunitas lain, angkuh, egois, sok bermegalomania atas kebesaran masa lalunya. Pendeknya, mereka berputar membangun dirinya, pandangan mengenai dirinya, di hadapan dirinya sendiri.
Mungkin demikian kenyataannya. Sambatan serupa juga kita temukan di wilayah mana pun ketika aktivitas kesusastraan mengalami stagnan. Akan tetapi terlalu kerdil jika sumbatan yang pada ahirnya berakibat kemampatan kesusastraan tersebut dipahami sebagai satu-satunya dikhotomi baku. Sedangkan situasi yang sebenarnya hanyalah kondisional, yang untuk merubah lebih sumringah, bukan karena pelakunya tidak mampu, melainkan tidak mau.
Menilik lebih jeli perihal geliat sastra yang ada di Malang sekarang, tidaklah separah yang dikatakan analisator. Komunitas Pelangi Sastra Malang yang dipandegani rekan Denny Mizhar, terbukti mampu meng-agen-da-kan kecipak kesusastraan yang rutin tiap bulan. Itu terhitung satu komunitas. Sedang dalam lingkup wilayah Malang, ada puluhan bahkan ratusan pegiat sastra dari berbagai jebolan kampus, baik yang bergerak secara komunitas atau pun independent.
Bukti adanya geliat sastra di kota pendidikan ini terlihat pada tanggal 23 Januari 2011 pukul 9;00 pagi. Dimana Komunitas Pelangi Sastra mengadakan bedah kumpulan puisi ‘Salam Mempelai’ karya Tengsoe Tjahjono. Acara yang diadakan di Aula Perpustakaan pusat Kota Malang JL. Raya Ijen 30A itu mampu menarik perhatian pengunjung perpustakaan yang tiap hari berjubel. Maklum bertepatan dengan hari Minggu yang disekitar kawasan perpustakaan itu digelar pasar dadakan, yakni pasar Minggu pagi.
Sepanjang tergelarnya acara tampak lebih rampak dengan iringan alunan Swara Akustik garapan dua musisi sepuh yang masih bersemangat mBah Antok dan Pak Abi. Denting dawai kedua musisi inilah yang menghantarkan Grace Forevah (salah satu cewek anggota Pelangi Sastra) membacakan larik-larik puisi guratan Tengsoe Tjahjono. Sastra seperti menyatu dalam jiwa Grace. Power suaranya yang menunjang, membuat Grace mampu membacakan puisi lebih hidup daripada penulisnya sendiri.
Yang tak kalah mengesankankan adalah gadis sepantaran Grace, yaitu Maria Dini anak perempuan Tengsoe. Meski tak sepiawai Grace, pengunjung seperti merasakan jalinan kemesaraan bersastra antara bapak dengan anaknya. Tampak mata Tengsoe berkerling kaca ketika anaknya membacakan puisi karyanya.
Setelah diulas lebih komprehensif oleh sastrawan muda Yusri Fajar yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dan kini mengajar di FIB Univ Brawijaya, buku Salam Mempelai berubah menjadi secawan anggur. Tak heran jika banyak pengunjung segera meneguk sejudul puisi untuk dibaca sebagai sela acara berlangsung. Sebut saja Nanang dkk teman dari Komunitas Rebo Sore Surabaya yang sengaja nimbrung pagi itu. Pun juga Ibu Faradina. Selaku pecinta sastra yang berdomosili di Malang ini, Faradina turut kesemsem untuk membacakan secara spontan dengan lihainya. Sedang Bonari Nabonenar juga sempat menjenguk acara yang digagas kaum muda tersebut. Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan) membaca puisi yang berjudul Pengantin Pagi dan Dennny Mizhar berhasil menuntaskan pembacaan puisi terpanjang dalam buku itu dengan judul Lia dan Rambutnya.
Menurut Yusri Fajar, penyair seusia Tengsoe Tjahjono masih terkesan optimis membangun reruntuhan sejarah Indonesia. Terbukti dari beberapa puisinya dipenuhi nuansa akulirik-romantis yang dituangkan secara hati hati sebagai bentuk rekaman perjalanan merantaui berbagai wilayah nusantara. Padahal setiap penyair selalu dihadapkan pada tiga permasalahan mendasar selama hidupnya yaitu politik, eksistensi dan metafisik. Sedang keprihatinan Tengsoe terhadap ketimpangan sosial, digambarkan dalam puisi Rembang Dolly yang digurat secara stereotype yang dinilai berhasil tidak membuat PSK tersinggung.
Selain Denny Mizhar, geliat sastra di Malang juga bisa kita jumpai kegetolan mBak Ratna (Cerpenis kawakan) yang hingga kini rutin menumbuhkembangkan potensi berkesenian kawula muda. Sebagai konsekwensi seniman, yang meski pun tidak wajib hukumnya, mBak Ratna pada tanggal 23 Januari jam 7 malam sibuk melangsungkan acara rutinan yang dikenal ‘Musik Arbanat’, yakni ramuan aransemen dari beberapa biolis muda.
Predikat Malang sebagai kota pendidikan, otomatis disertai pembludakan berbagai jenis kampus, fakultas dengan segala macam perkuliahannya yang diamberi pembelajar jagat berduyun duyun dari seantero wilayah nusantara. Meski masyarakat Malang bercorak urbanisme, adalah wilayah yang potensial untuk membangun imperium kesusastraan setara kota megapolitan lain di Indonesia.
Malang, dengan psikologi kota yang dihuni penduduk rata-rata berintelektualitas tinggi, keberadaan sastra cukuplah berarti. Walau sastra hanya setara garam. Sastra yang dipandang remeh temeh dengan disiplin ilmu hidup lainnya, ternyata menjadi bumbu penyedap kebuntuan, kegersangan, kepenatan jiwa seluruh kaum profesional ketika mentok pada titik kejenuhan. Seringkali sms atau facebook dari para dosen, guru besar, mahasiswa non sastra, ”Cak! Ajari aku bersastra. Ampang rasanya keilmuanku tanpa disertai sastra.” Menggauli sastra berarti membiasakan diri untuk berperilaku lembut, menjaga kearifan bersikap sosial, mengasah ketajaman intuisi, merangsang kepekaan perasaan, menyelami kedalaman jiwa, mengembangkan wawasan luas, bahkan menuju spiritualitas.
Keberadaan Pelangi Sastra Malang hanyalah Gogor mungil yang pada saatnya tumbuh besar sebagai Singa nan lantang berkoar. Kapan? Tak butuh waktu lama. Asal para pecintanya segera merapat rukun dan guyup. Awali dengan kebersediaan para singa sastra untuk bertengger di pelataran kampus. Kemudian berlompatan antar ubung ubung kampus lainnya. Barulah segera ancang raungan ke delapan penjuru mata angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar