Sabrank Suparno
(Dimuat Majalah Tebuireng edisi Januari-Februai 2011)
1. Sinopsis 10 November.
Kesan yang hilang dari peringatan 10 Nopember ialah tidak dijadikannya pemikiran utama bahwa pertempuran sekitar tanggal 10 Nopember 1945 murni didukung kekuatan santri dari ponpes seJawa Timur. Kesan yang justru menebal seolah bahwa pertempuran yang melahirkan hari pahlawan itu murni perjuangan Arek Surobayo (kota).
Selang 2 bulan setelah proklamasi, pasukan Inggris datang dengan pasukan Ghurka-nya berjumlah 6000 orang pada 25 Oktober 1945 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Malaby, dengan tujuan merebut kembali daerah jajahan Jepang di kawasan Asia. Bersamaan pada itu, pemimpin Indonesia pusat (Jakarta) sedang memberlakukan genjatan senjata dengan pihak Sekutu.
Ketidakjelasan pemimpin pusat (Sukarno) pascagenjatan senjata, sedang di sisi lain pasukan Sekutu sudah bersandar di pelabuhan Tanjung Perak, membuat mosi bagi seluruh pejuang Jawa Timur.
Keadaan demkian kemudian direspon KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar NU dengan mengumpulkan ulama seJawa-Madura untuk melangsungkan rapat raksasa 22 Oktober 1945. Dari pertemuan ulama tersebut tercetuslah Resolusi Jihat: Yaitu setiap kiai seJawa Timur dimohon menggalang, memobilisasi santrinya untuk berjihat melawan pasukan Sekutu di Surabaya. Tertunjuk dalam rapat KH. Wahid Hasyim mengorganisir wilayah Surabaya. KH. Abdullah Siddiq wilayah Besuki, KH. Bisri Syamsuri barisan para kiai, KH. Muhammad, Kiai Halim dan Siddiq memimpin wilayah Jember. Kiai As’ad dan Kiai Sukri membawahi wilayah Kediri. Sementara ponpes Tebuireng Jombang sebagai pusat perjuangan yang dihadiri Jenderal Sudirman, Kolonel Sungkono, Mustopo, Bung Tomo dll.
Situasi Surabaya memanas sejak tanggal 28 Oktober, dikarenakan pasukan Inggris menangkap sekitar 30 kendaraan rakyat sipil dan beberapa mobil yang kedapatan membawa senjata. Puncak kemarahan warga Surabaya bermula sejak bendera Belanda berkibar lagi di Hotel Yamato yang dianggap tidak menghormati pemerintah setempat. Pemicu pertempuran terbuka mulai tanggal 30 Oktober setelah AWS Mallaby terbunuh. Herannya, tanggal 31 Oktober Sukarno berpidato di corong radio menginstruksikan genjatan senjata. Hingga sampai tanggal 9 November Jenderal Manserg mengultimatum Surabaya agar menyerahkan senjata sebelum jam 06.00 sekalian bertanggung jawab atas terbunuhnya AWS Malaby.
Menyikapi Ultimatum pihak Sekutu tersebut, para pemimpin pejuang Jawa Timur segera menelpon Jakarta, meminta ketegasan pusat. Namun pusat melimpahkan bahwa urusan itu kewenangan Surabaya. Maka pada jam 23.00, Gubernur Jawa Timur / Suryo mengumumkan perihal penolakan terhadap ultimatum Sekutu lewat radio yang menginstruksikan segenap rakyat Surabaya dimohon bertempur melawan sekutu sampai titik darah penghabisan.
Pukul 06.00 tanggal 10 November pasukan Sekutu mulai menyerang di sekitaran Tanjung Perak. Maka pukul 09.00 Komando Petempuran Indonesia (KPI) segera melakukan perlawanan di jalan Gresik, Kebalen, Kalimas Timur, Jembatan Merah, Sawah Pulo, Nyamplungan, Benteng Miring, Pegirikan, Sidotopo, Stasiun Prins Hendrik dan Kenjeran. Sedang komando perlawanan diserukan Bung Tomo tepat pukul 09.30 di corong radio pemberontakan di jalan Mawar. Itulah saat Bung Tomo membangkitkan militansi TKR, Pelajar, Polisi, Hisbullah / Sabilillah dengan seruan “ Allohu Akbar! Merdeka! Atau Mati!”
Hisbullah dalam kota (Surabaya) bernaung di Markas Oelama Djawa Timur (MODT) jalan Kepanjen yang dipimpin KH. Abdun Nafik Akhyar, KH. Thohir Bakri, selaku kordinator Hisbullah Surabaya Tengah dipimpin Husaini Tiawai dan Muh Muhajir, bermarkas di Madrasah NU Kawatan, Hisbullah Surabaya Barat dipimpin Damiri Ihksan dan A. Hamid Has bermarkas di Kembang Kuning, Hisbullah Surabaya Timur dipimpin Mustakim Hakim, Abdul Manan dan Akhyat bermarkas di Sidopaksan.
Awa pertempuran di Surabaya tersebut, menurut laporan Inggris, korban tewas pihak Indonesia 6.315 orang dan pihak Inggris 4.000 orang. Sedang total pertempuran selama 24 hari menewaskan korban seluruhnya 20.000 orang.
2. Selilit 10 November.
Menurut Emha, tidak ada bahasa kusus yang mengartikan makna ‘selilit’. Ia setara kotoran kecil atau gudal di sela gigi, yang keberadaannya mengganggu kenyamanan. Selilit pada teks bagian kedua ini sengaja saya hadirkan sebagai pelebaran wacana eksiklopedi dari teks pertama. Sebab ilmu haruslah tetap dibongkar walaupun pahit.
Gereget KH. Hasyim Asy’ari dan para pemimpin pejuang Jawa Timur mengambil inisiatif memobolisasi santri, sebagai reaksi lamban presiden Sukarno dalam memutuskan persoalan pendudukan Indonesia kembali oleh Sekutu. Kenapa Sukarno Lamban dan tidak tegas? Hal yang sama juga dilakukan Sukarno saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Herosima dan Nagasaki Jepang dibom Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Sementara, proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 (tiga hari kemudian). Selang waktu 3 hari adalah hal yang ‘lama’ketika suatu negara dalam keadaan vocum. Apalagi Indonesia yang memang sangat merindukan terbebas dari penjajah. Kesengsaraan ditindih penjajahan Belanda selama 350 tahun dan 3 setengah tahun pengekangan Jepang, semestinya Indonesia geragap segera bangkit ketika jatah waktu merdeka telah tiba. Secara memang yang diidamkan, dikoarkan selama perjuangan. Namun tidak demikian halnya dengan Indonesia. Sukarno dan seluruh friksi aliran politik yang berintrik-ria seperti tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan secepetnya. Hal ini dapat dilihat dari teks proklamasi yang terkesan ditulis mendadak dan kurang sempurna, serta pembacaan proklamasi dengan nada kalem. Padahal Sukarno yang dijuluki ‘singa podium’itu selalu berpidato lantang di mana mana. Pertanyaannya adalah: Apakah mereka sungguh sungguh ingin mendirikan negara? Kelemahan niat awal tersebut berakibat melemahkan keadaan Indonesia hingga sekarang. Pemerintah tidak sungguh sungguh komitmen menjadikan Indonesia sebagai suatu negara. Rekaman pembacaan teks proklamasi yang selama ini kita dengar adalah hasil rekaman ulang, dan bukan rekaman langsung dari jalan Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945 lalu.
Tidak hanya Sukarno yang tidak serius menjadikan negara Indonesia. Lebih parah lagi pada masa Suharto. Sukarno dan Bung Tomo dianggap sebagai imperialis dalam kekuasaanya.
Tahun 1981 Bung Tomo menunaikan ibadah haji dengan kloter penerbangan 50 A yang berjumlah 250 jamaah. Keberangkatan kloter Bung Tomo ini dijebak halus oleh penyelenggara haji Jakarta. Syeikh Abdurrahman Fuad Bugis yang ditunjuk Depag Jakarta, ternyata kemampuannya menampung jamaah tidak sesuai dengan keterangan Depag. Bung Tomo dan 250 anggotanya telunta karena rumah Syeikh Abdurrahman Fuad Bugis sempit dan hanya ada 2 kamar kosong. Kerena kelelahan bertanazzul (mencari tempat lain) demi anggotanya, ahirnya Bung Tomo jatuh sakit. Dan tepat di Arafah tanggal 7 Oktober 1981 Bung Tomo menghembuskan nafas terahirnya di negeri jauh dari tanah air yang telah dibelanya. Inilah bukti ketidakbecusan pemerintah Indonesia memberlakukan para pahlawan.
Hal yang sama juga terjadi pada KH Yusuf Karim Tebuireng, KH. Musta’in Romli Rejoso, sabutase penabrakan terhadap rombongan Gus Dur yang berakibat melumpuhkan Ibu Shinta Nuriah Wahid dll. Mereka dijabung halus dengan dalih diberangkatkan beribadah haji, namun diincar kematiannya.
Hingga sekarang pemerintah Indonesia selalu menafikan peran para santri dalam menjadikan Indonesia. Umat Islam seperti dikebiri hak kepemilkannya terhadap negara yang telah mereka bela. Muslim dimarginalkan dari posisi penting segala bidang dengan dalih anti terorisme.
Jika hendak adil, ketahuilah! Indonesia bukanlah Jakarta. Dan keberhasilan 10 Nopember bukanlah perjuangan Arek Suroboyo semata. Melainkan kekuatan lokal yang berduyun duyun ke satu titik kekuatan militansi untuk mengorbankan dirinya demi Indonesia. Tanpa para kiai, tanpa santri, Indonesia hanya kisah dalam cita cita sebagai suatu negara.
(Dimuat Majalah Tebuireng edisi Januari-Februai 2011)
1. Sinopsis 10 November.
Kesan yang hilang dari peringatan 10 Nopember ialah tidak dijadikannya pemikiran utama bahwa pertempuran sekitar tanggal 10 Nopember 1945 murni didukung kekuatan santri dari ponpes seJawa Timur. Kesan yang justru menebal seolah bahwa pertempuran yang melahirkan hari pahlawan itu murni perjuangan Arek Surobayo (kota).
Selang 2 bulan setelah proklamasi, pasukan Inggris datang dengan pasukan Ghurka-nya berjumlah 6000 orang pada 25 Oktober 1945 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Malaby, dengan tujuan merebut kembali daerah jajahan Jepang di kawasan Asia. Bersamaan pada itu, pemimpin Indonesia pusat (Jakarta) sedang memberlakukan genjatan senjata dengan pihak Sekutu.
Ketidakjelasan pemimpin pusat (Sukarno) pascagenjatan senjata, sedang di sisi lain pasukan Sekutu sudah bersandar di pelabuhan Tanjung Perak, membuat mosi bagi seluruh pejuang Jawa Timur.
Keadaan demkian kemudian direspon KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar NU dengan mengumpulkan ulama seJawa-Madura untuk melangsungkan rapat raksasa 22 Oktober 1945. Dari pertemuan ulama tersebut tercetuslah Resolusi Jihat: Yaitu setiap kiai seJawa Timur dimohon menggalang, memobilisasi santrinya untuk berjihat melawan pasukan Sekutu di Surabaya. Tertunjuk dalam rapat KH. Wahid Hasyim mengorganisir wilayah Surabaya. KH. Abdullah Siddiq wilayah Besuki, KH. Bisri Syamsuri barisan para kiai, KH. Muhammad, Kiai Halim dan Siddiq memimpin wilayah Jember. Kiai As’ad dan Kiai Sukri membawahi wilayah Kediri. Sementara ponpes Tebuireng Jombang sebagai pusat perjuangan yang dihadiri Jenderal Sudirman, Kolonel Sungkono, Mustopo, Bung Tomo dll.
Situasi Surabaya memanas sejak tanggal 28 Oktober, dikarenakan pasukan Inggris menangkap sekitar 30 kendaraan rakyat sipil dan beberapa mobil yang kedapatan membawa senjata. Puncak kemarahan warga Surabaya bermula sejak bendera Belanda berkibar lagi di Hotel Yamato yang dianggap tidak menghormati pemerintah setempat. Pemicu pertempuran terbuka mulai tanggal 30 Oktober setelah AWS Mallaby terbunuh. Herannya, tanggal 31 Oktober Sukarno berpidato di corong radio menginstruksikan genjatan senjata. Hingga sampai tanggal 9 November Jenderal Manserg mengultimatum Surabaya agar menyerahkan senjata sebelum jam 06.00 sekalian bertanggung jawab atas terbunuhnya AWS Malaby.
Menyikapi Ultimatum pihak Sekutu tersebut, para pemimpin pejuang Jawa Timur segera menelpon Jakarta, meminta ketegasan pusat. Namun pusat melimpahkan bahwa urusan itu kewenangan Surabaya. Maka pada jam 23.00, Gubernur Jawa Timur / Suryo mengumumkan perihal penolakan terhadap ultimatum Sekutu lewat radio yang menginstruksikan segenap rakyat Surabaya dimohon bertempur melawan sekutu sampai titik darah penghabisan.
Pukul 06.00 tanggal 10 November pasukan Sekutu mulai menyerang di sekitaran Tanjung Perak. Maka pukul 09.00 Komando Petempuran Indonesia (KPI) segera melakukan perlawanan di jalan Gresik, Kebalen, Kalimas Timur, Jembatan Merah, Sawah Pulo, Nyamplungan, Benteng Miring, Pegirikan, Sidotopo, Stasiun Prins Hendrik dan Kenjeran. Sedang komando perlawanan diserukan Bung Tomo tepat pukul 09.30 di corong radio pemberontakan di jalan Mawar. Itulah saat Bung Tomo membangkitkan militansi TKR, Pelajar, Polisi, Hisbullah / Sabilillah dengan seruan “ Allohu Akbar! Merdeka! Atau Mati!”
Hisbullah dalam kota (Surabaya) bernaung di Markas Oelama Djawa Timur (MODT) jalan Kepanjen yang dipimpin KH. Abdun Nafik Akhyar, KH. Thohir Bakri, selaku kordinator Hisbullah Surabaya Tengah dipimpin Husaini Tiawai dan Muh Muhajir, bermarkas di Madrasah NU Kawatan, Hisbullah Surabaya Barat dipimpin Damiri Ihksan dan A. Hamid Has bermarkas di Kembang Kuning, Hisbullah Surabaya Timur dipimpin Mustakim Hakim, Abdul Manan dan Akhyat bermarkas di Sidopaksan.
Awa pertempuran di Surabaya tersebut, menurut laporan Inggris, korban tewas pihak Indonesia 6.315 orang dan pihak Inggris 4.000 orang. Sedang total pertempuran selama 24 hari menewaskan korban seluruhnya 20.000 orang.
2. Selilit 10 November.
Menurut Emha, tidak ada bahasa kusus yang mengartikan makna ‘selilit’. Ia setara kotoran kecil atau gudal di sela gigi, yang keberadaannya mengganggu kenyamanan. Selilit pada teks bagian kedua ini sengaja saya hadirkan sebagai pelebaran wacana eksiklopedi dari teks pertama. Sebab ilmu haruslah tetap dibongkar walaupun pahit.
Gereget KH. Hasyim Asy’ari dan para pemimpin pejuang Jawa Timur mengambil inisiatif memobolisasi santri, sebagai reaksi lamban presiden Sukarno dalam memutuskan persoalan pendudukan Indonesia kembali oleh Sekutu. Kenapa Sukarno Lamban dan tidak tegas? Hal yang sama juga dilakukan Sukarno saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Herosima dan Nagasaki Jepang dibom Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Sementara, proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 (tiga hari kemudian). Selang waktu 3 hari adalah hal yang ‘lama’ketika suatu negara dalam keadaan vocum. Apalagi Indonesia yang memang sangat merindukan terbebas dari penjajah. Kesengsaraan ditindih penjajahan Belanda selama 350 tahun dan 3 setengah tahun pengekangan Jepang, semestinya Indonesia geragap segera bangkit ketika jatah waktu merdeka telah tiba. Secara memang yang diidamkan, dikoarkan selama perjuangan. Namun tidak demikian halnya dengan Indonesia. Sukarno dan seluruh friksi aliran politik yang berintrik-ria seperti tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan secepetnya. Hal ini dapat dilihat dari teks proklamasi yang terkesan ditulis mendadak dan kurang sempurna, serta pembacaan proklamasi dengan nada kalem. Padahal Sukarno yang dijuluki ‘singa podium’itu selalu berpidato lantang di mana mana. Pertanyaannya adalah: Apakah mereka sungguh sungguh ingin mendirikan negara? Kelemahan niat awal tersebut berakibat melemahkan keadaan Indonesia hingga sekarang. Pemerintah tidak sungguh sungguh komitmen menjadikan Indonesia sebagai suatu negara. Rekaman pembacaan teks proklamasi yang selama ini kita dengar adalah hasil rekaman ulang, dan bukan rekaman langsung dari jalan Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945 lalu.
Tidak hanya Sukarno yang tidak serius menjadikan negara Indonesia. Lebih parah lagi pada masa Suharto. Sukarno dan Bung Tomo dianggap sebagai imperialis dalam kekuasaanya.
Tahun 1981 Bung Tomo menunaikan ibadah haji dengan kloter penerbangan 50 A yang berjumlah 250 jamaah. Keberangkatan kloter Bung Tomo ini dijebak halus oleh penyelenggara haji Jakarta. Syeikh Abdurrahman Fuad Bugis yang ditunjuk Depag Jakarta, ternyata kemampuannya menampung jamaah tidak sesuai dengan keterangan Depag. Bung Tomo dan 250 anggotanya telunta karena rumah Syeikh Abdurrahman Fuad Bugis sempit dan hanya ada 2 kamar kosong. Kerena kelelahan bertanazzul (mencari tempat lain) demi anggotanya, ahirnya Bung Tomo jatuh sakit. Dan tepat di Arafah tanggal 7 Oktober 1981 Bung Tomo menghembuskan nafas terahirnya di negeri jauh dari tanah air yang telah dibelanya. Inilah bukti ketidakbecusan pemerintah Indonesia memberlakukan para pahlawan.
Hal yang sama juga terjadi pada KH Yusuf Karim Tebuireng, KH. Musta’in Romli Rejoso, sabutase penabrakan terhadap rombongan Gus Dur yang berakibat melumpuhkan Ibu Shinta Nuriah Wahid dll. Mereka dijabung halus dengan dalih diberangkatkan beribadah haji, namun diincar kematiannya.
Hingga sekarang pemerintah Indonesia selalu menafikan peran para santri dalam menjadikan Indonesia. Umat Islam seperti dikebiri hak kepemilkannya terhadap negara yang telah mereka bela. Muslim dimarginalkan dari posisi penting segala bidang dengan dalih anti terorisme.
Jika hendak adil, ketahuilah! Indonesia bukanlah Jakarta. Dan keberhasilan 10 Nopember bukanlah perjuangan Arek Suroboyo semata. Melainkan kekuatan lokal yang berduyun duyun ke satu titik kekuatan militansi untuk mengorbankan dirinya demi Indonesia. Tanpa para kiai, tanpa santri, Indonesia hanya kisah dalam cita cita sebagai suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar