Minggu, 10 Oktober 2010

Islamophobia: Anak si Kambing Hitam

Sabrank Suparno
 
A. Islamophobia
 
Wacana Islamophobia, ketakutan terhadap umat islam di kalangan negara barat, kini menjadi borok budaya yang menggerogoti sukujur tubuhnya. Dan kemalasan barat (terutama Amerika) untuk menyembuhkan, borok itu kian meradang dengan nanah baru yang merikuhkan gerak tubuh dari cabikan benda apapun yang dapat menggores sensitifitas lepukan luka. Jika terus berlanjut, keberadaan barat akan disingkirkan dunia yang lambat laun risih atas kehadiran, karena menyengatkan aroma anyir memuakkan lingkungan, yang artinya barat sendiri merancang bunuh diri perlahan namun pasti.
 
Kambuh Islamophobia kembali ter-urik ulah Pendeta Terry Jones dari Dove Word Outreach Center (sebuah komunitas kecil dengan jema’at cuma 50 orang) yang hendak membakar Al-qur’an saat mengenang hancurnya menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2010. Terry Jones dari Gainesville Florida bermaksud mengecam ulah teroris yang membajak 2 pesawat: American Airlines, masing masing bernomor penerbangan 11 yang menabrak menara utara pukul (08:46), dan nomor penerbangan 175 menghantam menara selatan WTC pukul (09;03) pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 warga.
 
Ibarat sekeping dua sisi, Terry Jones juga berniat menggugat rencana Faisal Abdul Rauf (pimpinan masjid Al-Farah di Amerika) yang akan mendirikan gedung Cordoba Huose (nama Islamic Center) dan masjid Ground Zero di dua blok dekat puing menara kembar atau yang dikenal area Park51. Serayanya pembangunan memang disetujui Barack Obama.
 
Seperti dilangsir Jawa Pos tanggal 12 September 2010 halaman 4, aksi Terry Jones tersebut mengundang berbagai aksi konfrontatif. Dari beberapa poster terlihat Matt Skye dari New York yang menggugat dibangunnya masjid Ground Zero sedang berdebat dengan Herbert Silver dari Florida yang pendukung dibangnnya masjid Ground Zero. Matt Skye membentangkan spanduk bertuliskan’ no mass murder mosque at Ground Zero’, sedangkan Herbert Silver menenteng spanduk bertuliskan’support freedom relegion’. Tampak seorang wanita pemilik blog stopislamophobia,org, mengacungkan boxletter bertuliskan ‘muslim are welcome here’.
 
Kambuhnya islamophobia Terry Jones hanyalah pengulangan radang yang terjadi berkali-kali. Awal Februari 2006 penyakit sejenis dihembuskan oleh pemuda Denmark yang melukis wajah Nabi Muhammad sedang menyunggi bom. Protes kalangan muslim pun menghangat atas kejadian itu, dan pengulangan yang masih hangat adalah peluluh lantahan Gaza oleh pasukan Israel.
 
Niatan Faisal Abdul Rauf mendirikan Cordoba House dan masjid Ground Zero untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya muslim sangat ramah ketika bargaul dengan manusia beragama apa pun. Kalau dihitung dendam, justru ulah Amerika di Timur Tengah yang memberlakukan sangsi Iraq, membacking serangan Israel ke Gaza malah menumpahkan darah puluhan ribu warga muslim.
 
Menyikapi perpolitikan internasional global yang menyudutkan muslim sebagai biang alibi islamophobia barat, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menyampaikan pandangan sikap sufisnya. Pandangan tersebut disampaikan Cak Nun dalam pengajian Padhang mBulan tanggal 23 September 2010. Menurut Cak Nun, umat islam tidak perlu merisaukan hal itu. Islam yang kita fahami bukanlah islam yang orang-orang barat mengerti. Islam, bagi muslim adalah tranformasi nilai ke kebaikan, kebenaran dan kemulyaan berperilaku. Al qur’an yang mereka bakar hanyalah kertas cetakan. Sebab al qur’an yang sesungguhnya tertancap dalam pribadi seorang muslim. Alqur’an itu murni milik Alloh dan Alloh pula yang menjaganya. Tidak kuasa siapa pun hendak memusnahkannya.
 
Untuk mencapai taraf pemahaman tersebut di atas, Cak Nun memakai dasar nilai sufi. Dimana muslim yang memahami bahwa segala yang terjadi adalah kilatan hikmah dari Alloh, maka muslim tidak akan pernah terpenjara, terhimpit, tersepelehkan hanya karena ulah remeh Terry Jones. Muslim tetap merdeka terbebas dari rasa kehilangan. Bagaimana pun juga, rumus kehidupan pada ahirnya harus kehilangan apa yang kita miliki. Cak Nun justru menyarankan umat islam sendiri agar inspropeksi. Sebab ulah barat terhadap muslim selama ini memang berkaitan dengan kesalahan muslim dalam menerapkan, memahami hakikat nilai islam sebagai frekwensi potensi rohani. Kalau pun barat mengusik simbol-simbol islam, yang barat lakukan sekedar peruntuhan harga diri muslim. Dan bukan peruntuhan islam. Sedang bagi muslim sejati yang melampaui batas haqikat, tidak diperlukan lagi harga diri, melainkan harga Alloh yang pasti menyimpan rahasia hikmah di balik tiap permasalahan.
 
B. Dendam Barat, Dendam Hulu
 
Dendam negara barat terhadap islam sesungguhnya dendam hulu, yakni dendam yang tertancap sejak masa Nabi Muhammad. Masjid Aqsho di Jerusalem diperlakukan sebagai anak sandera oleh kaum Yahudi. Ia tidak disakiti. Namun dibatasi kebebasannya. Apalagi ahir abad 19 negara-negara islam jatuh menjadi jajahan orang kulit putih. Kecuali Iran dan Turqi. Yang meskipun merdeka, tapi tetap mendapat tekanan imperialsme.
 
Ketidak pecusan sikap politik Amerika terhadap islam juga menghulu. Jangankan terhadap islam, American yang notabenenya perantau dari Eropa, juga membabat habis suku asli Indian setempat. Bahkan dalam senat Amerika ‘mencanangkan’ agenda khusus dalam rangka memerangi islam. Karakter politik Amerika ini ditimbulkan atas jiwa perantauannya yang sangat sengsara membabah wilayah jauh. Sehingga ketakutan terhadap kehancuran menjadi momok yang membayangi masa depan sejarahnya.
 
Politik double standart yang diterapkan Amerika memang entri power tersendiri bagi kekuatan Amerika. Namun di sisi lain, Amerika juga gagal menangani problem dalam negerinya. Badai Katerina di Amerika Latin terbukti pemerintah setempat tidak tuntas mengatasinya. Biaya perang di Timur Tengah juga didemo warganya. Ketidak adilan Amerika yang mencolok adalah memberlakukan hak veto dalam PBB. Hak veto, dinilai Agil Siroj sebagai kedholiman politik Amerika. Hal ini disampaikan Agil Siroj (PB NU) saat ceramah di Tambakberas tanggal 26 Juni 2010. Namun ‘American is not Amerika government’.
 
Terpilihnya Barack Obama yang disinyalir berbau islam dan peduli dengan negara-negara berkembang, menunjukkan perubahan sikap mayoritas warga Amerika. Demi masa depan Amerika yang aman, tidak mungkin dilakukan dengan cara mengintimidasi islam terus menerus. Sebab pertentangan yang didasarkan agama, pasti menimbulkan gejala meryt kompleks, jihat yang tak berkesudahan. Jalan terbaik adalah toleransi agama yang tinggi.
 
Krisis finansial global tahun 2009 lalu, Amerika seolah menampar wajahnya sendiri. Kegagalan sistem segala bidang yang diterapkan, pada ahirnya melumpuhkan super power yang dirajut hampir 150 kali pergantian presiden. Kesigapan membaca intensitas ruang sosial negaranya, American menguji coba Barack Obama sebagai spekulasi alternatife, sekaligus menuju kefitrahan manusia yang pada ahirnya memilih jalan perdamaian, hidup selaras dan serasi apa pun agamanya.
 
Fakta ini berbalik dengan karakter asli sang adi kuasa yang dijuluki negara super power, yaitu sikap ego merasa teratas. Situasi demikian dimainkan oposisi sayap kiri dengan mengintai tergelincirnya Obama. Oposisi sayap kanan bersikukuh andai pun Amerika membaik, tak bersangkutan dengan dunia islam. Sebagai contoh kongkrit pembatalan Obama saat berkunjung ke Indonesia pertengahan 2010 yang secara kalkulatif bilateral merugikan dua belah pihak, terutama muslim di Indonesia yang kebebasan beragamanya mulai dihantui tudingan jaringan teroris.
 
Demi efektifitas bilateral Indonesia-Amerika, Obama terpaksa ‘membatalkan’ kunjungan ke Indonesia, setelah disinyalir intelegent kepresidenan bahwa Obama diintai penembak jitu dari kelompok Yahudi di Bali. Jika peristiwa itu terjadi, Indonesia akan berulang kali terkena getah alibi. Sedang dugaan lain, pembatalan itu disebabkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang kian carut dan malu jika kebobrokan pemerintahan tertangkap basah pihak Amerika.
 
Bagaimana pun juga, American lebih reflekstif atas campur tangan pemerintahannya terhadap negara negara islam. Kasus bom Bali I yang meledakkan atom c4=c four, dengan kapasitas hulu ledak dahsyat, mustahil jika dirancang Amrozi dkk. Sebab, setelah angkatan darat TNI menguji coba ledakan yang sama di Sumatera untuk menakar ledakan setara dengan ledakan bom Bali, disimpulkan bahwa ledakan sedahsyat bom Bali hanya dimiliki Pentagon pusat pangkalan militer Amerika. Maka bom Bali sesungguhnya bukanlah aksi teroris muslim, tetapi muslim yang dijadikan subyek biang alibi.
 
Mengamati peta kepolisian (dalam hal ini densus 88) yang khusus menangani proyek penangkapan teroris, dapat kita analisa asumsi di atas. Jaringan satu proyek pengeboman dengan mudah diudal densus 88 secara detail rentetannya. Publik hanya menyangka hal itu kecanggihan kerja polisi. Tetapi anggapan masyarakat berangsur geser memahami bahwa ada semacam konspirasi jual beli antara gangser pemilik jaringan teroris dengan aparat kepolisian. Artinya sebelum teroris melakukan pengeboman, polisi sudah menerima data terlebih dulu siapa pelakunya. Kemudahan polisi membekuknya, dengan tujuan menghasilkan imag bahwa polisi (satuan densus 88) mampu berkiprah secara profesional.
 
Dendam Amerika terhadap islam menyebabkan sikap protektif berlebihan terhadap Indonesia, mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia. Gejala sikap ini merupakan pelampiasan kekecewaan Amerika terhadap Indonesia yang gagal menaklukkan Sukarno untuk menjadi blog barat PBB. Kekecewaan Amerika terulang lagi saat pemerintahan Suharto tidak menyetujui inisiatif Amerika yang hendak membangun pangkalan militernya di kepulauan Manado waktu itu. Tak berselang lama kemudian Amerika mengguncang Indonesia dengan memanfaatkan kurs dolar. Krisis ekonomi tahun 2008, terbukti melengserkan Suharto sebagai gelombang dari sikap moneter Amerika. Selanjutnya, Amerika menerapkan politik ‘lempar batu sembunyi tangan’ para teroris.
 
C. Gengter Jaringan Terorisme dan Kepolisian
 
Kelemahan sumber daya manusia Indonesia, serta sifat miskin yang menghantui sejak masa kolonial membuat warga Indonesia empuk, muprul diiming-imingi uang. Tak peduli nasib saudara setanah air, mereka dengan enjoi menjual aset negara, termasuk proyek terorisme yang terus terjadi. Jangka panjangnya supaya Amerika mudah melumpuhkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap menghambat Amerika dalam targetnya menguasai dunia, termasuk Indonesia.
 
Ketidakadilan pejabat dan semua instansi dengan memarginalkan kaum muslim saat perekrutan jabatan, posisi pekerjaan, mengakibatkan jumlah pengangguran muslim bertambah. Inilah penyebab teroris tergiur pekerjaan nekat asal bergaji sederajat.
 
Di sisi lain, para teroris direkrut dari santri militan yang hanya faham ilmu keagamaan, tapi minim ilmu sosial kamasyarakatan. Dari rata-rata data teroris yang tertangkap, adalah orang yang menghilang dari kampung halamannya, bahkan dari Indonesia sejak lama. Di sini terjadi kerancuan. Bisa jadi mereka yang tergaet Geng jaringan teroris, seperti buah simalakama. Harus bersedia menjadi teroris, kalau menghindar, akan dibunuh dengan dalih terlanjur mengetahui rahasia.
 
Dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat sentimentil gaya hidup sangat tinggi, di mana ada yang meraih kesuksesan berjerih payah menuntaskan pendidikan biaya mahal, sementara ada pula yang ingin meraih kesuksesan tanpa keahlian sekalipun. Kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi kesenjangan pendidikan, menjurus pada keberhasilan finansial (kaya) sebagai mine point hidup. Seseorang mudah digaet orang lain dengan iming-iming pekerjaan ringan gaji melimpah. Misalkan tiba-tiba seseorang diangkat menjadi sekertaris pribadi yang kerjanya hanya survey sana-sini nenteng koper. Suatu saat dia disuruh juragan mengambil atau membawa koper ke suatu tempat. Tanpa si pembawa koper tau isinya, tiba-tiba meledak diremout control dari jauh. Nyarisnya, pelaku dituding polisi sebagai anggota teroris berKTP islam.
 
Hingga batas September 2010, kepolisian Indonesia kususnya densus 88 anti teror, kian tidak rasional kinerjanya. Setiap aksi kriminalitas bersenjatakan peluru, dengan mudah dituding jaringan teroris. Sementara pemahaman sebelumnya, teroris sederajat dengan orang muslim. Akibatnya setiap kegiatan muslim apapun yang dianggap tidak sesuai dengan kepolisian akan dianggap teroris yang sah dicekal.
 
Runyamnya posisi kepolisian sekarang, menambah carut marutnya pemahaman tentang terorisme di Indonesia. Seperti ditandaskan Cak Nun dalam pemikiran kritiknya. ”Polisi kita tidak jelas posisi kelaminnya, laki/perempuan? Kalau laki-laki kok gak di jajaran ABRI, kalau ikut sipil kok gak bernaung di bawah Mendagri.” Posisi kepolisian semacam ini dikawatirkan menjadi gengter bayaran yang mudah dibeli kepentingan partai berkuasa, orang berpengaruh, atau campur tangan asing sekalipun.
 
Sedikit banyak, kinerja kepolisian yang kerap menuding umat islam sebagai teroris (atau yang dituduh teroris meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan teroris) akan melukai perasaan muslim Indonesia. Pada saatnya, dalam tingkat kewajaran tertentu, muslim yang digerakkan pondok pesantren secara serentak seperti pemberontakan 10 November 1945, akan menjadi kekuatan tak tertandingi. Sebelum itu terjadi, selayaknya kepolisian mulai mengambil langkah kebijakan sejak dini. Demi kepentingan bersama dalam bernegara, kepolisian yang digaji rakyat harus menyelamatkan jangka panjang bangsa Indonesia, dan tidak malah menjual kedamaian rakyat demi tander proyek asing yang ujungnya menciptakan pertikaian sebangsa.
 
D. Introspeksi Muslim
 
Muslim sendiri hendaknya instropeksi. Tidak semua perilaku muslim sesuai dengan esensi ajarannya. Apalagi di kalangan muslim moderat, yang meletakkan kebenaran hanya bagi dirinya. Standart kebenaran yang dipahami golongan muslim ini hanyalah sebatas hukum formal saja. Itupun direduksi berdasarkan kepentingan semata. Sedang untuk menjadi muslim yang kaffah perlu memahami hukum moral dan kecintaan (hubb).
 
Golongan muslim ini adalah golongan yang ‘masuk anginan, alergi terhadap pendapat orang lain, merasa penafsirannya paling benar, baginya Alloh hanya membenarkan tarikatnya. Sedang golongan lain, jika ingin menempuh Alloh dan surganya, harus nganut tarikatnya. Memang! Alloh dan surga adalah milik mBahnya.
 
Sikap inklusif semacam ini akan ber-ulah menggantikan tuhan. Tuhan diatur menurut dirinya tanpa mempertimbangkan hikmah yang dirahasiakan. Manusia dicipta sebagai khalifah (wakil tuhan) di muka bumi. Namun kebebasan manusia dalam melakoni kekhalifahannya, disertakan pula hukum kausalitas atas jalan hudup yang dipilihnya. Jihat, dipandang sebagai jalan ke surga bagi dirinya, sedang orang lain kebagian surga atau tidak, mereka tak mau tau. Bahkan ribuan muslim saudaranya terkena imbas jihatnya pun, tidak dikaitkan dengan tujuan pribadinya. Hukum kausalitas Alloh prakti bagi hambanya. Silahkan menjadi pencuri, berabdal, teroris, dan boleh, asal menanggung resiko digebukin, dipenjara dan dihukum mati.
 
Saat tanpa kontrol ambisi menyerang Kaisar Jengiz Khan (200-300 SM) pasukan muslim kalah telak. Keangkuhan dan tanpa kontrol nafsu muslim ketika berjihat, ternyata jauh sebelumnya disuguhi Alloh pasukan berkuda Jengiz Khan yang terlatih sejak kecil dan menghasilkan pasukan handal.
 
Dengan demikian, yang paling baik dan benar dalam menjalankan sistem apapun adalah kembali mengoreksi kekurangan, kelemahan dan kesalahan masing-masing sederajat artinya dengan mendamaikan dunia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar