Selasa, 08 Februari 2011

Kosmos Perteateran Lokal (Ala Jombang)

Hadi Sutarno

Akhir dan awal tahun gedung PSBR benar-benar sibuk. Aktivitas yang luar biasa terjadi disana, sesuatu yang biasanya tampak mewah, eskuisif di sajikan murah meriah. Pun oleh panitia dengan memasang spanduk beserta sang empunya kota tertulis besar “tontonan rakyat”. Panitia tak menyadari, pemilihan kata rakyat, jelas berbanding terbalik dan lurus dengan nama pemerintah, berbeda kalau tontonan “masyarakat”. Beserta itu suport dan fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan Jombang (DEKAJO) adalah wujud aprisiasi pada seni budaya lokal, sebagai identitas kota?

Ajang adu kreatif yang pernah dilakukan, kalau mereview acara televise semacam adu ketangkasan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk mencari champion, kebetulan saya menyaksikan dan suka pertandingan seniman pahat es, pengrajin kaca dan perupa, saya pun menyukai acara ini.

Seperti yang terjadi minggu lalu, seniman –seniman teater berkumpul dan membuat semacam champion. Akh kok saru ya. Karena kata champion ini, mau tidak mau, kalau berbicara persoalan estetika tidak ada ukurannya, relative subyektif. Dan kalau ditemukan semacam pendekatan matematik logik, itu pun hanya berupa angka –angka, bukan ukuran keindahan. Setelah terjadi ajang ‘kompetisi”di sana (gedung PSBR), kelihatannya tambah rumit. Tercium aroma perang tanding disitu. Yakni acara “Kompetisi Teater Dana Hibah”. Sakit sih kedengarannya, atau malah sebaliknya terharu biru. Hari gini, ada dana hibah untuk kesenian teater gitu loh. Lha apa pusing saya, toh acara berlangsung meriah dengan dihadiri 196 pengunjung tiap hari.

Terlepas dari prasangka juri ataupun panitia, sebagai penonoton saya sempat menyaksikan perhelatan akbar tersebut. Meski tidak rutin selama lima hari dalam 13 penyaji (pementasan). Maklum jarak rumah saya terlalu jauh dengan gedung PSBR. Cukuplah untuk menghabiskan 1 liter premium, bagi saya memang tidak ada dana alokasi melihat teater, wong buat makan saja sulit, sekalipun pertunjukkannya tergolong murah, alias dan tumben juga hal itu ada pertunjukkan yang sampai segitunya, padahal biasa seperti pertunjukkan di gedung jelas memakan biasa yang luar biasa. Terlebih dapat terlihat nyata, ya itulah perkembangan teater di Jombang selama ini. Andaikan ada sebuah pertunjukkan yang ramai penontonnya, padahal di tiketkan, hal itu perlu ditanyakan, mereka datang secara sukarela, ingin melihat pertunjukan teater atau malah ada motivasi lain?

Berbeda dengan saya yang benar – benar ingin melihat teater, namun kantong bolong. Saya jadi ingat dulu suatu ketika dewan teater suatu kota mengatakan “teater miskin”. Bayangan saya, kalau kaya kenapa berteater, kok tidak punya mobil, naik haji, rumah mewah. Meski saya tidak sanggup menyaksikan secara full, namun saya juga sempat melihat pementasan sebanyak tiga kali, dan salah satu yang menarik adalah penyaji terbaik adalah Komunitas Tirto Agung Mojoagung.

Pertunjukan Komunitas Tirto Agung Mojoagung, saya menangkap hal baru yang disajikan dalam pertunjukkan tersebut. Awalnya dibuka dengan dua orang aktor menyuguhkan lawakannya ala “ludrukan”. Sangat mengocak perut. Kemudian mempersilahkan aktor memainkan lakon “Thok – Thok Ugel”. Bak MC yang member warning penonton agar menyiapkan diri untuk menyimak alur lakon pementasan. Sakral sekali pertunjukkan teater itu, makanya penonntonya takut melihat.

Perhelatan yang diikuti oleh 15 komunitas teater, entah nama baru atau lama, atau bahkan nama untuk keperluan festival saja. Karena secara riil tidak ada pendukomentasian secara literer, sejak kapan ada teater di Jombang, berapa yang independen, berapa yang ada di kampus – kampus, berapa yang ada di sekolah tingkat, SD, SMP, SMU/SML, beserta perkembangannya. Sebab inilah kenyataan sejarah lokal teater terhapus dari data-data sejarah perkembangan teater Jombang, beserta perkembangannya. Dari ke 15 peserta ternyata hanya 13 yang jadi mengikuti perhelatan akbar, sisanya mengundurkan diri. Alasannya tentu mereka sendiri yang mengetahuinya.

Ada banyak faktor sebenarnya jika di kaji, mengapa ada pengunduran terjadi dari peserta, padahal festival ini real, ada senyata –nyatanya, kecuali kalau festival pesanan. Pertama; panita menyebar info barangkali terlalu mendadak, sehingga batas kesiapan peserta, tidak mungkin menyesuaiakan kondisisi. Kedua; salah satu pemain tiba-tiba harus tidak ikut bermain dalam pementasan, aktor, sutradara, penata lampu, peñata rias, peñata kostum. Ketiga; zona wilayah festival terlalu kecil, skup lokal, bukan regional. Keempat; legowo mempersilahkan komunitas lain untuk menang, suatu sikap yang luar biasa, kalau ada.

Berdasarkan salah satu aktor sekaligus motor Komunitas Tirto Agung Mojoagung, sebut Eko Ugel (karena memernakan tokoh Ugel dalam lakon “Thok – Thok Ugel) bahwasanya “inilah jalan teater yang dipilih kelompoknya. Yakni pencampuran teater tradisi (ludruk) dan teater Eropa”. Sebuah perkawinan silang antara Jawa (ceritanya) dan Eropa (laku teknis) yang seperti dipentaskan itu, keinginan sang komunitasnya sebagai ciri atau style.

Naskah yang bercerita tentang cinta tak sampai ini, seperti halnya Siti Nurbaya, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dapat dirasakan dipertunjukkan lalu bersetting masa silam, ketika masih ada istilah adipati, yang dengan kekayaannya tidak mau menerima seorang calon menentu dari kalangan bawah (Ugel) yang secara nyata tidak sekelas, seimbang dalam strata sosial, Ugel dapat menjadi menentu Adipati sehingga dapat menikahi Dewi, harus memenuhi syarat ketentuan yang berlaku yang diwarningkan oleh sang Adipati. Bahwa kalau mendapatkan “intan sebesar telur angsa” Ugel berhak menikahi putrinya. Terpenuhilah sudah oleh Ugel keinginan Adipati, intan dibawa kepada Adipati, tetapi sesuatu menjadi terbalik. Intan di terima. Sedangkan Ugel dibuang begitu saja. Kemarahan Ugel meledak. Dengan perasaan kecewa, dendam dikeluarkanlah kutukan yang kemudan terjadi bencana berupa banjir bandang hingga meluluhlantahkan rumah Adipati beserta tubuh kikir dan sombongnya.

Pertunjukkan selesai. Ending/ akhir cerita yang sengaja di pilih oleh sang sutradara tergolong unik juga ringan. Bagaimana nasib Ugel, dan Dewi? Terserah penontonnya, mau diapakan. Ada semacam pendewasaan penonton, dan penonton juga cerdas, bahkan lebih cerdas dari para jurinya yakni Gunawan Maryanto (Teater Garasi Yogyakarta) dan Heri Nurcahyo (Surabaya), dari sudut pandang mengapresiasi pertunjukkan, bukan persoalan penilaian angka urusan festival, secara umum bahwa pertunjukkan sah diapresisikan.

Say berharap festival berikutnya, juri bukan dari seorang ahli teater tapi masyrakat (bukan rakyat), di daerah pelosok, 100 0rang secara sukarela. Disitulah tantangan terbesar seniman teater, sudahkan hal itu dijamah, bukan hanya terkenal saja.

Naskah Thok –Thok Ugel sebenarnya sudah dua kali diikutkan event festival. Yang pertama di tahun 2006 mewakili Jombang dengan Dinas Parbupora di Malang, ketika festival ludruk se - Jawa Timur, dan mendapatkan nominasi 5 penyaji terbaik. Ketika itu berkolaborasi dengan temen–teman kampus Undar (Universitas Darul ‘Ulum Jombang). Yakni Sangar Seni Mentari Fakultas Psikologi, Sanggar Laras Rinonce pimpinan Pak Wito, beberapa teman – teman kampung sekitar kampus Undar. Waktu itu saya belum tahu persisnya Komunitas Tirto Agung Mojoagung berdiri. Tak jauh berbeda apa yang disajikan dalam hal artistik panggung dan alur ceritanya, tetepi yang luar biasa adalah kekeuatan para aktornya. Ketegangan emosi sangat terasa pada aktor – aktornya, cimestry nya terpegang, sehingga ruh para pemain hidup di atas panggaung, yang tak sekedar seperti keaktoran klasik, telihat kaku. Walaupun pemain yang tetap adalah Adipati dan Ugel, dan sutradaranya , Haris.

Pementasan Thok–Thok Ugel tergolong realis – magis. Realisnya adalah cerita yang umum berkembang dimasyarakat bahwa kaya dan miskin tidak ada garis lurusnya, selalu patah –patah, dan dikerjakan secara realis pemanggungannya. Magisnya adalah memasukkan unsur – unsur magis Jawa, atau masyarakat mana pun yang dekat dengan mantra –mantra, dan khas bertutur bahasa khas Jombangan.

Persoalan yang terjadi adalah para penyaji terbaik versi kompetisi teater dana hibah ini hanya dari Komunitas Tirto Agung Mojoagung. Tapi yang lainnya ada kesinambungan untuk memperpanjang usia berkesenian dihatinya, dikotanya, bukan dikomunitasnya atau kantong sakunya. Paling tidak seperti yang baru – baru ini dilakukan oleh kelompok Teater Kopi Hitam, dengan “Jendral Markus” nya. Kopi Hitam berani melakukan pementasan di beberapa kota secara swadaya. Bahkan naskahnya merupakan garapan sendiri (tulisan salah satu anggotanya). Atau yang dilakukan Komunitas Teater Suket Indonesia dengan naskah “Cuh” yang hendak akan berangakat bulan–bulan ini keliling beberapa kota dengan naskah sendiri pula. Bukankah bermain naskah sendiri lebih mengasyikkan? Sekaligus menjadi pilihan yang tidak mudah. Karena menulis naskah bukan perkara mudah pula. Harus siap, minimnya berani malu. Maksimal keberaniannya yang teruji, mencoba, belajar bukan malu mencoba atao belajar. Setidaknya tidak hanya jadi jago kandang saja, paling tidak kharus jadi kandang jago, intens berteater, bahkan menjadi actor walau tidak muda lagi. Memeng mau memilih apa ketika sudah masuk dalam dunia teater, sebagai aktor saja, sutradara selamanya, pemusik selamanya, tukang lampu selamanya, tukang artistic selamanya, piñata rias selamanya, penjual tiket selamanya, supporter selamanya, event organizer (EO) teater curator selamanya, pelatih selamanya, guru teater selamanya, juragan selamanya, banyak lagi yang parah adalah punya nama teater tetapi tidak melakukan pementasan. Ironisnya teater tidak mengenal pensiun, semakin lama menjalani berteater setidaknya semakin menemukan spiritualitas berteater, yang tidak lagi berbicara tentang kitab suci teater “dramaturgi”. Tetapi lebih pada ruh berteater pada kehidupan umum bermasyarakat bahwa diri sendiri, yang dilakonkan oleh pencipta diperanakan oleh nama–nama, dimanapun berada selalu mementaskan dirinya sendiri sebagai manusia, tidak lebih.

Semoga di tahun berikutnya ada lagi kompetisi teater atau malah sepesifiknya lagi, kompetisi menulis naskah teater

Wong Wing King
Aktif dalam Komunitas Teater Sanggar Mentari Indonesia
Medeleg - Tampingmojo Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar