Selasa, 08 Februari 2011

Kemenangan Setan Hingga Pelosok Desa

Sabrank Suparno

Setan. Siapa pun tak asing mendengarnya. Cuma wujud ditafsir beribu makna. Ia tercipta dari unsur api. Dalam cerita Ajam (Arab kuno), terkisah demikian: Awalnya Setan bernama Azazil, malaikat tertua yang paling dikagumi Alloh dari pada Jibril. Namun karena Azazil kepincut planet Bumi, yang artinya mengagumi ciptaanya dan melupakan penciptanya, maka Alloh membikin saingan cinta di Bumi dengan nama Adam.

Sejak membangkang itulah kesetiaan Azazil diragukan. Pengingkaran berikutnya, saat Azazil cemburu pada Adam dengan menolak bersujud sebagai bukti penghargaan karya terbaik Alloh. Dan bukan mensujudi Adam sebagai Tuhan. Alloh kemudian menjulukinya Iblis. Dan hanya satu makhluk berjuluk Iblis, yaitu Azazil. Anak pinak Iblis yang taat disebut Jin, sedang yang khianat disebut Setan.

Setan resmi memproklamirkan bendera panji kebesaran untuk menyungsepkan anak cucu Adam selamanya. Berawal terdengsernya Adam-Hawa dari kemilau sorga ke derajat hina (dunia), pergolakan asmara Kobil-Habil, pembantaian Hittler terhadap Yahudi, Serbia-Bosnia, perebutan Gaza, kerusuhan Sampit, Periok hingga perebutan pasir besi di Kulonprogo Jogjakarta yang dilakonkan pak BeYe-Hamangkubuwono X.

Rupanya balada perseteruan inilah yang mengilhami penulis MS. Nugroho pada naskah teaternya yang berjudul Setan. Naskah ini hadir sebagai metode cara pandang, bahwa seberapa karya seseorang eksis jauh ke masa depan diperlukan jarahan sejarah masa silam yang jauh pula dari titik koordinat.

Sebelum karyanya meledak, MS. Nugroho melakoni dunia teater sejak SMA. Kisah kecutnya sebagai pegiat teater ditempuh secara nggembel nunut makan di rumahnya Emha Ainun Nadjib (Kadipuro Jogjakarta) selama 5 hari. Meski rada rada sungkan, kisahnya. Kemudian gandol truk gratisan ke Solo menemui Suprapto Surya Darma (pelatih olah rasa dan gerak tubuh yang di Solo dikenal sebagai guru tari). Wajar jika lelaki kelahiran Jombang ini ahirnya menelorkan karya yang memenangi berbagai event kompetitif. Diantaranya: Juara I penulisan naskah fragmen Budi Pekerti oleh Dikbud Provinsi Jawa Timur (2008),

Seorang teman mengatakan, “MS. Nugroho, penulis berpotensi yang tidak dilirik DKJT.” Mungkin karena ia tidak gencar mempublikasikan karyanya ke media massa, sehingga tidak banyak dikenal orang. Mungkin juga karena dia sudah ayem sebagai pengajar tetap di sekolahan tingkat menengah di Jombang. Atau, bisa juga DKJT menetapkan standart pengakuan bahwa yang disebut seniman Jawa Timur ialah orang yang aktif / memiliki jaringan komunitas luas di berbagai wilayah yang dikenal istilah koncoisme.

Setan, yang dipanggungkan Komunitas Teater Alief Mojoagung pada 3 Januari 2011, tak sekedar guyupi program Gebyar Seni Dana Hibah Dewan Kesenian Kabupaten Jombang (DeKaJo). Lebih jauh adalah gambaran total kehidupan manusia yang tak lepas dari pertempuran abadi: Bersedia tampil di skala kabupaten kecil sekali pun. Padahal naskah ini memenangi juara I di Tuban dan IKIP Malang ketika disutradarai Edy Haryoso. Tentu konsekwensi pegiat Alief bertujuan membekaskan sentuhan nilai naskah Setan tersebut hingga ke pelosok desa sekali pun..

Durasi peralihan naskah ini gambaran perang dingin. Selang-seling pertempuran asmara dan ambisi tertata seimbang. Sehingga penonton tidak jenuh walau terserap.

Atas nama Jenderal Besar, Silukrama harus mengalahkan kepentingan apa pun, termasuk wanita, demi keamanan negara. Demikian juga Panglima Sidapeksa, selalu siap bertugas demi negara. Ketangguhan Silukrama luluh saat membuka cadar Sritanjung, perawan dari negara taklukkan yang ia persembahkan khusus untuk Panglima Sidapeksa sebagai hadiah pengabdian sebelum bertugas. Melihat kemolekan Sritanjung yang terlanjur diberikan pada Sidapeksa, hati Silukrama berasa tersayat. Ratabnya, //Tuhan, wanita itu begitu cemerlangnya. Wanita sorgakah Tuhan? Hingga kesempurnaan bersujut di kakinya. Keindahan matahari yang kemilau, hingga tak ada mata yang mampu menatapnya. Tuhan, seperti mimpi indah, ia luput begitu saja dari tanganku. Seharusnya ia bagianku, tapi demi sanjung dan puja, ia kulempar begitu saja pada robot perang itu.// Risau Silukrama itulah penyebab hadirnya setan yang mengajak berkoalisi bawah tanah.

Sesi pada bagian ini mempertegas kehadiran setan dengan segala firmannya. Setan merasuk melalui pembulu darah yang dikemas dalam hobi, kepentingan, ambisi dengan segala taktikjuga perangkatnya, sibernetik, kedudukan dan anak buah. Siasat yang ditawarkan Setan pada Silukrama ialah // Kebenaran tangan. Yaitu kekuasaan mejinakkan jari jemari sehingga membunuh kawan asing tanpa membuatnya memercikkan setetes darah pun dan tak memberi kesempatan ia memekikkan suara sesendat pun.// taktik yang marak digunakan Belanda dan penganutnya dengan sistim de vide at ampera (belah bambu).

Terhadap Sidapeksa, setan menjelma sebagai loyalitas, kesetiaan, mengabdi pada atasan, tugas. Demi tugas negara, Sidapeksa rela mencampakkan istri pertamanya Candrawati. Bahkan, Sritanjung istri kedua yang baru saja turun dari pelaminan. Keluh Sritanjung pun dimentahkannya. //Sekejap saja kita berenang di danau biru, belum seluruhnya basah. Belum sempurna tandas bunga bunga yang Kangmas taburkan di tubuhku. Belum selesai tereguk air manis yang menawarkan kehausanku. Kesegaran belum merasuk. Mengapakah diusaikan permainan ini // Satria itu berjantung tugas, Diajeng. Setiap detaknya atas nama kewajiban. Itu hukum satria // Ah, cinta yang melawan cinta, apakah tetap cinta namanya? Cinta tak bisa melawan. Karena tak ada lawan bagi cinta. Apa pun kejadiannya, cinta akan mengibarkan sayapnya //.

Puncak kemenangan Setan dalam naskah ini berahir dengan kematian seluruh tokoh di dalamnya. Demi eksistensi, semua saling menelikung nyawa dari belakang. Setara folklor terjadinya kota Salatiga Jawa Tengah. Tiga sahabat yang masing-masing memegang emas seberat satu kiloan, diam diam berandai, kalau saja kedua temannya mati, emas akan menjadi milik seorang. Meskipun narsis, tetap dalam taraf kewajaran. Kematian kausalitas. Bukan seperti kematian kucing hitamnya Edgar Alan Poe yang tiba tiba tersangkut di kawat listrik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar