Fahrudin Nasrulloh*
Dewan kesenian yang eksis di berbagai wilayah di propinsi Jawa Timur memiliki kontribusi sekaligus problem tersendiri. Dari 38 kota dan kabupaten di Jatim kiranya tidak semua wilayah tersebut bercokol lembag dewan kesenian. Kendati Jatim menyimpan 10 subkultur kebudayaan (ditambah 2 kultur budaya Arab dan Cina) yang sangat kaya dan luas.[1] Dewan kesenian terbentuk oleh entitasnya sebagai upaya bagaimana kesenian dipikirkan dan kemudian dikelola, diurus dengan baik. Apakah kesenian memang perlu dilestarikan dan terus ditumbuh-kembangkan oleh semacam lembaga yang semi swasta semi pemerintah ini?
Tidak mudah menjawabnya. Namun pemerintah juga punya visi dan strategi dalam ancangan agenda-agenda pembangunan untuk memberdayakan kebudayaan bangsanya dan kesenian yang berkembang di wilayahnya, yang kentara adalah lewat kementerian budaya dan pariwisata. Di sini definisi dan konsentrasi pengembangan antara “budaya” dan “pariwisata” sering tumpang-tindih, mengalami kerancuan. Satu sisi, bagaimana suatu budaya ditangani lalu diperhadapkan pada tantangan globalisasi-kapitalistik. Sisi lain, yang pariwisata itu, agendanya adalah mengembangkan budaya, mengolah hasanah lokalitas, obyek wisata, perhotelan, dan sarana pendukung lain semacam yang sering dijargonkan dengan istilah industri kreatif atau ekonomi kreatif. Bukan sekedar dodolan potensi sumber dayanya. Mengurusinya justru hal yang tak gampang, krusial, bahkan rentan menuai kritik.
Dalam konteks dewan kesenian, karena ini berhubungan erat dengan pemerintah yang mengucurkan dana, maka bagi yang terlibat di dalamnya, baik seniman maupun budayawan atau yang blenk soal itu tidaklah bisa melepaskan wilayah politik-birokatis yang oleh karenanya membutuhkan kesadaran politik yang kontekstual. Di Kabupaten Jombang misalnya, dewan kesenian pernah dibentuk tahun 1999, tapi mampet. Persoalan klasik seperti watak seniman yang tidak bisa bergerak bareng mewujudkan satu visi dan keseriusan pemerintah setempat menjadi problem kasuistik yang mendasar. Sekitar 2 kali agenda pembentukan lembaga itu diadakan dalam bentuk seminar kebudayaan kisaran tahun 2000-an, tapi nihil. Hingga yang terakhir, pada 25 Februari 2010, Dewan Kesenian Jombang dikukuhkan, itupun dengan munculnya secara tiba-tiba dana hibah 500 juta. Apakah dengan tidak mengalirnya dana hibah itu Dewan Kesenian Jombang tidak akan dibentuk?
Dinas Porabudpar Jombang penyorong utama pembentukan Dewan Kesenian Jombang itu. Ironisnya, hingga kini deadlock. Padahal sudah 3-4 kali rapat dan yang terakhir raker pun telah diadakan. Kiranya, ada “orang dalam” yang sedang “bermain” petak umpet dan bikin “telikung intrik”, lebih gelap dari puisi gelap, di sana.[2] Membuat kita kian sumpek dan bertanya-tanya, untuk apa sebuah dewan kesenian di masa yang penuh sengkarut dan pragmatis ini dibentuk? Lain lagi yang terjadi di Muara Enim. Seorang teman warga kota itu, Fikri namanya (aktor teater jebolan Komunitas Tombo Ati dan alumnus Fakultas Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Jombang), bercerita kepada saya tentang dewan kesenian di sana di mana memang SDM-nya minim kualitas. Tak mampu mengelola ketika dikucuri anggaran 250 juta pertahun. Maka dananya ditarik kembali oleh pemda.[3]
Nah, sekarang, bagaimana kita mencermati keberjalanan Dewan Kesenian Jawa Timur? Tampaknya lembaga ini terus bergeliat dengan semangat yang progresif dan selalu gemebyar agenda-agenda keseniannya. Dalam kepengurusan yang sekarang dipimpin oleh A. Fauzi, kita bisa melongok siapa sosok ini. Konon, dulu ia adalah seniman tari, seperti juga Heri Lentho Prasetya. Yang keduanya kini tak lagi menekuni tari.[4] Dunia tari Surabaya khususnya, terasa kehilangan gregetnya, malah nyaris tidak terdengar generasi penerusnya. Komite teater ada R. Giryadi, sementara di luar dia banyak pegiat teater Surabaya yang terus menggali spirit kebaruan berkaryanya, semisal Zainuri dan Hanif Nasrulloh. Kendati begitu, persoalan teater di Surabaya yang agak tertatih-tatih masih sepi dari kritik, eksplorasi, dan koreksi.[5] Dan Biro Sastra DKJT dimotori penyair dan novelis Mashuri. Rata-rata pejabat di DKJT ini adalah seniman yang sekaligus mengurusi kesenian. Perlu dipikirkan juga, apakah sudah tepat misalnya di tubuh DKJT yang mengurusi kesenian adalah seniman juga? Kadang saya menyayangkan, sejumlah teman seniman yang sebenarnya masih punya kesempatan panjang dan potensial dalam upaya proses kreatif kekaryaan menjadi seolah-olah mandul dan kering dalam keberkayaannya. Birokrasi dan tetek-bengek urusan administratif demikian menyedot banyak waktu dan konsentrasi. Jadi kian berat mempertahankan keajegan dan konsistensi dalam berkarya.
Mungkin perlu adanya semacam penyegaran bahwa yang mengelola DKJT secara teknis di lapangan adalah orang-orang selain seniman, dan mereka paham bagaimana menjalankan tugas-tugasnya.[6] Para seniman bisa dijadikan semacam penasihat. Paling tidak ini upaya meminimalisir kasak-kusuk tidak produktif dan kesan “politik kesenian” yang sering dialamatkan pada DKJT. Kesan DKJT berperan lebih banyak sebagai EO (even Organizer) penting untuk dipelototi.[7] Juga soal penerbitan buku dan Majalah Kidung.[8] Ini sungguh menyodok dan bikin gerah. Sorotan dan gugatan demikian memang tak terelakkan, selain problem pribadi antar seniman yang lebih complicated.
Mencermati situasi DKJT demikian, saya coba membaca pertalian erat yang saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga tersebut dengan kondisioning sastra dan komunitas sastra di Jatim saat ini. Ada empat pembacaan. Pembacaan ini mengacu pada relasi ruang sosial sastra dan penggiatnya, lokalitas, efek gerakan sastra, etos kreatif, serta tantangannya.
1. “Sastra DKJT” dan Gerakan Sastra Komunitas
Ketika membincangkan ihwal realitas sastra Jatim, kayaknya pencermatannya bisa nabrak ke mana-mana dan tidak fokus. Pertanyaan entengnya, realitas sastra Jatim yang bagaimana? Data macam apa dan sejauh mana geliat sastra yang bergerak di 38 kota/kabupaten di Jatim? Ini data yang butuh kerja raksasa dan tidak main-main. Mungkin, secara kasarnya, realitas sastra dan itu menjadi mainstream sastra Jatim saat ini adalah “realitas sastra DKJT”: yakni agenda-agenda sastra yang dihelat Komite Sastra DKJT, yang terkadang bekerja bareng dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dalam bentuk forum diskusi Halte Sastra. Tentu tidak menafikan geliat komunitas lain di Surabaya seperti Komunitas Esok, Srawung Art, Komunitas Luar Pagar, Komunitas Rabo Sore, Komunitas Tikar Pandan (Iqbal Baraas di Banyuwangi), Komunitas Lembah Pring (Jabbar Abdullah di Jombang dan Mojokerto), dll. Dan yang terbaru ini telah muncul Forum Sastra Gokil (FSG) yang dipawangi Mardi Luhung,[9] dan digerakkan A. Muttaqien dan kawan-kawan. Nongolnya forum baru semacam ini tetap bermakna, bahwa berdiskusi dengan nongkrong-nongkrong nyantai di warung kopi untuk mengudar berbagai gagasan dan wawasan, dari yang muda sampai yang tuek, harus terus disengkuyung bersama. Sebab pertemuan secara langsung memiliki daya “bakar kreatif” sendiri dibanding di “kamar onani facebook”.
Maka Komite Sastra DKJT ibarat obor sastra Jatim yang berpusat di Surabaya, yang tak henti gelisah mengulik identitas wilayahnya. Banyak even sastra yang tergelar di sini. Tulisan ini bukan berupaya memetakan. Karena saya bukan ahli ukur tanah. Bukan berarti pemetaan sastra atau komunitas sastra tidak penting. Sangat penting. Dan itu sejatinya tugas bagi siapa pun, lebih-lebih bagi lembaga seperti DKJT. Sebab realitas sastra Jatim cakupannya luas sekali, dan memang nggak terlalu mendesak didiskusikan.
Saya cenderung tertarik menghubungkan tema di atas pada bahasan totalitas berkarya beberapa penulis, misalnya pada Mardi Luhung, Mashuri, dll. Atau para cerpenis generasi muda Jatim seperti Diana AV Sasa (Pacitan), Hanif Nasrulloh (Surabaya), S Jai (Lamongan), Ahmad Rofiq (Gresik), MS. Nugroho (Jombang), Iqbal Baraas (Banyuwangi), Mahwi Air Tawar, dan beberapa penulis muda Madura lainnya seperti Lukman Mahbubi, Juwariyah Mawardi, Mawaidi MD, dan Badrul Munir Khoir. Jadi, persoalan sastra kita sebernarnya adalah bagaimana membangun kegetolan berkarya, karena itu pada puncaknya jelas mengimbas pada karya juga.
Perkara lain adalah ruwetnya psikologi penulis terkait motivasi berkarya dan “iman” kepengarangan. Semua pengarang berjibaku di sini. Bertarung demi menembus koran nasional dan ini pertaruhannya adalah kualitas karya dan totalitas berkarya. Tentu hanya yang terpilih yang disortir redaktur koran untuk dimuat di antara ratusan karya. Otokritik jadi penting juga, yang jika diabaikan kerap melahirkan over subyektivitas, narsis, dan sinisme pada karya orang lain. Di sinilah “iman” kepengarangan diuji: bagaimana karya terus ditempa dengan berpijak pada pertarungan batin personal dan ruang sosialnya. Karya-karya D Zawawi Imron dan Mardi Luhung membuktikan itu. Keterlibatan yang bisa “umup” dan “istiqamah” dalam mengeksplorasi identitas kultur-sosialnya, bukan cuma modal imajinasi, tapi riset serius.[10] Karya yang besar akan muncul sendiri menembus masa depan.
Maka komunitas sastra yang telah dibentuk sejumlah kawan paling tidak diharapkan mampu melahirkan suatu gerakan sastra yang militan dan punya visi yang jelas. Kita belum menemukan itu di Jatim.
2. Labirin Setan “Sastra Facebook”
Duduk berlama-lama. Dari pukul ke pukul. Jam dinding sekarat. Meleleh ke mulut. Matanya bunar. Bunarnya menggerogoti usus. Mengunang-ngunang semalaman seharian. Mengamati status sendiri, teman, orang lain. Pikiran ngleyang ke entah. Sudah lama gagasan buntu. Kayak peceren. Mencari sesuatu. Untuk apa? Untuk basa-basi. Mungkin semata busa-busa kata. Digelisah siapa, diburu apa? Hilang lagi. Apalagi yang menjelma hantu di tengkuk. Bayangan sendiri, menghantui leher sendiri. Cari angin magrib. Putar film Love Song for Bobby Long. John Travolta yang kacau. Rambut putihnya amat puitik. Jadi cacing cemas. Scarlett Johannsen aduhai sintalnya. Lawson yang murung terkubur kenangan romansa Eliot dan Dickens. Kenapa dimatikan. Membuka layar baris puisi lagi. Puisi ini harus selesai. Dangkal! Buang! Ya, di sana. Ini dia. Yang lama ditunggu-tunggu. Yang luput tertangkap. Jalanan ramai. Kendaraan bergerung-gerung. Pikiran akan puisi, kota, ampas imajinasi, tak bisa dihentikan. Mengalir terus. Tubercolusis ini, ambeyen, maag, kesemutan, migren, welahdalah. Benarkah begini. Cuma rematik. Mampus juga biar. Tapi pekiknya melambat. Merayapi tenggorokan. Invictus diputar lagi. Mandela tak mati. Melayap lagi. Bensin habis. Ada yang memberat ditulis. Dikibuli. Ancrit tenan! Tidak sekarang. Ada laki-laki iseng nungging. Perempuan gendeng tengkurap.
Hai lihat status baru itu! Status bugil yang mengular. Seperti mayat busuk. Ah, tidak jadi. Malas komen. Bau bangkai babi. Berpikir lagi. Jari-jari kram. Air telinga meleler. Langit tetap cemerlang purnama. Pipinya merona. Jalanan macet. Koran-koran beterbangan! Mau apa lagi ya? Ini sungguh darurat. Ah, nggak juga. Ia menggebuk komen itu sana-sini. Ini harus dihapus. Biarkan sebentar. Nunggu komen baru. Rokok minta dikepulkan. Perih asap di mata. Kopi tinggal kerak. Ada yang kangen kopi unthuk dari Gresik. Beli rokok lagi. Asbak mana ni? Datang ke acara itu nggak ya? Alamatnya tak jelas. Di rumah saja. Atau nongkrong ke warung sebelah. Cari inspirasi, sepotong puisi, puisi gagal, separagrap cerpen dan esai. Ah, suntuk. Busuk. Dihajar bosan dan kantuk. Nulis ngawur saja. Tentang kebrengsekan seniman ini lembaga itu. Puisi jelek ini puisi bagus itu. Bla-bla-bla. Muter-muter dari lidah ke pantat. Di sini lebih baik. Di medan cyber. Kumpul-kumpul juga hanya jadi kentut. Oh, kentut kotaku yang hiruk bertempikan. Nyesaki dubur. Si Kontet misuh: Jancok!
Demikianlah sepentil ilustrasi dari kolong penggila facebook sebagai salah satu medan ekspresi sastra yang tak terelak lagi di jaman Blackberry ini. Perkembangan teknologi yang supercepat kini bergerak zig-zag menerobosi kita: menciptakan harapan sekaligus kotoran. Harapan dalam arti teknologi informasi telah mengaruskan berbagai jenis saluran informasi dari seluruh penjuru dunia, dan setiap orang hilir-mudik di dalamnya. Melalui teknologi itu pula kita menyaksikan suatu interaksi sosial, lanskap “dunia rata”, “dunia ulang-alik” di mana siapa saja bisa menumbuhkan jaringan sosial dan menjadi pelaku dalam percaturan aneka pergaulan.[11]
Dalam konteks itu, kiranya kehidupan sastra yang memang berurusan dengan tulisan, bisa lebih dapat dikembangkan. Jika dahulu kita sangat tergantung kepada dunia percetakan dan penerbitan yang berpusat di kota-kota besar, yang seiring juga dengan pembentukan selera, citra dan nilai yang cenderung sentralistik, kini melalui teknologi informasi yang bersifat cyber yang sudah ada di mana-mana, setiap penulis bisa mengakses dan menyampaikan karyanya kepada siapa saja. Penulis sekaligus sebagai “redaksi” yang menyeleksi karyanya yang dianggap bisa dinikmati oleh semua warga dunia maya itu. Tentu ada dampak negatif. Karena setiap orang bisa saja menulis karya sastra dan mengirimkannya, maka karya dengan mulusnya bisa lolos, dan mungkin konsekwensinya juga dunia maya akan dibanjiri oleh karya sastra yang kurang bermutu bahkan buruk.
Tapi “efek samping” itu tidaklah terlalu benar. Sebab, dalam belantara cyber juga terdapat interaksi kritis, bahkan skala kekritisannya melebihi dibandingkan dalam dunia penerbitan. Jika dalam dunia penerbitan kapasitas kritis hanya dipegang oleh sang kritikus, kini siapa saja, di samping sebagai penulis, juga bisa menjadi kritikus atau perusuh. Polemik yang baru-baru ini terjadi terkait terbitan buku Pesta Penyair yang diterbitkan Komite Sastra DKJT mencuatkan berbagai dialektika krusial seputar gonjang-ganjing sastra di Jatim baru-baru ini.[12] Menyedot keterlibatan kritis dari luar, seperti getolnya Saut Situmorang dkk terkait problem sastra Jatim dengan sengkarut permusuhan Boemipoetra versus TUK. Sebagai contoh, unggahan facebook Jabbar Abdullah (Komunitas Lembah Pring Jombang) ihwal tulisan tanggapan AF Tuasikal berlambar “Skandal TUK Manipulasi Sastra Jatim”, yang dimuat di harian Kompas Jatim (27/8/2010) terhadap tulisan Beni Setia dan Dwi Pranoto sebelumnya. Ini bukti percekcokan di jagat facebook, bukan lagi di forum diskusi. Apa pun dan dengan siapa pun mereka bisa perang gagasan sampai cakar-cakaran di sini.[13]
Kondisi ini menunjukkan demokratisasi sastra yang membludakkan pecahnya ruang sosial yang dulunya tidak seperti itu. Penuh gejolak, intrik, dari yang bersifat politis, main-main, serampangan, dan serius.
3. Mampetnya Sastra Pesantren
Peranan pesantren dalam sejarah dunia literasi di Indonesia tak dapat dielakkan pengaruh besarnya. Hanya saja kini nyaris tak ditemukan denyut bagaimana sastra pesantren dikembangkan secara intens sebagai suatu gerakan kebudayaan islami. Dari kalangan muslim di luar tradisi pesantren, Forum Lingkar Pena (FLP) telah menunjukkan gerakan kepenulisan yang fleksibel dan progesif. Padahal jika ditilik secara kuantitatif, jumlah pesantren di Jatim sangatlah banyak. Bahkan ratusan. Di Jombang saja, pada 2008, jumlah pesantren berkisar 83 pesantren. Kediri 150-an. Belum lagi di wilayah tapal kuda: Jember, Banyuwangi, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Tentu kini hitungan itu makin berbiak. Wilayah Madura apalagi, dan Sumenep yang paling menunjukkan geliat itu.
Satu catatan kecil, Ponpes Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang bekerja sama dengan RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) dan jaringan intelektual NU menggelar Halaqah Nasional Kebudayaan Pesantren pada tanggal 22 – 23 Agustus 2008. Acara yang diadakan di aula masjid Ponpes Tebuireng tersebut mengusung tema “Kebangkitan Sastra Pesantren”.[14]
Kegiatan ini menunjukkan gairah menulis para santri ponpes Tebuireng khususnya, dan para undangan yang datang dari beragam wilayah di Jawa. Ini mengingatkan kita pada tahun 1998 di mana pernah digelar Kongres Kebudayaan Pesantren di Ponpes Pandanaran di Magelang, Jawa Tengah, yang menghadirkan Menteri Agama Thalhah Hasan, Dr. Simuh, Ahmad Thohari, dll.
Kontribusi dari kegiatan semacam ini sangatlah penting sebagai jejak untuk meniti arah perkembangan ke depan. Karena pesantren sejak dahulu merupakan basis intelektualisme lslam yang cemerlang yang kini memerlukan reorientasi dan cakrawala baru dalam memaknai dan menumbuh-kembangkannya. Tentu, halaqah ini, ke depannya, dapat lebih difokuskan pada semisal, workshop kepenulisan yang ajeg dan bervisi jelas. Sejumlah penulis berbasis pesantren dari berbagai daerah turut menyemarakkan acara ini seperti, Sachri M. Daroini (Magelang), Isma Kazee (yang juga redaktur Mata Pena [lini Penerbit LKiS], Yogyakarta), Zaki Zarung (Yogyakarta). Hadir pula saat itu penyair M. Faizi (dari Ponpes An-Nuqayyah, Guluk-guluk, Sumenep), dan Dadang Ali Murtono dari Pacet, Mojokerto. Kedua penyair ini puisinya masuk dalam antologi dua belas penyair mutakhir Jatim 2008.
Kita perlu muhasabah dan mengharap respon positif dari kalangan sesepuh pesantren: bagaimanakah kiprah dan kontribusi pesantren sebagai wilayah produksi kebudayaan agar tidak lungkrah (terbengkalai) dan bermelodrama dalam tradisi masa silam semata. Dalam perkara ini, kebudayaan bukan hanya dalam bentuk seni-budaya saja. Kita tahu bahwa banyak bentuk seni-budaya NU yang kini boleh dikatakan berkembang dan ikut bersaing, dan mendapatkan apresiasi masyarakat, seperti musik gambus (di Jombang misalnya ada Gambus Misri), hadrah, komunitas rebana dan lainnya. Bahkan dalam dunia sastra modern, kita juga melihat akar potensi sastra pesantren walaupun belum memiliki wujud yang signifikan. Perlu pula pendataan komunitas sastra di pesantren. Mlempem-nya pemikiran kesusatraan (lebih luas dalam konteks kebudayaan) pesantren harus segera diwujudkan. Setidaknya dijadikan bahan refleksi.[15]
4. Penggerak Sastra Lokal
Derap teknologi yang kian menderas terlebih perkembangan media internet perlu dipikirkan kembali oleh para penulis sastra lokal yang memiliki orientasi kepada upaya untuk mengembangkan nilai pengaruh karyanya, di mana dunia internet bisa dimanfaatkan secara efektif. Karena akses penerbitan karya masih jadi kendala. Sekaranglah kondisi yang sangat memungkinkan karya sastra dengan bobot nilai sejarah lokal bisa diketahui secara intensif oleh siapa saja. Dan sangat memungkinkan dengan interaksi yang intensif itu terciptalah kritik dari perspektif sejarah lokal lainnya, yang secara positif memungkinkan dinamika pembaharuan akan nilai sastra dari sejarah lokal masing-masing.
Hanya masalahnya sekarang, sejauh manakah penulis sastra lokal benar-benar memiliki spirit sebagai periset; kapasitas riset perlu dikembangkan melalui penajaman metode dan pendalaman berbagai data, fakta serta pencarian sumber-sumber baru lainnya dengan kupasan kritis. Jika saja setiap penulis sastra lokal bisa menerapkan hal ini, bahkan pada tingkat data, fakta serta kupasannya saja, sudah menarik, dan hal itu sangat memungkinkan untuk proses pembaharuan karya serta terciptanya sastra “masa depan Indonesia”.
Dengan kondisi yang kian terbuka dan seluruh jagat bisa dijembatani oleh dan melalui dunia internet, tantangan bagi penulis sastra lokal untuk kembali mencari akar dari kehidupan sastranya: sejarah sosial, kerangka nilai-nilai pendahulu yang pernah ada di sekitar wilayahnya; revitalisasi dengan kesadaran visi ini sungguh menggembirakan, dan kemajuan teknologi informasi bisa menjadikan hidup lebih manusiawi melalui sastra lokal. Inilah yang saya sebut sebagai “sastra keterlibatan”, memiliki empati pada basis sosio-historisnya. Ini sekaligus untuk menepis bahwa tidak semua penulis cuma berkutat dalam “kamar sunyinya” sendiri, melulu berkarya bermodalkan imajinasi.
Kaitannya dengan komunitas sastra, penggerak sastra lokal di berbagai daerah di Jatim sangatlah banyak. Tidak adanya pemetaan juga mengaburkan pendeteksian, dan ini persoalan lawas.[16] Sastra lokal bisa pula mengacu pada sejumlah penulis yang berkarya dan menerbitkan karya dengan koceknya sendiri. Dan Lamongan adalah gudangnya. Kita bisa menyebut Nurel Javissyarqi dengan Penerbit Pustaka Pujangga-nya, Alang Khoiruddin (Penerbit Pustaka Ilalang), AS Sumbawi (Penerbit Sastranesia), dll. Puluhan karya sastra baik dari penulis Lamongan sendiri maupun dari luar banyak yang mereka terbitkan.
Perkembangan penerbit dan komunitas sastra sejatinya digerakkan hanya oleh segelintir orang. Konsistensi dan militansi personal untuk menjadikan sastra sebagai gerakan literasi (tradisi membaca dan menulis) memang berat. Komunitas Rumah Dunia yang dipandegani Gola Gong dan Firman Venakyasa di Serang, Banten, adalah salah satu contohnya. Peran sosial sastra dalam ruang lingkup di kampung Ciloang itu telah menjadikan Rumah Dunia dan agenda tahunan Ode Kampung terapresiasi secara luas di wilayah Jawa Barat, bahkan gagasan-gagasan gerakan literasi mereka menasional.[17] Keterlibatan warga dengan anak-anak dan khususnya generasi muda dalam dunia menulis, membikin film indie, mengembangkan perpustakaan Jendral Kancil, dll, merupakan satu strategi personal dan mampu menjadi sebuah gerakan sosial untuk mengembangkan SDM masyarakat setempat.
Nah, di Jatim kayaknya masih adem-ayem. Belum kelihatan sosok seperti Gola Gong yang, selain tetap produktif menulis, jaringan Rumah Dunia dengan komunitas lain terjalin baik, misalnya dengan FLP, dan sejumlah pentolannya seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dll.
Dan jika boleh dibilang mainstream sastra di Jatim adalah “sastra DKJT” (baik agenda-agenda sastranya maupun hasil penerbitannya) di samping kita mengakui wilayah derap sastra yang lain seperti Jakarta, Jogja, Solo, Bandung, Riau, Lampung, dll, di Jatim tetaplah tidak bisa diabaikan keberadaan komunitas sastra yang lain yang bergerak dalam bingkai yang sama, meski belum tampak sebagai sebuah “gerakan” dan pengaruhnya tidak secemerlang Rumah Dunia.
***
Mempertimbangkan apa pentingnya sebuah dewan kesenian dalam upaya menumbuhkan etos kerja kreatif penulis dan komunitas sastra di Jatim di saat ini dan mendatang, menurut saya hal itu tek perlu metenteng dipikirkan. Semua pasti kembali kebarak masing-masing: pada kesadaran totalitas berkarya dan memberi arti pada ruang sosialnya. Jika memang dewan kesenian tetap dibutuhkan, lembaga itu haruslah dirancang berlandaskan, menurut Suyatna Anirun, pada “adab kesadaran”. Yakni kesadaran atas keberadaan para seniman atau budayawan secara umum maupun khusus, kesadaran atas keanekaragaman bentuk dan perwatakan serta kompleksitas problem kesenian yang ada. Kesadaran akan potensi serta prospek pengembangannya di masa depan. Dewan kesenian harus dibangun atas dasar “adab bebas/mandiri”, dan selanjutnya atas “adab integritas” dan “keseimbangan”.[18] Karena itu, diperlukan kewaspadaan dan pemikiran yang kritis akan “politik kesenian” dalam berbagai konteks, wacana, dan perubahan.
Tidak perlu kita terdesak melimbur diri dalam kepicikan, dan menadahkan tangan dengan mimik memelas pada pemerintah sebagai penopang atau sekedar ganjel bagi kekaryaan kita. Soal berkembang atau bobroknya kesenian dan masyarakat seni itu tanggung jawab seniman sendiri. Untuk itu keberadaan dewan kesenian harus bertolak atas dasar kebutuhan bersama. Jikalau kesadaran ini tak ada lantaran tetek bengek dan perkara tak mutu lainnya, tak usahlah terlalu nggerundel soal eksistensi dan kayak apa kerja pejabat “dewan kesenian”. Kita perlu lebih terusik untuk mengatasi berbagai persoalan nyata di sekitar kita, misalnya keterlibatan pesastra dalam perubahan sosial di lingkungannya.
Mungkin kita belum cukup beradab untuk bisa membentuk sebuah lembaga yang bersih dari pekatnya konflik kepentingan. Dan kehidupan sastra di Jatim semoga tidak jadi bemper dan bayang-banyang belaka di medan itu. Pegiatnya musti mandiri dan mencetuskan “revolusi kecil”nya sendiri.
Jombang-Tandes, 20 September 2010
[1] 10 wilayah kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Badura Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan dengan wilayah budaya lain. Pembagian wilayah kebudayaan ini bukan sesuatu yang final. Lihat Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan (Ed), Pemetaan Kebudayaan di Propinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif. Diterbitkan oleh Biro Mental Spiritual Pemerintah Propinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim-Jember. 2008. Hlm. iv-v.
[2] Baca uraian sengkarut problem dalam artikel lain saya: “Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto Soal Seni-Budaya Jombang”, Radar Mojokerto, April 2010; “Menimbang Visi Kebudayaan Dewan Kesenian Jombang”, Radar Mojokerto, Mei 2010; “Membangun Fondasi Seni Tradisi Jombang”, Radar Mojokerto, Juni 2010.
[3] Kasus lain misalnya Di Jawa Barat, terkait dengan gak pahamnya pemerintah dengan fungsi dewan kesenian. Ini terjadi pada tahun 2000 (lewat lansiran koran Pikiran Rakyat) tentang pembekuan DKDJB (Dewan Kesenian Daerah Jawa Barat). Memang mengenaskan. Ketaksepengertian mengenai fungsi dan tugas-tugas DKDJB bagi pihak Pemda DT I maupun pengurus DKDJB sendiri. Tak pernah ada penyelesaian. Dan gedung dewan keseniannya terbengkalai sebelum difungsikan. Entah kini bagaimana. Baca: Suyatna Anirun, Catatan Budaya (Bandung: Etnoteater Publications, 2002).
[4] Dalam sekian kali kluyuran saya ke Solo untuk menyaksikan beberapa jenis pertunjukan teater, tari dan musik, saya sempat berbincang-bincang dengan Halim HD, seorang budayawan dari Forum Pinilih Solo, yang lumayan paham dengan dunia pertunjukan di berbagai daerah. Melihat kota Solo yang demikian bergairah dalam berbagai pertunjukan, saya bertanya padanya: bagaimanakah dengan perkembangan tari di Surabaya atau Jawa Timur? Ada beberapa pentil catatan dari obrolan itu.
Pada periode tahun 1990-an Surabaya memiliki beberapa koreografer muda berbakat yang lumayan handal dan pernah memasuki ajang bergengsi. Periode itu sebagai suatu jembatan pembaharuan dunia tari dengan munculnya Achmad Fauzi melalui penata tari muda dari Jakarta, dan sempat pula ia mencicipi kunjungan ke Amerika dalam program American Dance Festival. Tapi, entah kenapa, arek Madura yang dulu digadang-gadang akan tampil sebagai koreografer mantap ini nampaknya kemudian melarut melakoni keseniannya sebagai EO (event organizer). Di samping Achmad Fauzi yang kini menjadi juragan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), ada sosok Arief Rofiq, yang sebagai penari ciamik dan memiliki basis kuat dalam khasanah lokal, juga termasuk dalam hitungan koreografer muda yang dipandang potensial mengangkat Surabaya dan Jatim ke tingkat nasional dan internasional. Pendiri Raf Raf Dance Company ini memang pernah beranjangsana membawa grupnya ke berbagai negeri di Eropa dan Australia mewakili Jatim. Sayangnya, ia sibuk dengan birokrasi di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dan sekarang menjadi staf Dinas Parsenibud Jawa Timur. Dan ajang tari kontemporer Surabaya kayaknya sepi sejak 10 tahun terakhir ini.
Salah satu koreografer yang juga banyak mengisi dan belakangan nampak sibuk dengan jaringan antar bangsa melalui movement art, Parmin Ras, yang berusaha dalam karyanya menggabungkan antara khasanah lokal yang bersifat spiritual dengan konsep tari moderen-kontemporer. Pada tahun 1990-an juga muncul salah seorang aktivis mahasiswa yang memiliki wawasan luas dalam teater, musik dan juga tari dan dengan bobot politik hadir di Surabaya, Heri “Lentho” Prasetya. Muncul di Festival Seni Surabaya, lalu Indonesia Dance Festival di Jakarta, Makassar Dance Forum, Makassar Arts Forum, dan berulang kali mengisi berbagai forum tari kontemporer dengan pendekatan teater-tari. Lentho, yang oleh sejumlah networker kebudayaan Solo dianggap salah seorang yang mampu mengawinkan antara kesenimanan dan sebagai organizer serta sangat paham dengan berbagai peta khasanah seni pertunjukan di Jawa Timur. Kurator seni pertunjukan itu bahkan punya harapan, jika saja Lentho punya fokus pada teater-tari. Tapi, sayang, katanya terlalu sibuk dengan lembaga yang digelutinya sekarang ini.
Ilustrasi itu membuat kita getun (menyesal), dan bertanya-tanya, kenapa Surabaya dan Jawa Timur yang memiliki perguruan tinggi seni jurusan tari semisal Unesa, STKW dan UNM tak melahirkan banyak penari dan calon koreografer; dan kenapa pula mereka yang pernah malang-melintang selama 10 tahun lalu undur dari panggung? Padahal, telisik Halim HD, Surabaya (dan Jakarta) adalah salah satu kota yang memberikan inspirasi dunia tari moderen melalui balet. Keluarga Sijangga adalah salah satu tokoh balet klasik dan moderen di mana pada era 1960-an sampai 1970-an terbilang begitu kondang. Dengan catatan peristiwa ini, kita kembali bertanya-tanya, kenapa sejarah tari moderen-kontemporer di Surabaya dan Jawa Timur tidak langgeng, tidak memiliki keberlangsungan yang ajeg (konsisten) sebagaimana di Solo, Jakarta dan Jogjakarta? Mungkin dibutuhkan sejenis forum-forum yang kontinyu agar muncul kembali gairah itu, dan para dedengkot kembali berkarya-cipta, serta para calon koreografer bisa melihat dan melanjutkan jejak yang pernah ada. Menurut saya, Surabaya dengan berbagai institusi keseniannya yang kini bergairah perlu mewujudkan forum itu, agar Surabaya kembali diperhitungkan dalam persada tari kontemporer Indonesia.
[5] Kenapa teater di Indonesia kian redup, dan kenapa pula kehidupan teater di berbagai kota yang dahulu dianggap sebagai wilayah pertumbuhan dan perkembangan teater yang begitu kuat, lalu nampak seperti pudar, misalnya Surabaya atau Malang yang pernah tercatat sebagai dua kota di Jatim yang memiliki tradisi teater moderen yang kuat?
Pertanyaan ini sering saya dengar dari pekerja teater di dalam dan di luar kampus. Boleh jadi jawabannya bisa kita kopi-paste dari pekerja teater di Bandung. Pada Desember 2008 saya pernah kebetulan mampir ke Bandung (setelah mengunjungi acara Ode Kampung di Rumah Dunianya Gola Gong di Serang) dan nongkrong di sana beberapa hari, ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dari beberapa dedengkot teater seperti Rachman Sabur, Benny Yohannes dan banyak yang lebih muda lagi, menyatakan bahwa teater di Bandung hidup bukan hanya karena pekerja teater yang terus bergerak dan berproses. Tapi juga dukungan media massa. Pendek kata adalah pemberitaan. Pentingnya ulasan atau kritik. Apa yang ditulis Suyatna Anirun (alm) yang dengan telaten telah menunjukkan ulasan serius pada setiap peristiwa pementasan. Tradisi ini terus intensif hingga sekarang. Karena itu teater di Bandung tetap mempertahankan spirit keseniannya, selain bertarung untuk kehidupan diri dan ngopeni keluarga sehari-hari. Meski di Jatim dahulu ada Max Arifin (alm) yang juga sering nulis kritik teater.
Interaksi antara kehidupan teater dengan media menjadi konsekuensi logis dari kehidupan kesenian di kota. Cermati pula apa yang dibilang bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, yang menyatakan bahwa pembaca kesenian tidak lebih dari 2%, bahkan kadang kurang dari satu persen. Wajar jika media tidak hirau kepada pementasan teater, terkecuali grup yang sangat kondang misalnya dengan aktor “raja monolog” Butet Kertarejasa. Pentas sejenis ini menjadi suatu perkecualian, bahkan disambut media dengan gempita.
Saya juga pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang redaktur seni-budaya sebuah koran nasional, yang menyatakan, pada setiap periode tertentu, perhatian pembaca kepada kupasan kesenian berbeda-beda. Dulu teater kuat, dan senirupa kurang begitu ada gaungnya. Kini terbalik, sejak 15 tahun terakhir ini, senirupa menduduki ranking tertinggi untuk kupasan seni-budaya, lalu disusul oleh musik, tari, sastra, dan teater yang paling bontot!
Soal lain lagi kenapa media tidak memuat kupasan teater adalah karena semakin sepinya pengulas teater yang bagus. Kalaupun ada si pengulas hanya memuji-muji, dan merosot persepktif kritiknya. Hal itu saya dengar dari beberapa redaktur yang menganggap bahwa di daerah makin langka kritikus teater yang mumpuni. Ini sungguh ironik. Ketika dunia akademis, khususnya fakultas budaya jurusan bahasa Indonesia yang juga mengenalkan berbagai bentuk teater beserta teori serta sejarahnya, kenapa pula kritikusnya kian langka? Seolah ada kesan bahwa menulis kupasan teater sebagai beban yang mengotori pikiran dan posisinya?
Di Surabaya, katanya dulu pernah ada sosok Basuki Rachmat (alm) dan Akhudiat yang dianggap piawai dalam mengupas teater, dan di Malang ada Hazim Amir (alm) yang dengan rajin menulis, sehingga orang-orang teater bisa belajar dari kupasannya. Dan kini, sesungguhnya terdapat, mungkin, seratusan lulusan bahasa Indonesia yang skripsi S1 dan S2-nya tentang teater, tapi kenapa pula tidak ada ulasan. Ataukah teori yang diberikan memang tak setajam dan segairah teater di atas panggung, yang kini kian kosong, dan hanya ada satu atau dua grup yang masih setia di antara media yang hanya sesekali memberitakannya. Barangkali kita memang sudah tidak butuh kritik.
[6] Hal ini seiring dengan pendapat Sahlan Husain (sekretaris umum DKJT) dalam tulisannya berjudul “Fungsi Manajerial Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 24.). Ia menyebut bahwa di Negara Asia lain, seorang figure ketua dewan kesenian dipercayakan kepada seorang doktor manajemen. Ia bukan seorang seniman, karena disiplin seniman sering tidak efektif dalam mengelola seni. Pola pikir seniman lebih banyak intuitif, spontan, dan tanpa perencanaan matang, serta lebih cenderung individual. Sementara, kalau ia berlatar belakang disiplin menajmen, biasanya lebih memiliki potensi untuk berpikir lateral (kreatif dan kaya akan terobosan-terobosan baru).
[7] Posisi DKJT itu kan mediator, penyambung lidah spirit seniman, menyorong kegiatan kesenian di daerah, komunitas-komunitas seni, menjembatani dengan gagasan pemikiran kesenian dan kebudayaan untuk dijadikan pertimbangan pemerintah, mengurangi perannya sebagai produsen karya, fokus memberikan motifasi, sebagai fasilitator bagi seniman untuk meningkatkan karya, melakukan pendataan komunitas seni (sastra) di mana hal ini sering didengung-dengungkan namun tak kelihatan hasilnya. Baca Tengsoe Tjahjono “Perhatikan Kebangkitan Kesenian di Daerah”, di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 39). Lembaga ini dibentuk memang dengan tujuan untuk menguatkan seluruh potensi kehidupan kesenian di Jatim, seperti yang dikatakan A. Fauzi (ketum DKJT) dalam “Menguatkan Seluruh Potensi Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 23). Menurutnya, dua peran DKJT adalah: sebagai pemikir dan memberikan usulan kepada Pemprov Jatim tentang strategi kebijakan di bidang pembangunan kesenian dan sebagai mitra bagi institusi terkait di bidang seni budaya dan Dewan Kesenian se Jatim yang secara koordinatif mendorong meningkatkan kualitas, aktifitas, dan fasilitasi. Demikian ungkapnya. Maka dari itu, tujuan dan peran ini setidaknya bukan cuma dijadikan slogan semata. Seringkali A. Fauzi dalam berbagai forum seminar menariknya dalam wacana “industri kreatif”. Katanya konsep ini mengacu pada bahwa seni budaya sebagai fakta ontologis yang bernilai ekonomi, mampu menciptakan industri yang berbasis pada kreativitas. Jika boleh mampir nanya, apa bukti konkrit DKJT sudah menjalankan itu? Ukurannya apa? Pada basis sosial yang bagaimana wacana itu diwujudkan? Soal kemandirian DKJT sendiri saja lembaga ini masih tergantung pada Pemprov. Paling tidak kemandirian DKJT ke depan dapat terealisir sebagai lembaga yang independent yang bisa bergerak lebih luas dan luwes.
[8] Tentang penerbitan buku, saya merujuk pada buku terbitan DKJT yang berjudul Orde Mimpi (2009). Ini kumpulan naskah drama R. Giryadi. Yang satunya adalah Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (kumpulan esai) karya Ribut Wijoto. Bagi saya alangkah lebih baik 2 buku tersebut diterbitkan di luar DKJT. Kenapa? Karena 2 buku ini karya pengurus DKJT. Soal Majalah Kidung, sudah menarik, hanya saja terlalu sering pengurusnya sendiri yang mengisi macam-macam rubrik di situ. Perlu juga mengundang pengulas luar Jatim, agar tumbuh dialektika dan sinergitas yang ciamik. Catatan ini beranjak dari obrolan saya dengan Mas A. Fauzi dan Mas Lentho, juga Pak Nasrul Ilahi (Disporabudpar Jombang) di warkop Pujasera Kebonrojo, di malam hujan deres sebelum pengukuhan Dewan Kesenian Jombang, pada 25 Februari 2010.
[9] Menurut Mardi, FSG hanyalah acara sastra acara biasa. Sekedar mengembalikan sastra ke dunia “imajinasi”-nya lagi. Gokil artinya gak medeni, gak patgulipat. Seger. Cengengesan. Agendanya 1 bulan sekali. FSG ini muncul di bulan Agustus lalu.
[10] Baca pengantar proses kreatif Mardi Luhung pada kumpulan puisinya yang terbaru Buwun (Pustaka Pujangga, Lamongan: 2010).
[11] Dalam kondisi seperti itu jika kita benar-benar menyadari berbagai khasanah seni-budaya yang demikian kaya di nusantara ini, kita dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan pemahaman kepada siapa saja di bagian benua dan negeri lain, seperti juga kita bisa mengetahui segi kebudayaan dari warga lainnya. Karena itu, media cyber bisa menciptakan suatu kondisi toleransi dan saling memahami.
[12] Diawali dari sebuah tulisan Arif B. Prasetya yang dimuat di Jawa Pos, “Jawa Timur Negeri Puisi”, (25/9/2010). Lalu ditanggapi W Haryanto (1/8/2010), “Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta” yang menyorot politisasi sastra dan sentralisasi sastra Jatim oleh pihak Jakarta. Kemudian dilanjut tulisan saya “Perang Sastra di Kandang Buaya”, (8/8/2010), dan dipungkasi oleh tulisan Beni Setia, “Belajar Sentosa Dengan Arif” (15/8/2010). Ini menjadi catatan penting bagi sejarah sastra Jatim.
[13] Misalnya Ribut Wijoto mengunggah sebuah tulisannya bertajuk “Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan”, pada Kamis 26 Agustus 2010 (at 7:56pm). Esai ini sebelumnya pernah dimuat di Harian Sinar Harapan (21 Agustus 2010). Dari esai Ribut itulah terjadilah adu mulut antara Nurel Javissyarqi dengan Nuruddin Asyhadie. Keduanya malah tidak secara spesifik membahas tulisan Ribut. Tapi tulisan Nurel yang dipamerkan yang kemudian disikat Nuruddien. Nurel balas menghajar. Berjumpalitanlah. Terjadilah hajar-hajaran. Penonton keplok-keplok di luar. Ini juga gambaran realitas sastra kita kini. Simulakrum media maya yeng membentangkan makhluk absurd “facebook”, si tentakel teknologi modern.
[14] Secara resmi Shalahuddin Wahid sebagai pengasuh pondok ini, dalam pembukaan acara, menyampaikan pentingnya merawat tradisi intelektual pesantren bahwa kaum santri jangan sampai meninggalkan tradisi menulis yang telah diteladankan para sastrawan terdahulu, baik dari tradisi Arab klasik hingga perkembangan intelektual Islam mutakhir di negeri ini. Sedang Said ‘Aqil Siraj menyampaikan dalam orasi kebudayaan tentang pentingnya kebudayaan pesantren sebagai pengokoh karakter bangsa.
Pada malam 22 Agustus, panitia menghadirkan pembicara D. Zawawi Imron, yang mengulik tanya-jawab dengan tulisan “Tradisi Menulis di Kalangan Santri”. Pun Jadul Maula, dari Yayasan LKiS Yogyakarta, menggulirkan makalah dengan judul “Kekuatan Karya Sastra Santri”. Ajang interaktif ini cukup membentangkan cakrawala pemikiran dan spirit yang inspiratif bagi para santri.
Sementara pada 23 Agustus, acara ditutup dengan renungan kebudayaan oleh Dr. Ir. Soedarsono dengan tema, “Menjadi Santri yang Berbudaya dan Berwawasan Kebangsaan”. Sebelumnya, dialog disemarakkan dengan kehadiran penulis novel kontroversial Syekh Siti Jenar, Agus Sunyoto dari Malang, yang menyorongkan tulisan “Menelisik Akar Sistem Pendidikan Pesantren”. Dr. Mastuki HS juga melemparkan diskusi dengan “Memperkuat Akar Budaya Bagi Revitalisasi Sistem Pendidikan Pesantren”.
[15] Satu catatan dari peristiwa diselenggarakannya Muktamar Kebudayaan NU di Ponpes Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada 1 Februari 2010. Kegelisahan ini berakar dari kehidupan kebudayaan yang selama ini hanya ditangani secara sektoral dan setengah-setengah. Jika kita memandang posisi-fungsi NU dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berkebudayaan, NU pernah memiliki masa kejayaan Lesbumi yang didirikan pada tahun 1950-an, sebagai wujud keprihatinan sekaligus ikhtiar NU dalam memroses reorientasi kebudayaannya hingga ke wilayah pedesaan. Hal inilah yang sesungguhnya menggulirkan masalah prinsip yang menjadi landasan NU mendirikan Lesbumi.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU merasa perlu secara istiqamah untuk bukan sekadar di tingkat pusat dan propinsi dalam wilayah politik. Tapi bagaimana secara konsisten Lesbumi mampu mengelola kehidupan dan sistem kebudayaan pedesaan sebagai basis sosial-kulturalnya di antara perkembangan organisasi kebudayaan lainnya seperti Lekra (onderbouw PKI) dan LKN milik PNI yang masing-masing ikut juga menyasar wilayah pedesaan.
Namun tindakan prinsipil yang riil sehubungan dengan perkembangan NU yang terasa sekali dalam 20-an tahun terakhir ini terlalu banyak “bermain” di wilayah politik praktis yang berakibat NU tercerai-berai yang imbasnya warga mengalami kebingungan karena ketiadaan sosok panutan, seperti kiai sebagai barometer sosio-spiritual.
Apa yang kita harapkan secara mendasar dari NU pada masa kini dan yang akan datang adalah bagaimana suatu strategi kebudayaan menciptakan etos kerja yang tidak tergantung, sikap independen yang didasarkan kepada nilai-nilai religius, dan bagaimana menciptakan sistem ekonomi dari aspek kultural bagi warga pedesaan. Juga bagaimana ikut mengisi kehidupan kebudayaan nusantara dengan perspektif keberagaman seperti yang selalu disorongkan oleh Gus Dur selama ini. Pada sisi lainnya bagaimana NU membina dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai toleransi yang didasarkan kepada sikap kultural dalam konteks perkembangan zaman.
NU haruslah menyadari benar bagaimana penetrasi dan infiltrasi teknologi informasi beserta media hiburan yang bersifat konsumtif yang selama ini ikut menggiring kaum muda di kampung-kampung ke dalam berbagai bentuk pemborosan. NU tidak boleh menolak teknologi informasi dan media. Tapi bagaimana dengan etos kerja yang gigih dan kritis menjadikan sarana itu sebagai jembatan pengembangan ilmu dan teknik yang dimiliki oleh warga pedesaan. Dalam kaitan itu, betapa pentingnya NU secara terus menerus melakukan riset mendalam di berbagai bidang di wilayah pedesaan yang memang menjadi ruang sosial warganya.
NU sebagai organisasi sosial-religius perlu memikirkan bagaimana setiap daerah memiliki sejenis pusat-pusat penelitian yang benar-benar bisa dijadikan acuan bagi perkembangan warga secara praktis dan sekaligus ikut menyumbangkan perkembangan ilmu dan pemikiran di tingkat nasional. Sebab, jika NU tidak kembali kepada akar tradisinya dan mengembangkan potensi pedesaan, kota akan dijejali oleh urbanisasi, dan arus itu akan sangat merugikan posisi NU, karena mereka yang bermigrasi ke wilayah urban akan dengan gampang dilahap oleh iklan, gaya hidup hedonis, dan disorientasi nilai-nilai. Kita berharap kepada NU untuk merenungi perjalanannya dan menyusun strategi kebudayaan NU masa depan. Jika demikian keadaannya bagaimana bisa kita menggagas visi untuk mengembangkan sastra pesantren?
[16] Diana Av Sasa (cerpenis dan pegiat I:BOEKOE Jogja) suatu saat di kantin Balai Pemuda pernah ngobrolkan soal pemetaan komunitas sastra di Jatim dengan saya. Ia sendiri pernah mengusulkan bersedia didanai oleh lembaga mana pun untuk melakukan riset pemetaan itu dengan limit waktu 3 bulan. Tentu ia akan membentuk tim riset sebagai pengalamannya terlibat dalam riset pembuatan buku Almanak Senirupa Jogja. Hal ini tampaknya perlu direspon lebih lanjut.
[17] Bersama Halim HD dan Fahmi Faqih, saya sempat bertandang ke Rumah Dunia pada Desember 2008. Pada tanggal 5-7 Desember 2008, Ode Kampung III bertajuk “Temu Komunitas Literasi”. Agenda ini mencoba menyebarkan virus kebajikan melalui buku-buku dan gerakan literasi di Indonesia. Sedang Ode Kampung I “Temu Sastrawan se-Indonesia” dilaksanakan pada Februari 2006 yang dihadiri oleh 150 satrawan. Ode Kampung II “Temu Komunitas Sastra se-Indonesia” pada Juli 2007 yang cukup menghebohkan konstelasi kesusastraan Indonesia, terutama dengan “Pernyataan Sikap” yang ditandatangani oleh lebih dari 200 sastrawan. Ode Kampung IV akan diselenggarakan pada tanggal 3-5 Desember 2010 berlambar “Banten Art Festival.” Berbeda dengan Ode Kampung terdahulu yang lebih menggelar kegiatan diskusi, kegiatan kali ini memfokuskan pada wilayah seni pertunjukkan, mulai dari seni tradisional hingga kontemporer. Tontonan menarik mulai dari seni tari, musik, teater dan monolog, serta pembacaan puisi dari para penyair terpilih dari perwakilan kebudayaan di Indonesia dengan sajian lebih dari 25 pementasan. Selain itu, untuk merangsang minat pelajar dan mahasiswa serta khayalak, para seniman yang tampil itu akan diminta memberikan ilmu dan pengalamannya dalam bentuk workshop dan diskusi. Baca lebih lengkap di www.facebook/Venakyasa: “Ode Kampung #4: Banten Art Festival Di Taman Budaya Rumah Dunia”.
[18] Suyatna Anirun, “Peradaban Dewan”, Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2000.
Dewan kesenian yang eksis di berbagai wilayah di propinsi Jawa Timur memiliki kontribusi sekaligus problem tersendiri. Dari 38 kota dan kabupaten di Jatim kiranya tidak semua wilayah tersebut bercokol lembag dewan kesenian. Kendati Jatim menyimpan 10 subkultur kebudayaan (ditambah 2 kultur budaya Arab dan Cina) yang sangat kaya dan luas.[1] Dewan kesenian terbentuk oleh entitasnya sebagai upaya bagaimana kesenian dipikirkan dan kemudian dikelola, diurus dengan baik. Apakah kesenian memang perlu dilestarikan dan terus ditumbuh-kembangkan oleh semacam lembaga yang semi swasta semi pemerintah ini?
Tidak mudah menjawabnya. Namun pemerintah juga punya visi dan strategi dalam ancangan agenda-agenda pembangunan untuk memberdayakan kebudayaan bangsanya dan kesenian yang berkembang di wilayahnya, yang kentara adalah lewat kementerian budaya dan pariwisata. Di sini definisi dan konsentrasi pengembangan antara “budaya” dan “pariwisata” sering tumpang-tindih, mengalami kerancuan. Satu sisi, bagaimana suatu budaya ditangani lalu diperhadapkan pada tantangan globalisasi-kapitalistik. Sisi lain, yang pariwisata itu, agendanya adalah mengembangkan budaya, mengolah hasanah lokalitas, obyek wisata, perhotelan, dan sarana pendukung lain semacam yang sering dijargonkan dengan istilah industri kreatif atau ekonomi kreatif. Bukan sekedar dodolan potensi sumber dayanya. Mengurusinya justru hal yang tak gampang, krusial, bahkan rentan menuai kritik.
Dalam konteks dewan kesenian, karena ini berhubungan erat dengan pemerintah yang mengucurkan dana, maka bagi yang terlibat di dalamnya, baik seniman maupun budayawan atau yang blenk soal itu tidaklah bisa melepaskan wilayah politik-birokatis yang oleh karenanya membutuhkan kesadaran politik yang kontekstual. Di Kabupaten Jombang misalnya, dewan kesenian pernah dibentuk tahun 1999, tapi mampet. Persoalan klasik seperti watak seniman yang tidak bisa bergerak bareng mewujudkan satu visi dan keseriusan pemerintah setempat menjadi problem kasuistik yang mendasar. Sekitar 2 kali agenda pembentukan lembaga itu diadakan dalam bentuk seminar kebudayaan kisaran tahun 2000-an, tapi nihil. Hingga yang terakhir, pada 25 Februari 2010, Dewan Kesenian Jombang dikukuhkan, itupun dengan munculnya secara tiba-tiba dana hibah 500 juta. Apakah dengan tidak mengalirnya dana hibah itu Dewan Kesenian Jombang tidak akan dibentuk?
Dinas Porabudpar Jombang penyorong utama pembentukan Dewan Kesenian Jombang itu. Ironisnya, hingga kini deadlock. Padahal sudah 3-4 kali rapat dan yang terakhir raker pun telah diadakan. Kiranya, ada “orang dalam” yang sedang “bermain” petak umpet dan bikin “telikung intrik”, lebih gelap dari puisi gelap, di sana.[2] Membuat kita kian sumpek dan bertanya-tanya, untuk apa sebuah dewan kesenian di masa yang penuh sengkarut dan pragmatis ini dibentuk? Lain lagi yang terjadi di Muara Enim. Seorang teman warga kota itu, Fikri namanya (aktor teater jebolan Komunitas Tombo Ati dan alumnus Fakultas Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Jombang), bercerita kepada saya tentang dewan kesenian di sana di mana memang SDM-nya minim kualitas. Tak mampu mengelola ketika dikucuri anggaran 250 juta pertahun. Maka dananya ditarik kembali oleh pemda.[3]
Nah, sekarang, bagaimana kita mencermati keberjalanan Dewan Kesenian Jawa Timur? Tampaknya lembaga ini terus bergeliat dengan semangat yang progresif dan selalu gemebyar agenda-agenda keseniannya. Dalam kepengurusan yang sekarang dipimpin oleh A. Fauzi, kita bisa melongok siapa sosok ini. Konon, dulu ia adalah seniman tari, seperti juga Heri Lentho Prasetya. Yang keduanya kini tak lagi menekuni tari.[4] Dunia tari Surabaya khususnya, terasa kehilangan gregetnya, malah nyaris tidak terdengar generasi penerusnya. Komite teater ada R. Giryadi, sementara di luar dia banyak pegiat teater Surabaya yang terus menggali spirit kebaruan berkaryanya, semisal Zainuri dan Hanif Nasrulloh. Kendati begitu, persoalan teater di Surabaya yang agak tertatih-tatih masih sepi dari kritik, eksplorasi, dan koreksi.[5] Dan Biro Sastra DKJT dimotori penyair dan novelis Mashuri. Rata-rata pejabat di DKJT ini adalah seniman yang sekaligus mengurusi kesenian. Perlu dipikirkan juga, apakah sudah tepat misalnya di tubuh DKJT yang mengurusi kesenian adalah seniman juga? Kadang saya menyayangkan, sejumlah teman seniman yang sebenarnya masih punya kesempatan panjang dan potensial dalam upaya proses kreatif kekaryaan menjadi seolah-olah mandul dan kering dalam keberkayaannya. Birokrasi dan tetek-bengek urusan administratif demikian menyedot banyak waktu dan konsentrasi. Jadi kian berat mempertahankan keajegan dan konsistensi dalam berkarya.
Mungkin perlu adanya semacam penyegaran bahwa yang mengelola DKJT secara teknis di lapangan adalah orang-orang selain seniman, dan mereka paham bagaimana menjalankan tugas-tugasnya.[6] Para seniman bisa dijadikan semacam penasihat. Paling tidak ini upaya meminimalisir kasak-kusuk tidak produktif dan kesan “politik kesenian” yang sering dialamatkan pada DKJT. Kesan DKJT berperan lebih banyak sebagai EO (even Organizer) penting untuk dipelototi.[7] Juga soal penerbitan buku dan Majalah Kidung.[8] Ini sungguh menyodok dan bikin gerah. Sorotan dan gugatan demikian memang tak terelakkan, selain problem pribadi antar seniman yang lebih complicated.
Mencermati situasi DKJT demikian, saya coba membaca pertalian erat yang saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga tersebut dengan kondisioning sastra dan komunitas sastra di Jatim saat ini. Ada empat pembacaan. Pembacaan ini mengacu pada relasi ruang sosial sastra dan penggiatnya, lokalitas, efek gerakan sastra, etos kreatif, serta tantangannya.
1. “Sastra DKJT” dan Gerakan Sastra Komunitas
Ketika membincangkan ihwal realitas sastra Jatim, kayaknya pencermatannya bisa nabrak ke mana-mana dan tidak fokus. Pertanyaan entengnya, realitas sastra Jatim yang bagaimana? Data macam apa dan sejauh mana geliat sastra yang bergerak di 38 kota/kabupaten di Jatim? Ini data yang butuh kerja raksasa dan tidak main-main. Mungkin, secara kasarnya, realitas sastra dan itu menjadi mainstream sastra Jatim saat ini adalah “realitas sastra DKJT”: yakni agenda-agenda sastra yang dihelat Komite Sastra DKJT, yang terkadang bekerja bareng dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dalam bentuk forum diskusi Halte Sastra. Tentu tidak menafikan geliat komunitas lain di Surabaya seperti Komunitas Esok, Srawung Art, Komunitas Luar Pagar, Komunitas Rabo Sore, Komunitas Tikar Pandan (Iqbal Baraas di Banyuwangi), Komunitas Lembah Pring (Jabbar Abdullah di Jombang dan Mojokerto), dll. Dan yang terbaru ini telah muncul Forum Sastra Gokil (FSG) yang dipawangi Mardi Luhung,[9] dan digerakkan A. Muttaqien dan kawan-kawan. Nongolnya forum baru semacam ini tetap bermakna, bahwa berdiskusi dengan nongkrong-nongkrong nyantai di warung kopi untuk mengudar berbagai gagasan dan wawasan, dari yang muda sampai yang tuek, harus terus disengkuyung bersama. Sebab pertemuan secara langsung memiliki daya “bakar kreatif” sendiri dibanding di “kamar onani facebook”.
Maka Komite Sastra DKJT ibarat obor sastra Jatim yang berpusat di Surabaya, yang tak henti gelisah mengulik identitas wilayahnya. Banyak even sastra yang tergelar di sini. Tulisan ini bukan berupaya memetakan. Karena saya bukan ahli ukur tanah. Bukan berarti pemetaan sastra atau komunitas sastra tidak penting. Sangat penting. Dan itu sejatinya tugas bagi siapa pun, lebih-lebih bagi lembaga seperti DKJT. Sebab realitas sastra Jatim cakupannya luas sekali, dan memang nggak terlalu mendesak didiskusikan.
Saya cenderung tertarik menghubungkan tema di atas pada bahasan totalitas berkarya beberapa penulis, misalnya pada Mardi Luhung, Mashuri, dll. Atau para cerpenis generasi muda Jatim seperti Diana AV Sasa (Pacitan), Hanif Nasrulloh (Surabaya), S Jai (Lamongan), Ahmad Rofiq (Gresik), MS. Nugroho (Jombang), Iqbal Baraas (Banyuwangi), Mahwi Air Tawar, dan beberapa penulis muda Madura lainnya seperti Lukman Mahbubi, Juwariyah Mawardi, Mawaidi MD, dan Badrul Munir Khoir. Jadi, persoalan sastra kita sebernarnya adalah bagaimana membangun kegetolan berkarya, karena itu pada puncaknya jelas mengimbas pada karya juga.
Perkara lain adalah ruwetnya psikologi penulis terkait motivasi berkarya dan “iman” kepengarangan. Semua pengarang berjibaku di sini. Bertarung demi menembus koran nasional dan ini pertaruhannya adalah kualitas karya dan totalitas berkarya. Tentu hanya yang terpilih yang disortir redaktur koran untuk dimuat di antara ratusan karya. Otokritik jadi penting juga, yang jika diabaikan kerap melahirkan over subyektivitas, narsis, dan sinisme pada karya orang lain. Di sinilah “iman” kepengarangan diuji: bagaimana karya terus ditempa dengan berpijak pada pertarungan batin personal dan ruang sosialnya. Karya-karya D Zawawi Imron dan Mardi Luhung membuktikan itu. Keterlibatan yang bisa “umup” dan “istiqamah” dalam mengeksplorasi identitas kultur-sosialnya, bukan cuma modal imajinasi, tapi riset serius.[10] Karya yang besar akan muncul sendiri menembus masa depan.
Maka komunitas sastra yang telah dibentuk sejumlah kawan paling tidak diharapkan mampu melahirkan suatu gerakan sastra yang militan dan punya visi yang jelas. Kita belum menemukan itu di Jatim.
2. Labirin Setan “Sastra Facebook”
Duduk berlama-lama. Dari pukul ke pukul. Jam dinding sekarat. Meleleh ke mulut. Matanya bunar. Bunarnya menggerogoti usus. Mengunang-ngunang semalaman seharian. Mengamati status sendiri, teman, orang lain. Pikiran ngleyang ke entah. Sudah lama gagasan buntu. Kayak peceren. Mencari sesuatu. Untuk apa? Untuk basa-basi. Mungkin semata busa-busa kata. Digelisah siapa, diburu apa? Hilang lagi. Apalagi yang menjelma hantu di tengkuk. Bayangan sendiri, menghantui leher sendiri. Cari angin magrib. Putar film Love Song for Bobby Long. John Travolta yang kacau. Rambut putihnya amat puitik. Jadi cacing cemas. Scarlett Johannsen aduhai sintalnya. Lawson yang murung terkubur kenangan romansa Eliot dan Dickens. Kenapa dimatikan. Membuka layar baris puisi lagi. Puisi ini harus selesai. Dangkal! Buang! Ya, di sana. Ini dia. Yang lama ditunggu-tunggu. Yang luput tertangkap. Jalanan ramai. Kendaraan bergerung-gerung. Pikiran akan puisi, kota, ampas imajinasi, tak bisa dihentikan. Mengalir terus. Tubercolusis ini, ambeyen, maag, kesemutan, migren, welahdalah. Benarkah begini. Cuma rematik. Mampus juga biar. Tapi pekiknya melambat. Merayapi tenggorokan. Invictus diputar lagi. Mandela tak mati. Melayap lagi. Bensin habis. Ada yang memberat ditulis. Dikibuli. Ancrit tenan! Tidak sekarang. Ada laki-laki iseng nungging. Perempuan gendeng tengkurap.
Hai lihat status baru itu! Status bugil yang mengular. Seperti mayat busuk. Ah, tidak jadi. Malas komen. Bau bangkai babi. Berpikir lagi. Jari-jari kram. Air telinga meleler. Langit tetap cemerlang purnama. Pipinya merona. Jalanan macet. Koran-koran beterbangan! Mau apa lagi ya? Ini sungguh darurat. Ah, nggak juga. Ia menggebuk komen itu sana-sini. Ini harus dihapus. Biarkan sebentar. Nunggu komen baru. Rokok minta dikepulkan. Perih asap di mata. Kopi tinggal kerak. Ada yang kangen kopi unthuk dari Gresik. Beli rokok lagi. Asbak mana ni? Datang ke acara itu nggak ya? Alamatnya tak jelas. Di rumah saja. Atau nongkrong ke warung sebelah. Cari inspirasi, sepotong puisi, puisi gagal, separagrap cerpen dan esai. Ah, suntuk. Busuk. Dihajar bosan dan kantuk. Nulis ngawur saja. Tentang kebrengsekan seniman ini lembaga itu. Puisi jelek ini puisi bagus itu. Bla-bla-bla. Muter-muter dari lidah ke pantat. Di sini lebih baik. Di medan cyber. Kumpul-kumpul juga hanya jadi kentut. Oh, kentut kotaku yang hiruk bertempikan. Nyesaki dubur. Si Kontet misuh: Jancok!
Demikianlah sepentil ilustrasi dari kolong penggila facebook sebagai salah satu medan ekspresi sastra yang tak terelak lagi di jaman Blackberry ini. Perkembangan teknologi yang supercepat kini bergerak zig-zag menerobosi kita: menciptakan harapan sekaligus kotoran. Harapan dalam arti teknologi informasi telah mengaruskan berbagai jenis saluran informasi dari seluruh penjuru dunia, dan setiap orang hilir-mudik di dalamnya. Melalui teknologi itu pula kita menyaksikan suatu interaksi sosial, lanskap “dunia rata”, “dunia ulang-alik” di mana siapa saja bisa menumbuhkan jaringan sosial dan menjadi pelaku dalam percaturan aneka pergaulan.[11]
Dalam konteks itu, kiranya kehidupan sastra yang memang berurusan dengan tulisan, bisa lebih dapat dikembangkan. Jika dahulu kita sangat tergantung kepada dunia percetakan dan penerbitan yang berpusat di kota-kota besar, yang seiring juga dengan pembentukan selera, citra dan nilai yang cenderung sentralistik, kini melalui teknologi informasi yang bersifat cyber yang sudah ada di mana-mana, setiap penulis bisa mengakses dan menyampaikan karyanya kepada siapa saja. Penulis sekaligus sebagai “redaksi” yang menyeleksi karyanya yang dianggap bisa dinikmati oleh semua warga dunia maya itu. Tentu ada dampak negatif. Karena setiap orang bisa saja menulis karya sastra dan mengirimkannya, maka karya dengan mulusnya bisa lolos, dan mungkin konsekwensinya juga dunia maya akan dibanjiri oleh karya sastra yang kurang bermutu bahkan buruk.
Tapi “efek samping” itu tidaklah terlalu benar. Sebab, dalam belantara cyber juga terdapat interaksi kritis, bahkan skala kekritisannya melebihi dibandingkan dalam dunia penerbitan. Jika dalam dunia penerbitan kapasitas kritis hanya dipegang oleh sang kritikus, kini siapa saja, di samping sebagai penulis, juga bisa menjadi kritikus atau perusuh. Polemik yang baru-baru ini terjadi terkait terbitan buku Pesta Penyair yang diterbitkan Komite Sastra DKJT mencuatkan berbagai dialektika krusial seputar gonjang-ganjing sastra di Jatim baru-baru ini.[12] Menyedot keterlibatan kritis dari luar, seperti getolnya Saut Situmorang dkk terkait problem sastra Jatim dengan sengkarut permusuhan Boemipoetra versus TUK. Sebagai contoh, unggahan facebook Jabbar Abdullah (Komunitas Lembah Pring Jombang) ihwal tulisan tanggapan AF Tuasikal berlambar “Skandal TUK Manipulasi Sastra Jatim”, yang dimuat di harian Kompas Jatim (27/8/2010) terhadap tulisan Beni Setia dan Dwi Pranoto sebelumnya. Ini bukti percekcokan di jagat facebook, bukan lagi di forum diskusi. Apa pun dan dengan siapa pun mereka bisa perang gagasan sampai cakar-cakaran di sini.[13]
Kondisi ini menunjukkan demokratisasi sastra yang membludakkan pecahnya ruang sosial yang dulunya tidak seperti itu. Penuh gejolak, intrik, dari yang bersifat politis, main-main, serampangan, dan serius.
3. Mampetnya Sastra Pesantren
Peranan pesantren dalam sejarah dunia literasi di Indonesia tak dapat dielakkan pengaruh besarnya. Hanya saja kini nyaris tak ditemukan denyut bagaimana sastra pesantren dikembangkan secara intens sebagai suatu gerakan kebudayaan islami. Dari kalangan muslim di luar tradisi pesantren, Forum Lingkar Pena (FLP) telah menunjukkan gerakan kepenulisan yang fleksibel dan progesif. Padahal jika ditilik secara kuantitatif, jumlah pesantren di Jatim sangatlah banyak. Bahkan ratusan. Di Jombang saja, pada 2008, jumlah pesantren berkisar 83 pesantren. Kediri 150-an. Belum lagi di wilayah tapal kuda: Jember, Banyuwangi, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Tentu kini hitungan itu makin berbiak. Wilayah Madura apalagi, dan Sumenep yang paling menunjukkan geliat itu.
Satu catatan kecil, Ponpes Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang bekerja sama dengan RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) dan jaringan intelektual NU menggelar Halaqah Nasional Kebudayaan Pesantren pada tanggal 22 – 23 Agustus 2008. Acara yang diadakan di aula masjid Ponpes Tebuireng tersebut mengusung tema “Kebangkitan Sastra Pesantren”.[14]
Kegiatan ini menunjukkan gairah menulis para santri ponpes Tebuireng khususnya, dan para undangan yang datang dari beragam wilayah di Jawa. Ini mengingatkan kita pada tahun 1998 di mana pernah digelar Kongres Kebudayaan Pesantren di Ponpes Pandanaran di Magelang, Jawa Tengah, yang menghadirkan Menteri Agama Thalhah Hasan, Dr. Simuh, Ahmad Thohari, dll.
Kontribusi dari kegiatan semacam ini sangatlah penting sebagai jejak untuk meniti arah perkembangan ke depan. Karena pesantren sejak dahulu merupakan basis intelektualisme lslam yang cemerlang yang kini memerlukan reorientasi dan cakrawala baru dalam memaknai dan menumbuh-kembangkannya. Tentu, halaqah ini, ke depannya, dapat lebih difokuskan pada semisal, workshop kepenulisan yang ajeg dan bervisi jelas. Sejumlah penulis berbasis pesantren dari berbagai daerah turut menyemarakkan acara ini seperti, Sachri M. Daroini (Magelang), Isma Kazee (yang juga redaktur Mata Pena [lini Penerbit LKiS], Yogyakarta), Zaki Zarung (Yogyakarta). Hadir pula saat itu penyair M. Faizi (dari Ponpes An-Nuqayyah, Guluk-guluk, Sumenep), dan Dadang Ali Murtono dari Pacet, Mojokerto. Kedua penyair ini puisinya masuk dalam antologi dua belas penyair mutakhir Jatim 2008.
Kita perlu muhasabah dan mengharap respon positif dari kalangan sesepuh pesantren: bagaimanakah kiprah dan kontribusi pesantren sebagai wilayah produksi kebudayaan agar tidak lungkrah (terbengkalai) dan bermelodrama dalam tradisi masa silam semata. Dalam perkara ini, kebudayaan bukan hanya dalam bentuk seni-budaya saja. Kita tahu bahwa banyak bentuk seni-budaya NU yang kini boleh dikatakan berkembang dan ikut bersaing, dan mendapatkan apresiasi masyarakat, seperti musik gambus (di Jombang misalnya ada Gambus Misri), hadrah, komunitas rebana dan lainnya. Bahkan dalam dunia sastra modern, kita juga melihat akar potensi sastra pesantren walaupun belum memiliki wujud yang signifikan. Perlu pula pendataan komunitas sastra di pesantren. Mlempem-nya pemikiran kesusatraan (lebih luas dalam konteks kebudayaan) pesantren harus segera diwujudkan. Setidaknya dijadikan bahan refleksi.[15]
4. Penggerak Sastra Lokal
Derap teknologi yang kian menderas terlebih perkembangan media internet perlu dipikirkan kembali oleh para penulis sastra lokal yang memiliki orientasi kepada upaya untuk mengembangkan nilai pengaruh karyanya, di mana dunia internet bisa dimanfaatkan secara efektif. Karena akses penerbitan karya masih jadi kendala. Sekaranglah kondisi yang sangat memungkinkan karya sastra dengan bobot nilai sejarah lokal bisa diketahui secara intensif oleh siapa saja. Dan sangat memungkinkan dengan interaksi yang intensif itu terciptalah kritik dari perspektif sejarah lokal lainnya, yang secara positif memungkinkan dinamika pembaharuan akan nilai sastra dari sejarah lokal masing-masing.
Hanya masalahnya sekarang, sejauh manakah penulis sastra lokal benar-benar memiliki spirit sebagai periset; kapasitas riset perlu dikembangkan melalui penajaman metode dan pendalaman berbagai data, fakta serta pencarian sumber-sumber baru lainnya dengan kupasan kritis. Jika saja setiap penulis sastra lokal bisa menerapkan hal ini, bahkan pada tingkat data, fakta serta kupasannya saja, sudah menarik, dan hal itu sangat memungkinkan untuk proses pembaharuan karya serta terciptanya sastra “masa depan Indonesia”.
Dengan kondisi yang kian terbuka dan seluruh jagat bisa dijembatani oleh dan melalui dunia internet, tantangan bagi penulis sastra lokal untuk kembali mencari akar dari kehidupan sastranya: sejarah sosial, kerangka nilai-nilai pendahulu yang pernah ada di sekitar wilayahnya; revitalisasi dengan kesadaran visi ini sungguh menggembirakan, dan kemajuan teknologi informasi bisa menjadikan hidup lebih manusiawi melalui sastra lokal. Inilah yang saya sebut sebagai “sastra keterlibatan”, memiliki empati pada basis sosio-historisnya. Ini sekaligus untuk menepis bahwa tidak semua penulis cuma berkutat dalam “kamar sunyinya” sendiri, melulu berkarya bermodalkan imajinasi.
Kaitannya dengan komunitas sastra, penggerak sastra lokal di berbagai daerah di Jatim sangatlah banyak. Tidak adanya pemetaan juga mengaburkan pendeteksian, dan ini persoalan lawas.[16] Sastra lokal bisa pula mengacu pada sejumlah penulis yang berkarya dan menerbitkan karya dengan koceknya sendiri. Dan Lamongan adalah gudangnya. Kita bisa menyebut Nurel Javissyarqi dengan Penerbit Pustaka Pujangga-nya, Alang Khoiruddin (Penerbit Pustaka Ilalang), AS Sumbawi (Penerbit Sastranesia), dll. Puluhan karya sastra baik dari penulis Lamongan sendiri maupun dari luar banyak yang mereka terbitkan.
Perkembangan penerbit dan komunitas sastra sejatinya digerakkan hanya oleh segelintir orang. Konsistensi dan militansi personal untuk menjadikan sastra sebagai gerakan literasi (tradisi membaca dan menulis) memang berat. Komunitas Rumah Dunia yang dipandegani Gola Gong dan Firman Venakyasa di Serang, Banten, adalah salah satu contohnya. Peran sosial sastra dalam ruang lingkup di kampung Ciloang itu telah menjadikan Rumah Dunia dan agenda tahunan Ode Kampung terapresiasi secara luas di wilayah Jawa Barat, bahkan gagasan-gagasan gerakan literasi mereka menasional.[17] Keterlibatan warga dengan anak-anak dan khususnya generasi muda dalam dunia menulis, membikin film indie, mengembangkan perpustakaan Jendral Kancil, dll, merupakan satu strategi personal dan mampu menjadi sebuah gerakan sosial untuk mengembangkan SDM masyarakat setempat.
Nah, di Jatim kayaknya masih adem-ayem. Belum kelihatan sosok seperti Gola Gong yang, selain tetap produktif menulis, jaringan Rumah Dunia dengan komunitas lain terjalin baik, misalnya dengan FLP, dan sejumlah pentolannya seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dll.
Dan jika boleh dibilang mainstream sastra di Jatim adalah “sastra DKJT” (baik agenda-agenda sastranya maupun hasil penerbitannya) di samping kita mengakui wilayah derap sastra yang lain seperti Jakarta, Jogja, Solo, Bandung, Riau, Lampung, dll, di Jatim tetaplah tidak bisa diabaikan keberadaan komunitas sastra yang lain yang bergerak dalam bingkai yang sama, meski belum tampak sebagai sebuah “gerakan” dan pengaruhnya tidak secemerlang Rumah Dunia.
***
Mempertimbangkan apa pentingnya sebuah dewan kesenian dalam upaya menumbuhkan etos kerja kreatif penulis dan komunitas sastra di Jatim di saat ini dan mendatang, menurut saya hal itu tek perlu metenteng dipikirkan. Semua pasti kembali kebarak masing-masing: pada kesadaran totalitas berkarya dan memberi arti pada ruang sosialnya. Jika memang dewan kesenian tetap dibutuhkan, lembaga itu haruslah dirancang berlandaskan, menurut Suyatna Anirun, pada “adab kesadaran”. Yakni kesadaran atas keberadaan para seniman atau budayawan secara umum maupun khusus, kesadaran atas keanekaragaman bentuk dan perwatakan serta kompleksitas problem kesenian yang ada. Kesadaran akan potensi serta prospek pengembangannya di masa depan. Dewan kesenian harus dibangun atas dasar “adab bebas/mandiri”, dan selanjutnya atas “adab integritas” dan “keseimbangan”.[18] Karena itu, diperlukan kewaspadaan dan pemikiran yang kritis akan “politik kesenian” dalam berbagai konteks, wacana, dan perubahan.
Tidak perlu kita terdesak melimbur diri dalam kepicikan, dan menadahkan tangan dengan mimik memelas pada pemerintah sebagai penopang atau sekedar ganjel bagi kekaryaan kita. Soal berkembang atau bobroknya kesenian dan masyarakat seni itu tanggung jawab seniman sendiri. Untuk itu keberadaan dewan kesenian harus bertolak atas dasar kebutuhan bersama. Jikalau kesadaran ini tak ada lantaran tetek bengek dan perkara tak mutu lainnya, tak usahlah terlalu nggerundel soal eksistensi dan kayak apa kerja pejabat “dewan kesenian”. Kita perlu lebih terusik untuk mengatasi berbagai persoalan nyata di sekitar kita, misalnya keterlibatan pesastra dalam perubahan sosial di lingkungannya.
Mungkin kita belum cukup beradab untuk bisa membentuk sebuah lembaga yang bersih dari pekatnya konflik kepentingan. Dan kehidupan sastra di Jatim semoga tidak jadi bemper dan bayang-banyang belaka di medan itu. Pegiatnya musti mandiri dan mencetuskan “revolusi kecil”nya sendiri.
Jombang-Tandes, 20 September 2010
[1] 10 wilayah kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Badura Bawean, dan Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan dengan wilayah budaya lain. Pembagian wilayah kebudayaan ini bukan sesuatu yang final. Lihat Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan (Ed), Pemetaan Kebudayaan di Propinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif. Diterbitkan oleh Biro Mental Spiritual Pemerintah Propinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim-Jember. 2008. Hlm. iv-v.
[2] Baca uraian sengkarut problem dalam artikel lain saya: “Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto Soal Seni-Budaya Jombang”, Radar Mojokerto, April 2010; “Menimbang Visi Kebudayaan Dewan Kesenian Jombang”, Radar Mojokerto, Mei 2010; “Membangun Fondasi Seni Tradisi Jombang”, Radar Mojokerto, Juni 2010.
[3] Kasus lain misalnya Di Jawa Barat, terkait dengan gak pahamnya pemerintah dengan fungsi dewan kesenian. Ini terjadi pada tahun 2000 (lewat lansiran koran Pikiran Rakyat) tentang pembekuan DKDJB (Dewan Kesenian Daerah Jawa Barat). Memang mengenaskan. Ketaksepengertian mengenai fungsi dan tugas-tugas DKDJB bagi pihak Pemda DT I maupun pengurus DKDJB sendiri. Tak pernah ada penyelesaian. Dan gedung dewan keseniannya terbengkalai sebelum difungsikan. Entah kini bagaimana. Baca: Suyatna Anirun, Catatan Budaya (Bandung: Etnoteater Publications, 2002).
[4] Dalam sekian kali kluyuran saya ke Solo untuk menyaksikan beberapa jenis pertunjukan teater, tari dan musik, saya sempat berbincang-bincang dengan Halim HD, seorang budayawan dari Forum Pinilih Solo, yang lumayan paham dengan dunia pertunjukan di berbagai daerah. Melihat kota Solo yang demikian bergairah dalam berbagai pertunjukan, saya bertanya padanya: bagaimanakah dengan perkembangan tari di Surabaya atau Jawa Timur? Ada beberapa pentil catatan dari obrolan itu.
Pada periode tahun 1990-an Surabaya memiliki beberapa koreografer muda berbakat yang lumayan handal dan pernah memasuki ajang bergengsi. Periode itu sebagai suatu jembatan pembaharuan dunia tari dengan munculnya Achmad Fauzi melalui penata tari muda dari Jakarta, dan sempat pula ia mencicipi kunjungan ke Amerika dalam program American Dance Festival. Tapi, entah kenapa, arek Madura yang dulu digadang-gadang akan tampil sebagai koreografer mantap ini nampaknya kemudian melarut melakoni keseniannya sebagai EO (event organizer). Di samping Achmad Fauzi yang kini menjadi juragan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), ada sosok Arief Rofiq, yang sebagai penari ciamik dan memiliki basis kuat dalam khasanah lokal, juga termasuk dalam hitungan koreografer muda yang dipandang potensial mengangkat Surabaya dan Jatim ke tingkat nasional dan internasional. Pendiri Raf Raf Dance Company ini memang pernah beranjangsana membawa grupnya ke berbagai negeri di Eropa dan Australia mewakili Jatim. Sayangnya, ia sibuk dengan birokrasi di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) dan sekarang menjadi staf Dinas Parsenibud Jawa Timur. Dan ajang tari kontemporer Surabaya kayaknya sepi sejak 10 tahun terakhir ini.
Salah satu koreografer yang juga banyak mengisi dan belakangan nampak sibuk dengan jaringan antar bangsa melalui movement art, Parmin Ras, yang berusaha dalam karyanya menggabungkan antara khasanah lokal yang bersifat spiritual dengan konsep tari moderen-kontemporer. Pada tahun 1990-an juga muncul salah seorang aktivis mahasiswa yang memiliki wawasan luas dalam teater, musik dan juga tari dan dengan bobot politik hadir di Surabaya, Heri “Lentho” Prasetya. Muncul di Festival Seni Surabaya, lalu Indonesia Dance Festival di Jakarta, Makassar Dance Forum, Makassar Arts Forum, dan berulang kali mengisi berbagai forum tari kontemporer dengan pendekatan teater-tari. Lentho, yang oleh sejumlah networker kebudayaan Solo dianggap salah seorang yang mampu mengawinkan antara kesenimanan dan sebagai organizer serta sangat paham dengan berbagai peta khasanah seni pertunjukan di Jawa Timur. Kurator seni pertunjukan itu bahkan punya harapan, jika saja Lentho punya fokus pada teater-tari. Tapi, sayang, katanya terlalu sibuk dengan lembaga yang digelutinya sekarang ini.
Ilustrasi itu membuat kita getun (menyesal), dan bertanya-tanya, kenapa Surabaya dan Jawa Timur yang memiliki perguruan tinggi seni jurusan tari semisal Unesa, STKW dan UNM tak melahirkan banyak penari dan calon koreografer; dan kenapa pula mereka yang pernah malang-melintang selama 10 tahun lalu undur dari panggung? Padahal, telisik Halim HD, Surabaya (dan Jakarta) adalah salah satu kota yang memberikan inspirasi dunia tari moderen melalui balet. Keluarga Sijangga adalah salah satu tokoh balet klasik dan moderen di mana pada era 1960-an sampai 1970-an terbilang begitu kondang. Dengan catatan peristiwa ini, kita kembali bertanya-tanya, kenapa sejarah tari moderen-kontemporer di Surabaya dan Jawa Timur tidak langgeng, tidak memiliki keberlangsungan yang ajeg (konsisten) sebagaimana di Solo, Jakarta dan Jogjakarta? Mungkin dibutuhkan sejenis forum-forum yang kontinyu agar muncul kembali gairah itu, dan para dedengkot kembali berkarya-cipta, serta para calon koreografer bisa melihat dan melanjutkan jejak yang pernah ada. Menurut saya, Surabaya dengan berbagai institusi keseniannya yang kini bergairah perlu mewujudkan forum itu, agar Surabaya kembali diperhitungkan dalam persada tari kontemporer Indonesia.
[5] Kenapa teater di Indonesia kian redup, dan kenapa pula kehidupan teater di berbagai kota yang dahulu dianggap sebagai wilayah pertumbuhan dan perkembangan teater yang begitu kuat, lalu nampak seperti pudar, misalnya Surabaya atau Malang yang pernah tercatat sebagai dua kota di Jatim yang memiliki tradisi teater moderen yang kuat?
Pertanyaan ini sering saya dengar dari pekerja teater di dalam dan di luar kampus. Boleh jadi jawabannya bisa kita kopi-paste dari pekerja teater di Bandung. Pada Desember 2008 saya pernah kebetulan mampir ke Bandung (setelah mengunjungi acara Ode Kampung di Rumah Dunianya Gola Gong di Serang) dan nongkrong di sana beberapa hari, ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dari beberapa dedengkot teater seperti Rachman Sabur, Benny Yohannes dan banyak yang lebih muda lagi, menyatakan bahwa teater di Bandung hidup bukan hanya karena pekerja teater yang terus bergerak dan berproses. Tapi juga dukungan media massa. Pendek kata adalah pemberitaan. Pentingnya ulasan atau kritik. Apa yang ditulis Suyatna Anirun (alm) yang dengan telaten telah menunjukkan ulasan serius pada setiap peristiwa pementasan. Tradisi ini terus intensif hingga sekarang. Karena itu teater di Bandung tetap mempertahankan spirit keseniannya, selain bertarung untuk kehidupan diri dan ngopeni keluarga sehari-hari. Meski di Jatim dahulu ada Max Arifin (alm) yang juga sering nulis kritik teater.
Interaksi antara kehidupan teater dengan media menjadi konsekuensi logis dari kehidupan kesenian di kota. Cermati pula apa yang dibilang bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, yang menyatakan bahwa pembaca kesenian tidak lebih dari 2%, bahkan kadang kurang dari satu persen. Wajar jika media tidak hirau kepada pementasan teater, terkecuali grup yang sangat kondang misalnya dengan aktor “raja monolog” Butet Kertarejasa. Pentas sejenis ini menjadi suatu perkecualian, bahkan disambut media dengan gempita.
Saya juga pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang redaktur seni-budaya sebuah koran nasional, yang menyatakan, pada setiap periode tertentu, perhatian pembaca kepada kupasan kesenian berbeda-beda. Dulu teater kuat, dan senirupa kurang begitu ada gaungnya. Kini terbalik, sejak 15 tahun terakhir ini, senirupa menduduki ranking tertinggi untuk kupasan seni-budaya, lalu disusul oleh musik, tari, sastra, dan teater yang paling bontot!
Soal lain lagi kenapa media tidak memuat kupasan teater adalah karena semakin sepinya pengulas teater yang bagus. Kalaupun ada si pengulas hanya memuji-muji, dan merosot persepktif kritiknya. Hal itu saya dengar dari beberapa redaktur yang menganggap bahwa di daerah makin langka kritikus teater yang mumpuni. Ini sungguh ironik. Ketika dunia akademis, khususnya fakultas budaya jurusan bahasa Indonesia yang juga mengenalkan berbagai bentuk teater beserta teori serta sejarahnya, kenapa pula kritikusnya kian langka? Seolah ada kesan bahwa menulis kupasan teater sebagai beban yang mengotori pikiran dan posisinya?
Di Surabaya, katanya dulu pernah ada sosok Basuki Rachmat (alm) dan Akhudiat yang dianggap piawai dalam mengupas teater, dan di Malang ada Hazim Amir (alm) yang dengan rajin menulis, sehingga orang-orang teater bisa belajar dari kupasannya. Dan kini, sesungguhnya terdapat, mungkin, seratusan lulusan bahasa Indonesia yang skripsi S1 dan S2-nya tentang teater, tapi kenapa pula tidak ada ulasan. Ataukah teori yang diberikan memang tak setajam dan segairah teater di atas panggung, yang kini kian kosong, dan hanya ada satu atau dua grup yang masih setia di antara media yang hanya sesekali memberitakannya. Barangkali kita memang sudah tidak butuh kritik.
[6] Hal ini seiring dengan pendapat Sahlan Husain (sekretaris umum DKJT) dalam tulisannya berjudul “Fungsi Manajerial Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 24.). Ia menyebut bahwa di Negara Asia lain, seorang figure ketua dewan kesenian dipercayakan kepada seorang doktor manajemen. Ia bukan seorang seniman, karena disiplin seniman sering tidak efektif dalam mengelola seni. Pola pikir seniman lebih banyak intuitif, spontan, dan tanpa perencanaan matang, serta lebih cenderung individual. Sementara, kalau ia berlatar belakang disiplin menajmen, biasanya lebih memiliki potensi untuk berpikir lateral (kreatif dan kaya akan terobosan-terobosan baru).
[7] Posisi DKJT itu kan mediator, penyambung lidah spirit seniman, menyorong kegiatan kesenian di daerah, komunitas-komunitas seni, menjembatani dengan gagasan pemikiran kesenian dan kebudayaan untuk dijadikan pertimbangan pemerintah, mengurangi perannya sebagai produsen karya, fokus memberikan motifasi, sebagai fasilitator bagi seniman untuk meningkatkan karya, melakukan pendataan komunitas seni (sastra) di mana hal ini sering didengung-dengungkan namun tak kelihatan hasilnya. Baca Tengsoe Tjahjono “Perhatikan Kebangkitan Kesenian di Daerah”, di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 39). Lembaga ini dibentuk memang dengan tujuan untuk menguatkan seluruh potensi kehidupan kesenian di Jatim, seperti yang dikatakan A. Fauzi (ketum DKJT) dalam “Menguatkan Seluruh Potensi Kesenian” di Majalah Kidung (edisi 17-18. 2009. Hlm. 23). Menurutnya, dua peran DKJT adalah: sebagai pemikir dan memberikan usulan kepada Pemprov Jatim tentang strategi kebijakan di bidang pembangunan kesenian dan sebagai mitra bagi institusi terkait di bidang seni budaya dan Dewan Kesenian se Jatim yang secara koordinatif mendorong meningkatkan kualitas, aktifitas, dan fasilitasi. Demikian ungkapnya. Maka dari itu, tujuan dan peran ini setidaknya bukan cuma dijadikan slogan semata. Seringkali A. Fauzi dalam berbagai forum seminar menariknya dalam wacana “industri kreatif”. Katanya konsep ini mengacu pada bahwa seni budaya sebagai fakta ontologis yang bernilai ekonomi, mampu menciptakan industri yang berbasis pada kreativitas. Jika boleh mampir nanya, apa bukti konkrit DKJT sudah menjalankan itu? Ukurannya apa? Pada basis sosial yang bagaimana wacana itu diwujudkan? Soal kemandirian DKJT sendiri saja lembaga ini masih tergantung pada Pemprov. Paling tidak kemandirian DKJT ke depan dapat terealisir sebagai lembaga yang independent yang bisa bergerak lebih luas dan luwes.
[8] Tentang penerbitan buku, saya merujuk pada buku terbitan DKJT yang berjudul Orde Mimpi (2009). Ini kumpulan naskah drama R. Giryadi. Yang satunya adalah Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (kumpulan esai) karya Ribut Wijoto. Bagi saya alangkah lebih baik 2 buku tersebut diterbitkan di luar DKJT. Kenapa? Karena 2 buku ini karya pengurus DKJT. Soal Majalah Kidung, sudah menarik, hanya saja terlalu sering pengurusnya sendiri yang mengisi macam-macam rubrik di situ. Perlu juga mengundang pengulas luar Jatim, agar tumbuh dialektika dan sinergitas yang ciamik. Catatan ini beranjak dari obrolan saya dengan Mas A. Fauzi dan Mas Lentho, juga Pak Nasrul Ilahi (Disporabudpar Jombang) di warkop Pujasera Kebonrojo, di malam hujan deres sebelum pengukuhan Dewan Kesenian Jombang, pada 25 Februari 2010.
[9] Menurut Mardi, FSG hanyalah acara sastra acara biasa. Sekedar mengembalikan sastra ke dunia “imajinasi”-nya lagi. Gokil artinya gak medeni, gak patgulipat. Seger. Cengengesan. Agendanya 1 bulan sekali. FSG ini muncul di bulan Agustus lalu.
[10] Baca pengantar proses kreatif Mardi Luhung pada kumpulan puisinya yang terbaru Buwun (Pustaka Pujangga, Lamongan: 2010).
[11] Dalam kondisi seperti itu jika kita benar-benar menyadari berbagai khasanah seni-budaya yang demikian kaya di nusantara ini, kita dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan pemahaman kepada siapa saja di bagian benua dan negeri lain, seperti juga kita bisa mengetahui segi kebudayaan dari warga lainnya. Karena itu, media cyber bisa menciptakan suatu kondisi toleransi dan saling memahami.
[12] Diawali dari sebuah tulisan Arif B. Prasetya yang dimuat di Jawa Pos, “Jawa Timur Negeri Puisi”, (25/9/2010). Lalu ditanggapi W Haryanto (1/8/2010), “Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta” yang menyorot politisasi sastra dan sentralisasi sastra Jatim oleh pihak Jakarta. Kemudian dilanjut tulisan saya “Perang Sastra di Kandang Buaya”, (8/8/2010), dan dipungkasi oleh tulisan Beni Setia, “Belajar Sentosa Dengan Arif” (15/8/2010). Ini menjadi catatan penting bagi sejarah sastra Jatim.
[13] Misalnya Ribut Wijoto mengunggah sebuah tulisannya bertajuk “Kesusastraan Indonesia 25 Tahun ke Depan”, pada Kamis 26 Agustus 2010 (at 7:56pm). Esai ini sebelumnya pernah dimuat di Harian Sinar Harapan (21 Agustus 2010). Dari esai Ribut itulah terjadilah adu mulut antara Nurel Javissyarqi dengan Nuruddin Asyhadie. Keduanya malah tidak secara spesifik membahas tulisan Ribut. Tapi tulisan Nurel yang dipamerkan yang kemudian disikat Nuruddien. Nurel balas menghajar. Berjumpalitanlah. Terjadilah hajar-hajaran. Penonton keplok-keplok di luar. Ini juga gambaran realitas sastra kita kini. Simulakrum media maya yeng membentangkan makhluk absurd “facebook”, si tentakel teknologi modern.
[14] Secara resmi Shalahuddin Wahid sebagai pengasuh pondok ini, dalam pembukaan acara, menyampaikan pentingnya merawat tradisi intelektual pesantren bahwa kaum santri jangan sampai meninggalkan tradisi menulis yang telah diteladankan para sastrawan terdahulu, baik dari tradisi Arab klasik hingga perkembangan intelektual Islam mutakhir di negeri ini. Sedang Said ‘Aqil Siraj menyampaikan dalam orasi kebudayaan tentang pentingnya kebudayaan pesantren sebagai pengokoh karakter bangsa.
Pada malam 22 Agustus, panitia menghadirkan pembicara D. Zawawi Imron, yang mengulik tanya-jawab dengan tulisan “Tradisi Menulis di Kalangan Santri”. Pun Jadul Maula, dari Yayasan LKiS Yogyakarta, menggulirkan makalah dengan judul “Kekuatan Karya Sastra Santri”. Ajang interaktif ini cukup membentangkan cakrawala pemikiran dan spirit yang inspiratif bagi para santri.
Sementara pada 23 Agustus, acara ditutup dengan renungan kebudayaan oleh Dr. Ir. Soedarsono dengan tema, “Menjadi Santri yang Berbudaya dan Berwawasan Kebangsaan”. Sebelumnya, dialog disemarakkan dengan kehadiran penulis novel kontroversial Syekh Siti Jenar, Agus Sunyoto dari Malang, yang menyorongkan tulisan “Menelisik Akar Sistem Pendidikan Pesantren”. Dr. Mastuki HS juga melemparkan diskusi dengan “Memperkuat Akar Budaya Bagi Revitalisasi Sistem Pendidikan Pesantren”.
[15] Satu catatan dari peristiwa diselenggarakannya Muktamar Kebudayaan NU di Ponpes Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada 1 Februari 2010. Kegelisahan ini berakar dari kehidupan kebudayaan yang selama ini hanya ditangani secara sektoral dan setengah-setengah. Jika kita memandang posisi-fungsi NU dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berkebudayaan, NU pernah memiliki masa kejayaan Lesbumi yang didirikan pada tahun 1950-an, sebagai wujud keprihatinan sekaligus ikhtiar NU dalam memroses reorientasi kebudayaannya hingga ke wilayah pedesaan. Hal inilah yang sesungguhnya menggulirkan masalah prinsip yang menjadi landasan NU mendirikan Lesbumi.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU merasa perlu secara istiqamah untuk bukan sekadar di tingkat pusat dan propinsi dalam wilayah politik. Tapi bagaimana secara konsisten Lesbumi mampu mengelola kehidupan dan sistem kebudayaan pedesaan sebagai basis sosial-kulturalnya di antara perkembangan organisasi kebudayaan lainnya seperti Lekra (onderbouw PKI) dan LKN milik PNI yang masing-masing ikut juga menyasar wilayah pedesaan.
Namun tindakan prinsipil yang riil sehubungan dengan perkembangan NU yang terasa sekali dalam 20-an tahun terakhir ini terlalu banyak “bermain” di wilayah politik praktis yang berakibat NU tercerai-berai yang imbasnya warga mengalami kebingungan karena ketiadaan sosok panutan, seperti kiai sebagai barometer sosio-spiritual.
Apa yang kita harapkan secara mendasar dari NU pada masa kini dan yang akan datang adalah bagaimana suatu strategi kebudayaan menciptakan etos kerja yang tidak tergantung, sikap independen yang didasarkan kepada nilai-nilai religius, dan bagaimana menciptakan sistem ekonomi dari aspek kultural bagi warga pedesaan. Juga bagaimana ikut mengisi kehidupan kebudayaan nusantara dengan perspektif keberagaman seperti yang selalu disorongkan oleh Gus Dur selama ini. Pada sisi lainnya bagaimana NU membina dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai toleransi yang didasarkan kepada sikap kultural dalam konteks perkembangan zaman.
NU haruslah menyadari benar bagaimana penetrasi dan infiltrasi teknologi informasi beserta media hiburan yang bersifat konsumtif yang selama ini ikut menggiring kaum muda di kampung-kampung ke dalam berbagai bentuk pemborosan. NU tidak boleh menolak teknologi informasi dan media. Tapi bagaimana dengan etos kerja yang gigih dan kritis menjadikan sarana itu sebagai jembatan pengembangan ilmu dan teknik yang dimiliki oleh warga pedesaan. Dalam kaitan itu, betapa pentingnya NU secara terus menerus melakukan riset mendalam di berbagai bidang di wilayah pedesaan yang memang menjadi ruang sosial warganya.
NU sebagai organisasi sosial-religius perlu memikirkan bagaimana setiap daerah memiliki sejenis pusat-pusat penelitian yang benar-benar bisa dijadikan acuan bagi perkembangan warga secara praktis dan sekaligus ikut menyumbangkan perkembangan ilmu dan pemikiran di tingkat nasional. Sebab, jika NU tidak kembali kepada akar tradisinya dan mengembangkan potensi pedesaan, kota akan dijejali oleh urbanisasi, dan arus itu akan sangat merugikan posisi NU, karena mereka yang bermigrasi ke wilayah urban akan dengan gampang dilahap oleh iklan, gaya hidup hedonis, dan disorientasi nilai-nilai. Kita berharap kepada NU untuk merenungi perjalanannya dan menyusun strategi kebudayaan NU masa depan. Jika demikian keadaannya bagaimana bisa kita menggagas visi untuk mengembangkan sastra pesantren?
[16] Diana Av Sasa (cerpenis dan pegiat I:BOEKOE Jogja) suatu saat di kantin Balai Pemuda pernah ngobrolkan soal pemetaan komunitas sastra di Jatim dengan saya. Ia sendiri pernah mengusulkan bersedia didanai oleh lembaga mana pun untuk melakukan riset pemetaan itu dengan limit waktu 3 bulan. Tentu ia akan membentuk tim riset sebagai pengalamannya terlibat dalam riset pembuatan buku Almanak Senirupa Jogja. Hal ini tampaknya perlu direspon lebih lanjut.
[17] Bersama Halim HD dan Fahmi Faqih, saya sempat bertandang ke Rumah Dunia pada Desember 2008. Pada tanggal 5-7 Desember 2008, Ode Kampung III bertajuk “Temu Komunitas Literasi”. Agenda ini mencoba menyebarkan virus kebajikan melalui buku-buku dan gerakan literasi di Indonesia. Sedang Ode Kampung I “Temu Sastrawan se-Indonesia” dilaksanakan pada Februari 2006 yang dihadiri oleh 150 satrawan. Ode Kampung II “Temu Komunitas Sastra se-Indonesia” pada Juli 2007 yang cukup menghebohkan konstelasi kesusastraan Indonesia, terutama dengan “Pernyataan Sikap” yang ditandatangani oleh lebih dari 200 sastrawan. Ode Kampung IV akan diselenggarakan pada tanggal 3-5 Desember 2010 berlambar “Banten Art Festival.” Berbeda dengan Ode Kampung terdahulu yang lebih menggelar kegiatan diskusi, kegiatan kali ini memfokuskan pada wilayah seni pertunjukkan, mulai dari seni tradisional hingga kontemporer. Tontonan menarik mulai dari seni tari, musik, teater dan monolog, serta pembacaan puisi dari para penyair terpilih dari perwakilan kebudayaan di Indonesia dengan sajian lebih dari 25 pementasan. Selain itu, untuk merangsang minat pelajar dan mahasiswa serta khayalak, para seniman yang tampil itu akan diminta memberikan ilmu dan pengalamannya dalam bentuk workshop dan diskusi. Baca lebih lengkap di www.facebook/Venakyasa: “Ode Kampung #4: Banten Art Festival Di Taman Budaya Rumah Dunia”.
[18] Suyatna Anirun, “Peradaban Dewan”, Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar