Sabrank Suparno
Apa yang membuat Gunawan Maryanto (Penulis dari teater Garasi Yogyakarta) dan Henri Nurcahyo (Esais Surabaya) kesemsem dengan penampilan Teater Tirto Agung? Selama terselenggaranya Dana Hiba Teater Kompetitif 2-6 Januari 2011 di gedung PSBR yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jombang, dua pegiat seni di atas didapuk menjadi juri. Tentu minim untuk disangkal soal keakuratannya dalam menilai sebuah akting pementasan. Saya yakin. Gunawan Maryanto dan Henri Nurcahyo adalah orang yang tengik di bidang perteateran. Tentu sudah mendaur matang dari berbagai cara pandang sebelum memutuskan siapa yang menang dalam kempetisi awal tahun 2011 lalu.
Pada kategori mahasiswa dan umum, yang ditentukan dalam satu paket kemenangan, dewan juri menetapkan teater yang berjuluk Padepokan Tirto Agung sebagai juara satu. Berbeda dengan peteater lain dalam kompetisi lalu, Padepokan Tirto Agung (PTA) yang dipimpin Eko Kriwil, menyuguhkan konsep akulturasi antara teater modern dengan teater tradisi (dalam hal ini ludruk). Sepintas, seolah menonton ludruk. Husiknya pun berbada.Menurut Heru, pengendali musik dalam PTA, sengaja mengaransemen musik yang berbeda dengan musik melo sinetron.
PTA didirikan pada 7 Juni 2007 oleh tiga aktor beken Eko, Haris dan Rudi. Kegigihan mereka telah membuahkan hasil dengan memboyong 2 kali berturut turut festival teater se-kecamatan Mojoagung sebagai juara I. Selain itu, untuk mematangkan komunitasnya, Eko Kriwil mencari terobosan dengan bergabung Lawak Srimulat dan sering tayang di JTV Surabaya.
Dalam usia tiga tahun lebih, komunitas ini sudah menunjukkan ketangguhannya. Mereka tidak pesimis. Termasuk yang mendukung kekuatan PTA sebagai bayi sesar yang lahir dari ketidakbersenyawaan dengan konsep perteateran yang digabungi sebelumnya adalah menejemen program komuntasnya kedepan. PTA ini membagi rutinitas kegiatannya menjadi 4 devisi, yakni musik, tari, teater dan kepenulisan. Mereka berprinsip bahwa hal kecil yang termenejemen, akan mengalahkan hal besar yang tanpa dimenejemen.
PTA yang terjadwal pentas tanggal 5 Januari jam 15:30, mengangkat lakon’ Sabdo Dadi’. Sutradara Haris Sutikno sengaja menghadirkan nuansa tradisi. Sehingga selama pementasan yang berdurasi 96 menit itu, full dengan bahasa nJombangan.
Panggung mulai jadi sorotan mata pengunjung setelah rekanita Yuni Anitasari menghentakkan kakinya sembari menyabetkan liak liuk selendang merah, dengan dandanan ala lelaki ksatria, sedang memainkan tari remo. Berikutnya penonton dibuat garr.. gerr.. oleh dagelan Cak Eko dan Cak Ganda.
Adalah adegan yang tak bisa dipisah dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur. Yakni menjalani hidup dengan diselingi lelucon. Asumsinya agar tidak terlalu sepaneng, tegang dan stress dalam mengatasi peroblematika hidup yang teramat gigantik ini. Tradisi lelucon di Jawa Timur sudah berkembang sejak tahun 760 M. Dimana raja Gajayana Kanyuruhan (Malang) adalah seorang seniman yang meninggalkan teori lelucon dengan membangun candi Badhut (S. Wojowasito 1984). Tradisi guyonan / ludrukan itu langgeng terus dan sempat terekam dalam penelitiannya Saripan Hadi Hutomo yang menemukan rumus kata ‘Javananch Nederduiticch Woordenboek’karya Genke dan T. Roorda (1847), ludrukan atau guyonan artinya Grappermaker. Begitu juga WJS. Poerwadarminta dalam bukunya BPE Sastra (1930).
Lakon Sabdo Dadi yang ditulis Tulus Asmoro mengisahkan hukum keseimbangan metablisme alam. Dimana perbuatan baik dan buruk pasti ditagih akibatnya (becik ketitik, olo ketoro, Gusti Alloh gak turu).
Berawal dari kisah asmara bersyarat antara tokoh yang bernama Thok Thok Ugel yang dicintai Dewi anak seorang Adipati yang sekaligus juragan Ugel. Selama menjadi porang (pekerja tetap untuk menangani sawah) Adipati, ketulusan Ugel membuat Dewi kesemsem. Mungkin juga karena sering bertemu maka tumbuhlah benih benih cinta (tresno jalaran soko gelibet). Akhirnya sang Adipati tidak menyetujui cinta mereka berdua berlanjut ke pelaminan. Adipati pun memainkan politiknya untuk menyingkirkan Ugel. Adipati bersedia merestui dengan syarat, Ugel membawa intan sebesar telur buaya.
Menyaksikan ibunya dimarai, diejek, diludahi Adipati, Ugel merasa terpanggil untuk menunjukkan bagwa ada kekuatan besar dari segala kekuatan, yakni kekuatan Tuhan. Sedangkan orang yang diutus Tuhan untuk melahirkan, merawat, serta melangsungkan kehidupan seseorang adalah sang ibu, yang dijuluki pangeran katon (Tuhan yang tampak). Ugel pun meminta ibunya merestui dirinya. Supaya, hajat Ugel yang berat terkabulkan. Betapa terhenyak Henri Nurcahyo dan Gunawan Maryanto, apalagi para penonton, begitu menyaksikan seorang aktris yang didapuk sebagai ibunya Ugel, melakukan ritual dahsyat yang zaman sekarang tak mungkin dijumpai lagi, yakni melangkahi (nyawani) Ugel hingga tiga kali. “ Tak sembadani urepmu nak, sak tibo tibomu jek blahi selamet. Asale teko gua garbanku, balek nang sua garbanku.” Seketika itu tubuh Ugel menjadi berkapasitas kuantum. Denyut jantungnya beradhesi dengan gelombang energi alam semesta. Karena manusia yang menjadi makri kosmos, maka tunduklah rotasi seluruh planet kepada Ugel.
Ugel lalu pergi ke pantai mencari intan yang diinginkan Adipati. Setelah keteguhannya memuncak di tepi pantai, Ugel pun menyabda lautan agar mengering. Seketika lautan pun mengering. Namun yang menjadi permasalahan baru ialah bagaimana kelangsungan habitat laut. Demi menyelamatkan semuanya, ahirnya Danyang (hantu) laut menuruti apa yang diinginkan Ugel, yakni lautan memberikan intannya kepada Ugel.
Sesungguhnya tidak ada kesaktian atau kekuatan apa pun bagi Ugel. Hanya sepeleh. Pada posisi kuantum (nol), berbarengan dengan energi yang memusat, saat itulah Alloh memperkenankan do’a Ugel. Cerita Ugel ini persis yang dialami Nabi Musa. Ketika dalam posisi terjepit, seketika idzrib bi ashokal bahr (pukulkan tongkatmu ke lautan), saat itulah momentum perkenan Alloh terjadi. Dan hal itu tidak akan bisa diulang pada sedetik berikutnya. Hanya moment itu.
Setelah memperoleh intan, Ugel pun mengajak ibunya melamar Dewi. Namun kenyataan kadang tak sejalan dengan apa yang diharapkan. Sesudah intan ditangan Adipat yang waktu itu diperankan Aris, na’as bagi Ugel dan ibunya. Ia malah dituding mencuri intan sang Adipati. Ugel dan ibunya diusir secara hina. Saat itulah Ugel merasa kesabaran ada batasnya. Cacing saja diinjak berkeliat kok! Apalagi manusia yang setiap hemoglobin aliran darahnya diurus serius oleh tuhan dalam tata kosmos keseimbanganNya.
Ugel kembali ke pantai. Namun tidak meminta lautan memberi intan lagi. Tetapi meminta laut memberinya gelombang tsunami yang menenggelamkan keluarga Adipati. Yang dalam pementasan sore itu, digambarkan dengan piastik selebar panggung yang digulung seperti gelombang.
Membaca tulisn rekan Hadi Sutarno yang dimuat Radar Mojokerto 16 Januari 2011, kurator seni dari teater Mentari Undar ini lebih menyerahkan nasib Ugel dan Dewi kepada penonton. Namun lebih jauh, naskah ini merupakan sarkastik terhadap bencana nasional yang tak kunjung redah. Adipati adalah simbol penguasa yang menjelang pemilu meminta rakyat membawa suara untuknya, namun setelah menjadi penguasa, hak rakyat diambil alih. Yakni hak untuk menjadi juragan yang diwakili suaranya. Sedang penguasa adalah buruhnya rakyat, jongosnya rakyat yang telah mewakilkan suaranya kepada penguasa.
Menyaksikan PTA dengan lakon Sabdo Dadi, penonton seperti dibawa kebelantara nusantara. Dimana potret kehidupan beserta pernik pernik angkaramurkanya adalah gambaran sebuah negeri yang indah dan kaya termasuk beragam juga jenis jenis kedzolimannya.
Prahara yang mendera nasional bukanlah gejala spontanitas. Melainkan jauh sebelum penguasa, pemilik modal dan jabatan berserakah, alam sudah mempersiapkan lempengan bumi yang sewaktu waktu bisa bergerak.bersama do’a rakyat yang teraniaya. Dalam lakon sebuah pertunjukan, kisah gampang diahiri oleh sutradaranya. Tetapi dalam lakon keindonesiaan, siapa yang akan menghentikan?
Apa yang membuat Gunawan Maryanto (Penulis dari teater Garasi Yogyakarta) dan Henri Nurcahyo (Esais Surabaya) kesemsem dengan penampilan Teater Tirto Agung? Selama terselenggaranya Dana Hiba Teater Kompetitif 2-6 Januari 2011 di gedung PSBR yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jombang, dua pegiat seni di atas didapuk menjadi juri. Tentu minim untuk disangkal soal keakuratannya dalam menilai sebuah akting pementasan. Saya yakin. Gunawan Maryanto dan Henri Nurcahyo adalah orang yang tengik di bidang perteateran. Tentu sudah mendaur matang dari berbagai cara pandang sebelum memutuskan siapa yang menang dalam kempetisi awal tahun 2011 lalu.
Pada kategori mahasiswa dan umum, yang ditentukan dalam satu paket kemenangan, dewan juri menetapkan teater yang berjuluk Padepokan Tirto Agung sebagai juara satu. Berbeda dengan peteater lain dalam kompetisi lalu, Padepokan Tirto Agung (PTA) yang dipimpin Eko Kriwil, menyuguhkan konsep akulturasi antara teater modern dengan teater tradisi (dalam hal ini ludruk). Sepintas, seolah menonton ludruk. Husiknya pun berbada.Menurut Heru, pengendali musik dalam PTA, sengaja mengaransemen musik yang berbeda dengan musik melo sinetron.
PTA didirikan pada 7 Juni 2007 oleh tiga aktor beken Eko, Haris dan Rudi. Kegigihan mereka telah membuahkan hasil dengan memboyong 2 kali berturut turut festival teater se-kecamatan Mojoagung sebagai juara I. Selain itu, untuk mematangkan komunitasnya, Eko Kriwil mencari terobosan dengan bergabung Lawak Srimulat dan sering tayang di JTV Surabaya.
Dalam usia tiga tahun lebih, komunitas ini sudah menunjukkan ketangguhannya. Mereka tidak pesimis. Termasuk yang mendukung kekuatan PTA sebagai bayi sesar yang lahir dari ketidakbersenyawaan dengan konsep perteateran yang digabungi sebelumnya adalah menejemen program komuntasnya kedepan. PTA ini membagi rutinitas kegiatannya menjadi 4 devisi, yakni musik, tari, teater dan kepenulisan. Mereka berprinsip bahwa hal kecil yang termenejemen, akan mengalahkan hal besar yang tanpa dimenejemen.
PTA yang terjadwal pentas tanggal 5 Januari jam 15:30, mengangkat lakon’ Sabdo Dadi’. Sutradara Haris Sutikno sengaja menghadirkan nuansa tradisi. Sehingga selama pementasan yang berdurasi 96 menit itu, full dengan bahasa nJombangan.
Panggung mulai jadi sorotan mata pengunjung setelah rekanita Yuni Anitasari menghentakkan kakinya sembari menyabetkan liak liuk selendang merah, dengan dandanan ala lelaki ksatria, sedang memainkan tari remo. Berikutnya penonton dibuat garr.. gerr.. oleh dagelan Cak Eko dan Cak Ganda.
Adalah adegan yang tak bisa dipisah dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur. Yakni menjalani hidup dengan diselingi lelucon. Asumsinya agar tidak terlalu sepaneng, tegang dan stress dalam mengatasi peroblematika hidup yang teramat gigantik ini. Tradisi lelucon di Jawa Timur sudah berkembang sejak tahun 760 M. Dimana raja Gajayana Kanyuruhan (Malang) adalah seorang seniman yang meninggalkan teori lelucon dengan membangun candi Badhut (S. Wojowasito 1984). Tradisi guyonan / ludrukan itu langgeng terus dan sempat terekam dalam penelitiannya Saripan Hadi Hutomo yang menemukan rumus kata ‘Javananch Nederduiticch Woordenboek’karya Genke dan T. Roorda (1847), ludrukan atau guyonan artinya Grappermaker. Begitu juga WJS. Poerwadarminta dalam bukunya BPE Sastra (1930).
Lakon Sabdo Dadi yang ditulis Tulus Asmoro mengisahkan hukum keseimbangan metablisme alam. Dimana perbuatan baik dan buruk pasti ditagih akibatnya (becik ketitik, olo ketoro, Gusti Alloh gak turu).
Berawal dari kisah asmara bersyarat antara tokoh yang bernama Thok Thok Ugel yang dicintai Dewi anak seorang Adipati yang sekaligus juragan Ugel. Selama menjadi porang (pekerja tetap untuk menangani sawah) Adipati, ketulusan Ugel membuat Dewi kesemsem. Mungkin juga karena sering bertemu maka tumbuhlah benih benih cinta (tresno jalaran soko gelibet). Akhirnya sang Adipati tidak menyetujui cinta mereka berdua berlanjut ke pelaminan. Adipati pun memainkan politiknya untuk menyingkirkan Ugel. Adipati bersedia merestui dengan syarat, Ugel membawa intan sebesar telur buaya.
Menyaksikan ibunya dimarai, diejek, diludahi Adipati, Ugel merasa terpanggil untuk menunjukkan bagwa ada kekuatan besar dari segala kekuatan, yakni kekuatan Tuhan. Sedangkan orang yang diutus Tuhan untuk melahirkan, merawat, serta melangsungkan kehidupan seseorang adalah sang ibu, yang dijuluki pangeran katon (Tuhan yang tampak). Ugel pun meminta ibunya merestui dirinya. Supaya, hajat Ugel yang berat terkabulkan. Betapa terhenyak Henri Nurcahyo dan Gunawan Maryanto, apalagi para penonton, begitu menyaksikan seorang aktris yang didapuk sebagai ibunya Ugel, melakukan ritual dahsyat yang zaman sekarang tak mungkin dijumpai lagi, yakni melangkahi (nyawani) Ugel hingga tiga kali. “ Tak sembadani urepmu nak, sak tibo tibomu jek blahi selamet. Asale teko gua garbanku, balek nang sua garbanku.” Seketika itu tubuh Ugel menjadi berkapasitas kuantum. Denyut jantungnya beradhesi dengan gelombang energi alam semesta. Karena manusia yang menjadi makri kosmos, maka tunduklah rotasi seluruh planet kepada Ugel.
Ugel lalu pergi ke pantai mencari intan yang diinginkan Adipati. Setelah keteguhannya memuncak di tepi pantai, Ugel pun menyabda lautan agar mengering. Seketika lautan pun mengering. Namun yang menjadi permasalahan baru ialah bagaimana kelangsungan habitat laut. Demi menyelamatkan semuanya, ahirnya Danyang (hantu) laut menuruti apa yang diinginkan Ugel, yakni lautan memberikan intannya kepada Ugel.
Sesungguhnya tidak ada kesaktian atau kekuatan apa pun bagi Ugel. Hanya sepeleh. Pada posisi kuantum (nol), berbarengan dengan energi yang memusat, saat itulah Alloh memperkenankan do’a Ugel. Cerita Ugel ini persis yang dialami Nabi Musa. Ketika dalam posisi terjepit, seketika idzrib bi ashokal bahr (pukulkan tongkatmu ke lautan), saat itulah momentum perkenan Alloh terjadi. Dan hal itu tidak akan bisa diulang pada sedetik berikutnya. Hanya moment itu.
Setelah memperoleh intan, Ugel pun mengajak ibunya melamar Dewi. Namun kenyataan kadang tak sejalan dengan apa yang diharapkan. Sesudah intan ditangan Adipat yang waktu itu diperankan Aris, na’as bagi Ugel dan ibunya. Ia malah dituding mencuri intan sang Adipati. Ugel dan ibunya diusir secara hina. Saat itulah Ugel merasa kesabaran ada batasnya. Cacing saja diinjak berkeliat kok! Apalagi manusia yang setiap hemoglobin aliran darahnya diurus serius oleh tuhan dalam tata kosmos keseimbanganNya.
Ugel kembali ke pantai. Namun tidak meminta lautan memberi intan lagi. Tetapi meminta laut memberinya gelombang tsunami yang menenggelamkan keluarga Adipati. Yang dalam pementasan sore itu, digambarkan dengan piastik selebar panggung yang digulung seperti gelombang.
Membaca tulisn rekan Hadi Sutarno yang dimuat Radar Mojokerto 16 Januari 2011, kurator seni dari teater Mentari Undar ini lebih menyerahkan nasib Ugel dan Dewi kepada penonton. Namun lebih jauh, naskah ini merupakan sarkastik terhadap bencana nasional yang tak kunjung redah. Adipati adalah simbol penguasa yang menjelang pemilu meminta rakyat membawa suara untuknya, namun setelah menjadi penguasa, hak rakyat diambil alih. Yakni hak untuk menjadi juragan yang diwakili suaranya. Sedang penguasa adalah buruhnya rakyat, jongosnya rakyat yang telah mewakilkan suaranya kepada penguasa.
Menyaksikan PTA dengan lakon Sabdo Dadi, penonton seperti dibawa kebelantara nusantara. Dimana potret kehidupan beserta pernik pernik angkaramurkanya adalah gambaran sebuah negeri yang indah dan kaya termasuk beragam juga jenis jenis kedzolimannya.
Prahara yang mendera nasional bukanlah gejala spontanitas. Melainkan jauh sebelum penguasa, pemilik modal dan jabatan berserakah, alam sudah mempersiapkan lempengan bumi yang sewaktu waktu bisa bergerak.bersama do’a rakyat yang teraniaya. Dalam lakon sebuah pertunjukan, kisah gampang diahiri oleh sutradaranya. Tetapi dalam lakon keindonesiaan, siapa yang akan menghentikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar