Surabaya Post, Ahad 19 Desember 2010
KHALWAT
Menderaikan bungah dikhalwat yang tunai terjamah
Sekencang tatap menancapi percakapan di tubir senja
Tak ada kejanggalan dari rasa
yang beruntai mengepung kita.
Lekaskan malam membalut surup.
Dan biarkan angin menggigilkan kenangan ini dipelukan.
HIKAYAT MENANTU
Layak lelembu di bibir yang menggatali celoteh
Selanjutnya mengembik. Memakan yang rela
Menghutang hati para menantu.
Semua memasang bedera kebenaran
Jadikan lurah tak berfungsi jabatannya.
Pembelaan yang percuma
atas diri yang dirasa tak berjasa.
MARJAN
Kuciumi nafas semanis itu oleh gumpalan gula-gula
merona, setiap bibir cawan yang kau hinggapi.
Suara ratu dangdut mendesak ditelinga:
Mana mungkin suamiku pulang ke rumahmu
Kalau tak kau suguhkan, kalau tak kau hidangkan
Gula-gula. Gula-gula.
Tak layak lagi aku membantah
Saat kubuka pintu meleleh marjan dari bibirmu...
SEUSAI PERJAMUAN
Gigimu seperti masih menancap
Kusebat. Ku hentak dari rintih yang terus berdengung.
Liurmu meresap dan lekat
Kuseka urai diguyuran: melepas pagut dan cecap.
Seusai malam bergelayut didekap
Menggulai yang sepat, mengalirkan yang mampat.
MELIUK DI UJUNG TANDUK
Meliuk di pucuk kenyataan tanpa sangka
Nyawa berdentang
Dicabik rupa dilindap rasa
Beranilah mendengkur meloloskan keresahan.
Di malam yang kikir cahaya.
LATHU TEBUIRENG
Aku bergegas dari rumah mengibas lathu yang rintik jadi hujan
Merayap ke selatan menatap cerobong menjulang
Dekat makam tiga keturunan jadi pahlawan aku sadar
Tebuireng menitipkan namanya
Pada pabrik gula di pertigaan
Terus menderu menggilas tebu
Menguarkan lathu.
Jombang, November 2010
KHALWAT
Menderaikan bungah dikhalwat yang tunai terjamah
Sekencang tatap menancapi percakapan di tubir senja
Tak ada kejanggalan dari rasa
yang beruntai mengepung kita.
Lekaskan malam membalut surup.
Dan biarkan angin menggigilkan kenangan ini dipelukan.
HIKAYAT MENANTU
Layak lelembu di bibir yang menggatali celoteh
Selanjutnya mengembik. Memakan yang rela
Menghutang hati para menantu.
Semua memasang bedera kebenaran
Jadikan lurah tak berfungsi jabatannya.
Pembelaan yang percuma
atas diri yang dirasa tak berjasa.
MARJAN
Kuciumi nafas semanis itu oleh gumpalan gula-gula
merona, setiap bibir cawan yang kau hinggapi.
Suara ratu dangdut mendesak ditelinga:
Mana mungkin suamiku pulang ke rumahmu
Kalau tak kau suguhkan, kalau tak kau hidangkan
Gula-gula. Gula-gula.
Tak layak lagi aku membantah
Saat kubuka pintu meleleh marjan dari bibirmu...
SEUSAI PERJAMUAN
Gigimu seperti masih menancap
Kusebat. Ku hentak dari rintih yang terus berdengung.
Liurmu meresap dan lekat
Kuseka urai diguyuran: melepas pagut dan cecap.
Seusai malam bergelayut didekap
Menggulai yang sepat, mengalirkan yang mampat.
MELIUK DI UJUNG TANDUK
Meliuk di pucuk kenyataan tanpa sangka
Nyawa berdentang
Dicabik rupa dilindap rasa
Beranilah mendengkur meloloskan keresahan.
Di malam yang kikir cahaya.
LATHU TEBUIRENG
Aku bergegas dari rumah mengibas lathu yang rintik jadi hujan
Merayap ke selatan menatap cerobong menjulang
Dekat makam tiga keturunan jadi pahlawan aku sadar
Tebuireng menitipkan namanya
Pada pabrik gula di pertigaan
Terus menderu menggilas tebu
Menguarkan lathu.
Jombang, November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar