Sabrank Suparno
Marsudi benar-benar hilang. Entah kapan persisnya, aku tak punya tanda pengingat khusus, semisal jaman Semeru meletus yang tiap dedaunan dipenuhi debu hingga sempal, jaman hama wereng yang menggagalkan panen padi, jaman pederos yang mencekam karena tiba-tiba ditemukan mayat terbungkus karung, atau ketika muncul peristiwa manggar emas, manggar yang diterpa bias sinar mentari sore, sehingga warnanya persis seperti emas. Dan, hanya sore itu, tidak terjadi lagi pada sore berikutnya hingga kini. Tak pelak sore itu banyak orang berkerumun,menyaksikan manggar yang berupa emas.
Maksudku, orangnya masih ada hingga sekarang, ia berperawakan kecil, pendek, berambut ikal panjang, berjenggot, menikah dan mempunyai anak lima. Tetapi nama pemberian orang tuanya sejak kecil, yakni Marsudi, sudah tak dikenal orang lagi. Awalnya ia terbiasa dipanggil ‘Sud’, kemudian orang dan teman sebaya menjulukinya Besut. Sejak itulah nama Marsudi hilang dan berganti Besut. Tapi bukan Besut tukang ngamen di awal tahun 1900-an, yang kemudian melahirkan tontonan ludruk di daerahku.
Meski bukan sarjana, Besut lulusan SMA. Bapaknya gigih menggulung rantai, mengayuh becak untuk membiayai sekolahnya, dengan harapan kelak Besut bisa menjadi pegawai negeri. Tetapi nasib dan keberuntungan selalu berkata jujur, jika sedang tak memihaknya, harapan hanyalah cita-cita yang diidamkan namun tak kunjung tiba. Yah, rumus kehidupan kadang lebih lurus daripada garis lapangan sepak bola: karena miskin, maka tak mampu bersekolah hingga sarjana, akhirnya mencari pekerjaan susah, kalau pun ada, tak bergaji seberapa, tak cukup membiayai sekolah anaknya hingga sarjana, terus nasib temurun sampai dunia senja.
Memelihara bunga, sesungguhnya bukanlah hobinya. Hanya karena ia bekerja kepada Ko Yang, saudagar bunga berketurunan Cina yang memiliki pabrik besar di barat kota. Belajar dari Ko Yang inilah, Besut mengerti ilmu spekulasi, jika apa pun bisa dimainkan harganya melebihi emas dengan profokasi media. Rata-rata, pecinta bunga adalah orang yang berloncatan trend. Ketika musim bunga sepi, mereka beralih ke penangkaran burung atau ikan hias. Sementara beberapa bulan ini, bunga yang laku di pasaran antara lain: Gelombang Cinta, Mawar Hitam, Teratai Jingga, Efourbia, Aglonema, Mini Bonsai, bunga Bank, hingga bunga Bangkai.
Lain saat jam kerja di area taman bunga KoYang, lain pula sepulang bekerja. Pelataran belakang rumah Besut juga dipenuhi aneka bunga yang jenisnya sama dengan yang ada di kebun juragannya. Rupanya Besut selalu membawa bibit bunga sepulang kerja. Kalau ada yang laku, lumayan buat tambahan belanja istrinya selain gaji perbulan yang pas-pasan.
***
Lewat malam Jum’at Legi lalu, aku memergoki wajah Besut gelisah. Aku baru paham, bahwa memilki ribuan bunga pun, tak pasti membuat wajah seseorang berbunga-bunga. Padahal, beberapa bunga pribadinya laku terjual. Ia seperti menyimpan rahasia, yang andai terbongkar, mampuslah ia, anak serta istrinya. Tak siang, atau malam, Besut mondar mandir tak karuan.
Rian. Yah, Rian. Aku jadi teringat pemuda tampan yang sekabupaten denganku. Sosok pendiam, ramah, santun, kreatif mencari peluang usaha, namun tanpa disangka, ia pembunuh berdarah dingin yang sadis. Rian yang rela mengajari orang, bahwa terpikat hanya karena ketampanan, berpeluang besar akan terbinasakan.
Aku teringat betul ketika Besut menggali beberapa lubang,yang alasannya akan dibuat memendam pupuk kompos daur ulang. Satu lubang lagi di pojok pekarangan bunga yang kini ditanami Bonsai Serut yang mulai rindang. Pantas saja pohon serut itu tumbuh lebat, kontan di bawahnya dipendam sesosok mayat, entah laki, perempuan, atau remaja. Pasti saat tertangkap nanti, akan terbongkar juga kedoknya. Sedang pohon Palem yang ditanam 3 bulan lalu, mungkin di bawahnya berisi mayat orang gemuk, atau tiga mayat dalam satu lubang, sebab aku tau, Besut menggalinya cukup lebar.
Ulah Besut ini akan lebih rapi daripada Rian. Dengan alasan menanam bunga, seratus mayat pun akan dia kubur tanpa kentara. Rian saja yang pekarangannya tidak ada alasan untuk menanam sesuatu bisa aman hingga belasan mayat, apalagi Besut.
Pantas saja dua hari lalu, ketika salah satu tetangga menghampiri Besut yang sedang mengguntingi dedaunan kuning, kekalutan wajahnya bergegas ia lipat dengan senyuman. Tak cukup menimbun rapat bau tiap mayat, Besut pun menguruk keresahannya dengan ekspresi wajah ceria. Seolah di sekitar pekarangan bunganya tak pernah terjadi apa-apa, dan aman- aman saja.
***
Purnama malam itu Rembulan dengan puasnya mencandai Bumi, karena tak sedikit pun awan menghijab. Bagai esok tiada hari lagi, Bulan dengan derasnya memancarkan seluruh sinarnya tanpa sisah. Tepatnya bukan malam purnama, tapi sudah hampir pagi, sebab Bulan tak lagi di atas kepala, melainkan condong dan bertengger di ubung-ubung rumah. Pertanda sepertiga malam lagi ,rembulan segera sembunyi dikejar mentari pagi.
Tiap bulan purnama yang hampir pagi, aku selalu menghabiskan hingga sisahnya. Sedari sore aku dan teman sekampung selalu menghabiskan kilau rembulan sembari bermain jarakte, obak soutdor, petak umpet dll. Itu dulu, sebelum rembulan pecah dan menjadi serpihan gelas-gelas kaca. Namun. Setelah tak ada rembulan lagi di atas kampung kami, aku dan teman-temanku bermain petak umpet di alun-alun kota, atau gedung-gedung mewah.
Satu kelokan lagi, adalah gang menuju rumahku. Di balik pagar tikungan itu pula kebun bunga Besut. Ingatanku tentang kegalauan Besut dan beberapa bekas galian, tiba-tiba muncul lagi, setelah ditelan permainan dengan kawan-kawan separuh malam tadi. Anggapanku bahwa Besut sudah tertidur pulas pun ambyar, setelah kudapati ternyata Besut masih berada di kebun bunganya. “Bejo! Baru pulang Jo…?” sapa Besut yang sesungguhnya tidak kuharapkan. “Kesini sebentar! Aku ada perlu denganmu, penting,” tambahnya yang membuatku terperangkap. Sejatinya, aku ingin menjawab “ iya” sambil lalu saja, dan terus ngelonyor kerumah. Tapi keberuntunganku terpangkas waktu yang hanya selisih beberapa detik.
Aku pun menghampiri Besut. Tampak jelas cangkul dan linggis di kanan-kirinya samar diterpa temaram sisah purnama. Dalam keremangan itu samar pula kulihat tiga gundukan tanah bekas galian baru. Lubang yang katanya akan dibuat menanam Bonsai Serut, Palem, dan Bonsai Asem. Aku sinis mendengarnya, pasti cercaunya hanyalah alasan, seperti melipat risau dengan senyuman kepada tetangga tadi siang. Rasanya ia sudah merencanakan bahwa aku adalah target yang akan dibunuhnya malam ini. Taruan saja ia sabar menunggu kepulanganku hingga larut pagi. Aku menyadari, bahwa tentang semua galian di taman bunga ini, hanyalah aku yang paling mengetahui.
Setelah linggis terayun tepat menghantam kepalaku, tubuhku kemudian diseret dan ditekuk dalam salah satu kubangan. Betapa sesak mayatku jika diuruk dalam kubangan yang paling kecil itu. “Kok bengong Jo?” Tanya Besut yang sekalian menyergap laju perasangkaku yang sebentar lagi kedatangan malaikat berpesta sesaat setelah kematianku. Kesadaranku tergeragap. Ternyata aku masih bernyawa di taman bunga.
Plong sesaat. Kesalahan prasangkaku seperti malaikat kecil dengan tangannya yang rapuh mencoba menyeretku dari deraan kecamuk menggumpal di rongga dada beberapa hari ini. Lega walau pun secerca. Saat itulah aku merasa berada dalam ikatan selingshot, sebuah tambatan tali yang hendak menjatuhkankanku namun tak sampai menyentuh bumi. Atau yang kemudian menarik tubuhku terbang ke angkasa, namun juga tak lepas ke awang-awang.
“Beberapa hari ini fikiranku kalut Jo,” papar Besut mengawali kepentingannya memanggilku baru saja. Aku berpura tak tau, walau ucapan itu, adalah yang kuamati beberapa hari ini. Seandainya Besut akan membongkar semua rahasianya, pasti terkaanku tak melenceng sedikit pun perihal Besut yang lebih sadis daripada Rian sang jagal manusia. “ Kau bertengkar dengan istri? Atau sekedar didiamkan istri? Gampang, sebaiknya ngomong terbuka saja. Semisal, Dik, istriku, aku perhatikan beberapa hari ini kau mendiamkan aku, kalau ada salah, salahku apa? Biar aku tak iwuh sebagai lelaki. Aku takut dibilang orang, bahwa aku lelaki yang tak bisa menduduki posisiku sebagai lelaki.” Komentarku yang sengaja menyemprotkan jasa kepada Besut, dengan harapan ucapan itu mampu mematahkan niat buruk Besut terhadapku. Sekias bibir Besut tersenyum. Walau dugaanku tentang kekalutannya tak tepat sasaran. “Mimipi yang sering kuceritakan padamu, malam Jum’at Legi kemarin datang lagi,” lanjut Besut menjelaskan kekalutan yang menderanya. Hatiku blong. Kecurigaanku terhadap kejahatan Besut hilang separuh. Sebab tak sekali ini ia bercerita perihal mimpi aneh yang aku sendiri keheranan. Yakni mimpi tentang artis ibu kota yang datang membeli bunga. Yang membuatku heran ialah setiap artis yang mendatangi Besut untuk membeli bunga, pasti tak berselang lama, artis itu meninggal dunia. Padahal hanya datang dan membeli bunga lewat mimpi.
“Kenapa mimpi-mimpi itu datang lagi. Para artis itu, apa hubungannya denganku, toh aku hanya mengenal mereka dari televisi.” “Siapa yang terakhir datang membeli bunga?” sergapku penasaran. Dengan suara lirih Besut menyebut satu nama. Tentu saja aku mengenal nama itu. Artis yang dimaksut Besut memang sudah kondang sejak aku masih kecil.
***
Berbeda dengan kebanyakan orang yang kutemui. Rata-rata, mereka bangga jika mendapat bocoran ilham rahasia Tuhan yang ditunjukkan kepadanya. Ada juga yang supaya dibocori Tuhan atas rahasianya, mereka melakukan apa pun hingga terkentut-kentut. Setelah mendapatkannya pun, mereka segera mengganggap kalau dirinya teman dekat Tuhan yang berhak menggantikan kedudukannya.
Walau mimpi Besut tajam dan cospleng tentang kematian para artis, namun aku tetap degdegan. Jangan-jangan suatu ketika, bukan artis yang datang membeli bunga-bunganya Besut, tetapi aku, atau Besut sendiri.
Marsudi benar-benar hilang. Entah kapan persisnya, aku tak punya tanda pengingat khusus, semisal jaman Semeru meletus yang tiap dedaunan dipenuhi debu hingga sempal, jaman hama wereng yang menggagalkan panen padi, jaman pederos yang mencekam karena tiba-tiba ditemukan mayat terbungkus karung, atau ketika muncul peristiwa manggar emas, manggar yang diterpa bias sinar mentari sore, sehingga warnanya persis seperti emas. Dan, hanya sore itu, tidak terjadi lagi pada sore berikutnya hingga kini. Tak pelak sore itu banyak orang berkerumun,menyaksikan manggar yang berupa emas.
Maksudku, orangnya masih ada hingga sekarang, ia berperawakan kecil, pendek, berambut ikal panjang, berjenggot, menikah dan mempunyai anak lima. Tetapi nama pemberian orang tuanya sejak kecil, yakni Marsudi, sudah tak dikenal orang lagi. Awalnya ia terbiasa dipanggil ‘Sud’, kemudian orang dan teman sebaya menjulukinya Besut. Sejak itulah nama Marsudi hilang dan berganti Besut. Tapi bukan Besut tukang ngamen di awal tahun 1900-an, yang kemudian melahirkan tontonan ludruk di daerahku.
Meski bukan sarjana, Besut lulusan SMA. Bapaknya gigih menggulung rantai, mengayuh becak untuk membiayai sekolahnya, dengan harapan kelak Besut bisa menjadi pegawai negeri. Tetapi nasib dan keberuntungan selalu berkata jujur, jika sedang tak memihaknya, harapan hanyalah cita-cita yang diidamkan namun tak kunjung tiba. Yah, rumus kehidupan kadang lebih lurus daripada garis lapangan sepak bola: karena miskin, maka tak mampu bersekolah hingga sarjana, akhirnya mencari pekerjaan susah, kalau pun ada, tak bergaji seberapa, tak cukup membiayai sekolah anaknya hingga sarjana, terus nasib temurun sampai dunia senja.
Memelihara bunga, sesungguhnya bukanlah hobinya. Hanya karena ia bekerja kepada Ko Yang, saudagar bunga berketurunan Cina yang memiliki pabrik besar di barat kota. Belajar dari Ko Yang inilah, Besut mengerti ilmu spekulasi, jika apa pun bisa dimainkan harganya melebihi emas dengan profokasi media. Rata-rata, pecinta bunga adalah orang yang berloncatan trend. Ketika musim bunga sepi, mereka beralih ke penangkaran burung atau ikan hias. Sementara beberapa bulan ini, bunga yang laku di pasaran antara lain: Gelombang Cinta, Mawar Hitam, Teratai Jingga, Efourbia, Aglonema, Mini Bonsai, bunga Bank, hingga bunga Bangkai.
Lain saat jam kerja di area taman bunga KoYang, lain pula sepulang bekerja. Pelataran belakang rumah Besut juga dipenuhi aneka bunga yang jenisnya sama dengan yang ada di kebun juragannya. Rupanya Besut selalu membawa bibit bunga sepulang kerja. Kalau ada yang laku, lumayan buat tambahan belanja istrinya selain gaji perbulan yang pas-pasan.
***
Lewat malam Jum’at Legi lalu, aku memergoki wajah Besut gelisah. Aku baru paham, bahwa memilki ribuan bunga pun, tak pasti membuat wajah seseorang berbunga-bunga. Padahal, beberapa bunga pribadinya laku terjual. Ia seperti menyimpan rahasia, yang andai terbongkar, mampuslah ia, anak serta istrinya. Tak siang, atau malam, Besut mondar mandir tak karuan.
Rian. Yah, Rian. Aku jadi teringat pemuda tampan yang sekabupaten denganku. Sosok pendiam, ramah, santun, kreatif mencari peluang usaha, namun tanpa disangka, ia pembunuh berdarah dingin yang sadis. Rian yang rela mengajari orang, bahwa terpikat hanya karena ketampanan, berpeluang besar akan terbinasakan.
Aku teringat betul ketika Besut menggali beberapa lubang,yang alasannya akan dibuat memendam pupuk kompos daur ulang. Satu lubang lagi di pojok pekarangan bunga yang kini ditanami Bonsai Serut yang mulai rindang. Pantas saja pohon serut itu tumbuh lebat, kontan di bawahnya dipendam sesosok mayat, entah laki, perempuan, atau remaja. Pasti saat tertangkap nanti, akan terbongkar juga kedoknya. Sedang pohon Palem yang ditanam 3 bulan lalu, mungkin di bawahnya berisi mayat orang gemuk, atau tiga mayat dalam satu lubang, sebab aku tau, Besut menggalinya cukup lebar.
Ulah Besut ini akan lebih rapi daripada Rian. Dengan alasan menanam bunga, seratus mayat pun akan dia kubur tanpa kentara. Rian saja yang pekarangannya tidak ada alasan untuk menanam sesuatu bisa aman hingga belasan mayat, apalagi Besut.
Pantas saja dua hari lalu, ketika salah satu tetangga menghampiri Besut yang sedang mengguntingi dedaunan kuning, kekalutan wajahnya bergegas ia lipat dengan senyuman. Tak cukup menimbun rapat bau tiap mayat, Besut pun menguruk keresahannya dengan ekspresi wajah ceria. Seolah di sekitar pekarangan bunganya tak pernah terjadi apa-apa, dan aman- aman saja.
***
Purnama malam itu Rembulan dengan puasnya mencandai Bumi, karena tak sedikit pun awan menghijab. Bagai esok tiada hari lagi, Bulan dengan derasnya memancarkan seluruh sinarnya tanpa sisah. Tepatnya bukan malam purnama, tapi sudah hampir pagi, sebab Bulan tak lagi di atas kepala, melainkan condong dan bertengger di ubung-ubung rumah. Pertanda sepertiga malam lagi ,rembulan segera sembunyi dikejar mentari pagi.
Tiap bulan purnama yang hampir pagi, aku selalu menghabiskan hingga sisahnya. Sedari sore aku dan teman sekampung selalu menghabiskan kilau rembulan sembari bermain jarakte, obak soutdor, petak umpet dll. Itu dulu, sebelum rembulan pecah dan menjadi serpihan gelas-gelas kaca. Namun. Setelah tak ada rembulan lagi di atas kampung kami, aku dan teman-temanku bermain petak umpet di alun-alun kota, atau gedung-gedung mewah.
Satu kelokan lagi, adalah gang menuju rumahku. Di balik pagar tikungan itu pula kebun bunga Besut. Ingatanku tentang kegalauan Besut dan beberapa bekas galian, tiba-tiba muncul lagi, setelah ditelan permainan dengan kawan-kawan separuh malam tadi. Anggapanku bahwa Besut sudah tertidur pulas pun ambyar, setelah kudapati ternyata Besut masih berada di kebun bunganya. “Bejo! Baru pulang Jo…?” sapa Besut yang sesungguhnya tidak kuharapkan. “Kesini sebentar! Aku ada perlu denganmu, penting,” tambahnya yang membuatku terperangkap. Sejatinya, aku ingin menjawab “ iya” sambil lalu saja, dan terus ngelonyor kerumah. Tapi keberuntunganku terpangkas waktu yang hanya selisih beberapa detik.
Aku pun menghampiri Besut. Tampak jelas cangkul dan linggis di kanan-kirinya samar diterpa temaram sisah purnama. Dalam keremangan itu samar pula kulihat tiga gundukan tanah bekas galian baru. Lubang yang katanya akan dibuat menanam Bonsai Serut, Palem, dan Bonsai Asem. Aku sinis mendengarnya, pasti cercaunya hanyalah alasan, seperti melipat risau dengan senyuman kepada tetangga tadi siang. Rasanya ia sudah merencanakan bahwa aku adalah target yang akan dibunuhnya malam ini. Taruan saja ia sabar menunggu kepulanganku hingga larut pagi. Aku menyadari, bahwa tentang semua galian di taman bunga ini, hanyalah aku yang paling mengetahui.
Setelah linggis terayun tepat menghantam kepalaku, tubuhku kemudian diseret dan ditekuk dalam salah satu kubangan. Betapa sesak mayatku jika diuruk dalam kubangan yang paling kecil itu. “Kok bengong Jo?” Tanya Besut yang sekalian menyergap laju perasangkaku yang sebentar lagi kedatangan malaikat berpesta sesaat setelah kematianku. Kesadaranku tergeragap. Ternyata aku masih bernyawa di taman bunga.
Plong sesaat. Kesalahan prasangkaku seperti malaikat kecil dengan tangannya yang rapuh mencoba menyeretku dari deraan kecamuk menggumpal di rongga dada beberapa hari ini. Lega walau pun secerca. Saat itulah aku merasa berada dalam ikatan selingshot, sebuah tambatan tali yang hendak menjatuhkankanku namun tak sampai menyentuh bumi. Atau yang kemudian menarik tubuhku terbang ke angkasa, namun juga tak lepas ke awang-awang.
“Beberapa hari ini fikiranku kalut Jo,” papar Besut mengawali kepentingannya memanggilku baru saja. Aku berpura tak tau, walau ucapan itu, adalah yang kuamati beberapa hari ini. Seandainya Besut akan membongkar semua rahasianya, pasti terkaanku tak melenceng sedikit pun perihal Besut yang lebih sadis daripada Rian sang jagal manusia. “ Kau bertengkar dengan istri? Atau sekedar didiamkan istri? Gampang, sebaiknya ngomong terbuka saja. Semisal, Dik, istriku, aku perhatikan beberapa hari ini kau mendiamkan aku, kalau ada salah, salahku apa? Biar aku tak iwuh sebagai lelaki. Aku takut dibilang orang, bahwa aku lelaki yang tak bisa menduduki posisiku sebagai lelaki.” Komentarku yang sengaja menyemprotkan jasa kepada Besut, dengan harapan ucapan itu mampu mematahkan niat buruk Besut terhadapku. Sekias bibir Besut tersenyum. Walau dugaanku tentang kekalutannya tak tepat sasaran. “Mimipi yang sering kuceritakan padamu, malam Jum’at Legi kemarin datang lagi,” lanjut Besut menjelaskan kekalutan yang menderanya. Hatiku blong. Kecurigaanku terhadap kejahatan Besut hilang separuh. Sebab tak sekali ini ia bercerita perihal mimpi aneh yang aku sendiri keheranan. Yakni mimpi tentang artis ibu kota yang datang membeli bunga. Yang membuatku heran ialah setiap artis yang mendatangi Besut untuk membeli bunga, pasti tak berselang lama, artis itu meninggal dunia. Padahal hanya datang dan membeli bunga lewat mimpi.
“Kenapa mimpi-mimpi itu datang lagi. Para artis itu, apa hubungannya denganku, toh aku hanya mengenal mereka dari televisi.” “Siapa yang terakhir datang membeli bunga?” sergapku penasaran. Dengan suara lirih Besut menyebut satu nama. Tentu saja aku mengenal nama itu. Artis yang dimaksut Besut memang sudah kondang sejak aku masih kecil.
***
Berbeda dengan kebanyakan orang yang kutemui. Rata-rata, mereka bangga jika mendapat bocoran ilham rahasia Tuhan yang ditunjukkan kepadanya. Ada juga yang supaya dibocori Tuhan atas rahasianya, mereka melakukan apa pun hingga terkentut-kentut. Setelah mendapatkannya pun, mereka segera mengganggap kalau dirinya teman dekat Tuhan yang berhak menggantikan kedudukannya.
Walau mimpi Besut tajam dan cospleng tentang kematian para artis, namun aku tetap degdegan. Jangan-jangan suatu ketika, bukan artis yang datang membeli bunga-bunganya Besut, tetapi aku, atau Besut sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar