Aang Fatihul Islam
Karya sastra merupakan letupan puing-puing mahakarya yang dieksekusi lewat suara-suara masyarakat. Barangkali itu merupakan ungkapan yang tepat untuk mengapresiasi kekaguman saya pada karya sastra. Ketika banyak digembor-gemborkan istilah agen perubahan (agen of change) di tengah-tengah mahasiswa dari zaman orde lama hingga kini, maka saya di sini ingin menguak sebuah agen of change yang berkaitan dengan karya sastra.
Seringkali karya sastra dianggap sesuatu yang fiksi belaka dan apa yang dituangkan di dalamnya adalah hanya bualan sang pengarang saja. Benarkah karya sastra hanya berfungsi sebagai hiburan semata? Ada yang mengatakan karya sastra merupakan reportase realitas masyarakat yang dituangkan dalam keindahan kata-kata. Karya sastra adalah mediasi antara fakta dan fiksionalitas. Maka adakah keterkaitan antara karya sastra dengan perubahan masyarakat?
Ada beberapa literatur yang bisa kita pakai sebuah acuan bahwa memang karya sastra ada keterkaiatannya dengan kehidupan masyarakat antara lain; De Bonald dalam Buku “Theory of Literature” (1949,110) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society).maka karya sastra adalah merupakan luapan hati masyarakat yang terwakili lewat rajutan sebuah tulisan. Begitu juga Hegel dan Taine (1949, 111) mengatakan bahwa kebesaran sejarah identik dengan kehebatan artistik melalui karya sastranya, sastrawan menyampaikan kebenaran sejarah dan kebenaran sosial, karya sastra merupakan dokumen (sejarah) dan karena itu, merupakan menumen (documents because they are monuments).
Ada tiga hal yang bisa juga dijadikan acuan antara keterkaitan karya sastra dengan masyarakat ini berkaitan dengan hubungan deskriptif (bukan normative) antara sastra dan masyarakat, antara lain: pertama: sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (Status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra), kedua: isi karya sastra, tujuan karya sastra, hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra dan berkaitan dengan masalah sosial, ketiga: persoalan pembaca dan dampak sosial karya sastra. atau secara sederhana intinya tiga butir di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
Dalam keterkaitan karya sastra dengan realitas masyarakat, salah satu kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin pernah menyampaikan kerinduhannya pada karya sastra Indonesia: “ Bagi para pengarang sungguh masih banyak daerah yang belum dijelajah. Untuk menyebutkan beberapa contoh; kehidupan penyelam mutiara di sebelah timur kepulauan kita, kehidupan di tambang-tambang minyak dan batu bara, kehidupan suku bangsa yang terpencil jauh di pedalaman seperti pegunungan Kalimantan, kehidupan para nelayan mencari nafkah di tengah laut, alam dunia juru terbang yang kini mengarungi udara kita, kita tidak kehabisan bahan dan persoalan”. Demikian uraian H.B Jassin seperti yang dikutip A.A Navis dalam majalah sastra dan budaya Horison Edisi Januari 1994, halaman 9.
Karya sastra adalah realitas bumi dan masyarakat yang direkam dan dirajut dalam keindahan bahasa. Maka dalam memasukkan nilai-nilai di dalamnya pengarang punya jurus jitu dalam memikat para pembaca untuk membaca dan secara tidak langsung misi pengarang akan merasuk dalam otak para pembaca. Di sini pembaca akan melakukan pengembaraan wacana terhadap karya sastra, yang pada akhirnya mereka terinfeksi virus-virus wacana dan sedikit demi sedikit mereka akan banyak melihat realitas lewat keindahan bahasa karya sastra. Iilah bedanya karya sastra dengan liputan berita yang dalam penyuguhannya terkesan lugas dan formal . tapi karya sastra menyuguhkan gambaran realitas lewat rajutan kata yang begitu indah, sehinggah disamping terhibur pembaca juga akan mendapatkan banyak nilai dan pesan di dalamnya.
Menurut Budi Darma para sastrawan dalam menuliskan karyanya punya dua hal, yaitu Worldview (pandangan terhadap dunia) dan Weltanschauung (misi/tujuan merombak masyarakat) Maka para para penggiat sastra dapat berperan disini yaitu menuangkan kegelisahannya dan misinya lewat karya sastra. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer yang menuliskan kegelisahannya dan menuliskan misinya lewat Novelnya “Bumi dan Manusia”, Jejak Langka, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca, W.S. Rendra menyuarakan kegelisahannya dan misinya yang meledak-ledak lewat puisi-puisinya, misalnya “Sajak Sebatang Lisong”, dan “Yang Muda yang Bercinta”, N.H Dini menyuarakan kegelisahannya dan misinya lewat novelmnya “Salah Asuhan”, Budi Darma menyuarakan kegelisahan dan misinya lewat novelnya “ Olenka”, Bustan Maras Mandar menyuarakan kegelisahannya misinya lewat cerpennya “Ziarah Mandar” dan masih banyak lagi. Itulah manifesatasi dari para sastrawan yang menjadi obor penerang bagi bumi yang mulai gelap pekat ini. Karya mereka mampu menjadi percikan-percikan kecil yang merayap dan menjadi kekuatan besar dalam merubah paradigma dan perilaku masyarakat.
Lewat karya-karya sastra selain pembaca terhibur (ulce de at utile), mereka juga secara tidak langsung akan mengenyam nilai dan pesan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Karena bagaimanapun juga di dalam karya sastra ada banyak nilai misalnya nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realism sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Nilai-nilai yang merupakan cerminan dari realita (memesis) inilah yang kemudian diramu dengan indah oleh pengarang dalam sebuah pertemuan antara realitas dengan fiksionalitas, maka jadilah karya sastra.
Warren (1949: 14) menguraikan bahwa Salah satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. “literature” berasal dari kata Latin litera/huruf)—seharusnya sastra lisan juga termasuk sastra, tapi karena sudah sejak lama sastra lisan di Barat ditulis menjadi sastra cetak, maka pandangan Barat mengenai “sastra” berbeda dengan pandangan kita/karena kebanyakan sastra lisan kita belum dicetak. Sastra kisan di Barat sudah banyak yang dicetak atau disadur, seperti misalnya Romeo dan Juliet karya Shakespeare adalah saduran dari sastra lisan Itali, dan Doctor Faustus karya Goethe adalah saduran dari sastra lisan Jerman
Karena sastra adalah sesuatu yang tertulis atau tercetak, maka semua hal yang tertulis dan tercetak dapat juga menjadi objek ilmu-ilmu lain, sepanjang ilmu-ilmu itu juga sudah ditulis atau dicetak. Ilmuwan sastra dapat mempelajari “profesi kedokteran. Pada abad ke-14,” “gerakan planet di Abad Pertengahan,” atau “Ilmu sihir di Inggris dan New England.” Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters”, dan karena itu kerja ilmuwan sastra harus dilihat dari “sumbangannya pada sejarah kebudayaan.” Hal ini dapat juga dilihat dari tokoh Rusia misalnya, Churcil yang pidatonya indah dan mampu menginspirasi para serdadu untuk bangkit melawan musuh, begitu juga Betran Russel, seorang Filsuf dan ahli matematika, essa-essainya indah dan tidak pernah menulis fiksi. Akan tetapi keduanya telah mendapatkan nobel sastrawan dunia.
Menurut Greenlaw, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Warren (1949:12) menambahkan bahwa kalau Greenlaw benar, maka “studi sastra” menjadi kabur, karena studi sastra adalah sebuah studi khusus dengan metode-metodenya sendiri yang tidak sama dengan metode-metode cabang-cabang ilmn pengetahuan lain. Buku-buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan lain sebetulnya bukan karya sastra, tapi ada juga buku-buku itu yang “karya yang berniali sastra,” tapi bukan karya sastra. Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat, sejarawan, ahli teologi dan moral, politikus dan ilmuwan dalam pembahasan, karena sastra pada hakikatnya adalah dunia pemikiran, dan cabang-cabang ilmu lain adalah juga dunia pemikiran.
Kalau Budi Darma menggambarkan Olenka dalam novelnya seperti Peta, maka karya sastra adalah peta heterogenitas realiatas masyarakat. Kita bisa melihat sudut-sudut fenomena social, sejarah dan budaya dalam karya sastra. Ada sebuah analogi yang bisa dijadikan motivator kita dalam mengapresiasi karya sastra. Di barat banyak tokoh-tokoh yang berlatar belakang non -sastra akan tetapi pada akhirnya menjadi sastrawan karena berawal dari membaca karya sastra. Tokoh-tkoh itu antara lain Claude Levir Straus (bidang studi anthropology), Roland Barthes (bidang study sastra), Michael Faoucault (bidang study Sejarah), Jacques Lacan (bidang study Psikiater), Sigmund Freud (Ahli Kedokteran) dan sebagainya.
Walaupun kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang non-sastra akan tetapi pada akhirnya mereka menjadi sastrawan yang hebat-hebat dengan mengembangkan latar belakang mereka lewat karya sastra, sehingga di dalam karya sastra akan ada nilai antropologi, sejarah, psikologi, kesehatan dan sebagainya. Sigmund Freud bisa menciptakan treori psikoanalitik karena membaca karya sastra yang berisi psikologi, di sanalah Sigmund Freud mempelajari psikologi masyarakat dan tercipalah teori psikoanalitik. Begitu juga tokoh-tokoh yang lain juga mendapatkan sesuatu yang baru dari membaca karya sastra.
Hipotesa penulis kalau para politikus, pemerintah, sejarawan, budayawan, dokter, guru, mahasiswa, karyawan, tukang becak dan kaum miskin kota mau membaca karya sastra maka mereka akan kaya dengan nilai yang di dapatkan dalam karya sastra. Mereka akan mampu menembus keburaman akan realitas yang selama ini mengungkung mereka. Dengan membaca karya sastra sedikit demi sedikit paradigma dan kesadaran mereka akan realita akan terbuka. Ketika tabir yang selama ini menutupi mata hai mereka maka akan terjadi balancing antara elemen satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan perubahan masyarakat.
Penulis percaya bahwa di dalam rajutan kata-kata ada sebuah kekuatan dahsyat yang mampu menggerakkan siapa saja yang membacanya. Sebagaimana rajutan kata-kata indah ayat-ayat suci Al-Qur’an di dalamnya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Rajutan kata-kata dalam karya sastra pun tidak lepas dari manifestasi uraian keindahan ayat Al-Qur’an dalm konteks Islam, di dalamnya juga di selipkan suara gress root (arus bawah), yang oleh Pram di gambarkan lewat bukunya Realisme Sosial (2003: 34) yang mana dalam karya sastra ada upaya dalam memperjuangkan kelas Proletar (raykat bawah/kaum tertindas). Sebagaimana yang terdapat di dalam penggalan Surat Al-Ashr ayat (1) “ Wal Ashri Innal Insana Lafi Khusrin Illal Ladzina Amanu Wa’amilus Sholihati” yang berarti bahwa sesuangguhnya manusia telah benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang yang beriman dan juga beramal sholeh. Saya ingin menggaris bawahi kata “Wa’amilush Sholihati” (beramal sholeh), yang bisa diartikan memperjuangkan kaum tertindas. Jadi di dalam beramal sholeh harus senantiasa memihak kau tertindas dan memperjuangkan keadilan.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bukan hanya para cendekiawan, aktivis dan intelektual saja yang dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, akan tetapi para sastrawan juga telah memberikan sumbangsih pemikiran yang cukup signifikan lewat karya sastra dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah realitas masyarakat terekam secara rapi dalam karya sastra. Jadi karya satra telah mampu mempersuasi masyarakat untuk melihat realitas secara bijaksana tidak hanya pada kulit luarnya. Berapa persen kadar persuasi tersebut adalah tidak lepas dari seberapa kuat sinyal gelombang membaca yang mampu pembaca tangkap di dalam karya sastra tersebut. Semoga karya sastra yang mulai bertebaran di mana-mana di Jombang pada khususnya dan di belahan bumi pada umumnya mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang signifakan dalam perubahan paradigma masyarakat. Amin.
Penulis adalah Pimpinan Komunitas Lembah Pena “Endhut Ireng” Jombang*
Karya sastra merupakan letupan puing-puing mahakarya yang dieksekusi lewat suara-suara masyarakat. Barangkali itu merupakan ungkapan yang tepat untuk mengapresiasi kekaguman saya pada karya sastra. Ketika banyak digembor-gemborkan istilah agen perubahan (agen of change) di tengah-tengah mahasiswa dari zaman orde lama hingga kini, maka saya di sini ingin menguak sebuah agen of change yang berkaitan dengan karya sastra.
Seringkali karya sastra dianggap sesuatu yang fiksi belaka dan apa yang dituangkan di dalamnya adalah hanya bualan sang pengarang saja. Benarkah karya sastra hanya berfungsi sebagai hiburan semata? Ada yang mengatakan karya sastra merupakan reportase realitas masyarakat yang dituangkan dalam keindahan kata-kata. Karya sastra adalah mediasi antara fakta dan fiksionalitas. Maka adakah keterkaitan antara karya sastra dengan perubahan masyarakat?
Ada beberapa literatur yang bisa kita pakai sebuah acuan bahwa memang karya sastra ada keterkaiatannya dengan kehidupan masyarakat antara lain; De Bonald dalam Buku “Theory of Literature” (1949,110) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society).maka karya sastra adalah merupakan luapan hati masyarakat yang terwakili lewat rajutan sebuah tulisan. Begitu juga Hegel dan Taine (1949, 111) mengatakan bahwa kebesaran sejarah identik dengan kehebatan artistik melalui karya sastranya, sastrawan menyampaikan kebenaran sejarah dan kebenaran sosial, karya sastra merupakan dokumen (sejarah) dan karena itu, merupakan menumen (documents because they are monuments).
Ada tiga hal yang bisa juga dijadikan acuan antara keterkaitan karya sastra dengan masyarakat ini berkaitan dengan hubungan deskriptif (bukan normative) antara sastra dan masyarakat, antara lain: pertama: sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (Status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra), kedua: isi karya sastra, tujuan karya sastra, hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra dan berkaitan dengan masalah sosial, ketiga: persoalan pembaca dan dampak sosial karya sastra. atau secara sederhana intinya tiga butir di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
Dalam keterkaitan karya sastra dengan realitas masyarakat, salah satu kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin pernah menyampaikan kerinduhannya pada karya sastra Indonesia: “ Bagi para pengarang sungguh masih banyak daerah yang belum dijelajah. Untuk menyebutkan beberapa contoh; kehidupan penyelam mutiara di sebelah timur kepulauan kita, kehidupan di tambang-tambang minyak dan batu bara, kehidupan suku bangsa yang terpencil jauh di pedalaman seperti pegunungan Kalimantan, kehidupan para nelayan mencari nafkah di tengah laut, alam dunia juru terbang yang kini mengarungi udara kita, kita tidak kehabisan bahan dan persoalan”. Demikian uraian H.B Jassin seperti yang dikutip A.A Navis dalam majalah sastra dan budaya Horison Edisi Januari 1994, halaman 9.
Karya sastra adalah realitas bumi dan masyarakat yang direkam dan dirajut dalam keindahan bahasa. Maka dalam memasukkan nilai-nilai di dalamnya pengarang punya jurus jitu dalam memikat para pembaca untuk membaca dan secara tidak langsung misi pengarang akan merasuk dalam otak para pembaca. Di sini pembaca akan melakukan pengembaraan wacana terhadap karya sastra, yang pada akhirnya mereka terinfeksi virus-virus wacana dan sedikit demi sedikit mereka akan banyak melihat realitas lewat keindahan bahasa karya sastra. Iilah bedanya karya sastra dengan liputan berita yang dalam penyuguhannya terkesan lugas dan formal . tapi karya sastra menyuguhkan gambaran realitas lewat rajutan kata yang begitu indah, sehinggah disamping terhibur pembaca juga akan mendapatkan banyak nilai dan pesan di dalamnya.
Menurut Budi Darma para sastrawan dalam menuliskan karyanya punya dua hal, yaitu Worldview (pandangan terhadap dunia) dan Weltanschauung (misi/tujuan merombak masyarakat) Maka para para penggiat sastra dapat berperan disini yaitu menuangkan kegelisahannya dan misinya lewat karya sastra. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer yang menuliskan kegelisahannya dan menuliskan misinya lewat Novelnya “Bumi dan Manusia”, Jejak Langka, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca, W.S. Rendra menyuarakan kegelisahannya dan misinya yang meledak-ledak lewat puisi-puisinya, misalnya “Sajak Sebatang Lisong”, dan “Yang Muda yang Bercinta”, N.H Dini menyuarakan kegelisahannya dan misinya lewat novelmnya “Salah Asuhan”, Budi Darma menyuarakan kegelisahan dan misinya lewat novelnya “ Olenka”, Bustan Maras Mandar menyuarakan kegelisahannya misinya lewat cerpennya “Ziarah Mandar” dan masih banyak lagi. Itulah manifesatasi dari para sastrawan yang menjadi obor penerang bagi bumi yang mulai gelap pekat ini. Karya mereka mampu menjadi percikan-percikan kecil yang merayap dan menjadi kekuatan besar dalam merubah paradigma dan perilaku masyarakat.
Lewat karya-karya sastra selain pembaca terhibur (ulce de at utile), mereka juga secara tidak langsung akan mengenyam nilai dan pesan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Karena bagaimanapun juga di dalam karya sastra ada banyak nilai misalnya nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realism sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Nilai-nilai yang merupakan cerminan dari realita (memesis) inilah yang kemudian diramu dengan indah oleh pengarang dalam sebuah pertemuan antara realitas dengan fiksionalitas, maka jadilah karya sastra.
Warren (1949: 14) menguraikan bahwa Salah satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. “literature” berasal dari kata Latin litera/huruf)—seharusnya sastra lisan juga termasuk sastra, tapi karena sudah sejak lama sastra lisan di Barat ditulis menjadi sastra cetak, maka pandangan Barat mengenai “sastra” berbeda dengan pandangan kita/karena kebanyakan sastra lisan kita belum dicetak. Sastra kisan di Barat sudah banyak yang dicetak atau disadur, seperti misalnya Romeo dan Juliet karya Shakespeare adalah saduran dari sastra lisan Itali, dan Doctor Faustus karya Goethe adalah saduran dari sastra lisan Jerman
Karena sastra adalah sesuatu yang tertulis atau tercetak, maka semua hal yang tertulis dan tercetak dapat juga menjadi objek ilmu-ilmu lain, sepanjang ilmu-ilmu itu juga sudah ditulis atau dicetak. Ilmuwan sastra dapat mempelajari “profesi kedokteran. Pada abad ke-14,” “gerakan planet di Abad Pertengahan,” atau “Ilmu sihir di Inggris dan New England.” Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters”, dan karena itu kerja ilmuwan sastra harus dilihat dari “sumbangannya pada sejarah kebudayaan.” Hal ini dapat juga dilihat dari tokoh Rusia misalnya, Churcil yang pidatonya indah dan mampu menginspirasi para serdadu untuk bangkit melawan musuh, begitu juga Betran Russel, seorang Filsuf dan ahli matematika, essa-essainya indah dan tidak pernah menulis fiksi. Akan tetapi keduanya telah mendapatkan nobel sastrawan dunia.
Menurut Greenlaw, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Warren (1949:12) menambahkan bahwa kalau Greenlaw benar, maka “studi sastra” menjadi kabur, karena studi sastra adalah sebuah studi khusus dengan metode-metodenya sendiri yang tidak sama dengan metode-metode cabang-cabang ilmn pengetahuan lain. Buku-buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan lain sebetulnya bukan karya sastra, tapi ada juga buku-buku itu yang “karya yang berniali sastra,” tapi bukan karya sastra. Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat, sejarawan, ahli teologi dan moral, politikus dan ilmuwan dalam pembahasan, karena sastra pada hakikatnya adalah dunia pemikiran, dan cabang-cabang ilmu lain adalah juga dunia pemikiran.
Kalau Budi Darma menggambarkan Olenka dalam novelnya seperti Peta, maka karya sastra adalah peta heterogenitas realiatas masyarakat. Kita bisa melihat sudut-sudut fenomena social, sejarah dan budaya dalam karya sastra. Ada sebuah analogi yang bisa dijadikan motivator kita dalam mengapresiasi karya sastra. Di barat banyak tokoh-tokoh yang berlatar belakang non -sastra akan tetapi pada akhirnya menjadi sastrawan karena berawal dari membaca karya sastra. Tokoh-tkoh itu antara lain Claude Levir Straus (bidang studi anthropology), Roland Barthes (bidang study sastra), Michael Faoucault (bidang study Sejarah), Jacques Lacan (bidang study Psikiater), Sigmund Freud (Ahli Kedokteran) dan sebagainya.
Walaupun kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang non-sastra akan tetapi pada akhirnya mereka menjadi sastrawan yang hebat-hebat dengan mengembangkan latar belakang mereka lewat karya sastra, sehingga di dalam karya sastra akan ada nilai antropologi, sejarah, psikologi, kesehatan dan sebagainya. Sigmund Freud bisa menciptakan treori psikoanalitik karena membaca karya sastra yang berisi psikologi, di sanalah Sigmund Freud mempelajari psikologi masyarakat dan tercipalah teori psikoanalitik. Begitu juga tokoh-tokoh yang lain juga mendapatkan sesuatu yang baru dari membaca karya sastra.
Hipotesa penulis kalau para politikus, pemerintah, sejarawan, budayawan, dokter, guru, mahasiswa, karyawan, tukang becak dan kaum miskin kota mau membaca karya sastra maka mereka akan kaya dengan nilai yang di dapatkan dalam karya sastra. Mereka akan mampu menembus keburaman akan realitas yang selama ini mengungkung mereka. Dengan membaca karya sastra sedikit demi sedikit paradigma dan kesadaran mereka akan realita akan terbuka. Ketika tabir yang selama ini menutupi mata hai mereka maka akan terjadi balancing antara elemen satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan perubahan masyarakat.
Penulis percaya bahwa di dalam rajutan kata-kata ada sebuah kekuatan dahsyat yang mampu menggerakkan siapa saja yang membacanya. Sebagaimana rajutan kata-kata indah ayat-ayat suci Al-Qur’an di dalamnya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Rajutan kata-kata dalam karya sastra pun tidak lepas dari manifestasi uraian keindahan ayat Al-Qur’an dalm konteks Islam, di dalamnya juga di selipkan suara gress root (arus bawah), yang oleh Pram di gambarkan lewat bukunya Realisme Sosial (2003: 34) yang mana dalam karya sastra ada upaya dalam memperjuangkan kelas Proletar (raykat bawah/kaum tertindas). Sebagaimana yang terdapat di dalam penggalan Surat Al-Ashr ayat (1) “ Wal Ashri Innal Insana Lafi Khusrin Illal Ladzina Amanu Wa’amilus Sholihati” yang berarti bahwa sesuangguhnya manusia telah benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang yang beriman dan juga beramal sholeh. Saya ingin menggaris bawahi kata “Wa’amilush Sholihati” (beramal sholeh), yang bisa diartikan memperjuangkan kaum tertindas. Jadi di dalam beramal sholeh harus senantiasa memihak kau tertindas dan memperjuangkan keadilan.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bukan hanya para cendekiawan, aktivis dan intelektual saja yang dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, akan tetapi para sastrawan juga telah memberikan sumbangsih pemikiran yang cukup signifikan lewat karya sastra dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah realitas masyarakat terekam secara rapi dalam karya sastra. Jadi karya satra telah mampu mempersuasi masyarakat untuk melihat realitas secara bijaksana tidak hanya pada kulit luarnya. Berapa persen kadar persuasi tersebut adalah tidak lepas dari seberapa kuat sinyal gelombang membaca yang mampu pembaca tangkap di dalam karya sastra tersebut. Semoga karya sastra yang mulai bertebaran di mana-mana di Jombang pada khususnya dan di belahan bumi pada umumnya mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang signifakan dalam perubahan paradigma masyarakat. Amin.
Penulis adalah Pimpinan Komunitas Lembah Pena “Endhut Ireng” Jombang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar