Minggu, 10 Oktober 2010

Ufuk Mentari Fajar di Kampus Undar

Sabrank Suparno
 
Malam pelataran kampus UNDAR tanggal 4 Oktober 2010, berbalik fakta dari malam-malam sebelumnya. Pasalnya keheningan terpecah oleh lalu-lalang deru mesin di tikungan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Merdeka ditambahi riuh mahasiswa baru yang mungkasi prosesi ospek dengan penghujung acara inagurasi.
 
Sebagai endosmen, rekan Ani Rahma, Loly dkk selaku mahasiswa senior menggembleng 498 calon pembelajar jagat baru di UNDAR tersebut dengan atribut ORMADU (Orientasi Mahasiswa Darul Ulum). Penggemblengan dimaksudkan agar calon mahasisiwa benar-benar berkepribadian tangguh dalam menyikapi tuntutan jaman dengan problematika gigantiknya. Seperti dilangsir Jawa Pos Radar Mojokerto-Jombang tanggal 3 Oktober 2010, rektor UNDAR dr. Ma’murotus Sa’diyah M Kes mengatakan” kebebasab ber-ekspresi dan beropini mahasiswa sangat kita dukung. Bahkan untuk berdemo sekalipun.” Motifator tersebut didasarkan kiprah Helmi Faishal mantan domonstran UNDAR yang kini menjabat menteri Pembangunan Daerah Tertinggal.
 
Panitia memuncaki malam inagurasi dengan penampilan ‘puisi teatrikal’ yang diperankan Ani dan Ulfa atas binaan Mentari: peteater lawas yang pernah bercokol di UNDAR pra2007an. Teater Mentari ini didirikan Tito Kadarisman pada 9 Nopember 1999 dengan angota awal 9 orang.
 
Mahasiswa senior sengaja mendatangkan personil jebolan teater Mentari, dengan gagasan menghidupkan kembali perteateran di UNDAR yang vokum sejak tahun 2007. Meski tak sepadan Robohnya Surau Kami novel karya A.A. Navis, sanggar tempat mangkal teater Mentari mulai didengser, dan jadikan ruang perkuliahan. Sejak itulah Mentari seperti beranjak menghampiri senja dan menziarahi malam. Selain terputusnya regenerasi juga dukungan pihak kampus yang berangsur luntur. Pegiat teater Mentari kemudian melakonkan sutradara alam semesta sebagai alur teater kehidupan. Bagaimana pun juga, hidup ini merupakan teater yang harus dimainkan dengan ‘diri’ sebagai aktor utama sekaligus pendamping dalam kecimpung bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 
Puing reruntuhan teater Mentari ibarat ambrolnya tembok surga. Ini terbukti dari beberapa awak personil seperti Latif kini menjadi sesepuh teater di Tuban. Bersama naskah Euthanasianya, Latif pernah manggung persahabatan di kandang teater Ringin Conthong (RC-STKIP Jombang). Sedang Tohari kini menjadi pialang teater Roda di UNISDA Lamongan. Personil lainnya seperti Glewo, Sinyo, Saiful, Gamblis, Hadi Sutawijaya, Erina dll, tercecer dan sesekali meluangkan waktunya mendiklat perteateran atas undangan. Di antara ceceran awak teater Mentari yang paling aktif dan menjadi muara konsultasi rekannya adalah Hadi Sutawijaya yang kini mengabdikan diri sebagai pengajar psikologi anak, dan tinggal di perum SD Mojokrapak Tembelang. Semangat berteater yang tak pupus, sampai sekarang ia menjalin link perteateran Jatim wilayah barat. Terbukti dengan undangan yang dihadirinya pada Diesnatalis ke 7 para teatrik se eks keresidenan Kediri tanggal 12 Juni 2010 lalu.
 
Sebagai langkah awal menjejakkan kembali di lanskap perteareran UNDAR, bakat yang terpendam mencorong kembali. Penampilan malam inagurasi kemarin, digarap alur yang berseberangan dengan garapan Samuel Beckett (Perancis) yang dimainkan oleh kelompok Company of San Fransisco Actors Workshop pada tanggal 19 November 1957 di hadapan 1400 narapidana San Quentin. Naskah Samuel yang berjudul Menunggu Godot itu mampu menggugah ketidak sabaran para napi yang kecele` dengan provokasi dua aktor yang dijanjikan, yaitu 2 lelaki kekar, perkasa, berperawakan bina rangka dengan berat badan sekitar 3 kwintal, sedang memarkir tubuhnya di trotoar sambil menunggu sang gadis. Keinginan penonton menyaksikan si Godot keluar sejak awal pertunjukan. Namun penasaran mereka justru terjawab di ahir cerita.
 
Tidak mudah memang menampilkan naskah drama di hadapan penonton berintelektualitas tinggi seperti calon mahasiswa UNDAR ini. Logika puitik dan kesamaran menjadi pilihan alternatif ploting. Apalagi pada dwi peran ganda: berpuisi bersadur teater. Ani dan Ulfa, keduanya berperan bagai gelombang samudera, yang satu tenang menghanyutkan, yang satunya meledak bergulung menyibak dan menghempas celah-celah karang penonton. Puisi bernuansa filsafat sunyi ditabrakkan dengan puisi pemberontakan nasionalisme yang berkoar-koar. Ulfa memulai dengan suara mantap. //Darimana harus di mulai // demi sebuah cita // aku telah menjadi orang yang tak ku kenal // sendiri dari hanya ke percuma //, kemudian disahut Ani yang memberontak. // dimana pemimpin yang diharapkan bisa meronce butiran nasib//. Kedua aktor ini menyelesaikan puisi tetrikalnya selama durasi 23 menit.
 
Keutamaan garapan teater Mentari ini adalah kekokohannya menancapkan idealis. Meski tergolong teater gurem, tidak segera kepincut alur menJogjakan atau menJakartakan model. Puisi yang diteatrikalkan adalah antologi bersama komunitas Mentari sendiri. Pembauran puisi teatrikal yang menghasilkan akting datar dan melunjak, mirip orasi puisi panjangnya Emha Ainun Najib saat pementasan ‘Presiden Balkadaba’ pada 9-10 Juni 2009 di gedung utama Balai Pemuda Surabaya.
 
Teater Mentari di UNDAR bukanlah yang pertama. Sebelumnya ada teater ‘Brengsek’dan teater Kongkrit yang vokum. Kedua teater tersebut merupakan aliran anak sungai yang dari hulu perteateran UNMUH Malang. Meski hidup di Universitas yang tak ada prodi khusus bahasa dan sastra, teater Mentari terbukti tumbuh subur. Kekuatan teater Mentari di UNDAR karena sikap kebersamaan yang dijalin dengan teater lain. Dengan teater Suket misalnya asuhan Cak Kepik dan Lek Hamat/ Lek Mujib (adik ragil Emha) yang kini mengelolah tuan rumah pengajian Padhang mBulan di Mentoro Sumobito tiap bulan. Walau pun teater Suket berstatus teater luar kampus, hubungan harmoninya dengan teater Mentari ibarat dulur kethok kunir, podo kuninge.
 
Puncak gemilang teater Mentari bahwa pernah menyelenggarakan ‘Gebyar Malam 1001 Puisi’ dengan menghadirkan penyair papan atas Indonesia seperti Sosiawan Leak (si babi jantan) yang membaca Bogambolanya, D. Zawawi Imron (si celurit emas) membaca puisi yang berjudul ’Ibu’ dan Max Arifin (si rambut putih almarhum) membaca 2 puisi panjang: Zeggrits dan Jalan Berliku Indonesiaku.
 
Kesuksesan teater Mentari selain Gebyar Malam 1001 Puisi adalah mengadakan pementasan gabungan dengan tajuk TuKeJo: Tulungagung-Kediri-Jombang. Peran arek Mentari di TuKeJo ini meminta teater ‘Kongkrit’ berpentas serial agenda tahunan. TuKeJo diawali di auditorium UNDAR tahun 2001, di STAIN Kediri tahun 2002 dan di STAIN Tulungagung tahun2003.
 
Hal yang terkenang bagi teater Mentari ketika mengadakan Malam Pentas 1001 Puisi adalah harga sebuah konsekwensi sebagai seniman. Biaya operasional yang mencapai 7 jutaan terhitung nominal uang tahun 2003 itu digali dari menggadaikan BPKB sepeda motor. Selebihnya disokong Porbupora Jombang (kini ganti Disporabudpar).
 
Bagi senior UNDAR sekarang, kebanggaan menjadi besar tak cukup hanya bernostalgia dengan kenangan lama. Namun memulai dengan sungguh-sungguh, tak ada kata tidak bisa. Kuncinya: bukan kita tidak tahu, tapi kita tidak mau.
 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar