Ramadhan Al-yafi
“Aku menyesal telah mengenalmu, Ri. Mengenal seorang Ning Riry Azzahra!! Mengapa Allah mempertemukan kita kalau akhirnya kita harus berpisah seperti ini.” Ucapku kepada Ning Riry pada suatu senja di temani hujan deras. Ning Riry hanya bisa terdiam seribu bahasa di depanku. Sementara itu pakaian kami telah basah kuyup di guyur hujan deras. Kami berdua terdiam di tengah halaman kampus yang sudah sepi. Sepi dari para mahasiswa yang kuliah hari itu.
“Tapi sebenarnya Aku juga cinta kamu, Fa. Ini keputusan Abahku yang sulit Aku terima bahwa Aku akan di jodohkan oleh seorang putra kiai, teman Abahku sewaktu nyantri di Solo.” Ucapnya agak teriak untuk menyaingi gemuruh hujan.
“Kalau memang benar kamu mencintaiku, mengapa kamu tidak menolaknya, Ri?”
“Aku menolak untuk di jodohkan dan Aku sudah berusaha meyakinkan Abah bahwa perniakahan tanpa di dasari rasa cinta tidak akan bertahan lama.”
Tubuhnya mulai kedinginan karena sudah terlalu lama terguyur hujan yang deras.
“Yang sekarang harus kita lakukan adalah membicarakan tentang hubungan kita kepada Abahmu.”
“Tapi bagaimana caranya?” ucap Ning Riry mulai pesimis.
“Aku akan melamarmu, tepatnya dua hari lagi.”
Ku lihat wajah Ning Riry tampak sangat kaget bercampur gembira, entah apa yang di pikirkannya saat itu. Aku pun menyuruhnya untuk pulang karena Aku dan dia sudah terlalu lama terguyur hujan.
Sesampainya Aku di rumah, Aku bingung bagaimana caranya untuk membuktikan ucapanku tadi. Apakah Aku harus membicarakan terlebih dahulu kepada orangtuaku di Jakarta?.
Walaupun jarak Bandung-Jakarta tidak terlalu jauh hanya memakan waktu kurang lebih dua jam, apakah orangtuaku setuju atas keputusanku untuk melamar Ning Riry?. Tapi, ya! Aku teringat pesan kedua orangtuaku bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya kepadaku tentang calon pendamping hidupku dan akan merestui asalkan calon pendamping hidupku seiman dan shalihah. Ya Allah, kuatkanlah hatiku ini untuk menghadapi semua ini.
***
Pagi ini Aku mendapat kiriman sms dari Ning Riry bahwa Abahnya bersedia membatalkan untuk menjodohkannya jika Aku memenuhi persyaratan yang di ajukan oleh Abahnya. Itupun setelah dia memohon dengan sangat kepada Abahnya bahwa dia sudah mempunyai pilihan sendiri untuk pendamping hidupnya. Berarti Aku harus bertandang ke rumah orang tuanya di Tangerang, karena Aku tinggal dan kuliah di Bandung sama seperti Ning Riry. Ya Allah, mantapkanlah hatiku dan langkahku untuk melamarnya, untuk menjalankan sunnah Rasulullah yaitu menikah, untuk menyempurnakan agamaku.
Ku hidupkan mobil kesayanganku mobil Honda Jazz warna putih. Hari ini Aku akan bertandang kerumah orangtuanya Ning Riry di Tangerang. Aku sudah siap mental untuk menghadapi Abahnya itu, karena yang Aku tahu Abahnya adalah salah satu kiai terkenal dan juga pimpinan sebuah pondok pesantren terkenal di daerah Tangerang. Aku siap dengan keputusan dari Abahnya nanti, baik ataupun buruk.
“Assalamu’alaikum,” ucapku sesampainya di depan rumah orangtuanya Ning Riry. Rupanya pesantren yang di pimpin oleh Abahnya terletak di sebelah kanan rumah. Terlihat megah sekali. Aku jadi teringat masa-masa Aku nyantri dulu, dan Aku sudah merasakan tiga pesantren di tempat yang berbeda, pertama di Tangerang, kedua di Bogor, ketiga di Jombang. Nyantri di sebuah pondok pesantren dan menyandang gelar sntri.
“Assalamu’alaikum,” ucapku mengulangi salam karena belum ada jawaban dari dalam rumah.
“Wa’alaikum salam. Udah dari tadi ya, Fa? Ayo masuk, tunggu sebentar, ya. Abah masih mengajar ngaji, sebentar lagi selesai kok.” Ning Riry mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu sambil menunggu Abahnya pulang mengajar pengajian kitab kuning para santri. Terdengar suara langkah seseorang dari luar rumah dan pasti itu adalah Abahnya Ning Riry.
“Oh ada tamu, ya. Tunggu sebentar. Ri! Buatkan minum buat tamu.” Ucap abahnya Ning Riry sambil meneruskan langkahnya kedalam setelah memandangku sebentar. Aku hanya bisa tersenyum ketika Abahnya Ning Riry memandangku. Ya, senyuman seorang calon menantu kepada calon mertua. Ning Riry menghampiriku dengan membawa minuman dan beberapa makanan ringan sambil berbisik kepadaku, “Fa, kamulah satu-satunya harapan atas hubungan kita, dan Aku harap kamu lulus dari pertanyaan-pertanyaan yang Abah berikan nanti.” Wajah cantiknya terlihat sangat tegang sekali, karena dia menaruh harapan kepadaku untuk masa depan hubungan kami.
“Nama kamu siapa, nak?” Tanya Abah mengawali pembicaraan.
“Nama saya Yasfa Raditya, Bah.” Jawabku takzim.
“Dulu pernah mondok?”
“Pernah, Bah. Sejak masuk sekolah dasar sampai lulus Aliyah saya mondok.”
“Sekarang kamu kuliah atau kerja?”
“Sekarang saya kuliah di ITB satu jurusan dengan Riry, sambil menjadi pengajar di pondok pesantren Nurul Iman Bandung, Bah.”
Setelah memberiku beberapa pertanyaan, Abah terdiam sejenak.
“Sebenarnya Aku sudah tahu maksud kedatanganmu kesini, yaitu untuk melamar anakku Riry. Karena dua hari yang lalu Riry memperdebatkan soal jodoh untuknya, dia tidak mau di jodohkan dengan seseorang karena dia sudah mempunyai pilihan sendiri dan dia memilih kamu. Apakah kamu serius untuk menikahi anakku?”
“Saya serius, Bah. Saya sangat mencintai Riry.”
“Tapi zaman sekarang itu membina rumah tangga tidak cukup hanya dengan cinta.”
“Saya sudah siap untuk menghadapi berbagai masalah jika saya menikah dengan Riry.
Tekad saya sudah bulat untuk membina rumah tangga dengan Riry. Apakah Abah sendiri merestui Riry dengan saya?” tanyaku.
“Kalau memang kamu benar-benar serius, ayo ikut aku ke saung di belakang rumah. Aku ingin berbicara panjang lebar denganmu.” Jawabnya sambil mengajakku ke saung di belakang rumah.
Abah tidak langsung menjawab pertanyaanku apakah dia mau merestui Aku dengan Riry atau tidak. Sesampainya di saung, Abah mengajakku berbicara tentang permasalahan-permasalahan keagamaan yang sering terjadi di masyarakat. Abah bertanya bagaimana Aku menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu, dan Aku jawab semampuku. Setelah memberiku beberapa pertanyaan, Abah menyuruhku berwudhu di masjid pondok. Lalu Abah mengajakku masuk ke sebuah ruangan khusus di sebelah kiri runag tamu. Sesampainya Aku dan Abah di ruangan itu, Aku di suruh melaksanakan shalat Dhuha dua rokaat saja.
Singkat saja, kata Abah. Setelah Aku selesai shalat Abah memandangiku sejenak, lalu wajahnya menunduk sambil memejamkan mata sejenak seperti menerawang sesuatu dari gerakanku selama shalat sunnah Dhuha tadi. Setelah itu Abah mengajakku kembali ke ruang tamu.
“Apakah kamu yakin atas pilihanmu untuk menikahi putriku?” Tanya Abah.
“Saya yakin sepenuh hati, Bah.” Jawabku yakin.
“Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestuimu?”
“Kedua orangtua saya sudah memasrahkan sepenuhnya kepada saya soal pendamping hidup untuk saya dan akan merestui selama calon pendamping hidup saya seiman dan shalihah.”
“Aku Tanya sekali lagi, apakah kamu siap dan yakin?”
“Saya siap dan yakin.”
“Kalau begitu besok kita laksanakan ijab qobul pernikahanmu dengan Riry di masjid pondok di saksikan seluruh santri dan cepat hubungi orangtuamu. Bagaimana, apakah kamu benar-benar siap?”
Deg! Aku kaget bukan main. Seperti tersambar petir di siang bolong. Seluruh tubuhku tiba-tiba bergetar. Perasaan di hatiku bercampur aduk, antara senang, bingung, dan kaget.
“Sssii…ap, saya siap.” Jawabku gemetar.
Aku pun langsung pamit undur diri untuk pulang. Mempersiapkan semuanya untuk besok, karena besok adalah hari yang selalu Aku tunggu-tunggu untuk masa depan hubunganku dengan Riry. Jawaban dari sujud panjangku setiap malam. Muara atas hubungan yang selamaini kami jalani.
***
“Sah!” jawab para hadirin serempak. Akhirnya, Aku dan Riry telah sah menjadi pasangan suami istri. Sekarang Aku tidak perlu lagi memanggilnya dengan sebutan Ning. Walaupun dulu sebelum kami sah menjadi suami istri Riry selalu menolak jika di panggil dengan sebutan Ning.
Riry mencium tanganku penuh takzim. Dia meneteskan air mata kebahagiaan, sedangkan Aku berulang kali mengucapkan Alhamdulillah di dalam hati. Kedua orangtua kami pun tersenyum bahagia karena anaknya telah menjalankan sunnah Rasulullah, dan akan memulai hidup baru. Kini terjawab sudah keraguan kami berdua atas masa depan hubungan kami. Terjawab sudah do’a panjang kami berdua, muara atas hubungan yang selama ini telah kami jalani.
Berakhir sudah ceritaku memperjuangkan hubunganku dengan Ning Riry di atas kertas ini, kini saatnya Aku merangkai kisah baru bersamanya dalam ikatan suci. Semoga semua kisahku bersamanya bisa Aku tulis lagi di atas kertas. Ya, semoga!
Keterangan:
Saung: adalah gubug kecil (bahasa Sunda), saung tidak berbilik.
Ramadhan Alyafi adalah siswa MA AL-ANWAR Paculgowang Jatirejo Diwek Jombang, kelas XII IPS B. Tim Redaksi Majalah MISAL. Nyantri di PP AL-ANWAR. Cerpen ini pernah dimuat di rubrik CURHAT Radar Mojokerto. bisa kontak ke rama.elyafi@yahoo.com
“Aku menyesal telah mengenalmu, Ri. Mengenal seorang Ning Riry Azzahra!! Mengapa Allah mempertemukan kita kalau akhirnya kita harus berpisah seperti ini.” Ucapku kepada Ning Riry pada suatu senja di temani hujan deras. Ning Riry hanya bisa terdiam seribu bahasa di depanku. Sementara itu pakaian kami telah basah kuyup di guyur hujan deras. Kami berdua terdiam di tengah halaman kampus yang sudah sepi. Sepi dari para mahasiswa yang kuliah hari itu.
“Tapi sebenarnya Aku juga cinta kamu, Fa. Ini keputusan Abahku yang sulit Aku terima bahwa Aku akan di jodohkan oleh seorang putra kiai, teman Abahku sewaktu nyantri di Solo.” Ucapnya agak teriak untuk menyaingi gemuruh hujan.
“Kalau memang benar kamu mencintaiku, mengapa kamu tidak menolaknya, Ri?”
“Aku menolak untuk di jodohkan dan Aku sudah berusaha meyakinkan Abah bahwa perniakahan tanpa di dasari rasa cinta tidak akan bertahan lama.”
Tubuhnya mulai kedinginan karena sudah terlalu lama terguyur hujan yang deras.
“Yang sekarang harus kita lakukan adalah membicarakan tentang hubungan kita kepada Abahmu.”
“Tapi bagaimana caranya?” ucap Ning Riry mulai pesimis.
“Aku akan melamarmu, tepatnya dua hari lagi.”
Ku lihat wajah Ning Riry tampak sangat kaget bercampur gembira, entah apa yang di pikirkannya saat itu. Aku pun menyuruhnya untuk pulang karena Aku dan dia sudah terlalu lama terguyur hujan.
Sesampainya Aku di rumah, Aku bingung bagaimana caranya untuk membuktikan ucapanku tadi. Apakah Aku harus membicarakan terlebih dahulu kepada orangtuaku di Jakarta?.
Walaupun jarak Bandung-Jakarta tidak terlalu jauh hanya memakan waktu kurang lebih dua jam, apakah orangtuaku setuju atas keputusanku untuk melamar Ning Riry?. Tapi, ya! Aku teringat pesan kedua orangtuaku bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya kepadaku tentang calon pendamping hidupku dan akan merestui asalkan calon pendamping hidupku seiman dan shalihah. Ya Allah, kuatkanlah hatiku ini untuk menghadapi semua ini.
***
Pagi ini Aku mendapat kiriman sms dari Ning Riry bahwa Abahnya bersedia membatalkan untuk menjodohkannya jika Aku memenuhi persyaratan yang di ajukan oleh Abahnya. Itupun setelah dia memohon dengan sangat kepada Abahnya bahwa dia sudah mempunyai pilihan sendiri untuk pendamping hidupnya. Berarti Aku harus bertandang ke rumah orang tuanya di Tangerang, karena Aku tinggal dan kuliah di Bandung sama seperti Ning Riry. Ya Allah, mantapkanlah hatiku dan langkahku untuk melamarnya, untuk menjalankan sunnah Rasulullah yaitu menikah, untuk menyempurnakan agamaku.
Ku hidupkan mobil kesayanganku mobil Honda Jazz warna putih. Hari ini Aku akan bertandang kerumah orangtuanya Ning Riry di Tangerang. Aku sudah siap mental untuk menghadapi Abahnya itu, karena yang Aku tahu Abahnya adalah salah satu kiai terkenal dan juga pimpinan sebuah pondok pesantren terkenal di daerah Tangerang. Aku siap dengan keputusan dari Abahnya nanti, baik ataupun buruk.
“Assalamu’alaikum,” ucapku sesampainya di depan rumah orangtuanya Ning Riry. Rupanya pesantren yang di pimpin oleh Abahnya terletak di sebelah kanan rumah. Terlihat megah sekali. Aku jadi teringat masa-masa Aku nyantri dulu, dan Aku sudah merasakan tiga pesantren di tempat yang berbeda, pertama di Tangerang, kedua di Bogor, ketiga di Jombang. Nyantri di sebuah pondok pesantren dan menyandang gelar sntri.
“Assalamu’alaikum,” ucapku mengulangi salam karena belum ada jawaban dari dalam rumah.
“Wa’alaikum salam. Udah dari tadi ya, Fa? Ayo masuk, tunggu sebentar, ya. Abah masih mengajar ngaji, sebentar lagi selesai kok.” Ning Riry mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu sambil menunggu Abahnya pulang mengajar pengajian kitab kuning para santri. Terdengar suara langkah seseorang dari luar rumah dan pasti itu adalah Abahnya Ning Riry.
“Oh ada tamu, ya. Tunggu sebentar. Ri! Buatkan minum buat tamu.” Ucap abahnya Ning Riry sambil meneruskan langkahnya kedalam setelah memandangku sebentar. Aku hanya bisa tersenyum ketika Abahnya Ning Riry memandangku. Ya, senyuman seorang calon menantu kepada calon mertua. Ning Riry menghampiriku dengan membawa minuman dan beberapa makanan ringan sambil berbisik kepadaku, “Fa, kamulah satu-satunya harapan atas hubungan kita, dan Aku harap kamu lulus dari pertanyaan-pertanyaan yang Abah berikan nanti.” Wajah cantiknya terlihat sangat tegang sekali, karena dia menaruh harapan kepadaku untuk masa depan hubungan kami.
“Nama kamu siapa, nak?” Tanya Abah mengawali pembicaraan.
“Nama saya Yasfa Raditya, Bah.” Jawabku takzim.
“Dulu pernah mondok?”
“Pernah, Bah. Sejak masuk sekolah dasar sampai lulus Aliyah saya mondok.”
“Sekarang kamu kuliah atau kerja?”
“Sekarang saya kuliah di ITB satu jurusan dengan Riry, sambil menjadi pengajar di pondok pesantren Nurul Iman Bandung, Bah.”
Setelah memberiku beberapa pertanyaan, Abah terdiam sejenak.
“Sebenarnya Aku sudah tahu maksud kedatanganmu kesini, yaitu untuk melamar anakku Riry. Karena dua hari yang lalu Riry memperdebatkan soal jodoh untuknya, dia tidak mau di jodohkan dengan seseorang karena dia sudah mempunyai pilihan sendiri dan dia memilih kamu. Apakah kamu serius untuk menikahi anakku?”
“Saya serius, Bah. Saya sangat mencintai Riry.”
“Tapi zaman sekarang itu membina rumah tangga tidak cukup hanya dengan cinta.”
“Saya sudah siap untuk menghadapi berbagai masalah jika saya menikah dengan Riry.
Tekad saya sudah bulat untuk membina rumah tangga dengan Riry. Apakah Abah sendiri merestui Riry dengan saya?” tanyaku.
“Kalau memang kamu benar-benar serius, ayo ikut aku ke saung di belakang rumah. Aku ingin berbicara panjang lebar denganmu.” Jawabnya sambil mengajakku ke saung di belakang rumah.
Abah tidak langsung menjawab pertanyaanku apakah dia mau merestui Aku dengan Riry atau tidak. Sesampainya di saung, Abah mengajakku berbicara tentang permasalahan-permasalahan keagamaan yang sering terjadi di masyarakat. Abah bertanya bagaimana Aku menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu, dan Aku jawab semampuku. Setelah memberiku beberapa pertanyaan, Abah menyuruhku berwudhu di masjid pondok. Lalu Abah mengajakku masuk ke sebuah ruangan khusus di sebelah kiri runag tamu. Sesampainya Aku dan Abah di ruangan itu, Aku di suruh melaksanakan shalat Dhuha dua rokaat saja.
Singkat saja, kata Abah. Setelah Aku selesai shalat Abah memandangiku sejenak, lalu wajahnya menunduk sambil memejamkan mata sejenak seperti menerawang sesuatu dari gerakanku selama shalat sunnah Dhuha tadi. Setelah itu Abah mengajakku kembali ke ruang tamu.
“Apakah kamu yakin atas pilihanmu untuk menikahi putriku?” Tanya Abah.
“Saya yakin sepenuh hati, Bah.” Jawabku yakin.
“Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestuimu?”
“Kedua orangtua saya sudah memasrahkan sepenuhnya kepada saya soal pendamping hidup untuk saya dan akan merestui selama calon pendamping hidup saya seiman dan shalihah.”
“Aku Tanya sekali lagi, apakah kamu siap dan yakin?”
“Saya siap dan yakin.”
“Kalau begitu besok kita laksanakan ijab qobul pernikahanmu dengan Riry di masjid pondok di saksikan seluruh santri dan cepat hubungi orangtuamu. Bagaimana, apakah kamu benar-benar siap?”
Deg! Aku kaget bukan main. Seperti tersambar petir di siang bolong. Seluruh tubuhku tiba-tiba bergetar. Perasaan di hatiku bercampur aduk, antara senang, bingung, dan kaget.
“Sssii…ap, saya siap.” Jawabku gemetar.
Aku pun langsung pamit undur diri untuk pulang. Mempersiapkan semuanya untuk besok, karena besok adalah hari yang selalu Aku tunggu-tunggu untuk masa depan hubunganku dengan Riry. Jawaban dari sujud panjangku setiap malam. Muara atas hubungan yang selamaini kami jalani.
***
“Sah!” jawab para hadirin serempak. Akhirnya, Aku dan Riry telah sah menjadi pasangan suami istri. Sekarang Aku tidak perlu lagi memanggilnya dengan sebutan Ning. Walaupun dulu sebelum kami sah menjadi suami istri Riry selalu menolak jika di panggil dengan sebutan Ning.
Riry mencium tanganku penuh takzim. Dia meneteskan air mata kebahagiaan, sedangkan Aku berulang kali mengucapkan Alhamdulillah di dalam hati. Kedua orangtua kami pun tersenyum bahagia karena anaknya telah menjalankan sunnah Rasulullah, dan akan memulai hidup baru. Kini terjawab sudah keraguan kami berdua atas masa depan hubungan kami. Terjawab sudah do’a panjang kami berdua, muara atas hubungan yang selama ini telah kami jalani.
Berakhir sudah ceritaku memperjuangkan hubunganku dengan Ning Riry di atas kertas ini, kini saatnya Aku merangkai kisah baru bersamanya dalam ikatan suci. Semoga semua kisahku bersamanya bisa Aku tulis lagi di atas kertas. Ya, semoga!
Keterangan:
Saung: adalah gubug kecil (bahasa Sunda), saung tidak berbilik.
Ramadhan Alyafi adalah siswa MA AL-ANWAR Paculgowang Jatirejo Diwek Jombang, kelas XII IPS B. Tim Redaksi Majalah MISAL. Nyantri di PP AL-ANWAR. Cerpen ini pernah dimuat di rubrik CURHAT Radar Mojokerto. bisa kontak ke rama.elyafi@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar