Sabrank Suparno
Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.
Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.
Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.
Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.
Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.
Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***
Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.
Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.
Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.
Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***
Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.
Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.
Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.
Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.
Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.
Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.
Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***
Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.
Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***
Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.
Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.
Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan. Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri / Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.
Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.
Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.
Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.
Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.
Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.
Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***
Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.
Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.
Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.
Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***
Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.
Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.
Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.
Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.
Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.
Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.
Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***
Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.
Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***
Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.
Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.
Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan. Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri / Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar