Selasa, 08 Februari 2011

Sabda Thok Thok Ugel: Wacana Bencana Nasional

Sabrank Suparno

Apa yang membuat Gunawan Maryanto (Penulis dari teater Garasi Yogyakarta) dan Henri Nurcahyo (Esais Surabaya) kesemsem dengan penampilan Teater Tirto Agung? Selama terselenggaranya Dana Hiba Teater Kompetitif 2-6 Januari 2011 di gedung PSBR yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jombang, dua pegiat seni di atas didapuk menjadi juri. Tentu minim untuk disangkal soal keakuratannya dalam menilai sebuah akting pementasan. Saya yakin. Gunawan Maryanto dan Henri Nurcahyo adalah orang yang tengik di bidang perteateran. Tentu sudah mendaur matang dari berbagai cara pandang sebelum memutuskan siapa yang menang dalam kempetisi awal tahun 2011 lalu.

Pada kategori mahasiswa dan umum, yang ditentukan dalam satu paket kemenangan, dewan juri menetapkan teater yang berjuluk Padepokan Tirto Agung sebagai juara satu. Berbeda dengan peteater lain dalam kompetisi lalu, Padepokan Tirto Agung (PTA) yang dipimpin Eko Kriwil, menyuguhkan konsep akulturasi antara teater modern dengan teater tradisi (dalam hal ini ludruk). Sepintas, seolah menonton ludruk. Husiknya pun berbada.Menurut Heru, pengendali musik dalam PTA, sengaja mengaransemen musik yang berbeda dengan musik melo sinetron.

PTA didirikan pada 7 Juni 2007 oleh tiga aktor beken Eko, Haris dan Rudi. Kegigihan mereka telah membuahkan hasil dengan memboyong 2 kali berturut turut festival teater se-kecamatan Mojoagung sebagai juara I. Selain itu, untuk mematangkan komunitasnya, Eko Kriwil mencari terobosan dengan bergabung Lawak Srimulat dan sering tayang di JTV Surabaya.

Dalam usia tiga tahun lebih, komunitas ini sudah menunjukkan ketangguhannya. Mereka tidak pesimis. Termasuk yang mendukung kekuatan PTA sebagai bayi sesar yang lahir dari ketidakbersenyawaan dengan konsep perteateran yang digabungi sebelumnya adalah menejemen program komuntasnya kedepan. PTA ini membagi rutinitas kegiatannya menjadi 4 devisi, yakni musik, tari, teater dan kepenulisan. Mereka berprinsip bahwa hal kecil yang termenejemen, akan mengalahkan hal besar yang tanpa dimenejemen.

PTA yang terjadwal pentas tanggal 5 Januari jam 15:30, mengangkat lakon’ Sabdo Dadi’. Sutradara Haris Sutikno sengaja menghadirkan nuansa tradisi. Sehingga selama pementasan yang berdurasi 96 menit itu, full dengan bahasa nJombangan.

Panggung mulai jadi sorotan mata pengunjung setelah rekanita Yuni Anitasari menghentakkan kakinya sembari menyabetkan liak liuk selendang merah, dengan dandanan ala lelaki ksatria, sedang memainkan tari remo. Berikutnya penonton dibuat garr.. gerr.. oleh dagelan Cak Eko dan Cak Ganda.

Adalah adegan yang tak bisa dipisah dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur. Yakni menjalani hidup dengan diselingi lelucon. Asumsinya agar tidak terlalu sepaneng, tegang dan stress dalam mengatasi peroblematika hidup yang teramat gigantik ini. Tradisi lelucon di Jawa Timur sudah berkembang sejak tahun 760 M. Dimana raja Gajayana Kanyuruhan (Malang) adalah seorang seniman yang meninggalkan teori lelucon dengan membangun candi Badhut (S. Wojowasito 1984). Tradisi guyonan / ludrukan itu langgeng terus dan sempat terekam dalam penelitiannya Saripan Hadi Hutomo yang menemukan rumus kata ‘Javananch Nederduiticch Woordenboek’karya Genke dan T. Roorda (1847), ludrukan atau guyonan artinya Grappermaker. Begitu juga WJS. Poerwadarminta dalam bukunya BPE Sastra (1930).

Lakon Sabdo Dadi yang ditulis Tulus Asmoro mengisahkan hukum keseimbangan metablisme alam. Dimana perbuatan baik dan buruk pasti ditagih akibatnya (becik ketitik, olo ketoro, Gusti Alloh gak turu).

Berawal dari kisah asmara bersyarat antara tokoh yang bernama Thok Thok Ugel yang dicintai Dewi anak seorang Adipati yang sekaligus juragan Ugel. Selama menjadi porang (pekerja tetap untuk menangani sawah) Adipati, ketulusan Ugel membuat Dewi kesemsem. Mungkin juga karena sering bertemu maka tumbuhlah benih benih cinta (tresno jalaran soko gelibet). Akhirnya sang Adipati tidak menyetujui cinta mereka berdua berlanjut ke pelaminan. Adipati pun memainkan politiknya untuk menyingkirkan Ugel. Adipati bersedia merestui dengan syarat, Ugel membawa intan sebesar telur buaya.

Menyaksikan ibunya dimarai, diejek, diludahi Adipati, Ugel merasa terpanggil untuk menunjukkan bagwa ada kekuatan besar dari segala kekuatan, yakni kekuatan Tuhan. Sedangkan orang yang diutus Tuhan untuk melahirkan, merawat, serta melangsungkan kehidupan seseorang adalah sang ibu, yang dijuluki pangeran katon (Tuhan yang tampak). Ugel pun meminta ibunya merestui dirinya. Supaya, hajat Ugel yang berat terkabulkan. Betapa terhenyak Henri Nurcahyo dan Gunawan Maryanto, apalagi para penonton, begitu menyaksikan seorang aktris yang didapuk sebagai ibunya Ugel, melakukan ritual dahsyat yang zaman sekarang tak mungkin dijumpai lagi, yakni melangkahi (nyawani) Ugel hingga tiga kali. “ Tak sembadani urepmu nak, sak tibo tibomu jek blahi selamet. Asale teko gua garbanku, balek nang sua garbanku.” Seketika itu tubuh Ugel menjadi berkapasitas kuantum. Denyut jantungnya beradhesi dengan gelombang energi alam semesta. Karena manusia yang menjadi makri kosmos, maka tunduklah rotasi seluruh planet kepada Ugel.

Ugel lalu pergi ke pantai mencari intan yang diinginkan Adipati. Setelah keteguhannya memuncak di tepi pantai, Ugel pun menyabda lautan agar mengering. Seketika lautan pun mengering. Namun yang menjadi permasalahan baru ialah bagaimana kelangsungan habitat laut. Demi menyelamatkan semuanya, ahirnya Danyang (hantu) laut menuruti apa yang diinginkan Ugel, yakni lautan memberikan intannya kepada Ugel.

Sesungguhnya tidak ada kesaktian atau kekuatan apa pun bagi Ugel. Hanya sepeleh. Pada posisi kuantum (nol), berbarengan dengan energi yang memusat, saat itulah Alloh memperkenankan do’a Ugel. Cerita Ugel ini persis yang dialami Nabi Musa. Ketika dalam posisi terjepit, seketika idzrib bi ashokal bahr (pukulkan tongkatmu ke lautan), saat itulah momentum perkenan Alloh terjadi. Dan hal itu tidak akan bisa diulang pada sedetik berikutnya. Hanya moment itu.

Setelah memperoleh intan, Ugel pun mengajak ibunya melamar Dewi. Namun kenyataan kadang tak sejalan dengan apa yang diharapkan. Sesudah intan ditangan Adipat yang waktu itu diperankan Aris, na’as bagi Ugel dan ibunya. Ia malah dituding mencuri intan sang Adipati. Ugel dan ibunya diusir secara hina. Saat itulah Ugel merasa kesabaran ada batasnya. Cacing saja diinjak berkeliat kok! Apalagi manusia yang setiap hemoglobin aliran darahnya diurus serius oleh tuhan dalam tata kosmos keseimbanganNya.

Ugel kembali ke pantai. Namun tidak meminta lautan memberi intan lagi. Tetapi meminta laut memberinya gelombang tsunami yang menenggelamkan keluarga Adipati. Yang dalam pementasan sore itu, digambarkan dengan piastik selebar panggung yang digulung seperti gelombang.

Membaca tulisn rekan Hadi Sutarno yang dimuat Radar Mojokerto 16 Januari 2011, kurator seni dari teater Mentari Undar ini lebih menyerahkan nasib Ugel dan Dewi kepada penonton. Namun lebih jauh, naskah ini merupakan sarkastik terhadap bencana nasional yang tak kunjung redah. Adipati adalah simbol penguasa yang menjelang pemilu meminta rakyat membawa suara untuknya, namun setelah menjadi penguasa, hak rakyat diambil alih. Yakni hak untuk menjadi juragan yang diwakili suaranya. Sedang penguasa adalah buruhnya rakyat, jongosnya rakyat yang telah mewakilkan suaranya kepada penguasa.

Menyaksikan PTA dengan lakon Sabdo Dadi, penonton seperti dibawa kebelantara nusantara. Dimana potret kehidupan beserta pernik pernik angkaramurkanya adalah gambaran sebuah negeri yang indah dan kaya termasuk beragam juga jenis jenis kedzolimannya.

Prahara yang mendera nasional bukanlah gejala spontanitas. Melainkan jauh sebelum penguasa, pemilik modal dan jabatan berserakah, alam sudah mempersiapkan lempengan bumi yang sewaktu waktu bisa bergerak.bersama do’a rakyat yang teraniaya. Dalam lakon sebuah pertunjukan, kisah gampang diahiri oleh sutradaranya. Tetapi dalam lakon keindonesiaan, siapa yang akan menghentikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar