Rabu, 23 Februari 2011

NU Miring, Sastra Gonjang Ganjing

Sabrank Suparno

Menelusuri kiprah para muda NU sepeninggal tokoh muktabar Abdurrahman Wahid, diam-diam generasi penerusnya aktif melakukan upaya terobosan yang mengarah ke pembangkitan kesadaran kembali, terutama pada wilayah tradisi keNUan atau yang dikenal dengan ‘tradisi santri’. Geliat ini dapat kita amati dari berbagai acara yang berkenaan dengan keNUan dari berbagai sektor kehidupan sosial, politik, kebudayaan, kesenian dan sastra, bahkan soal yang remeh sekali pun perihal ‘guyonan nyentrik ala NUis.

Menyimak beberapa catatan misalnya pertemuan dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya mendiang Gus Dur yang diadakan oleh Pengurus Ranting Cabang NU Diwek di masjid Ulul Albab Tebuireng, dengan menghadirkan Djohan Efendi dan budayawan Kacung Marijan. Atau gagasan acara Buka Puasa bersama di Gereja Diaspora Jombang yang dihadiri Alisa Wahid pada 26 Agustus 2010. Juga kunjungan PBNU KH. Agil Shiroj di Tambakberas tanggal 26 Juni 2010.

Menyambung penelusuran catatan serentetan acara di atas, yang paling hangat pada tanggal 12 Pebruari 2011 lalu, dimana universitas Undar Jombang mengadakan bedah buku: Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Aneka Suara Nahdliyin dari Beragam Penjuru. Sengaja fihak rektorat Undar (dalam hal ini dr. Ma’murotus Sa’diyah M Kes: salah satu penulis buku tersebut) menghadirkan tiga sastrawan kondang D. Zawawi Imron, novelis Lan Fang, dan penyair Binhad Nurohmad.

Maksut NU Miring dalam buku setebal 284 halaman ini bukanlah suatu gambaran ketegangan pada titik nadzir kondisi kritis, melainkan ekspresi kepekaan para panulis muda NU dalam menyikapi kondisi mutakhir NU ketika dihadapkan pada realitas jaman. Maka ditemukan berbagai cara pandang dari beberapa penulisnya yang merujuk pada tiga kategori menonjol, yakni Mengulas NU, Mencandai NU, serta Menonton NU. Namun secara global wacana ‘NU Miring’ dalam buku ini sebagai adagium atas beberapa ‘tradisi NU yang sering ‘nyleneh’.

Tentu ada alasan mendasar kenapa Binhad Nurohmad selaku sastrawan muda Indonesia punya niatan menyunting buku tersebut. Menjawab pertanyaan perihal tema yang diangkat buku NU Miring, Binhad mengurai bahwa agar ditemukan teks pembacaan keNUan dari berbagai kalangan dan dari berbagai propinsi di Indonesia. Teks yang dimaksut adalah NU yang berani nyleneh, unik, termasuk sikap otokritik penulisnyanya terhadap kondisi kontemporer tubuh NU sendiri atau pun mengkritisi pemerintah.

Senada dengan Binhad, penyair sepuh asal ujung Madura yang berjuluk ‘si celurit emas’ D. Zawawi Imron menandaskan bahwa kehadiran buku ini merupakan potret semangat generasi muda NU yang ingin bangkit dengan mendengarkan suara hati rakyat secara realitas. Kebangkitan yang substansial. Sebab NU mulai kehilangan nilai tradisinya termasuk di bidang seni-sastra. Dalam pesan singkatnya D. Zawawi Imron menyarankan agar generasi NU mentradisikan filsafat Jawa, “iso o rumongso, ning ojo rumongso iso (pandailah berintrospeksi diri, namun jangan sok merasa pakar).”

Novelis Lan Fang lebih mengurik soal tradisi NU yang ia nilai unik, yakni tradisi tawadzuk, andap asor, bertatakrama terhadap yang lebih tua. Tatakrama dinilai penting dalam tradisi nahdliyin yang setara dengan tradisi masyarakat Cina, sebab dengan bertatakramalah menjadikan seseorang berwibawa: sesuatu makna pamor yang tidak dimiliki orang Barat meski pun berpredikat pakar besar. Selain membidik pandangannya mengenai tradisi NU yang nleneh, Lan Fang juga membaca penggalan novel terbarunya ‘Ciuman di Bawah Hujan’.

Kehadiran intelektual muda NU Yudi Latief dari Jakarta, kian mengesahkan perihal kemiringan tradisi NU yang bertumpu pada pengkajian kitab kuning sebagai jantung kekuatan NU, dengan cara menarik garis sumbu simetri keilmuan ke berbagai sektor kehidupan bermasyarakat.

NU, sebagaimana kita ketahui, adalah organisasi islam terbesar di tanah air yang dalam doktrinnya memadukan nilai-nilai keislaman dengan nilai tradisi di tanah air. Menyimak ulang apa yang dikatakan Sholahudin Wahid saat 40 harinya Gus Dur, bahwa selaku tokoh besar NU, sepulang dari Timur Tengah, paham yang dikembangkan Gus Dur ialah ‘meng-Islamkan Indonesia, dan bukan mengArabkan Indonesia’.

Pengacakan kepanjangan “Nahdlotul Ulama”, benar-benar dibongkar miring oleh penulis Ahmad S Alwy menjadi “Nahdlotul Umum”yang memungkinkan warganya datang sedari kalangan borjuis hingga proletarian. Sementara Riadi Ngasiran lebih santai menghadirkan NU dari sisi humor yang dipandang penting oleh para santri untuk melenturkan ketegangan atas ketimpangan hidup.

Kenylenehan NU dalam berbagai aspek kehidupan, kerap menumbuhkan guyonan nyentrik jika berhadapan dengan organisasi lain. Namun guyonan tersebut semata bertujuan sebagai sikap egalitarian berdampingan, bermesrahan dengan golongan lain. Ada banyak guyonan semisal: orang NU yang suka berwirid dengan suara keras, memperbanyak ibadah sunat, artinya orang NU menyukai bonus dalam beribadah, sementara orang Muhammadiyah menyukai diskon dengan bertarawih hanya 8 rekaat. NU sekarang bermadzhab Imam Syafi ie Maarif, sementara Muhammadiyah bermadzhab Imam Malik Fajar. Atau kelakar warga yang berbasis NU ketika menyarankan anaknya. ”Nak! Kalau kamu menikah harus mencari orang muslim, minimum Muhammadiyah.” Juga kekentalan tradisi membaca salam, assalamu’alaikum warohmatullhohi-ta’ala-wabarokatuh. Sedang warga selain NU, assalamu’alaikum warohmatullhohi-gak usah ta’ala ta’alaan-wabarokatuh.

Tradisi NU tak lepas dari tradisi santri, tradisi kitab kuning dan tradisi sastra. Awal mendalami bahasa dan sastra di podok pesantren, santri pasti dihadapkan pada rumus-rumus tatabahasa yang disuguhkan dalam bentuk bait pantun bersajak. Sejak kitab terkecil Nahwu, Shorof, Jurumiyah, Imriti, Alfiyah, bahkan Al Hikam kental dengan tuangan irama sajak. Hingga metode ini kerap digunakan santri sebagai ajang sindiran ketika mengutarakan simpatinya terhadap santriwati. Dengan alasan menghafal sebaris bait dari kitab Alfiya –wa yak tadzi, ridhon bi ghoiri sukhti-faiqot alfiyat abnu Mukti- yang dirubah isi bahasanya menjadi –pagi-pagi tak samperi diam saja-sore-sore tak sindiri, lirik mata-, yang sengaja diperdengarkan kepada santri putri yang ia taksir.

Tradisi membaca bait puisi sholawat (al Barzanji, Diba’iyah) bagi remaja NU juga memiliki keunikan tersendiri. Disamping mereka melampiaskan kerinduan atas ketakjubannya pada kekasih petunjuk jiwanya yakni Muhammad Rasululloh, pun kadang dinunuti niatan mengutarakan isi hati kepada kekasih (wanita) yang ditaksirnya. Lagu sholawat yang dilantunkan dengan lirik lagu pop, dangdut, qosidah, pelantun dapat menyampaikan keluhan, pujaan, kerinduan terhadap sang pacar yang mendengarkan. Semisal ketika berlangsung acara Diba’iyah putri, mereka melantunkan lagunya Imam S Arifin// jangan tinggalkan aku // kumohon kepadamu // tak sanggup diri ini // hidup tanpa dirimu //ditembangkan dengan bersholawat. Sehingga pada kesempatan lain, ketika hari Diba’iyah putra, mereka membalas dengan lagu sholawat yang ditembangkan / hani / hani / aku juga rindu / tetapi untuk sementara / biarlah terpisah / lagunya Roma Irama.

Menyibak fenomena tradisi NU di atas, betapa warga NU lekat dengan dunia sastra. Itulah mungkin yang bisa melebar dari kajian buku NU Miring ini, menyorot NU dari sudut pandang sastrawan, dengan harapan, para santri lebih gigih dalam menulis dan bersastra. Hampir tidak ditemukan genre ‘sastra santri’ pasca-lengserkeprabonnya barisan penulis santri: Taufik Ismail, Abdul Hadi WM, Ahmad Thohari, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Al Adawiyah, al Bustami, al Hallaj, Rumi, dll yang tidak sekedar mengguratkan pena dalam berkarya, melainkan menyempurnakan karya sastranya dari sekedar ‘seni untuk seni’ atau seni untuk masyarakat tertentu, menjadi ‘seni untuk kehidupan manusia yang berbudaya tinggi.

Agaknya tidak lengkap jika kemiringan NU tidak disertai karya sastra santrinya yang menggelegak hingga menggonjang-ganjingkan kesusastraan Indonesia. Bagi santri, satu huruf saja yang mereka tulis tak lepas dari keterlibatan Tuhan (ibadah). Bisa saja tiba-tiba mengantuk atau hilang kesadaran ketika berkarya, maka tak akan jadi sebuah karya.

Karya santri ialah karya yang disandarkan pada fastabikul khoirot (berlomba memperbanyak kebaikan untuk umat manusia-rahmatan lil alamin). Ukurannya hanya sejauh mana Alloh turut campur dalam proses esoteris komitmen dimensi batin penulis yang mengintegral pada karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar