(Versi Besut Urakan)
Sabrank Suparno
Malam kerap meyembunyikan hal yang tak terduga. Dimikianlah kiranya. Karena dalam kegelapan, benda terhijab daya pantulnya ke indera. Yang artinya bukan mata yang tak mampu melihat, tapi benda kekurangan syarat berposisi sebagai bagian rumus kealaman.
Keganjilan sesuatu terjadi di Malam Lentera Sastra Sepuluh ini. Nyeleneh. Sebuah kajian diskusi sastra, diadakan oleh sekelompok komunitas mahasiswa AMIK (Akademi Manajemen Informatika dan Komputer) Jombang: Kampus yang bertempat di jalan KH. Hasyim Asy’ari no 5. Tak terbayangkan bagaimana mahasiswa ini bisa nyletuk ide untuk berdiskusi tentang sastra. Sedang keseharian keilmuan mereka ialah mengotak atik perangkat jaringan komputer, baik skala mega prossesor atau pun mikro posessor dalam tatanan otomata seluler, mega-cyborg, jagat kerat, ultra modern, cybernetic, taek asu, dll lah..!
Acara yang dimulai pukul 19:00, Senin 10 Januari 2011 itu mengupas cerpen ‘Njaran’ karya Wong Wing King, salah seorang pegiat teater di Jombang. Cerpen ini kental dengan nuansa lokalitas. Penulis sepertinya memperjuangkan khasanah budaya Jawa yang digambarkan si tokoh dalam cerpen ini merasa lebih segalanya setelah merantau ke luar negeri. Bapaknya yang masih berkesenian nunggangi Jaran Kepang, dianggap kuno jika dibanding dirinya yang telah mengendarai Jagguar, Land Cruiser, Lambordgini, Limunsin dll.
Diskusi ini bersifat egalitarian. Dimana tidak memandang seorang pun yang hadir sebagai tokoh. Semua berposisi sama, yang ketika mereka berkumpul dan berdiskusi, seperti botol kosong yang saling mengisi. Termasuk Anis Zamroni (Dosen Undar), Saya, Nurel dan para mahasiswa AMIK berasa gayeng selama berdiskusi. Serayanya acara ini inten diadakan tiap tanggal sepuluh tiap bulan.
Acara semakin nylekit pada sesi ke dua. Materi yang ditulis Anis Zamroni dengan tajuk’Imajinasi’, sengaja dihadirkan dengan pola abstrak: Judul (imajinasi) dihadirkan berdiri sendiri: Tak ada keterkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai setelah memahami ma’na imajinasi. Berbeda dengan ‘Imajinasi’nya Jean Paul Sartee yang kemudian menjadi gobang kependekarannya di dunia filsafat.
Mengulas imajinasi yang demikian absurd, membuat berdebatan melebar ke wilayah luas cakupan keilmuannya. Di sinilah keuntungan bagi pembelajar jagat yang hadir. Diharapkan, kekosongan botol keilmuannya agak terpenuhi, bagai bertemu kekasih yang hilang seratus tahun. Hilang. Bukan mati. Sebab kehilangan yang tak jelas jlumprungnya, akan lebih menyakitkan daripada mati.
Saya, sempat nyecret beberapa poin “imajinasi adalah makhluk yang lahir (tercipta) pertamakali di dunia”. Nalarnya: Setelah Tuhan dalam kesendiriannya, jauuuh sebelum dunia ini ada, aku bertanya, sendirikah Engkau? Betapa sunyinya..! Lantas Tuhan mencari teman hidup. Kemudian Ia berimajinasi lebih dulu akan menciptakan semesta raya. Setelah berimajinasi, Tuhan kemudian mempersiapkan ruang-waktu yang luas supaya cukup disebyari palnet yang jumlahnya tak terhitung, yang oleh tetangga kulon omahku (Barat) menyebut superclasster. Salah satu planet kemudian dinamai Bumi sebagai pusat makro kosmos. Demikianlah seri penciptaan berikutnya ‘…stumma rotqon fafatahna baina huma wajaalna li kulli syai im minal maa`…(eleng jaman mondok biyen aku naksir anak Pak Kyai, tapi gak dikarepi. Nasiiib nasiib), yang kemudian tercipta prejengane awak ndewe iki, ramu, yo raiku.
Akibat nggedabrusnya cocot saya itu, Nurel Javissarqi me-reka-reka rumusan tanya “apakah mitos anak turun imajinasi, atau ekses realitas. Yang realitas itu sendiri tercipta setelah berimajinasi? Pelangi misalnya, saking tak mampunya mbah mbah biyen mengartikan, maka berimajinasi bahwa pelangi adalah selendang bidadari yang kemudian dijadikan mitos.
Pun juga Anis Zamroni. Dosen Undar, lulusan sastra Unej menemukan rumusan tanya sebagai alegori, ”dahulu mana rung ataukah waktu? Sebelum menciptakan imajinasi, butuh ruang ataukah butuh waktu?”
Absurditas topik inilah yang membetahkan penghuni aula kampus AMIK malam itu. Peserta gayer-gayer hingga jam 12 malam. Dengan rendah hati dan rasa hormat saya menghimbau agar siapa pun yang hadir dan akan hadir pada pertemuan berikutnya, membuat catatan catatan kecil yang kemudian diposting di facebook, mumpung wes digawekno mBah Gugel. Cek gak ngablak thok! Nggacor thok! Kakean cangkem! Untuk tinggalan anak cucu kelak.
Sabrank Suparno
Malam kerap meyembunyikan hal yang tak terduga. Dimikianlah kiranya. Karena dalam kegelapan, benda terhijab daya pantulnya ke indera. Yang artinya bukan mata yang tak mampu melihat, tapi benda kekurangan syarat berposisi sebagai bagian rumus kealaman.
Keganjilan sesuatu terjadi di Malam Lentera Sastra Sepuluh ini. Nyeleneh. Sebuah kajian diskusi sastra, diadakan oleh sekelompok komunitas mahasiswa AMIK (Akademi Manajemen Informatika dan Komputer) Jombang: Kampus yang bertempat di jalan KH. Hasyim Asy’ari no 5. Tak terbayangkan bagaimana mahasiswa ini bisa nyletuk ide untuk berdiskusi tentang sastra. Sedang keseharian keilmuan mereka ialah mengotak atik perangkat jaringan komputer, baik skala mega prossesor atau pun mikro posessor dalam tatanan otomata seluler, mega-cyborg, jagat kerat, ultra modern, cybernetic, taek asu, dll lah..!
Acara yang dimulai pukul 19:00, Senin 10 Januari 2011 itu mengupas cerpen ‘Njaran’ karya Wong Wing King, salah seorang pegiat teater di Jombang. Cerpen ini kental dengan nuansa lokalitas. Penulis sepertinya memperjuangkan khasanah budaya Jawa yang digambarkan si tokoh dalam cerpen ini merasa lebih segalanya setelah merantau ke luar negeri. Bapaknya yang masih berkesenian nunggangi Jaran Kepang, dianggap kuno jika dibanding dirinya yang telah mengendarai Jagguar, Land Cruiser, Lambordgini, Limunsin dll.
Diskusi ini bersifat egalitarian. Dimana tidak memandang seorang pun yang hadir sebagai tokoh. Semua berposisi sama, yang ketika mereka berkumpul dan berdiskusi, seperti botol kosong yang saling mengisi. Termasuk Anis Zamroni (Dosen Undar), Saya, Nurel dan para mahasiswa AMIK berasa gayeng selama berdiskusi. Serayanya acara ini inten diadakan tiap tanggal sepuluh tiap bulan.
Acara semakin nylekit pada sesi ke dua. Materi yang ditulis Anis Zamroni dengan tajuk’Imajinasi’, sengaja dihadirkan dengan pola abstrak: Judul (imajinasi) dihadirkan berdiri sendiri: Tak ada keterkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai setelah memahami ma’na imajinasi. Berbeda dengan ‘Imajinasi’nya Jean Paul Sartee yang kemudian menjadi gobang kependekarannya di dunia filsafat.
Mengulas imajinasi yang demikian absurd, membuat berdebatan melebar ke wilayah luas cakupan keilmuannya. Di sinilah keuntungan bagi pembelajar jagat yang hadir. Diharapkan, kekosongan botol keilmuannya agak terpenuhi, bagai bertemu kekasih yang hilang seratus tahun. Hilang. Bukan mati. Sebab kehilangan yang tak jelas jlumprungnya, akan lebih menyakitkan daripada mati.
Saya, sempat nyecret beberapa poin “imajinasi adalah makhluk yang lahir (tercipta) pertamakali di dunia”. Nalarnya: Setelah Tuhan dalam kesendiriannya, jauuuh sebelum dunia ini ada, aku bertanya, sendirikah Engkau? Betapa sunyinya..! Lantas Tuhan mencari teman hidup. Kemudian Ia berimajinasi lebih dulu akan menciptakan semesta raya. Setelah berimajinasi, Tuhan kemudian mempersiapkan ruang-waktu yang luas supaya cukup disebyari palnet yang jumlahnya tak terhitung, yang oleh tetangga kulon omahku (Barat) menyebut superclasster. Salah satu planet kemudian dinamai Bumi sebagai pusat makro kosmos. Demikianlah seri penciptaan berikutnya ‘…stumma rotqon fafatahna baina huma wajaalna li kulli syai im minal maa`…(eleng jaman mondok biyen aku naksir anak Pak Kyai, tapi gak dikarepi. Nasiiib nasiib), yang kemudian tercipta prejengane awak ndewe iki, ramu, yo raiku.
Akibat nggedabrusnya cocot saya itu, Nurel Javissarqi me-reka-reka rumusan tanya “apakah mitos anak turun imajinasi, atau ekses realitas. Yang realitas itu sendiri tercipta setelah berimajinasi? Pelangi misalnya, saking tak mampunya mbah mbah biyen mengartikan, maka berimajinasi bahwa pelangi adalah selendang bidadari yang kemudian dijadikan mitos.
Pun juga Anis Zamroni. Dosen Undar, lulusan sastra Unej menemukan rumusan tanya sebagai alegori, ”dahulu mana rung ataukah waktu? Sebelum menciptakan imajinasi, butuh ruang ataukah butuh waktu?”
Absurditas topik inilah yang membetahkan penghuni aula kampus AMIK malam itu. Peserta gayer-gayer hingga jam 12 malam. Dengan rendah hati dan rasa hormat saya menghimbau agar siapa pun yang hadir dan akan hadir pada pertemuan berikutnya, membuat catatan catatan kecil yang kemudian diposting di facebook, mumpung wes digawekno mBah Gugel. Cek gak ngablak thok! Nggacor thok! Kakean cangkem! Untuk tinggalan anak cucu kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar