Dian DJ
Fakta pertama, aku adalah orang yang dilepas takdir menjadi orang kaya, tampan dan bergelimangnya harta. Istriku cantik luar dan dalam, Maimunah namanya.
Fakta kedua, aku orang agamis. Aku rajin beribadah dan bersedekah. 5 kali aku sudah menginjakan kakiku di Mekah dan Medinah. Sebagai wujud kesempurnaan Islamku. Kalau saja surga dilelang, pasti aku penawar tertinggi.
Fakta ketiga,seharusnya saya bahagia dengan keadaan sekarang, tapi terkesaan hati tak menerima. Aku tak pernah menjumpai jalan terjal dalam hidupku. Semuanya serba mulus dan berakhir baik. Padahal sesekali aku ingin merasakan pahitnya kehidupan.
“Tuhan, jangan kau terlalu manjakan aku!, apa kau terlupa dengan hambamu yang bernama Badrus?. Beratkan hidupku dengan cobaan semaumu, aku terlalu berlimang karuniamu”. Begitulah sesekali bebisiku pada curahan do’aku.
hentah sejak kapan dan siapa yang membisiki pikiranku. Betapa asyik hidup dengan kekangan masalah. Karena sejak lahair aku tak pernah menjumpai masalah.Pagi-pagi ketika aku berada diruang kerja kantor. Seorang asisten menghadap padaku dengan membawah keluhan bahwa:
‘Cabang butikku yang berada dipekalongan mengalami kemosrotan pelanggan, karena masuknya saudagar-saudagar asing yang berani bersaing harga. Diramalkan pada bulan-bulan mendatang akan terjadi guncangan kerugian besar-besaran. Jika aku tak menentukan sikap’.
Haaa….apa ini perwujudan terijabahinya do’aku?, aku tak mau ambil pusing dengan hal itu. Biarkan cabang satu bangkrut atau gulung tikar. Aku masih punya cabang-cabang usaha lain di berbagai kota-kota besar dalam berbagai jenis usaha.
Menjadi kebiasaan rutin setiap malam Jum’at, Istriku menghadiri pengajian rutin bersama rombongan ibu-ibu ke Surabaya kota. Akupun sendirian dirumah, hanya ada Sumini, pembantuku. Malamnya dengan pikiran suntuk aku memutuskan berkendara malam hari melepas penat. Hingga tak sadar beberapa jam aku menyetir, aku sampai pada perbatasan kota Surabaya dan Gresik, tepatnya di Balongpanggang. Ditengah asyik berkendara terlihat olehku seorang kakek tua berbaju kusam,berjenggot lebat putih yang begitu payah berjalan dipinggiran lalu-lalang jalan raya.padahal ketika itu jalanan sudh mulai sepi. Akupun mengurangi kecepetan mobil sekedar untuk mengamati lebih dekat. Hentah kenapa ketika aku melihat dari jarak dekat, hatiku merasa ibah melihatnya. Ketika itu sepertinya Malaikat dalam hatiku bangkit, aku pun turun dari mobil dan menghampiri kakek tua itu. Ketiku jarakku dan jaraknya hanya sejengkal semakin kurasakan keibahan hatiku melihatnya. Kalau bukan aku siapa yang perduli terhadap kakek-kakek seperti ini.
“Kek permisi, boleh aku mengantar kakek atau kakek berkenan untuk sekedar mencari makanan?” ajakanku yang tak kunjung dapat jawaban dan terus saja meneruskan jalanya seakan tidak mengakui kehadiranku.
“kek, jangan menghalangi aku beribadah melalui kakek, aku tak punya niat jahat!” sambungku, kakek menoleh dengan sedikit senyum dan berkata “anda terlalu Islam”. Dengan tanpa menghiraukan arti ucapanya aku gandeng kakek itu dengan sopan dan memapahnya masuk kedalam mobil. Dengan tanpa perlawanan.
“mau kemana kek?, ” tanyaku memulai pembicaraan didalam mobil. “jalan saja nak!, aku ingin pulang nanti aku arahkan”jwab kakek sambil merebahkan tubuhnya pada kursi mobel. Seolah aku adalah supir seorang kakek tua yang baru bertemu dan belum kenal.Akhirnya aku jalankan mobil sampai kawasan jalan yang diapit hutan berjabatan gelap dan terkesan angker. Tidak ada pembicaraan dalam mobil, aku juga tak tahu tempat apa ini. Setiap kali aku menanyakan tempat yang dituju, kakek hanya menjawab “kalau anda tak berkenan, aku akan turun”.tapi hentah kekuatan apa yang membuat aku tunduk, mungkin kekuatan ibah.
Tiba-tiba saja mobilku berhenti secara mendadak, aku beranjak keluar dan memeriksa mesin mobil. Setelah beberapa menit tidak kujumpai suatu kecacatan apapun dalam mobil aku pun semakin tegang.
Ya tuhan, aku teringat seharian ini aku lupa mengisi bahan bakar. Kemarahanku memuncak dan aku tendang ban mobil sembari mengeluarkan kata-kata kotor,
“ J a n c o o o k ”.
Tapi tiada yang diperoleh dari tindakan bodohku itu. Yang hanya membuat kakiku sakit. Seharusnya aku bisa mengendalikan diriku dari melakukan hal bodoh. Kakek menyusulku keluar dari mobil sembari berkata “bukankah kau orang kaya?, kenapa tak kau gunakan kekayaanmu?” Aku tersentak mendengar ucapan kakek. Akupun merogo-rogo sakuku mencari telpon genggamku dan aku lupa taruh mana tadi. Dalam keadaan bingung aku teringat didalam mobil ada koper yang penuh uang yang sekarang tiada artinya.
“jika dalam keadaan seperti ini saja hartamu tak bisa menolongmu apa lagi kelak jika kau berpisah dengan hartamu” ujar kakek.
“apa maksud perkataan anda kek?, ini masalah kita berdua kek!, hal seperti ini begitu remeh. Mungkin tuhan ingin mencicipi aku kesulitan dan itu permintaanku” sahutku dengan mendongkol. Walaupun dalam hati kecilku merasa ketakutan berada ditengah jalan yang diapit hutan malam hari.
“kau masih bisa berujar begitu?” sahut kakek. Aku mondar-mandir tidak menghiraukan ucapan kakek. Dengan harapan ada orang yang mau membantu. Tapi kenyataan menghamburkan harapanku, karena memang sudah larut malam, tidak terlihat seorang pun, kendaraan yang lalu-lalang saja tidak. lalu siapa kakek ini?, apa benar dia orang baik-baik?. Terdengar suara SMS berdering yang menghamburkan lamunanku, aku mencari sumber suara itu ternyata dari telpon genggamku yang tadi terlupa berada didalm tas dalam mobil. Pesan singkat dari Sumini, pembantuku:
‘Pak Badrus, nyonya Maimunah meninggal dunia ketika perjalanan pulang bersama rombongan ibu pengajian, akibat Bis yang ditumpangi oleng.. Cepatlah ke Rumah sakit dokter Soetomo’.
Bruk, aku tersungkur ketanah menjerit dan menangis. Akupun meneteskan air mata peluh. Aku coba tegarkan diriku dengan duduk memeluk lututku dengan berulang-ulang beristigfar. Namun kesedihan telah menghanyutkanku, tetap saja air mataku menderas.
“ semoga air matamu dapat meluluhkan batukarang yang tertancap pda hati dan pikiranmu” kata kakek sambil mengelus punggunggku.
“Bukankah ini yang kau inginkan?, kau menghendaki cobaan dan tuhan yang maha faham mengabulkan” lanjut kakek seakan menasehati anaknya sendiri.
“tapi apa harus seperti ini?, bukankah tak ada perintahnya yang kuabaikan?, aku pun rajin berdzikir” jawabku tersendak-sendak dalam keadan isak tangis. Walaupun terdengar samara aku masih ingat ucapan kakek :
“benar, kau sudah memenuhi perintahnya, kau dilimpahi anugerah harta, tapi kau tak sanggup menyikapinya, kau memang berdzikir tapi kau tidak berfikir!. Hartamu dibalik anugerah adalah cobaan. Kau menggurukan syetan, mendewakan uang, kau bahkan berani mentakaburi dzat yang melimbahkan anugerahnya padamu. Apa arti ibadahmu semua itu?, hanya semu terhapus comberan dalam hatimu berupa Takabur dan tak pandai mensyukuri, kau juga merasa Muttaqin sendiri dan merasa dirimu adalah yang paling islam”
Air mataku semakin menderas setelah mendengar dakwaan kakek, masih tetap terniang dalam-dalam wajah raut istriku yang setiasa menemaniku dalam terang maupun redup.yang kini sudah tiada dan aku masih juga dipenjarahkan keadaan ditengah hutan ini. Begitu merontah-rontah hatiku, apa ini semua salahku. Ditambah lagi sekarang hatiku terlumat tanya yang didatangakan dari ucapan kakek “Muttaqinkah aku?”. Dalam keadaan hanyut duka terlihat kakek berdiri kemudian berjalan menuju mobil. Sangat mengejutkan kakek menuangkan air seninya yang sudah terkumpul di batok kelapa pada lubang pengisihan bahan bakar mobilku.
Setelah itu masih diriku dalam keadaan belum terlalu terkendali, kakek menoleh dan berkata “ pulanglah! Mobilnya sudah bisa dipakai, temui istrimu dirumah. Aku akan pulang sendiri, rumahku sudah dekat”.
Aku mengarahkan pandangan keherananku pada kakek yang baru kenal itu, melangkah memasuki hutan meninggalkan aku.berjalan dengan tongkat secara terpoyoh-poyoh. Hingga kakek lenyap dari pandanganku.
Setelah beberpa saat, aku coba bangkit dan bergegas masuk mobil, meski kerugaan dan berperang dengan akal sehat, aku coba menyalakan mesin mobil. Dan…….mengejutkan sekali mobil bisa menyalah. Seakan tak menghiraukan kejadian luar biasa yang baru saja terjadi. Aku langsung tancap gas dan putar arah dan ingin sampai cepat kota Surabaya.
Setelah setengah jam sampai pada perkotaan dan ingin segera menuju rumah sakit telpon genggamku berdering diterimanya satu SMS dari nomer ponsel istriku, :
‘Aba, maafkan kesalahpahaman yang mengejutkan, umi memang mengalami kecelakaan, tapi Ummi hanya cidera biasa. Allah menyelamatkan Ummi. Sumini tadi mengira Maimunah yang meninggal adalah Ummi padahal itu adalah Maimunah tetangga sebelah, cepatlah pulang Aba!, Ummi sudah dirumah”
Akupun tersenyum walaupun kebahagiaanku ketika itu tidak bisa digambarkan oleh hanya dengan senyman. Pikiranku sekarang beralih pada si Kakek tadi, siapa dia?, bukankah sebelem kakek pergi dia mengatakan ‘temui Istrimu dirumah’, apa dia sudah tahu segalanya. Aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian yang penuh dengan keterkejutan ini pada siapapun. karena aku akan ditertawakan, dianggap menceritakan cerita bualan Tapi kejadian tadi tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku dan akan aku simpan dalam memori hati dan pikiranku. Sekilas aku arahkan pandanganku pada tempat duduk yang tadi diduduki oleh sang Kakek Misterius. Terlihat ada kertas sobekan berwarnah putih, aku tak merasa pernah memilikinya, pasti ini punya kakek tadi. aku raih kertas itu dan tertulis didalamnya:
“Siapa yang tak tak tahu harga nikmat, ia akan tahu setelah nikmat itu hilang”
Hormat saya
Hamba yang Faqir
Khidir
Khidir
Fakta pertama, aku adalah orang yang dilepas takdir menjadi orang kaya, tampan dan bergelimangnya harta. Istriku cantik luar dan dalam, Maimunah namanya.
Fakta kedua, aku orang agamis. Aku rajin beribadah dan bersedekah. 5 kali aku sudah menginjakan kakiku di Mekah dan Medinah. Sebagai wujud kesempurnaan Islamku. Kalau saja surga dilelang, pasti aku penawar tertinggi.
Fakta ketiga,seharusnya saya bahagia dengan keadaan sekarang, tapi terkesaan hati tak menerima. Aku tak pernah menjumpai jalan terjal dalam hidupku. Semuanya serba mulus dan berakhir baik. Padahal sesekali aku ingin merasakan pahitnya kehidupan.
“Tuhan, jangan kau terlalu manjakan aku!, apa kau terlupa dengan hambamu yang bernama Badrus?. Beratkan hidupku dengan cobaan semaumu, aku terlalu berlimang karuniamu”. Begitulah sesekali bebisiku pada curahan do’aku.
hentah sejak kapan dan siapa yang membisiki pikiranku. Betapa asyik hidup dengan kekangan masalah. Karena sejak lahair aku tak pernah menjumpai masalah.Pagi-pagi ketika aku berada diruang kerja kantor. Seorang asisten menghadap padaku dengan membawah keluhan bahwa:
‘Cabang butikku yang berada dipekalongan mengalami kemosrotan pelanggan, karena masuknya saudagar-saudagar asing yang berani bersaing harga. Diramalkan pada bulan-bulan mendatang akan terjadi guncangan kerugian besar-besaran. Jika aku tak menentukan sikap’.
Haaa….apa ini perwujudan terijabahinya do’aku?, aku tak mau ambil pusing dengan hal itu. Biarkan cabang satu bangkrut atau gulung tikar. Aku masih punya cabang-cabang usaha lain di berbagai kota-kota besar dalam berbagai jenis usaha.
Menjadi kebiasaan rutin setiap malam Jum’at, Istriku menghadiri pengajian rutin bersama rombongan ibu-ibu ke Surabaya kota. Akupun sendirian dirumah, hanya ada Sumini, pembantuku. Malamnya dengan pikiran suntuk aku memutuskan berkendara malam hari melepas penat. Hingga tak sadar beberapa jam aku menyetir, aku sampai pada perbatasan kota Surabaya dan Gresik, tepatnya di Balongpanggang. Ditengah asyik berkendara terlihat olehku seorang kakek tua berbaju kusam,berjenggot lebat putih yang begitu payah berjalan dipinggiran lalu-lalang jalan raya.padahal ketika itu jalanan sudh mulai sepi. Akupun mengurangi kecepetan mobil sekedar untuk mengamati lebih dekat. Hentah kenapa ketika aku melihat dari jarak dekat, hatiku merasa ibah melihatnya. Ketika itu sepertinya Malaikat dalam hatiku bangkit, aku pun turun dari mobil dan menghampiri kakek tua itu. Ketiku jarakku dan jaraknya hanya sejengkal semakin kurasakan keibahan hatiku melihatnya. Kalau bukan aku siapa yang perduli terhadap kakek-kakek seperti ini.
“Kek permisi, boleh aku mengantar kakek atau kakek berkenan untuk sekedar mencari makanan?” ajakanku yang tak kunjung dapat jawaban dan terus saja meneruskan jalanya seakan tidak mengakui kehadiranku.
“kek, jangan menghalangi aku beribadah melalui kakek, aku tak punya niat jahat!” sambungku, kakek menoleh dengan sedikit senyum dan berkata “anda terlalu Islam”. Dengan tanpa menghiraukan arti ucapanya aku gandeng kakek itu dengan sopan dan memapahnya masuk kedalam mobil. Dengan tanpa perlawanan.
“mau kemana kek?, ” tanyaku memulai pembicaraan didalam mobil. “jalan saja nak!, aku ingin pulang nanti aku arahkan”jwab kakek sambil merebahkan tubuhnya pada kursi mobel. Seolah aku adalah supir seorang kakek tua yang baru bertemu dan belum kenal.Akhirnya aku jalankan mobil sampai kawasan jalan yang diapit hutan berjabatan gelap dan terkesan angker. Tidak ada pembicaraan dalam mobil, aku juga tak tahu tempat apa ini. Setiap kali aku menanyakan tempat yang dituju, kakek hanya menjawab “kalau anda tak berkenan, aku akan turun”.tapi hentah kekuatan apa yang membuat aku tunduk, mungkin kekuatan ibah.
Tiba-tiba saja mobilku berhenti secara mendadak, aku beranjak keluar dan memeriksa mesin mobil. Setelah beberapa menit tidak kujumpai suatu kecacatan apapun dalam mobil aku pun semakin tegang.
Ya tuhan, aku teringat seharian ini aku lupa mengisi bahan bakar. Kemarahanku memuncak dan aku tendang ban mobil sembari mengeluarkan kata-kata kotor,
“ J a n c o o o k ”.
Tapi tiada yang diperoleh dari tindakan bodohku itu. Yang hanya membuat kakiku sakit. Seharusnya aku bisa mengendalikan diriku dari melakukan hal bodoh. Kakek menyusulku keluar dari mobil sembari berkata “bukankah kau orang kaya?, kenapa tak kau gunakan kekayaanmu?” Aku tersentak mendengar ucapan kakek. Akupun merogo-rogo sakuku mencari telpon genggamku dan aku lupa taruh mana tadi. Dalam keadaan bingung aku teringat didalam mobil ada koper yang penuh uang yang sekarang tiada artinya.
“jika dalam keadaan seperti ini saja hartamu tak bisa menolongmu apa lagi kelak jika kau berpisah dengan hartamu” ujar kakek.
“apa maksud perkataan anda kek?, ini masalah kita berdua kek!, hal seperti ini begitu remeh. Mungkin tuhan ingin mencicipi aku kesulitan dan itu permintaanku” sahutku dengan mendongkol. Walaupun dalam hati kecilku merasa ketakutan berada ditengah jalan yang diapit hutan malam hari.
“kau masih bisa berujar begitu?” sahut kakek. Aku mondar-mandir tidak menghiraukan ucapan kakek. Dengan harapan ada orang yang mau membantu. Tapi kenyataan menghamburkan harapanku, karena memang sudah larut malam, tidak terlihat seorang pun, kendaraan yang lalu-lalang saja tidak. lalu siapa kakek ini?, apa benar dia orang baik-baik?. Terdengar suara SMS berdering yang menghamburkan lamunanku, aku mencari sumber suara itu ternyata dari telpon genggamku yang tadi terlupa berada didalm tas dalam mobil. Pesan singkat dari Sumini, pembantuku:
‘Pak Badrus, nyonya Maimunah meninggal dunia ketika perjalanan pulang bersama rombongan ibu pengajian, akibat Bis yang ditumpangi oleng.. Cepatlah ke Rumah sakit dokter Soetomo’.
Bruk, aku tersungkur ketanah menjerit dan menangis. Akupun meneteskan air mata peluh. Aku coba tegarkan diriku dengan duduk memeluk lututku dengan berulang-ulang beristigfar. Namun kesedihan telah menghanyutkanku, tetap saja air mataku menderas.
“ semoga air matamu dapat meluluhkan batukarang yang tertancap pda hati dan pikiranmu” kata kakek sambil mengelus punggunggku.
“Bukankah ini yang kau inginkan?, kau menghendaki cobaan dan tuhan yang maha faham mengabulkan” lanjut kakek seakan menasehati anaknya sendiri.
“tapi apa harus seperti ini?, bukankah tak ada perintahnya yang kuabaikan?, aku pun rajin berdzikir” jawabku tersendak-sendak dalam keadan isak tangis. Walaupun terdengar samara aku masih ingat ucapan kakek :
“benar, kau sudah memenuhi perintahnya, kau dilimpahi anugerah harta, tapi kau tak sanggup menyikapinya, kau memang berdzikir tapi kau tidak berfikir!. Hartamu dibalik anugerah adalah cobaan. Kau menggurukan syetan, mendewakan uang, kau bahkan berani mentakaburi dzat yang melimbahkan anugerahnya padamu. Apa arti ibadahmu semua itu?, hanya semu terhapus comberan dalam hatimu berupa Takabur dan tak pandai mensyukuri, kau juga merasa Muttaqin sendiri dan merasa dirimu adalah yang paling islam”
Air mataku semakin menderas setelah mendengar dakwaan kakek, masih tetap terniang dalam-dalam wajah raut istriku yang setiasa menemaniku dalam terang maupun redup.yang kini sudah tiada dan aku masih juga dipenjarahkan keadaan ditengah hutan ini. Begitu merontah-rontah hatiku, apa ini semua salahku. Ditambah lagi sekarang hatiku terlumat tanya yang didatangakan dari ucapan kakek “Muttaqinkah aku?”. Dalam keadaan hanyut duka terlihat kakek berdiri kemudian berjalan menuju mobil. Sangat mengejutkan kakek menuangkan air seninya yang sudah terkumpul di batok kelapa pada lubang pengisihan bahan bakar mobilku.
Setelah itu masih diriku dalam keadaan belum terlalu terkendali, kakek menoleh dan berkata “ pulanglah! Mobilnya sudah bisa dipakai, temui istrimu dirumah. Aku akan pulang sendiri, rumahku sudah dekat”.
Aku mengarahkan pandangan keherananku pada kakek yang baru kenal itu, melangkah memasuki hutan meninggalkan aku.berjalan dengan tongkat secara terpoyoh-poyoh. Hingga kakek lenyap dari pandanganku.
Setelah beberpa saat, aku coba bangkit dan bergegas masuk mobil, meski kerugaan dan berperang dengan akal sehat, aku coba menyalakan mesin mobil. Dan…….mengejutkan sekali mobil bisa menyalah. Seakan tak menghiraukan kejadian luar biasa yang baru saja terjadi. Aku langsung tancap gas dan putar arah dan ingin sampai cepat kota Surabaya.
Setelah setengah jam sampai pada perkotaan dan ingin segera menuju rumah sakit telpon genggamku berdering diterimanya satu SMS dari nomer ponsel istriku, :
‘Aba, maafkan kesalahpahaman yang mengejutkan, umi memang mengalami kecelakaan, tapi Ummi hanya cidera biasa. Allah menyelamatkan Ummi. Sumini tadi mengira Maimunah yang meninggal adalah Ummi padahal itu adalah Maimunah tetangga sebelah, cepatlah pulang Aba!, Ummi sudah dirumah”
Akupun tersenyum walaupun kebahagiaanku ketika itu tidak bisa digambarkan oleh hanya dengan senyman. Pikiranku sekarang beralih pada si Kakek tadi, siapa dia?, bukankah sebelem kakek pergi dia mengatakan ‘temui Istrimu dirumah’, apa dia sudah tahu segalanya. Aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian yang penuh dengan keterkejutan ini pada siapapun. karena aku akan ditertawakan, dianggap menceritakan cerita bualan Tapi kejadian tadi tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku dan akan aku simpan dalam memori hati dan pikiranku. Sekilas aku arahkan pandanganku pada tempat duduk yang tadi diduduki oleh sang Kakek Misterius. Terlihat ada kertas sobekan berwarnah putih, aku tak merasa pernah memilikinya, pasti ini punya kakek tadi. aku raih kertas itu dan tertulis didalamnya:
“Siapa yang tak tak tahu harga nikmat, ia akan tahu setelah nikmat itu hilang”
Hormat saya
Hamba yang Faqir
Khidir
Khidir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar