Selasa, 08 Februari 2011

Puisi itu…! Menerjang Pecundang

Sabrank Suparno

Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terahir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail.

Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.

Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter. *

Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.

Macapat Sasana Gebyar Seni

Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.

Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta

Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.

Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.

Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.

Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.

Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?

Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.

Menghisap Kelembak Menyan

Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.

Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.

Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*

MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)

Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.

Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.

Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:

Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar