Sabrank Suparno
A. Islamophobia
Wacana Islamophobia, ketakutan terhadap umat islam di kalangan negara barat,
kini menjadi borok budaya yang menggerogoti sukujur tubuhnya. Dan kemalasan
barat (terutama Amerika) untuk menyembuhkan, borok itu kian meradang dengan
nanah baru yang merikuhkan gerak tubuh dari cabikan benda apapun yang dapat
menggores sensitifitas lepukan luka. Jika terus berlanjut, keberadaan barat
akan disingkirkan dunia yang lambat laun risih atas kehadiran, karena
menyengatkan aroma anyir memuakkan lingkungan, yang artinya barat sendiri
merancang bunuh diri perlahan namun pasti.
Kambuh Islamophobia kembali ter-urik ulah Pendeta Terry Jones dari Dove
Word Outreach Center (sebuah komunitas kecil dengan jema’at cuma 50 orang) yang
hendak membakar Al-qur’an saat mengenang hancurnya menara kembar WTC pada
tanggal 11 September 2010. Terry Jones dari Gainesville Florida bermaksud
mengecam ulah teroris yang membajak 2 pesawat: American Airlines, masing masing
bernomor penerbangan 11 yang menabrak menara utara pukul (08:46), dan nomor
penerbangan 175 menghantam menara selatan WTC pukul (09;03) pada 11 September
2001 yang menewaskan 3000 warga.
Ibarat sekeping dua sisi, Terry Jones juga berniat menggugat rencana Faisal
Abdul Rauf (pimpinan masjid Al-Farah di Amerika) yang akan mendirikan gedung
Cordoba Huose (nama Islamic Center) dan masjid Ground Zero di dua blok dekat
puing menara kembar atau yang dikenal area Park51. Serayanya pembangunan memang
disetujui Barack Obama.
Seperti dilangsir Jawa Pos tanggal 12 September 2010 halaman 4, aksi Terry
Jones tersebut mengundang berbagai aksi konfrontatif. Dari beberapa poster
terlihat Matt Skye dari New York yang menggugat dibangunnya masjid Ground Zero
sedang berdebat dengan Herbert Silver dari Florida yang pendukung dibangnnya
masjid Ground Zero. Matt Skye membentangkan spanduk bertuliskan’ no mass murder
mosque at Ground Zero’, sedangkan Herbert Silver menenteng spanduk
bertuliskan’support freedom relegion’. Tampak seorang wanita pemilik blog
stopislamophobia,org, mengacungkan boxletter bertuliskan ‘muslim are welcome
here’.
Kambuhnya islamophobia Terry Jones hanyalah pengulangan radang yang terjadi
berkali-kali. Awal Februari 2006 penyakit sejenis dihembuskan oleh pemuda
Denmark yang melukis wajah Nabi Muhammad sedang menyunggi bom. Protes kalangan
muslim pun menghangat atas kejadian itu, dan pengulangan yang masih hangat
adalah peluluh lantahan Gaza oleh pasukan Israel.
Niatan Faisal Abdul Rauf mendirikan Cordoba House dan masjid Ground Zero
untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya muslim sangat ramah ketika bargaul dengan
manusia beragama apa pun. Kalau dihitung dendam, justru ulah Amerika di Timur
Tengah yang memberlakukan sangsi Iraq, membacking serangan Israel ke Gaza malah
menumpahkan darah puluhan ribu warga muslim.
Menyikapi perpolitikan internasional global yang menyudutkan muslim sebagai
biang alibi islamophobia barat, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menyampaikan
pandangan sikap sufisnya. Pandangan tersebut disampaikan Cak Nun dalam
pengajian Padhang mBulan tanggal 23 September 2010. Menurut Cak Nun, umat islam
tidak perlu merisaukan hal itu. Islam yang kita fahami bukanlah islam yang
orang-orang barat mengerti. Islam, bagi muslim adalah tranformasi nilai ke
kebaikan, kebenaran dan kemulyaan berperilaku. Al qur’an yang mereka bakar
hanyalah kertas cetakan. Sebab al qur’an yang sesungguhnya tertancap dalam
pribadi seorang muslim. Alqur’an itu murni milik Alloh dan Alloh pula yang
menjaganya. Tidak kuasa siapa pun hendak memusnahkannya.
Untuk mencapai taraf pemahaman tersebut di atas, Cak Nun memakai dasar
nilai sufi. Dimana muslim yang memahami bahwa segala yang terjadi adalah
kilatan hikmah dari Alloh, maka muslim tidak akan pernah terpenjara, terhimpit,
tersepelehkan hanya karena ulah remeh Terry Jones. Muslim tetap merdeka
terbebas dari rasa kehilangan. Bagaimana pun juga, rumus kehidupan pada ahirnya
harus kehilangan apa yang kita miliki. Cak Nun justru menyarankan umat islam
sendiri agar inspropeksi. Sebab ulah barat terhadap muslim selama ini memang
berkaitan dengan kesalahan muslim dalam menerapkan, memahami hakikat nilai
islam sebagai frekwensi potensi rohani. Kalau pun barat mengusik simbol-simbol
islam, yang barat lakukan sekedar peruntuhan harga diri muslim. Dan bukan
peruntuhan islam. Sedang bagi muslim sejati yang melampaui batas haqikat, tidak
diperlukan lagi harga diri, melainkan harga Alloh yang pasti menyimpan rahasia
hikmah di balik tiap permasalahan.
B. Dendam Barat, Dendam Hulu
Dendam negara barat terhadap islam sesungguhnya dendam hulu, yakni dendam
yang tertancap sejak masa Nabi Muhammad. Masjid Aqsho di Jerusalem diperlakukan
sebagai anak sandera oleh kaum Yahudi. Ia tidak disakiti. Namun dibatasi
kebebasannya. Apalagi ahir abad 19 negara-negara islam jatuh menjadi jajahan
orang kulit putih. Kecuali Iran dan Turqi. Yang meskipun merdeka, tapi tetap
mendapat tekanan imperialsme.
Ketidak pecusan sikap politik Amerika terhadap islam juga menghulu.
Jangankan terhadap islam, American yang notabenenya perantau dari Eropa, juga
membabat habis suku asli Indian setempat. Bahkan dalam senat Amerika
‘mencanangkan’ agenda khusus dalam rangka memerangi islam. Karakter politik
Amerika ini ditimbulkan atas jiwa perantauannya yang sangat sengsara membabah
wilayah jauh. Sehingga ketakutan terhadap kehancuran menjadi momok yang
membayangi masa depan sejarahnya.
Politik double standart yang diterapkan Amerika memang entri power
tersendiri bagi kekuatan Amerika. Namun di sisi lain, Amerika juga gagal
menangani problem dalam negerinya. Badai Katerina di Amerika Latin terbukti
pemerintah setempat tidak tuntas mengatasinya. Biaya perang di Timur Tengah
juga didemo warganya. Ketidak adilan Amerika yang mencolok adalah memberlakukan
hak veto dalam PBB. Hak veto, dinilai Agil Siroj sebagai kedholiman politik
Amerika. Hal ini disampaikan Agil Siroj (PB NU) saat ceramah di Tambakberas
tanggal 26 Juni 2010. Namun ‘American is not Amerika government’.
Terpilihnya Barack Obama yang disinyalir berbau islam dan peduli dengan
negara-negara berkembang, menunjukkan perubahan sikap mayoritas warga Amerika.
Demi masa depan Amerika yang aman, tidak mungkin dilakukan dengan cara mengintimidasi
islam terus menerus. Sebab pertentangan yang didasarkan agama, pasti
menimbulkan gejala meryt kompleks, jihat yang tak berkesudahan. Jalan terbaik
adalah toleransi agama yang tinggi.
Krisis finansial global tahun 2009 lalu, Amerika seolah menampar wajahnya
sendiri. Kegagalan sistem segala bidang yang diterapkan, pada ahirnya
melumpuhkan super power yang dirajut hampir 150 kali pergantian presiden.
Kesigapan membaca intensitas ruang sosial negaranya, American menguji coba
Barack Obama sebagai spekulasi alternatife, sekaligus menuju kefitrahan manusia
yang pada ahirnya memilih jalan perdamaian, hidup selaras dan serasi apa pun
agamanya.
Fakta ini berbalik dengan karakter asli sang adi kuasa yang dijuluki negara
super power, yaitu sikap ego merasa teratas. Situasi demikian dimainkan oposisi
sayap kiri dengan mengintai tergelincirnya Obama. Oposisi sayap kanan
bersikukuh andai pun Amerika membaik, tak bersangkutan dengan dunia islam.
Sebagai contoh kongkrit pembatalan Obama saat berkunjung ke Indonesia pertengahan
2010 yang secara kalkulatif bilateral merugikan dua belah pihak, terutama
muslim di Indonesia yang kebebasan beragamanya mulai dihantui tudingan jaringan
teroris.
Demi efektifitas bilateral Indonesia-Amerika, Obama terpaksa ‘membatalkan’
kunjungan ke Indonesia, setelah disinyalir intelegent kepresidenan bahwa Obama
diintai penembak jitu dari kelompok Yahudi di Bali. Jika peristiwa itu terjadi,
Indonesia akan berulang kali terkena getah alibi. Sedang dugaan lain,
pembatalan itu disebabkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang kian carut
dan malu jika kebobrokan pemerintahan tertangkap basah pihak Amerika.
Bagaimana pun juga, American lebih reflekstif atas campur tangan
pemerintahannya terhadap negara negara islam. Kasus bom Bali I yang meledakkan
atom c4=c four, dengan kapasitas hulu ledak dahsyat, mustahil jika dirancang
Amrozi dkk. Sebab, setelah angkatan darat TNI menguji coba ledakan yang sama di
Sumatera untuk menakar ledakan setara dengan ledakan bom Bali, disimpulkan
bahwa ledakan sedahsyat bom Bali hanya dimiliki Pentagon pusat pangkalan
militer Amerika. Maka bom Bali sesungguhnya bukanlah aksi teroris muslim,
tetapi muslim yang dijadikan subyek biang alibi.
Mengamati peta kepolisian (dalam hal ini densus 88) yang khusus menangani
proyek penangkapan teroris, dapat kita analisa asumsi di atas. Jaringan satu
proyek pengeboman dengan mudah diudal densus 88 secara detail rentetannya.
Publik hanya menyangka hal itu kecanggihan kerja polisi. Tetapi anggapan
masyarakat berangsur geser memahami bahwa ada semacam konspirasi jual beli
antara gangser pemilik jaringan teroris dengan aparat kepolisian. Artinya
sebelum teroris melakukan pengeboman, polisi sudah menerima data terlebih dulu
siapa pelakunya. Kemudahan polisi membekuknya, dengan tujuan menghasilkan imag
bahwa polisi (satuan densus 88) mampu berkiprah secara profesional.
Dendam Amerika terhadap islam menyebabkan sikap protektif berlebihan
terhadap Indonesia, mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Gejala sikap ini merupakan pelampiasan kekecewaan Amerika terhadap Indonesia
yang gagal menaklukkan Sukarno untuk menjadi blog barat PBB. Kekecewaan Amerika
terulang lagi saat pemerintahan Suharto tidak menyetujui inisiatif Amerika yang
hendak membangun pangkalan militernya di kepulauan Manado waktu itu. Tak
berselang lama kemudian Amerika mengguncang Indonesia dengan memanfaatkan kurs
dolar. Krisis ekonomi tahun 2008, terbukti melengserkan Suharto sebagai
gelombang dari sikap moneter Amerika. Selanjutnya, Amerika menerapkan politik
‘lempar batu sembunyi tangan’ para teroris.
C. Gengter Jaringan Terorisme dan Kepolisian
Kelemahan sumber daya manusia Indonesia, serta sifat miskin yang menghantui
sejak masa kolonial membuat warga Indonesia empuk, muprul diiming-imingi uang.
Tak peduli nasib saudara setanah air, mereka dengan enjoi menjual aset negara,
termasuk proyek terorisme yang terus terjadi. Jangka panjangnya supaya Amerika
mudah melumpuhkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap menghambat Amerika dalam
targetnya menguasai dunia, termasuk Indonesia.
Ketidakadilan pejabat dan semua instansi dengan memarginalkan kaum muslim
saat perekrutan jabatan, posisi pekerjaan, mengakibatkan jumlah pengangguran
muslim bertambah. Inilah penyebab teroris tergiur pekerjaan nekat asal bergaji
sederajat.
Di sisi lain, para teroris direkrut dari santri militan yang hanya faham
ilmu keagamaan, tapi minim ilmu sosial kamasyarakatan. Dari rata-rata data
teroris yang tertangkap, adalah orang yang menghilang dari kampung halamannya,
bahkan dari Indonesia sejak lama. Di sini terjadi kerancuan. Bisa jadi mereka
yang tergaet Geng jaringan teroris, seperti buah simalakama. Harus bersedia
menjadi teroris, kalau menghindar, akan dibunuh dengan dalih terlanjur
mengetahui rahasia.
Dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat sentimentil gaya hidup
sangat tinggi, di mana ada yang meraih kesuksesan berjerih payah menuntaskan
pendidikan biaya mahal, sementara ada pula yang ingin meraih kesuksesan tanpa
keahlian sekalipun. Kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi kesenjangan
pendidikan, menjurus pada keberhasilan finansial (kaya) sebagai mine point
hidup. Seseorang mudah digaet orang lain dengan iming-iming pekerjaan ringan
gaji melimpah. Misalkan tiba-tiba seseorang diangkat menjadi sekertaris pribadi
yang kerjanya hanya survey sana-sini nenteng koper. Suatu saat dia disuruh
juragan mengambil atau membawa koper ke suatu tempat. Tanpa si pembawa koper
tau isinya, tiba-tiba meledak diremout control dari jauh. Nyarisnya, pelaku
dituding polisi sebagai anggota teroris berKTP islam.
Hingga batas September 2010, kepolisian Indonesia kususnya densus 88 anti
teror, kian tidak rasional kinerjanya. Setiap aksi kriminalitas bersenjatakan
peluru, dengan mudah dituding jaringan teroris. Sementara pemahaman sebelumnya,
teroris sederajat dengan orang muslim. Akibatnya setiap kegiatan muslim apapun
yang dianggap tidak sesuai dengan kepolisian akan dianggap teroris yang sah
dicekal.
Runyamnya posisi kepolisian sekarang, menambah carut marutnya pemahaman
tentang terorisme di Indonesia. Seperti ditandaskan Cak Nun dalam pemikiran
kritiknya. ”Polisi kita tidak jelas posisi kelaminnya, laki/perempuan? Kalau
laki-laki kok gak di jajaran ABRI, kalau ikut sipil kok gak bernaung di bawah
Mendagri.” Posisi kepolisian semacam ini dikawatirkan menjadi gengter bayaran
yang mudah dibeli kepentingan partai berkuasa, orang berpengaruh, atau campur
tangan asing sekalipun.
Sedikit banyak, kinerja kepolisian yang kerap menuding umat islam sebagai
teroris (atau yang dituduh teroris meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan
teroris) akan melukai perasaan muslim Indonesia. Pada saatnya, dalam tingkat
kewajaran tertentu, muslim yang digerakkan pondok pesantren secara serentak
seperti pemberontakan 10 November 1945, akan menjadi kekuatan tak tertandingi. Sebelum
itu terjadi, selayaknya kepolisian mulai mengambil langkah kebijakan sejak
dini. Demi kepentingan bersama dalam bernegara, kepolisian yang digaji rakyat
harus menyelamatkan jangka panjang bangsa Indonesia, dan tidak malah menjual
kedamaian rakyat demi tander proyek asing yang ujungnya menciptakan pertikaian
sebangsa.
D. Introspeksi Muslim
Muslim sendiri hendaknya instropeksi. Tidak semua perilaku muslim sesuai
dengan esensi ajarannya. Apalagi di kalangan muslim moderat, yang meletakkan
kebenaran hanya bagi dirinya. Standart kebenaran yang dipahami golongan muslim
ini hanyalah sebatas hukum formal saja. Itupun direduksi berdasarkan
kepentingan semata. Sedang untuk menjadi muslim yang kaffah perlu memahami
hukum moral dan kecintaan (hubb).
Golongan muslim ini adalah golongan yang ‘masuk anginan, alergi terhadap
pendapat orang lain, merasa penafsirannya paling benar, baginya Alloh hanya
membenarkan tarikatnya. Sedang golongan lain, jika ingin menempuh Alloh dan
surganya, harus nganut tarikatnya. Memang! Alloh dan surga adalah milik
mBahnya.
Sikap inklusif semacam ini akan ber-ulah menggantikan tuhan. Tuhan diatur
menurut dirinya tanpa mempertimbangkan hikmah yang dirahasiakan. Manusia
dicipta sebagai khalifah (wakil tuhan) di muka bumi. Namun kebebasan manusia
dalam melakoni kekhalifahannya, disertakan pula hukum kausalitas atas jalan
hudup yang dipilihnya. Jihat, dipandang sebagai jalan ke surga bagi dirinya,
sedang orang lain kebagian surga atau tidak, mereka tak mau tau. Bahkan ribuan
muslim saudaranya terkena imbas jihatnya pun, tidak dikaitkan dengan tujuan
pribadinya. Hukum kausalitas Alloh prakti bagi hambanya. Silahkan menjadi
pencuri, berabdal, teroris, dan boleh, asal menanggung resiko digebukin,
dipenjara dan dihukum mati.
Saat tanpa kontrol ambisi menyerang Kaisar Jengiz Khan (200-300 SM) pasukan
muslim kalah telak. Keangkuhan dan tanpa kontrol nafsu muslim ketika berjihat,
ternyata jauh sebelumnya disuguhi Alloh pasukan berkuda Jengiz Khan yang
terlatih sejak kecil dan menghasilkan pasukan handal.
Dengan demikian, yang paling baik dan benar dalam menjalankan sistem apapun
adalah kembali mengoreksi kekurangan, kelemahan dan kesalahan masing-masing
sederajat artinya dengan mendamaikan dunia.
***
Minggu, 10 Oktober 2010
Islamophobia: Anak si Kambing Hitam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar