Sabrank Suparno
Kau bukan bidadari surga. Maka tubuhmu dilempar ke pintu pasar. Tugasmu hanyalah menolong pembelanja kesasar, bingung di tengah jubel dan hiruk pikuk pedagang, atau ibu ibu yang hendak membeli daging sapi. Daging yang dibantai para jagal malam hari, sebelum paginya dijajahkan di lapak lapak pedagang.*
Kau yang dulu mengesankan, lugu dan mempesona, tiba-tiba menjadi Leak betina yang menjelma seekor burung kedasih. Burung yang membuntuti gerak malamku sembari hinggap di rerimbunan carang bambu. Sorot matamu nanar. Berkilau setajam ujung belati. Sekilas pandang saja, dadaku tercabik beribu sayatan.
Andai santet atau tenun, tak sampai menyeberangi lautan. Tapi Leak..! Leak tak kenal seberangan. Rasanya ke pulau mana pun, tetap kau incar kematianku. Bukan kematian secara wajar dan mudah, melainkan sekaratku dalam sunyi, kelam, merasuk seutas jiwa, penuh bisikan, rintihan, konstan dan pasti. Kalapmu pun seperti tak mau tau, bahwa kematian akan mencuri hal berharga dalam hidupku.
Firda..! Waktu kecil, apa kau tak pernah digendong ibumu. Dibelai dan diayun-ayun sembari melelapkan nakalmu dengan tembang // tak lelo..lelo..lelo.. ledung // Jika pernah, kau pasti menyadari kalau kehidupan itu seperti mata dadu. Sekali kocok, akan wujud tatanan baru. Yang hokki hari ini, mungkin esok kartu mati.
Seribu abad lebih, luka ini meradang dalam tubuh. Rasanya, luapan itu ingin ku bredel dari dadaku. Ku congkel, lalu ku peras. Cairan nanah dan darah pekatnya akan kubasuhkan ke wajahmu. Agar mata, hidung, bibir dan alismu terbahak tawa. Yah.., terbahak hingar. Supaya dendam pada lelaki yang menyakitimu sepadan. Lelaki yang lalu lalang di gerbang cintamu. Atau, lelaki yang sekedar mengintip dari cela jendelanya. Para lelaki sebelum kedatanganku.
Kau ingat! Saat kita bertiga, aku, kau dan lelaki yang kau cintai. Apa yang kau lakukan tatkala kita bertiga? Kau memojokkan aku demi menggaet simpatinya. Kau ingat! Dua minggu sebelum lelaki yang kau harapkan bertahun-tahun itu hendak menikah? Aku ingin mengatakan pada lelakimu yang codet dan bebal, bahwa kau mencintanya. Dengan harapan ia mengurungkan pernikahannya dan menyadari kalau kau menyukainya sejak lama, dan lalu ia menggandengmu ke pelaminan yang sakral itu. Padahal saat itu kau resmi berpacaran denganku.
Firda. Kau memang bukan wanita surga. Tetapi wanita pasar. Wanita yang selalu menjual sampah pun hingga laku. Nganga luka ini adalah saat menjinakkanmu dengan busur runcing yang ku cecam racun asmara. Ku tanya, apa saat ini ada lelaki yang memilikimu? “Tidak,” jawabmu. Aku langsung mengatakan, bantulah aku bagaimana caranya agar aku bisa memilikimu. Sejak saat itulah aku selalu iri kepada hujan. Hujan yang selalu mengguyur tiap aku hendak menanam benih cintaku. Aku pun curiga pada gerimis. Gerimis yang selalu menyaput jaket lusuh dan rambut ikalku tiap hendak mengairi tumbuh dan kembangnya bunga-buah cintaku. Aku juga curiga pada petir. Yang kilatnya hendak menebas sesemian dahan dan ranting cintaku. Namun atas nama kemenangan cinta, segalanya menjadi irama pembebasan. Apalah arti hujan dan gerimis, petirnya pun hanya berondong petasan di hari raya.
Kau memang bukan wanita surga. Tidak. Kau katakana tidak. Kau tau! Tidak adalah konsekuensi keberanian. Tidak dan iya, adalah pilihan. Bahwa mengatakan tidak, harus meninggalkan yang iya. Begitu pula tuk berkata iya, dibutuhkan keberanian untuk menanggalkan yang tidak. Iya dan tidak itu pencarian. Bukan lelunturan gincu bibir wanita yang dilumat laki-laki di ruang cinta.
Mulanya aku membenci lelakimu yang budek dan sok pilih pilih itu. Kenapa ia tak memilihmu. Ternyata, kau yang memang binal. Kejalanganmu menjajahkan cinta obral ke tiap apa dan siapa yang kau kagumi di lapak pasar. Bukan apa yang kau butuhkan.
Meski cebol, lelakimu digandrungi banyak wanita. Bukan karena asmara. Tetapi lalakimu itu lihai menjajahkan dagangan di pasar. Bahkan, demi konsekuensi dia sebagai pedagang, ia rela bertransaksi narkoba hingga dikejar-kejar polisi. Tak cuma itu. Ia juga dikejar dirinya sendiri.
Atau memang kau tak pernah tau, bahwa kau bukan tipe lelaki itu. Sebab ia sering bercerita kepadaku, kalau kekasihnya wanita darah biru di Jogjakarta. Tentu bagi lelakimu, kau terlalu hina dipilihnya. Mestinya, lelakimu itu memberi kejelasan sikap kepadamu, kalau hubungan kalian sebatas kawan dagang. Dan bukan diam seperti mata kail yang umpannya ditarik ulur agar kau tetap bisa dimanfaatkan saat kesepian. Pedagang memang suka menggantungkan transaksi. Kalau pun tidak untung, jangan sampai rugi.
Firda. Kesalahanmu cuma satu. Karena kau wanita. Manusia yang punya cinta, tapi tak berhak menyinta. Kewanitaan wanita ialah ketika ia dicinta. Bukan menyinta. Sebagaimana kelaki-lakian lelaki ialah menyinta. Bukan mengobral cinta di lapak pasar wanita.
Kau memang bidadari pasar. Sejak berseliweran di pintu pasar, aku sering mengamatimu dari warung reot tepi sungai yang tak jauh dari pintu pasar. Aku juga melihat ketika kau harus kelayapan luar kota hingga basah kuyup mencari dagangan. Itulah kau. Yang aku pikir mengerti kehidupan di luar pasar. Untuk menjengukku saja yang hampir sekarat, kau tak peduli. Kau benar benar bulat menjadi bola dagangan. Tak lagi menjadi segumpal salju di gurun es. Salju yang menyejukkan pendakianku. Kenapa kau tak berguru pada pengemis berkaki buntung yang tiap pagi duduk di emperan pasar. Bahwa dibutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan. Atau mengeja wanita tua yang selalu kesiangan sampai di pasar. Wanita yang harus berjalan kaki sejauh 17 km sambil menggendong ranting jelagar. Yah…, wanita pedagang kayu bakar. Karena di tempatnya tak ada yang bisa dijual kecuali ranting jelagar.
***
“Kau terlalu ego mas..! Tak demokratis. Anti gender. Tak ubahnya Datuk Maringgi yang membeli gadis-gadis belia sebagai pemuas selakangan. Bahkan kau tak ubahnya Ayah, yang menjaring Ibu sebagai tawanan sangkar madu. ” Keliatmu membela diri. Tapi jauh di balik aktingmu, kau tanggung tuk hidup bersamaku, setelah tak bersanding dengan lelaki yang kau idamkan. Padahal, berpoles sedikit saja, kau laku ditawar saudagar.
Firda. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Lelaki pun eggan menjadi Datuk Maringgi. Zaman siber, sms dan facebook, Datuk Maringgi pasti dikhianati. Tetapi memilih wanita pendamping hidup itu hak laki laki. Sebagaimana menolak adalah hak wanita. Untuk menetapkan pilihanku padamu, bagiku adalah pencarian hidup. Kau telah menyingkirkan milyatan wanita. Yang karena mereka wanita, bisa saja berpotensi menjadi istriku. Tapi aku tak memilih mereka. Aku memilihmu. Sebab aku percaya kau mampu menjaga anak dan keutuhan rumah tangga nantinya.
Pun juga demikian. Diam diam aku adalah lelaki istimewa bagimu. Sebab dari ribuan lelaki, akulah yang nyata pernah serius mengajakmu berumah tangga. Sedang yang lain, hanyalah mengajakmu bermain jarakte cinta. Sejak itulah aku mengerti, kau memang bukan bidadari surga. Tak ubahnya yang lain, wanita yang tak kunjung selesai dengan dirinya sendiri. Kau pikir, sebelum menikah, aku tak faham, bahwa cinta itu hanya ada sebelum pernikahan. Cinta tak bisa dimakan! Setelah menikah, cinta berganti menjadi tuntutan.
Firda. kau tak seperti istri kaisar yang membangun imperium di kota tua. Sebuah bangunan yang lekuk tekturnya diabadikan hingga berpuluh peradaban. Kau malah memilih tanah lapang. Dengan ribuan kawan sepermainan dan sibuk membikin bilik gubuk dari lembaran koran.
***
Firda. Sengaja umpatan ini ku pendam dalam dada. Walau Rendra berpesan “setiap ruang yang tertutup akan meledak. Karena tak akan mampu menghadang tenaga cinta dari waktu.” Sesungguhnya aku juga ingin lari darimu. Kau ingat! Saat aku dan pamanmu menganggapmu sebagai tali emas. Tangan kirimu ku tarik kuat, sendang tangan kananmu ditarik pamanmu lebih kuat. Lebih kuat. Tak sekedar ombang ambing. Tak. Tubuhmu pun letih dan sakit. Kau menjerit. Tidak padaku, juga pamanmu. Aku yang tak tega melihat lunglai tubuhmu, kemudian melepaskanmu. Pamanmu menang. Ia membawamu lari ke rumah idaman. Ia pun sudah mempersiapkan calon suami untukmu. Aku kalah. Aku tak mampu mempertahankan dirimu dalam dekapan hangat tulang rusukku. Aku lelaki tak seperti yang kau bayangkan.
Aku berharap beberapa detik kemudian, kau mengerti. Bahwa melepasmu setara membebaskan kau kala kesakitan. Dengan melepasmu, kau tak terombang ambing lagi. Padahal bagiku, serasa melepas separuh nyawaku. Aku kehilangan harta paling berharga dalam hidup. Ah. Kau memang dagangan pasar. Tak mengerti rumus bahwa yang mengalah dalam sebuah perhelatan, adalah yang menang.
Firda. Seperti yang sudah lalu, tiap tahun baru aku sibuk menghitung waktu. Tahun baru kemarin, kutulis di dinding facebookku, ”tiap tahun baru menjelang, usia makin berkurang. Kita kian tua. Sementara tak kunjung datang bidadari surga.” Menu di profil facebook, hanyalah bidadari pasar yang terpampang untuk dijual. For Sale.
Catatan: * serapan puisi Mardi Luhung.
Jarakte: sejenis permainan petak umpet.
Kau bukan bidadari surga. Maka tubuhmu dilempar ke pintu pasar. Tugasmu hanyalah menolong pembelanja kesasar, bingung di tengah jubel dan hiruk pikuk pedagang, atau ibu ibu yang hendak membeli daging sapi. Daging yang dibantai para jagal malam hari, sebelum paginya dijajahkan di lapak lapak pedagang.*
Kau yang dulu mengesankan, lugu dan mempesona, tiba-tiba menjadi Leak betina yang menjelma seekor burung kedasih. Burung yang membuntuti gerak malamku sembari hinggap di rerimbunan carang bambu. Sorot matamu nanar. Berkilau setajam ujung belati. Sekilas pandang saja, dadaku tercabik beribu sayatan.
Andai santet atau tenun, tak sampai menyeberangi lautan. Tapi Leak..! Leak tak kenal seberangan. Rasanya ke pulau mana pun, tetap kau incar kematianku. Bukan kematian secara wajar dan mudah, melainkan sekaratku dalam sunyi, kelam, merasuk seutas jiwa, penuh bisikan, rintihan, konstan dan pasti. Kalapmu pun seperti tak mau tau, bahwa kematian akan mencuri hal berharga dalam hidupku.
Firda..! Waktu kecil, apa kau tak pernah digendong ibumu. Dibelai dan diayun-ayun sembari melelapkan nakalmu dengan tembang // tak lelo..lelo..lelo.. ledung // Jika pernah, kau pasti menyadari kalau kehidupan itu seperti mata dadu. Sekali kocok, akan wujud tatanan baru. Yang hokki hari ini, mungkin esok kartu mati.
Seribu abad lebih, luka ini meradang dalam tubuh. Rasanya, luapan itu ingin ku bredel dari dadaku. Ku congkel, lalu ku peras. Cairan nanah dan darah pekatnya akan kubasuhkan ke wajahmu. Agar mata, hidung, bibir dan alismu terbahak tawa. Yah.., terbahak hingar. Supaya dendam pada lelaki yang menyakitimu sepadan. Lelaki yang lalu lalang di gerbang cintamu. Atau, lelaki yang sekedar mengintip dari cela jendelanya. Para lelaki sebelum kedatanganku.
Kau ingat! Saat kita bertiga, aku, kau dan lelaki yang kau cintai. Apa yang kau lakukan tatkala kita bertiga? Kau memojokkan aku demi menggaet simpatinya. Kau ingat! Dua minggu sebelum lelaki yang kau harapkan bertahun-tahun itu hendak menikah? Aku ingin mengatakan pada lelakimu yang codet dan bebal, bahwa kau mencintanya. Dengan harapan ia mengurungkan pernikahannya dan menyadari kalau kau menyukainya sejak lama, dan lalu ia menggandengmu ke pelaminan yang sakral itu. Padahal saat itu kau resmi berpacaran denganku.
Firda. Kau memang bukan wanita surga. Tetapi wanita pasar. Wanita yang selalu menjual sampah pun hingga laku. Nganga luka ini adalah saat menjinakkanmu dengan busur runcing yang ku cecam racun asmara. Ku tanya, apa saat ini ada lelaki yang memilikimu? “Tidak,” jawabmu. Aku langsung mengatakan, bantulah aku bagaimana caranya agar aku bisa memilikimu. Sejak saat itulah aku selalu iri kepada hujan. Hujan yang selalu mengguyur tiap aku hendak menanam benih cintaku. Aku pun curiga pada gerimis. Gerimis yang selalu menyaput jaket lusuh dan rambut ikalku tiap hendak mengairi tumbuh dan kembangnya bunga-buah cintaku. Aku juga curiga pada petir. Yang kilatnya hendak menebas sesemian dahan dan ranting cintaku. Namun atas nama kemenangan cinta, segalanya menjadi irama pembebasan. Apalah arti hujan dan gerimis, petirnya pun hanya berondong petasan di hari raya.
Kau memang bukan wanita surga. Tidak. Kau katakana tidak. Kau tau! Tidak adalah konsekuensi keberanian. Tidak dan iya, adalah pilihan. Bahwa mengatakan tidak, harus meninggalkan yang iya. Begitu pula tuk berkata iya, dibutuhkan keberanian untuk menanggalkan yang tidak. Iya dan tidak itu pencarian. Bukan lelunturan gincu bibir wanita yang dilumat laki-laki di ruang cinta.
Mulanya aku membenci lelakimu yang budek dan sok pilih pilih itu. Kenapa ia tak memilihmu. Ternyata, kau yang memang binal. Kejalanganmu menjajahkan cinta obral ke tiap apa dan siapa yang kau kagumi di lapak pasar. Bukan apa yang kau butuhkan.
Meski cebol, lelakimu digandrungi banyak wanita. Bukan karena asmara. Tetapi lalakimu itu lihai menjajahkan dagangan di pasar. Bahkan, demi konsekuensi dia sebagai pedagang, ia rela bertransaksi narkoba hingga dikejar-kejar polisi. Tak cuma itu. Ia juga dikejar dirinya sendiri.
Atau memang kau tak pernah tau, bahwa kau bukan tipe lelaki itu. Sebab ia sering bercerita kepadaku, kalau kekasihnya wanita darah biru di Jogjakarta. Tentu bagi lelakimu, kau terlalu hina dipilihnya. Mestinya, lelakimu itu memberi kejelasan sikap kepadamu, kalau hubungan kalian sebatas kawan dagang. Dan bukan diam seperti mata kail yang umpannya ditarik ulur agar kau tetap bisa dimanfaatkan saat kesepian. Pedagang memang suka menggantungkan transaksi. Kalau pun tidak untung, jangan sampai rugi.
Firda. Kesalahanmu cuma satu. Karena kau wanita. Manusia yang punya cinta, tapi tak berhak menyinta. Kewanitaan wanita ialah ketika ia dicinta. Bukan menyinta. Sebagaimana kelaki-lakian lelaki ialah menyinta. Bukan mengobral cinta di lapak pasar wanita.
Kau memang bidadari pasar. Sejak berseliweran di pintu pasar, aku sering mengamatimu dari warung reot tepi sungai yang tak jauh dari pintu pasar. Aku juga melihat ketika kau harus kelayapan luar kota hingga basah kuyup mencari dagangan. Itulah kau. Yang aku pikir mengerti kehidupan di luar pasar. Untuk menjengukku saja yang hampir sekarat, kau tak peduli. Kau benar benar bulat menjadi bola dagangan. Tak lagi menjadi segumpal salju di gurun es. Salju yang menyejukkan pendakianku. Kenapa kau tak berguru pada pengemis berkaki buntung yang tiap pagi duduk di emperan pasar. Bahwa dibutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan. Atau mengeja wanita tua yang selalu kesiangan sampai di pasar. Wanita yang harus berjalan kaki sejauh 17 km sambil menggendong ranting jelagar. Yah…, wanita pedagang kayu bakar. Karena di tempatnya tak ada yang bisa dijual kecuali ranting jelagar.
***
“Kau terlalu ego mas..! Tak demokratis. Anti gender. Tak ubahnya Datuk Maringgi yang membeli gadis-gadis belia sebagai pemuas selakangan. Bahkan kau tak ubahnya Ayah, yang menjaring Ibu sebagai tawanan sangkar madu. ” Keliatmu membela diri. Tapi jauh di balik aktingmu, kau tanggung tuk hidup bersamaku, setelah tak bersanding dengan lelaki yang kau idamkan. Padahal, berpoles sedikit saja, kau laku ditawar saudagar.
Firda. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Lelaki pun eggan menjadi Datuk Maringgi. Zaman siber, sms dan facebook, Datuk Maringgi pasti dikhianati. Tetapi memilih wanita pendamping hidup itu hak laki laki. Sebagaimana menolak adalah hak wanita. Untuk menetapkan pilihanku padamu, bagiku adalah pencarian hidup. Kau telah menyingkirkan milyatan wanita. Yang karena mereka wanita, bisa saja berpotensi menjadi istriku. Tapi aku tak memilih mereka. Aku memilihmu. Sebab aku percaya kau mampu menjaga anak dan keutuhan rumah tangga nantinya.
Pun juga demikian. Diam diam aku adalah lelaki istimewa bagimu. Sebab dari ribuan lelaki, akulah yang nyata pernah serius mengajakmu berumah tangga. Sedang yang lain, hanyalah mengajakmu bermain jarakte cinta. Sejak itulah aku mengerti, kau memang bukan bidadari surga. Tak ubahnya yang lain, wanita yang tak kunjung selesai dengan dirinya sendiri. Kau pikir, sebelum menikah, aku tak faham, bahwa cinta itu hanya ada sebelum pernikahan. Cinta tak bisa dimakan! Setelah menikah, cinta berganti menjadi tuntutan.
Firda. kau tak seperti istri kaisar yang membangun imperium di kota tua. Sebuah bangunan yang lekuk tekturnya diabadikan hingga berpuluh peradaban. Kau malah memilih tanah lapang. Dengan ribuan kawan sepermainan dan sibuk membikin bilik gubuk dari lembaran koran.
***
Firda. Sengaja umpatan ini ku pendam dalam dada. Walau Rendra berpesan “setiap ruang yang tertutup akan meledak. Karena tak akan mampu menghadang tenaga cinta dari waktu.” Sesungguhnya aku juga ingin lari darimu. Kau ingat! Saat aku dan pamanmu menganggapmu sebagai tali emas. Tangan kirimu ku tarik kuat, sendang tangan kananmu ditarik pamanmu lebih kuat. Lebih kuat. Tak sekedar ombang ambing. Tak. Tubuhmu pun letih dan sakit. Kau menjerit. Tidak padaku, juga pamanmu. Aku yang tak tega melihat lunglai tubuhmu, kemudian melepaskanmu. Pamanmu menang. Ia membawamu lari ke rumah idaman. Ia pun sudah mempersiapkan calon suami untukmu. Aku kalah. Aku tak mampu mempertahankan dirimu dalam dekapan hangat tulang rusukku. Aku lelaki tak seperti yang kau bayangkan.
Aku berharap beberapa detik kemudian, kau mengerti. Bahwa melepasmu setara membebaskan kau kala kesakitan. Dengan melepasmu, kau tak terombang ambing lagi. Padahal bagiku, serasa melepas separuh nyawaku. Aku kehilangan harta paling berharga dalam hidup. Ah. Kau memang dagangan pasar. Tak mengerti rumus bahwa yang mengalah dalam sebuah perhelatan, adalah yang menang.
Firda. Seperti yang sudah lalu, tiap tahun baru aku sibuk menghitung waktu. Tahun baru kemarin, kutulis di dinding facebookku, ”tiap tahun baru menjelang, usia makin berkurang. Kita kian tua. Sementara tak kunjung datang bidadari surga.” Menu di profil facebook, hanyalah bidadari pasar yang terpampang untuk dijual. For Sale.
Catatan: * serapan puisi Mardi Luhung.
Jarakte: sejenis permainan petak umpet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar